1. BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
(Studi Analisis Pemikiran Imam Samudra dalam Buku
Aku Melawan Teroris)
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
SHOHIBUL IBAD
NIM. 072211030
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
2. Drs. H. Maksun, M.Ag
Perum Griya Indo Permai A 22 Tambak Aji Ngaliyan, Semarang
Drs. H. Nursyamsudin, M. Ag
Jl. Mandasia III No 354 Krapyak, Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Shohibul Ibad
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya,
bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara:
Nama : Shohibul Ibad
NIM : 072211030
Judul : “BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
ISLAM (STUDY ANALISIS PEMIKIRAN
IMAM SAMUDRA DALAM BUKU AKU
MELAWAN TERORIS)”
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat
segera dimunaqosyahkan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 13 Juni 2012
ii
3. KEMENTRIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi Saudara : Shohibul Ibad
NIM : 072211030
Judul : Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Pemikiran Imam
Samudra Dalam Buku Aku Melawan Teroris)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat
cumlaude/baik/cukup, pada tanggal :
20 Juni 2012
dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun
akademik 2011/2012.
Semarang, 20 Juni 2012
iii
4. DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang
telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-
pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat
dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2012
Deklarator
SHOHIBUL IBAD
NIM. 072211030
iv
5. MOTTO
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka
tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S Al-Baqarah : 286)
v
6. ABSTRAK
Tema jihad di dalam Islam termasuk salah satu tema besar yang sangat
penting dan memiliki pengaruh besar. Sebab, dengan terpatrinya jihad maka akan
terbentuk risalah Islam, identitas kebangsaan, kenegaraan, kedaulatan,
kemerdekaan, kemuliaan, terjaganya harga diri, kehormatan, adat istiadat, budaya,
norma dan moral. Akan tetapi, jihad yang dipahami dengan pandangan yang
keliru dan diletakkan bukan pada tempatnya bisa berakibat fatal bagi Islam.
Pemahaman dan pelaksanaan dari perintah jihad menjadi hilang oleh golongan
yang bersikap berlebihan dan mengurangi. Dengan motivasi jihad pengorbanan
nyawa (intensi mati) yang seharusnya dilindungi menjadi tergadaikan karena
terbalut oleh jihad mengatas namakan sebagai perintah Allah. Taktik serangan
dengan bunuh diri pun coba di legalkan dengan mengunakan dasar agama. Imam
Samudra atau Abdul Aziz melalui bukunya ‘Aku Melawan Teroris’ menguraikan
pemahamannya mengenai Jihad serta pelaksanaannya dengan tindakan bunuh diri
(istisyhad).
Dari latar belakang di atas, penelitian ini akan mengkaji bagaimana
pemahaman Imam Samudra tentang alasan bunuh diri sebagai bentuk jihad? dan
bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh diri
sebagai jihad?
Metode penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian kepustakaan
(library research). Menurut sifat dari data yang dicari penelitian ini bersifat
kualitatif. Sumber data dari penelitian ini terdiri dari data primer buku ‘Aku
Melawan Teroris’ dan data sekunder yang mendukung. Dari sinilah kemudian
metode analisis dilakukan dengan deskriptif, interpretatif dan content analysis.
Hasil studi penelitian menyimpulkan dua temuan. Pertama, pemahaman
Imam Samudra tentang alasan tindakan bunuh diri sebagai bentuk dari jihad
dilatarbelakangi oleh jihad yang diprioritaskan hanya sebagai perang. Puncak
pelaksanaannya dilakukan dengan tindakan intimidasi dan teror melalui serangan
mengorbankan nyawa (bunuh diri) di Indonesia dan Bali khususnya. Dalam jihad
hal ini bertentangan dengan hukum pelaksanaan jihad dan konsep wilayah jihad
perang. Kedua, Dalam ketentuan hukum pidana Islam dilakukan dengan jalan
qiyas untuk menyamakan kasus penyerangan dengan bunuh diri dengan
pemberontakan (al-baghyu) dengan illat bahwa perbuatan itu membawa dampak
yang sama yaitu mengganggu stabilitas keamanan masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidananya memiliki dua ketentuan.
Pertama, kejahatan yang berkaitan langsung yang hukumannya diserahkan kepada
ulil amri dan kedua, yang tidak berkaitan langsung yang dimasukan ke dalam
pidana hudud sesuai dengan jarimah yang dilakukannya.
Kata Kunci : bunuh diri, jihad, hukum pidana Islam.
vi
8. KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Puji syukur Alhamdulillahirobbil’alamin penulis ucapkan kehadirat Allah
Swt atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan
kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat-
sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan
mengembangkannya hingga sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul: BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (STUDY ANALISIS
PEMIKIRAN IMAM SAMUDRA DALAM BUKU AKU MELAWAN
TERORIS), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang
yang telah memimpin lembaga dengan baik.
2. Dr. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang dan pembantu-pembantu Dekan yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan
memberikan fasilitas belajar hingga kini.
3. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam
DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
4. Drs. H. Maksun, M.Ag. dan Drs. H. Nur Syamsuddin, M.Ag. selaku
Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar
dan tulus ikhlas.
5. Seluruh Dosen IAIN Walisongo Semarang atas segala ilmu yang telah
diberikan.
viii
9. 6. Seluruh staff dan karyawan TU, Perpustakaan baik yang ada di Fakultas
Syari’ah maupun di Institut.
7. Kedua orang tua penulis, M. Ajib dan Khotijah beserta segenap keluarga,
atas segala doa, perhatian, nasehat dan kasih sayangnya.
8. Teman-temanku yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya
skripsi ini. Dan doaku untuk mereka, “Semoga Allah membalas semua
amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan
pada diriku” Amin.
9. Teman-teman Jinayah Siyasah angkatan 2007 dan teman-teman di
lingkungan IAIN Walisongo Semarang.
10. Google.com untuk kemudahan yang diberikannya melalui akurasi
searchingnya, priview bukunya (book.google.com), bookmarksnya,
surelnya. Arcive.org atas koleksi buku dari para uploadernya. Dan
berbagai forum diskusi online.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman
pada umumnya. Amin.
Semarang, 12 Juni 2012
Penulis
Shohibul Ibad
NIM. 072211030
ix
10. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN DEKLARASI ......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................. v
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................... viii
HALAMAN DAFTAR ISI.......................................................................... x
BAB I PENDAHULUANs
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6
D. Telaah Pustaka ........................................................................... 7
E. Metode Penelitian ...................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JIHAD DAN BUNUH DIRI
A. Jihad Dalam Islam ..................................................................... 14
B. Bunuh Diri Dalam Hukum Pidana Islam .................................... 26
a. Pengertian Bunuh Diri ........................................................ 26
b. Alasan Bunuh Diri .............................................................. 27
c. Hukum Bunuh Diri ............................................................. 31
C. Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad .............................................. 36
BAB III PANDANGAN IMAM SAMUDRA TENTANG JIHAD
A. Biografi Imam Samudra ........................................................ 43
B. Pemahaman Imam Samudra Mengenai Islam ........................ 52
C. Pemahaman dan Pelaksanaan Jihad Imam Samudra ............... 57
a. Pemahaman Imam Samudra tentang Jihad ........................ 57
b. Pelaksanaan Jihad Imam Samudra .................................... 63
11. BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN IMAM SAMUDRA TENTANG
BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD DAN
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
BENTUK TINDAKAN BUNUH DIRI SEBAGAI JIHAD
A. Analisis Pemahaman Imam Samudra Tentang Bunuh
Diri Sebagai Bentuk Jihad .............................................. 72
1. Analisis Pemahaman Imam Samudra tentang Jihad.... 73
2. Analisis Pelaksanaan Jihad Imam Samudra................ 83
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Bentuk
Tindakan Bunuh Diri Sebagai Jihad................................. 94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 101
B. Saran-saran ........................................................................... 103
C. Penutup ................................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
12. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu ajaran agama Islam yang langsung ditunjukkan Allah melalui
al-Qur’an adalah ajaran tentang jihad. Selanjutnya, ajaran ini cukup banyak
mendapat respons dari hadits Rasulullah dan ijtihad para ulama. Dalam ilmu fiqh,
ajaran jihad mendapat perhatian khusus dari para fukaha, hampir dalam setiap
buku-buku fiqih ditemukan pembahasan jihad secara rinci.
Tema jihad di dalam Islam termasuk salah satu tema besar yang sangat
penting dan memiliki pengaruh besar. Sebab, dengan terpatrinya jihad maka akan
terbentuk risalah Islam, identitas kebangsaan, kenegaraan, kedaulatan,
kemerdekaan, kemuliaan, terjaganya harga diri, kehormatan, adat istiadat, budaya,
norma dan moral. Kesemua hal itu merupakan seperti yang telah dijanjikan Allah
dari kemenangan dalam jihad. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu
telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al
Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada
1
13. 2
Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan
itu, dan itulah kemenangan yang besar” (Q.S. At-Taubah : 111).1
Jihad ketika dipisahkan dari ajaran Islam akan mengakibatkan dampak
negatif. Islam akan menjadi statis, tidak mampu merespon segala perkembangan
zaman. Yusuf Qardhawi menyebutkan tanpa jihad, penjaga umat akan ternodai
dan darah generasinya akan menjadi semurah-murah tanah. Kesucian-kesucian
umat pun akan menjadi lebih rendah daripada segenggam tanah di padang pasir.2
Ungkapan tersebut dimaksudkan agar syari’at tentang jihad tidak dipisahkan dari
ajaran Islam. Jihad memiliki sebuah peranan penting dalam syari’at Islam.
Jihad seperti dua mata pisau, jika diterapkan sesuai maka dampak positif
yang sangat besar akan diperolehnya. Namun, Jihad yang disalahpahami
mengakibatkan Islam dipandang sebagai agama peperangan, bukan agama
perdamaian. Bahkan istilah jihad itu sekarang tidak hanya disalahpahami
melainkan juga disalahgunakan oleh orang-orang barat untuk memperburuk citra
Islam.3 Implementasi konsep jihad lebih banyak dipahami secara sederhana
sebagai bentuk perang suci (holy war). Jihad dipahami sebagai kewajiban setiap
muslim untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini melalui kekuatan dan
perang. Akibatnya, kaum muslim yang rela dijadikan sebagai mortir untuk
melakukan perang atas nama agama.4
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2007 h.
168.
2
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut Al-Qur'an dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim, Bandung: Mizan, 2010, h. xiv.
3
Haji Agus Salim, Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, St. Sularto (ed.), Jakarta:
Gramedia, 2004, h. 59.
4
Muhammad Asfar, dkk, Islam Lunak Islam Radikal Pesantren, Terorisme dan Bom Bali,
2003, Surabaya: JP Press, h. 62-63.
14. 3
Kenyataannya sekarang berbagai kasus anarkisme hingga terorisme yang
dilakukan oleh sebagian kelompok orang Islam yang melakukan penyerangan
dengan ikut mengorbankan diri ke dalam aksinya tersebut. Hal ini dilakukan atas
nama agama (Islam) dengan pembenaran aksinya dari anjuran untuk melakukan
jihad.
Diantara kasus-kasus yang terjadi yaitu, serangan 11 September 2001
dengan menabrakkan dua pesawat ke menara kembar World Trade Center di New
York City. Disusul dengan penabrakan sebuah pesawat ke Pentagon di Arlington,
Virginia. Pesawat lainnya yaitu United Airlines penerbangan 93, jatuh di lapangan
dekat Shanksville, Pennsylvania. Menurut laporan tim investigasi 911, sekitar
3.000 jiwa tewas dalam serangan ini.5 Osama bin Laden mengakui keterlibatannya
dalam kelompok al-Qaeda pada penyerangan tersebut dan mengakui hubungan dia
secara langsung pada serangan tersebut.6
Di dalam negeri, aksi penyerangan dengan mengorbankan diri (bunuh diri)
yang mengatas namakan jihad terus berkembang. Mulai dari tragedi yang paling
menggemparkan yaitu bom Bali I dan bom Bali II yang merenggut nyawa warga
sipil tidak hanya dari pihak non-muslim akan tetapi juga dari muslim.7 Pelaku
bom Bali I Imam Samudra dalam bukunya “Aku Melawan Teroris”
5
Wikipedia, Casualties of the September 11 Attacks, diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Casualties_of_the_September_11_attacks, pada 1 November 2011,
Jam 17.00 WIB.
6
Maggie Michael, Bin Laden in Statement to U.S. People, Says He Ordered Sept. 11
Attacks, diakses dari http://legacy.signonsandiego.com/news/nation/terror/20041029-1423-
binladentape.html pada 1 November 2011, Jam 18.00 WIB.
7
Daftar korban bom bali I terjadi pada 12 Oktober 2002 dengan korban jiwa berjumlah
202 dan 209 orang luka-luka atau cedera, daftar nama korban diabadikan di monumen bom Bali
(Ground Zero Legian). Bom Bali II terjadi pada Oktober 2005 dengan korban jiwa 23 orang tewas
dan 196 lainnya luka-luka.
15. 4
mengemukakan bahwa warga ‘sipil’ bangsa-bangsa penjajah yang asalnya tidak
boleh diperangi, berubah menjadi boleh diperangi karena adanya tindakan
melampaui batas, yaitu pembantaian atas warga sipil yang dilakukan oleh bangsa
penjajah.8 Oleh karena itu, untuk merealisasikan pemahamanya itu Imam
Samudra melakukan pengeboman pada tanggal 12 Oktober 2002, yang dijadikan
target adalah orang-orang Amerika dan sekutunya yang berada di Paddy's Pub dan
Sari Club (SC) di jalan Legian, Kuta, Bali.
Dalam kasus bom Bali II di Jimbaran Bali 10 November 2005,
pengeboman mengunakan perantara manusia yang mana pelaku aksi peledakan
ikut tewas dalam aksinya.9 Hal ini diyakininya sebagai bagian dari Istisyhad.10
Seperti perlawanan rakyat Palestina terhadap agresi militer Israil dengan
meledakkan diri di tengah-tengah tentara Israil. Aksi serupa juga terjadi di Iran,
Irak, Chechnya, Afganistan dan Pakistan.
Di Indonesia kemudian muncul istilah “pengantin” yaitu orang yang telah
siap untuk melakukan aksi bunuh diri menggunakan bom yang bertujuan untuk
melakukan “jihad”. Penggunaan istilah pengantin merupakan bentuk motivasi
bagi pelaku bunuh diri, disaat dirinya meninggal dalam penyerang tersebut, sejak
itulah pernikahannya berlangsung dengan para bidadari yang dijanjikan di surga.
8
Aziz, Abdul, Imam Samudera : Aku Melawan Teroris, Solo: Jazera, 2004, h. 116.
9
Vivanews, Kesaksian M. Salik Firdaus pelaku aksi peledakan Bom Bali II, di akses di
http://lipsus.vivanews.com/bom_bali/lipsus_detail_bagian_3c.html pada 1 Februari2011.
10
Istisyhad ( ) yang berarti berarti (mencari syahid), syahid menjadi
bentuk kematian yang sudah mendapat jaminan surga. Ada juga yang menyebutnya sebagai
istimata atau pasukan berani mati, disamping itu ada juga yang menyebutnya dengan intihar atau
bunuh diri.
16. 5
Menanggapi aksi jihad dengan mengorbankan diri, Para ulama ada yang
membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Sebagian berpendapat, tindakan
bunuh diri selagi ada kesengajaan membunuh dirinya sendiri sekalipun juga
mengakibatkan orang kafir musuh ikut terbunuh, tidaklah berbeda dengan bunuh
diri biasa yang hukumnya haram. Sehingga tidak dapat dikategorikan mati syahid.
Pendapat yang membolehkan, karena tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dalam rangka jihad untuk membela agama atau tindakan dalam mempertahankan
kehormatan bangsa dan Negara.11 Adapun Imam Samudra memilih tentang
kebolehan aksi bunuh diri atau Istisyhad, walaupun dengan dugaan kuat bahwa
pelaku akan terbunuh dalam oprasi yang dilakukannya terebut.12
Alasan mengapa sebagian umat Islam bersedia melakukan tindakan
semacam itu adalah permasalahan yang sesegera mungkin dicarikan solusinya.
Oleh karenanya apakah pemahaman dan perjuangan melalui mengorbankan diri
hingga mati merupakan bagian dari jihad fisabilillah.
Atas dasar itulah penyusun tertarik untuk melakukan penelitian terhadap
pemaknaan jihad, dalam penelitian ini sebagai objek penelitian adalah pemikiran
jihad dari Imam Samudra melalui bukunya “Aku Melawan Teroris”. Dikarenakan
dalam menjelaskan konsepsi jihad dalam Islam, Imam Samudra menitik beratkan
arti jihad sebagai perang, dan menganggap boleh melakukan tindakan bunuh diri
untuk dapat membunuh orang-orang kafir. Bagaimana hukum bunuh diri yang
digunakan alasan dalam berjihad dilihat dalam perspektif hukum pidana Islam
11
Luthfi Assyaukani, Politik, HAM, dan isu-isu teknologi dalam fikih kontemporer,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, h. 11
12
Abdul Aziz, Op.cit, h. 182-183.
17. 6
berdasarkan sumber-sumber hukum islam dan juga untuk mengetahui apakah
jihad dengan jalan aksi bunuh diri ini sesuai dengan kriteria jihad yang dibenarkan
oleh syariat Islam. Oleh karena itu, penyusun berupaya melakukan penelitian ini
sehingga karya ini diberi judul : “BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (STUDY ANALISIS
PEMIKIRAN IMAM SAMUDRA DALAM BUKU AKU MELAWAN
TERORIS)”.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, untuk membuat
permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka
harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar
pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Ada
beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji :
1. Bagaimana pemahaman Imam Samudra tentang alasan bunuh diri sebagai
bentuk jihad ?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh
diri sebagai jihad ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan karya ini sebenarnya untuk menjawab apa yang
telah dirumuskan dalam dari masalah di atas. Di antara beberapa tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pemahaman Imam Samudra tentang alasan bunuh diri sebagai
bentuk jihad.
18. 7
2. Mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh
diri sebagai jihad.
Manfaat Penelitian :
1. Secara formal penelitian ini disusun untuk memenuhi tugas dan
melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 dalam Ilmu
Syari’ah.
2. Diharapkan berguna bagi konstribusi dan pengembangan pengetahuan
ilmiah ke-Islaman.
D. Telaah Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa
sumber yang membahas atau berhubungan dengan masalah tersebut di antaranya:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Rico Setyo Nugroho mahasiswa
Fakultas Dakwah Program Studi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam IAIN
Walisongo Semarang dalam skripsinya yang berjudul “Jihad fiSabilillah dalam
Pemikiran Imam Samudra dalam Buku Aku Melawan Teroris (Ditinjau dari
Perspektif Dakwah)”. Penelitian ini dilakukan tahun 2006. Di dalam skripsinya
memaparkan bahwa menurut pemahaman Imam Samudra jihad dapat diartikan
dari tiga sudut pandang, bahasa, istilah dan syari'ah. Menurut bahasa jihad berarti
bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk mencapai suatu tujuan. Secara
istilah jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah,
mendakwahkannya serta menegakkannya di muka bumi. Secara syari'ah, jihad
berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Dari
ketiganya, jihad dalam pengertian syariah-lah yang digolongkan sebagai jihad fi
19. 8
sabilillah. Jadi, yang dimaksud jihad fi sabilillah oleh Imam Samudra adalah
angkat senjata untuk berperang di jalan Allah melawan musuh guna membela dan
mempertahankan Islam. Karenanya, Imam Samudra memandang bahwa
perlawanan terhadap dominasi AS dan sekutunya yang melakukan pembantaian
terhadap umat Islam di Afganistan, Palestina dan Irak merupakan bentuk jihad
yang harus dilakukan yang salah satunya dengan melakukan pengeboman di Bali
dengan sasaran AS dan sekutunya. Jika dilihat dari sudut pandang dakwah, cara
menampilkan Islam yang mengedepankan jihad melalui peperangan sebagaimana
yang dilakukan Imam Samudra dapat melahirkan image bahwa Islam merupakan
agama yang disebarkan melalui kekerasan. Aktivitas dakwah sendiri hendaknya
dilakukan dengan mendahulukan cara damai, misalnya dengan akhlak yang baik,
lemah lembut, serta perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam
sebagai rahmat bagi alam semesta.13
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh M. Nashir Jamaludin mahasiswa
Fakultas Syariah Program Studi Siyasah Jinayah IAIN Walisongo Semarang
dalam skripsi yang berjudul “Bom Bunuh Diri Dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Hasil Munas NU tahun 2002 dalam Bahtsul Masa'il Waqiyyah
Siyasiyyah)”. Penelitian ini dilakukan tahun 2004. Adapun hasil penelitian dalam
skripsi ini memaparkan bahwa Perang dalam Islam bukan jihad secara bebas,
tetapi jihad itu terikat dengan syarat bahwa dilakukan pada jalan Allah (fi
sabilillah). NU membolehkan aksi bom bunuh diri dengan situasi dan kondisi
13
Rico Setyo Nugroho, “Jihad fi Sabilillah dalam Pemikiran Imam Samudera dalam
Buku Aku Melawan Teroris (Ditinjau dari Perspektif Dakwah)”, Skripsi Dakwah, Semarang,
2006, h.67-68,t.d.
20. 9
khusus dan bagi pelakunya harus memenuhi persyaratan yang khusus pula.
Sehingga aksi bom bunuh diri belum tentu sebagai jihad, seperti yang
disyari'atkan. Metode istinbath yang dikembangkan NU, termasuk dalam aksi
bom bunuh diri, menggunakan istinbath jama'i, penyimpulan ketentuan hukum
secara bersama-sama. Istinbath langsung dari sumber-sumber primer (al-Qur'an
dan al-Sunnah) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU
masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari,
terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai
seorang mujtahid.14
Ketiga, penelitian yang dilakukan Muhammad Syawali mahasiswa
Fakultas Syariah Program Studi Siyasah Jinayah IAIN Walisongo Semarang
dalam skripsi yang berjudul “Studi Analisis Konsep Maulana Muhammad Ali
tentang Jihad”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Dalam skripsi ini
memaparkan bahwa Pertama, Nilai-nilai ajaran yang ditawarkan Maulana
Muhammad Ali tentang jihad adalah mengupayakan adanya kelenturan berpikir
atas teks-teks jihad yang terkandung di dalam al-Qur`an dan sunah Rasulullah saw
yaitu sikap jihad yang masih bersifat universal dalam konteks penerapannya di
segala persoalan kehidupan yang masih komplek dan kontekstual. Implikasi
konsep jihad Muhammad Ali akan memberikan pencerahan pemikiran dan
pembelaan terhadap Islam dari kalangan yang mendiskreditkan Islam sebagai
sarang teroris. Kedua, Adapun yang membedakan persepsi jihad antara ulama
14
M. Nashir Jamaludin, Bom Bunuh Diri Dalam Perspektif Hukum Islam ( Studi Hasil
Munas NU tahun 2002 dalam Bahtsul Masa'il Waqiyyah Siyasiyyah ), Skripsi Syari’ah, 2004,
h.59, t.d
21. 10
fiqih dan maulana Muhammad Ali hanya pada dimensi sudut pandangnya saja.
Ulama fiqih lebih mengedepankan aspek formalitas dan otoritas syariah, dalam
memberikan makna jihad pada nash Al-Quran dan hadits Nabi saw. Mereka
Mengacu pada makna hakiki syar’i (makna syariah). Sedangkan Muhammad Ali
cenderung kurang formal tapi lebih pada upaya realisasi konsep jihad yang
bersifat universal dan kontekstual. Pemikiran Muhammad Ali sendiri di pengaruhi
oleh pemikiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri Ahmadiyah yang
berorientasi pada pembaharuan pemikiran yang bercorak liberal dan
kontekstual.15
Dari beberapa penelitian di atas dapat diketahui bahwa penelitian
terdahulu berbeda dengan skripsi yang penulis susun. Perbedaannya penulis
menitik beratkan masalah pada bunuh diri sebagai bentuk jihad dalam pemaham
Imam Samudra dan melakukan penelitian dari aspek tinjauan hukum pidana Islam
terhadap tindakan bunuh diri. Inilah yang membedakan penelitian ini berbeda dari
penelitian-penelitian yang sudah ada.
E. Metode Penelitian
Metode dalam suatu penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting,
karena suatu metodologi nantinya akan menentukan bagaimana cara kerja sebuah
mekanisme penelitian mencapai kebenaran ilmiah tentang suatu hal dan lebih
sistematis, maka diperlukan sebuah metode yang jelas sebagaimana
disebutkan dalam rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut :
15
Muhammad Syawali, Studi Analisis Konsep Maulana Muhammad Ali tentang
Jihad, Skripsi Syari’ah, Semarang, 2009, h.114-117, t.d.
22. 11
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-
sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library
Research menurut Bambang Sunggono, adalah suatu riset kepustakaan
atau penelitian murni.16 Jadi, penelitan ini dilakukan dengan menelaah dan
mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, dan lain-lain.
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk bersifat deskriptif, interpretatif
dan contetnt analysis yakni dengan berusaha memaparkan data-data tentang
suatu hal atau masalah dengan interpretasi yang tepat, kemudian
menganalisisnya.17
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber
data primer dan sumber sekunder. Sumber primer atau tangan pertama, adalah
data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat
pengukuran atau alat pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber
informasi yang dicari. Bahan utama sumber data primer yang digunakan yaitu
data yang ada dalam buku karya Abdul Aziz yang berjudul “Imam Samudra:
Aku Melawan Teroris”.
Adapun sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh lewat
pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya.
16
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007, h. 50.
17
Ibid., h. 139.
23. 12
Data-data ini diperoleh dari buku-buku bacaan dan literatur-literatur lain yang
membahas tentang jihad dan bunuh diri dalam Islam, serta buku-buku yang
ada hubungannya dengan penelitian ini. Selain itu data penunjang yang
didapatkan dari internet guna memahami peristiwa-peristiwa aktual yang
sedang terjadi.
3. Metode Analisis Data
Analisis data yang akan digunakan adalah deskriptif, interpretatif dan
content analysis. Deskriptif yaitu metode analisis data yang befungsi untuk
menjelaskan suatu pemikiran (fakta) sehingga dapat diterima secara rasional.18
Aplikasinya, pemikiran Imam Samudra direkonstruksi dan dipaparkan
kembali apa adanya. Analisis interpretasi dimaksudkan untuk menyelami
karya seorang tokoh untuk menangkap arti yang dimaksud tokoh tersebut19
yang aplikasinya untuk menyelami isi buku “Imam Samudra: Aku Melawan
Teroris”. Adapun content analysis yaitu analisis ilmiah tentang isi data yang
mencakup upaya klarifikasi kriteria-kriteria tertentu untuk membuat prediksi
atas tema-tema yang dibahas.20 Penggunaan analisis isi ini sangat dibutuhkan
ketika memilah-milah isi data yang membahas tentang bunuh diri sebagai
bentuk jihad. Kemudian ketentuan dari hukum pidana Islam dijadikan
landasan mengenai segala ketentuan hukum tindak pidana atau perbuatan
kriminal yang dilakukan sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil yang
terperinci dari al-Qur'an dan al-hadist.
18
Irawan, Prasetya, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1999, h.60.
19
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajawali Press, 1997, h.98.
20
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, h.
68-69.
24. 13
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dan penyusunan skripsi ini menjadi terarah, runut atau
sistematis, penulis menyusun sebagai berikut :
BAB I Merupakan pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka,
Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II Menjelaskan tentang tinjauan umum tentang jihad dan bunuh diri dalam
perspektif hukum pidana Islam, Di dalamnya akan penulis jelaskan
persoalan tentang, Jihad dalam Islam, bunuh diri dalam hukum pidana
Islam dan bunuh diri sebagai bentuk jihad.
BAB III Berisi tentang pandangan Imam Samudra tentang jihad, yang meliputi
biografi Imam Samudra, Pemahaman Imam Samudra mengenai Islam,
Pemahaman dan pelaksanaan jihad Imam Samudra tentang jihad yang
termasuk didalamnya kebolehan hukum bunuh diri sebagai jihad.
BAB IV Analisis pemahaman Imam Samudra tentang bunuh diri sebagai bentuk
jihad dan tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh
diri sebagai jihad. Pada bab ini menganalisis tentang pemahaman imam
Samudra tentang jihad dan pelaksanaannya. Dari situ kemudian perlu
adanya tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh
diri sebagai jihad.
Bab V Bagian penutup dari rangkaian penyusunan skripsi, diuraikan tentang
kesimpulan seputar penyusunan skripsi, saran-saran yang berkaitan
dengan penyusunan skripsi, serta kata penutup.
25. BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JIHAD DAN BUNUH DIRI
A. Jihad dalam Islam
Pengertian jihad menurut kaedah bahasa (etimologi), kata (jihad)
berasal dari kata dasar / - - (jahada, yajhadu, jahdan/ juhdan).
Ibnu Mandzur membedakan kata (al-juhdu) dan ( اﻟﺠ َ ﺪal-jahd), (al-
juhdu), dengan dhammah di jim berarti kemampuan dan kekuatan,
adapun َ (اﻟﺠal-jahd) berarti berarti al-masyaqqah (kesulitan). Adapun
(jihad) berkedudukan sebagai mashdar (kata benda) dari (jahada) yaitu
dengan wazan ﻓﺎﻋﻞdiartikan dengan berusaha menghabiskan segala daya
kekuatan, baik berupa perkataan maupun perbuatan.1 Sedangkan dalam kamus al-
Munawir kata (jahada) berarti mencurahkan segala kemampuan. Jika
dirangkai dengan kata fi sabilillah, berarti Berjuang, berjihad, berperang di jalan
Allah.2
Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic mengartikan
jihad sebagai ‘Fight, battle, holy war (against the infidles as a religious duty)’,3
yang berarti perjuangan, pertempuan, perang suci (melawan musuh-musuh
sebagai kewajiban agama). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jihad memiliki
tiga makna yaitu: 1) Usaha dengan upaya untuk mencapai kebaikan. 2) Usaha
sungguh-sungguh membela agama Allah (Islam) dengan mengorbankan harta
1
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Beirut: Daar Ehia al-Tourath, Juz II, 1999, h. 395.
2
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia. Yogyakarta : Pustaka
Progressif, h. 215.
3
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed.), New York :
Spoken Language Services Inc., 1976, h. 142.
14
26. 15
benda, jiwa dan raga. 3) Perang suci melawan kekafiran untuk mempertahankan
agama Islam.4
Untuk mengetahui makna terminologi jihad secara benar dan sesuai
dengan proporsi yang sebenarnya. Maka, diperlukan penelusuran terhadap
perintah jihad yang terdapat dalam al-Quran dan hadits. Sehingga apa yang
menjadi bentuk dan aplikasi penerapanya menjadi jelas dan tidak menimbulkan
kerancuan. Sehingga substansi dari jihad sesuai dengan apa yang menjadi maksud
dan tujuannya.
Perintah jihad dalam telah disampaikan oleh Rasulullah Saw yang secara
eksplisit menyatakan bahwa jihad telah dimulai semenjak Muhammad diutus oleh
Allah sebagai rasul. Hal ini berarti, jihad dilakukan jauh sebelum adanya perintah
untuk melakukan perang.5 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Anas bin
Malik :
َ ﻋ َﻦ ْ أَﻧَﺲِ ﺑْﻦ ِ ﻣ َﺎﻟِﻚ ٍ ﻗَﺎل
.(. )رواه اﺑﻮ داود ِ ْ و َ اﻹ
“Dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw. berkata: "Tiga
perkara yang merupakan dasar keimanan, yaitu: menahan diri dari
orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, dan kita tidak
mengkafirkannya karena suatu dosa, serta tidak mengeluarkannya
dari keislaman karena sebuah amalan. Jihad tetap berjalan sejak
Allah mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal,
hal itu tidaklah digugurkan oleh kelaliman orang yang lalim, serta
4
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008, h. 362.
5
Enizar, Jihadi The Best Jihad for Moslems, Jakarta : Amzah, 2007, h. 3-4
27. 16
keadilan orang yang adil, dan beriman kepada taqdir.” (HR. Abu
Dawud).6
Jihad mempunyai beberapa pengertian dan pergeseran makna sesuai
dengan periodisasi turunnya al-Quran dalam dua periode yaitu periode Makkiyah
dan periode Madaniyah.7 Ayat yang menerangkan jihad kurang lebih 41 ayat, 8
kali dalam ayat Makkiyah dan 33 kali dalam ayat Madaniyah yang terdapat pada
23 ayat.8 Pemaknaan kata jihad di dalam ayat-ayat al-Quran mengandung
beberapa pengertian menurut urutan turunya ayat. Ada yang berarti penyeruan
(dakwah), pemaksaan, peperangan dan lainnya.
Pemaknaan jihad dari periode Makkah hingga periode Madinah
mengalami evolusi pemaknaan dan diklasifikasikan dalam enam makna. Dua
pemaknaan jihad dalam periode Makkiyah dan empat pemaknaan jihad selama
periode Madaniyah hingga jihad dapat terformulasi menjadi sebuah ajaran dalam
syariat Islam.9
Pada periode Makkiyah terdiri dari; Pertama, jihad berarti perjuangan
individual, atau perjuangan menghadapi kondisi umat Islam yang sulit disebabkan
perbuatan musuh-musuh Islam. Kedua, makna jihad berkembang menjadi
perjuangan individual (fardu’ain) dan komunal (fardu kifayah) terhadap kaum
musyrik Mekkah. Sedangkan pada periode Madaniyah memiliki empat makna.
Pertama, jihad berkembang menjadi makna berperang (al-harb) terhadap kaum
6
Abu Dawud Sulaiman ibn asy-Asy’as as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Juz 3, Beirut : Dar
al-Hazm, 1997, h. 30.
7
Makiyah adalah istilah yang diberikan kepada ayat al-Qur'an yang diturunkan
di Mekkah atau sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah istilah
yang diberikan kepada ayat al Qur'an yang diturunkan di Madinah atau setelah Rasulullah saw
hijrah ke Madinah.
8
Rohimin, Jihad Makna & Hikmah. Jakarta: Erlangga, 2006, h. 16.
9
Kasjim Salenda, Terorisme dan jihad dalam perspektif hukum Islam, Cet I, Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009, h. 148-149.
28. 17
musyrikin yang ingin menyerang eksistensi umat Islam Madinah. Kedua, makna
jihad dalam bentuk peperangan terhadap orang-orang yang mengingkari ajaran
agamanya dari kalangan ahlul kitab dan terhadap mereka yang berkhianat dan
melanggar perjanjian piagam Madinah. Ketiga, pada masa penaklukan kota
Mekkah (fath Makkah) dan sesudahnya, jihad dalam makna perang terhadap kaum
musyrikin sehingga mereka beriman dan mengakui eksistensi Rasulullah Saw.
Keempat, jihad berarti perjuangan spiritual dan moral dalam menghadapi
problema dan permasalahan hidup.10
Penerapan jihad sesuai dengan instruksi Allah Swt melalui wahyu yang
diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah Saw sesuai dengan perkembangan
kondisi masyarakat Islam dimana mengalami masa transisi dari kondisi ke
kondisi lain, dan dari satu perkembangan ke perkembangan lain sampai instruksi
ini sempurna dengan berakhir dan sempurnanya risalah kenabian.
Melihat dari perintah jihad dan bentuk pelaksanaan jihad, Ibnu Qoyyim
al-Jauziy membagi jihad menjadi 13 macam rangkaian yang terdiri atas empat
tingkatan antara lain yaitu :
1. Jihad melawan nafsu (jihad an-nafs)
Jihad melawan nafsu memilik empat tingkatan yaitu, berjihad melawan
diri sendiri dalam rangka mempelajari petunjuk Allah, berjihad dalam rangka
mengamalkan petunjuk Allah setelah mengetahuinya, berjihad untuk mengajak
orang lain kepada petunjuk Allah tersebut, berjihad untuk sabar menghadapi aral
rintangan dakwah.
10
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I, Jakarta:
LSIP, 2004, h. 106-114.
29. 18
2. Jihad melawan setan (jihad asy-syaitan)
Jihad melawan setan memili dua tingkatan. Pertama, berjihad melawan
setan untuk menolak keragu-raguan yang dimasukkan oleh setan ke dalam hati.
Dan yang kedua berjihad untuk menolak syahwat (kesenang-senangan nafsu) yang
dihembuskan olehnya. Yang pertama dapat ditolak dengan senjata keyakinan
sedangkan yang kedua dengan senjata kesabaran.
3. Jihad melawan orang-orang kafir (jihad al-kuffar) dan munafik (jihad al-
munafiqin)
Pada tingkatan ini masih dibagi lagi menjadi empat jenis yaitu berjihad
dengan hati, dengan lidah, dengan harta dan dengan jiwa. Berjihad dengan
menggunakan tangan dan jiwa lebih spesifik dipakai untuk melawan orang-orang
kafir, sedangkan jihad dengan lidah lebih spesifik dipakai dalam jihad melawan
kaum munafik.
4. Jihad melawan orang-orang yang berbuat zalim, kemungkaran dan bid’ah.11
Pada tingkatan yang terakhir ini terdiri dari tiga tingkatan. Pertama,
dengan tangan jika ia sanggup. Namun jika tidak sanggup maka beralih dengan
menggunakan lisannya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya.
Dari ketiga belas rangkaian yang diklasifikasikan kedalam empat tingkatan
itu, Ibnu Qayyim menambahkan tentang kewajiban mengenai hukum pelaksanaan
perintah jihad adalah fardhu'ain, baik dilakukan dengan hati, lisan, harta atau
11
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Mukhtashar Zaadul Maad, terj. Marsuni as-Sasaky, Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2008, h. 152-153.
30. 19
tangan. setiap muslim harus melakukan salah satu jenis jihad tersebut.12 Hal ini
dikuatkan dengan hadits Rasulullah Saw :
.(و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ . )رواه ﻣﺴﻠﻢ
"Dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah Saw bersabda:
"Barangsiapa meninggal sedang ia belum pernah ikut berperang
atau belum pernah meniatkan dirinya untuk berperang, maka ia mati
di atas cabang kemunafikan." Abdullah bin Mubarak berkata,
"Lantas kami diberi pendapat bahwa hal itu berlaku di masa
Rasulullah Saw." (HR. Muslim).13
Dari macam-macam bentuk jihad di atas, jihad dalam makna perang
mendapat sebuah prioritas pembahsan yang lebih mendalam dari para ulama’
fiqh. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa kata jihad memiliki makna yang lebih
luas daripada kata peperangan (al-qital), meskipun dalam tradisi fiqih kata jihad
berarti peperangan. Ditambahkan lagi, bahwa kata jihad bersifat lebih umum,
mencakup seorang mujahid yang berjihad terhadap hawa nafsu, terhadap setan,
amar ma'ruf nahi mungkar, mengatakan perkataan yang benar di hadapan
penguasa zalim dan yang lainya. Kata jihad ini juga mencakup perjuangan yang
berperang di jalan Allah.14
Jadi pengertian jihad secara terminologi sering diartikan dengan
mengorbankan jiwa dan harta dalam rangka membela agama Allah dan melawan
12
Ibid, h. 153.
13
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Jami’ al-Shahih, Riyad: Dar ‘Alim al-Kutub, 1996,
Juz 6, h. 49.
14
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut Al-Qur'an dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim, Bandung: Mizan, 2010, h. 5.
31. 20
musuh-musuh-Nya.15 Pendapat yang dikemukakan ini juga sebagaimana pendapat
yang dikemukakan oleh ulama fiqh klasik yang lebih mengartikan jihad sebagai
peperangan melawan non-Muslim yang secara eksplisit memusuhi Islam. Oleh
sebab itu, Penggunaan term jihad selalu terkait dengan al-qital, al-harb, al-ghazw
dan an-nafr. Ketentuan-ketentuan jihad dalam literatur fiqh merupakan
sistematisasi fiqh yang diambil dari solusi-solusi Rasulullah Saw yang pernah
terjadi dalam sejarah peperangan dalam Islam.16
Madzhab Syafi'i mengartikan jihad dengan memerangi orang kafir untuk
kejayaan Islam.17 Sedangkan Jihad menurut madzhab Hanafi adalah ajakan
kepada seseorang atau komunitas untuk menganut agama yang hak (Islam), bila
mereka tidak menerima atau merespon ajakan tersebut, maka harus diperangi
dengan harta dan jiwa.18 Adapun jihad menurut mazhab Malikiy ialah memerangi
orang kafir yang tidak terikat perjanjian demi meninggikan kalimatullah atau
menghadirkannya, atau menakklukkan negeri demi memenangkan agama-Nya.
Sedangkan dalam mazhab Hanbali, al-jihad adalah memerangi kaum kafir atau
menegakkan kalimat Allah swt.19
Murtadha Muthahhari juga memasukan pembahasan jihad dalam
persoalan peperangan Islam. Hal ini dikarenakan jihad merupakan bagian dari
Islam yang mencakup sebuah agama masyarakat dan umat serta tanggung jawab
masyarakat. Menurutnya jihad dibagi menjadi dua macam, yaitu ibtida’i (dimulai
15
Abdullah Azzam, Tarbiyah Jihadiyah Juz II, Terj, Solo : Pustaka al-‘Alaq, 1993 h. 54.
16
Rohimin, op.cit, h. 7
17
Muhammad Syarbini, Al-Iqnak, Beirut : Dar al-Fikr, 1425. Juz II, h. 556.
18
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘adillatuhu, Juz VI, Beirut : Dar al-Fikr, 1989,
h. 413.
19
Abdullah Azzam, Perang Jihad di Jaman Modern, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, h.
12.
32. 21
oleh orang Muslim) dan difa’i (bertahan). Dijelaskannya bahwa jihad ibtida’i
hanya dapat dilakukan di bawah kepemimpinan Nabi saw atau imam, jihad ini
wajib hanya atas laki-laki. Sedangkan jihad difa’i, wajib atas laki-laki dan
perempuan bila keadaan mengendakinya.20
Berkaitan dengan pelaksanaan jihad dalam artian perang. Rohimin
mengutip pendapat yang dikemukakan oleh al-Maududi yang mengatakan ;
Jihad dibagi menjadi dua macam yaitu defensif dan korektif
(pembaharuan). Jihad yang pertama adalah perang yang dilakukan
untuk melindungi Islam dan para pemeluknya dari musuh-musuh
luar atau kekuatan-kekuatan perusak asing di dalam dar al-Islam.
Sedangkan jihad bentuk kedua perang yang dilancarkan terhadap
mereka yang berkuasa secara tiranik atas kaum Muslim yang hidup
di negara mereka sendiri. Dalam hal ini al-Maududi mengutuk
penggunaan jihad untuk memaksa orang-orang kafir untuk masuk
Islam. al-Maududi juga mengungkapkan jihad jenis lain, yakni jihad
rohaniah, jihad untuk pribadi dan penagakan keadilan.21
Hukum pelaksanaan jihad secara umum telah disampaikan oleh Ibnu
Qayyim adalah fardhu'ain dengan dasar hukum dari hadits Nabi Saw. Akan
tetapi, terkait perintah jihad dalam arti mengangkat senjata untuk melakukan
peperangan mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa hukum jihad adalah fardhu
kifayah,22 meskipun ada sebagian dari mereka berpendapat fardhu'ain.23
Sedangkan mengenai kapan jihad di anggap fardhu’ain dan kapan dianggap
fardhu kifayah ulama’ berbeda pendapat. Mereka yang berpendapat bahwa jihad
bersenjata adalah fardhu‘ain memilih alasan dalam kondisi ketika umat Islam
yang negaranya diserang, dan tak mampu lagi untuk mengusir musuh mereka
20
Murtadha Muthahari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, h. 72.
21
Rohimin, Op.cit, h. 9
22
Makna fardhu kifayah adalah jika tidak dilakukan oleh seorang pun, seluruh manusia
akan berdosa. Akan tetapi, jika ada yang melakukannya, kewajiban seluruh manusia lainnya
terhadap hal tersebut menjadi gugur.
23
Yusuf Qardhawi, Op.cit, h. 22.
33. 22
sendiri, maka tanggung jawab dialihkan kepada komunitas Muslim terdekat, dan
begitu seterusnya.24
Jihad tidak harus berarti dengan Perang. Akan tetapi adakalanya jihad
dilakukan dengan bentuk perang. Dalam kondisi perang Islam memiliki
ketentuan-ketentuan dan aturan. Oleh karena itu, dalam ayat pertama tentang
perang diterangkan mengenai batasan umum peperangan dalam Islam pada surat
al-Baqarah ayat 190-191.
“Perangilah olehmu pada jalan Allah akan orang-orang yang
memerangi kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orang yang melampaui
batas. Bunuhlah mereka itu dimana kamu peroleh dan usirlah
mereka itu sebagaimana mereka mengusir kamu. Fitnah itu lebih
berbahaya dari pada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi
mereka disisi Masjidil Haram, kecuali jika kamu di peranginya
disana. Jika mereka memerangi kamu, maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan untuk orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah :
190-191).25
Pengertian, bentuk, objek, fungsi dan tawaran jihad yang dikemukakan
berbeda-beda. Dalam kenyataan ini maka jihad dalam perkembangannya dari
waktu ke waktu mengalami pergeseran dan penekanan yang bervariasi. Sehingga
24
Abdullah Azzam, Op.Cit, h. 54.
25
Departemen Agama, Op.cit, h. 207-208.
34. 23
dari pemaparan yang tersebut di atas, baik menurut pengertian secara bahasa, al-
Quran, hadits, pendapat ulama dan cendekiawan muslim dapat disimpulkan
bahwa pengertian jihad pada dasarnya adalah pengerahan maksimal seluruh daya
upaya seseorang secara sungguh-sungguh untuk menghancurkan dan mencegah
timbulnya segala bentuk kesesasatan, kemungkaran ataupun kezaliman yang
dibuat oleh musuh yang berwujud manusia-manusia ingkar, setan yang
menyesatkan, maupun hawa nafsu.
Pelaksanaan jihad boleh jadi berbentuk penahanan hawa nafsu untuk tidak
berbuat melakukan maksiat, amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kepada kemaksiatan), mengeluarkan harta benda,
memberikan fasilitas kepada mujahidin (orang yang berjihad) hingga kepada
peperangan menggunakan persenjataan jika hal ini merupakan alternatif terbaik
untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan Islam, yaitu tegaknya keadilan,
kedamaian, dan kemakmuran bagi umat manusia. Hal ini tentu saja jika dalam
pelaksanaan benar-benar diperlukan peperangan bersenjata sebagai jalan terbaik
dan tidak ada alsan lain untuk menolak jalan ini, yang memang diperintahkan
pelaksanaannya jika sudah terpenuhinya syaratnya. Sehingga metamorforsis
perkembangan jihad masuk kedalam ranah perang (qital).
Jihad dalam domain perang (qital) mulai diperbolehkan dan di izinkan
bagi kaum Muslim yang sebelumnya sempat dilarang pada periode Makkah,
sebagaimana pada surat al-Baqarah ayat 190-191 tersebut di atas. Ayat tersebut
memerintahkan dan mendorong orang-orang mukmin untuk melaksanakan qital,
mengingatkan mereka tentang motif dan justifikasi yang mendorong untuk
35. 24
memerangi orang-orang musyrik, serta meletakkan norma-norma syariat dan
moral dalam menjalaninya.
Dengan inilah teks al-Quran mengontrol qital (perang) dengan norma-
norma syariat dan moral dengan melakukan aktivitas yang diperbolehkan dan
yang dilarang dalam berperang adalah sebagai berikut seperti, membolehkan
kaum muslimin untuk melakukan tipu muslihat dalam peperangan. Di samping
itu Islam juga memperbolehkan menggunakan senjata penghancur jika musuh
menggunakan senjata yang sama.26
Islam juga mengatur terhadap pembelaan hak-hak manusia yang tidak
boleh di perangi. Dalam hal ini adanya keterkaitan antara wilayah Islam (dar al-
Islam) dan wilayah musuh (dar al-Harb). Kapan sebuah negara dianggap sebagai
wilayah Islam dan wilayah musuh, Para ahli fiqh berbeda pendapat dalam
mendifinisikan wilayah Islam dan wilayah musuh atau disebut juga dengan
wilayah perang.
Yusuf Qardhawi dalam menerangkan tentang wilayah Islam dan wilayah
musuh mengemukakan pendapatnya terhadap wilayah Islam (dar al-Islam) harus
memenuhi kriteria-kriteria berikut :
1. Kekuasaan berada di tangan kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya
bukan Muslim. Bahkan, kalaupun tidak ada kaum Muslim di sana, tetapi
pemerintah tetap dipegang oleh kalangan Muslim.
2. Berlakunya hukum dan syiar Islam, meskipun tidak dalam bentuk hukum
formal, seperti hukum keluarga dan hukum personal (ahwal al-syakhshiyyah)
dan adanya simbol-simbol Islam, seperti bangunan masjid, penyelenggaraan
shalat jumat, shalat berjamaah dan shaum pada bulan Ramadhan. Ini
merupakan kriteria yang paling penting dan nyata. Bahka Imam Abu Yusuf
berkata “Suatu wilayah bisa disebut wilayah Islam dengan berlakunya hukum-
26
Yuana Ryan Tresna, Muhammad Saw on The Art of War Manajemen Strategi
Peperangan Rasulullah Saw, Bandung : Progressio, 2007, h, 32-34.
36. 25
hukum Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah kaum kafir.
Sebaliknya, suatu wilayah bisa disebut wilayah kafir bila hukum kafir yang
berlaku di sana, walaupun mayoritas penduduknya adalah kaum Muslim. Ini
pula yang ditegaskan oleh al-Kasyani dalam bukunya al-Bada’i.
3. Kaum Muslim terlindungi dengan memberlakukan hukum Islam, sementara
ahli dzimmah (non-Muslim) menurut hukum mereka.27
Adapun wilayah perang adalah yang pemerintahnya dikuasai kaum kafir.
Ketika hukum-hukum Islam tidak berlaku, simbol-simbolnya tidak ditegakkan,
dan penduduknya tidak dapat menjamin keamanan kaum Muslim lainnya.28 Oleh
karena itulah jihad peperangan tidak berlaku ketika masing-masing wilayah
menghormati wilayah masing-masing. Dan jihad diberlakukan ketika terjadi
pelanggaran wilayah oleh pihak lain.
Jihad sebagai peperangan (qital) senantiasa menimbulkan kontroversi, dan
anggapan ketidak relevanan di zaman sekarang. Akan tetapi yang perlu dipahami
adalah hukum keduanya berlainan dari sudut pandang realisasi dan perincian,
serta cakupan jihad lebih luas daripada perang (qital) dan tingkatan jihad yang
lain. Oleh karena itu, seorang Muslim wajib menjadi mujahid (orang yang
berjihad), dan tidak setiap Muslim mesti menjadi muqatil (orang yang melakukan
perang). Jikalau jihad sudah dalam formulasi pemaknaan perang (qital) maka
peperangan tersebut harus berdasarkan sebab-sebabnya, memperhatikan norma-
norma syari’at dan moral kemanusiaan dengan mempelajari kebolehan dan
larangan perang yang di ajarkan Rasulullah Saw. Control inilah yang menjadi
pembeda peperangan sesuai dengan perintah Allah Swt dengan peperangan yang
dilakukan dasar hanya berkilah untuk melakukan perang.
27
Yusuf Qardhawi, Op.Cit. h.733.
28
Ibid, h. 734
37. 26
B. Bunuh Diri Dalam Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Bunuh Diri
Bunuh diri (bahasa Inggris: suicide; dalam budaya Jepang dikenal
istilah harakiri) adalah tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif
orang lain.29 Secara istilah bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan
bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan berhasrat
dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri
meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan
mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.30
Dalam Islam istilah bunuh diri ( )ﻗﺘﻞ اﻟﻨﻔﺲsering disebut dengan اﻧﺘﺤﺮ
(intihar) yang berasal dari kata ( ﻧﺤﺮnahara) yang berarti menyembelihnya.31
Imam al-Qurtubi mengartikan bunuh diri sebagai pembunuhan diri sendiri
dengan sengaja karena gagal mencapai ambisi yang bersifat keduniaan atau
keinginan akan kekayaan atau membunuh diri sendiri karena akan kekayaan
atau membunuh diri sendiri karena perasaan marah atau putus asa.32
Bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri
dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah. Agar sebuah
kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi33 untuk
mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan,
29
Wikipedia, Bunuh diri, di akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bunuh_diri pada 3
April 2012 jam 11.00 WIB.
30
Michael Clinton, Mental Health and Nursing Practice, Australia: Prentice Hall, 1996, h.
262.
31
Ahmad Warson Munawir, Op.cit, h. 1384.
32
Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’li ahkam al-qur’an, jild. 5, h. 157.
33
Kamus Lengkap Psikologi karya J.P. Chaplin (2004) mendefinisikan intensi (intention)
sebagai [1] satu perjuangan guna mencapai satu tujuan; [2] ciri-ciri yang dapat dibedakan dari
proses-proses psikologis, yang mencakup referensi atau kaitannya dengan satu objek. Chaplin,
J.P., Kamus Lengkap Psikologi, cet. ke-9, terj Dr. Kartini Kartono, Jakarta: Rajawali Pers. 2004
38. 27
karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului, misalnya untuk
mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri sesuatu yang
dipersepsikan sebagai penderitaan, atau untuk mengakhiri hidup.
2. Alasan Bunuh Diri
Sosiolog Emile Durkheim memandang perilaku bunuh diri sebagai
hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan
apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya.
Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim membagi bunuh diri menjadi 4 tipe
yaitu:
a. Egoistic Suicide
Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan
masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolvement dan
underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan
perilaku bunuh diri.
b. Altruistic Suicide
Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration.
Pada situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu
dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang
dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi
dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya
dari luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi
kelompok dapat dipandang sebagai suatu tugas.
39. 28
c. Anomic Suicide
Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur
anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya
hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal
membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie
(tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk
dalam situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat
ditolerir cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak
mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.
d. Fatalistic Suicide
Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana
individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya
ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.34
Tipe bunuh diri yang dihasilkan dari prilaku yang mengarah kepada
tindakan bunuh diri melahirkan metode-metode seseorang dalam melakukan
bunuh diri. Terhadap metode seseorang melakukan tindakan bunuh diri
kemudian memiliki beberapa istilah yang berbeda sesuai dengan alasan
seseorang dalam melakukan bunuh diri diantaranya adalah :
1. Euthanasia adalah adalah tindakan pencabutan kehidupan manusia dengan
melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan rasa sakit yang minimal.
34
Charles A. Corr , Clyde M. Nabe, Donna M. Corr, Death and Dying, Life and Living,
Fourth Edition, USA: Wadsworth Inc, 2003. h. 365
40. 29
2. Murder–suicide adalah tindakan di mana individu membunuh satu atau
lebih orang lain, sebelum atau pada waktu yang besamaan kemdian
membunuh dirinya sendiri.
3. Suicide attack atau serangan bunuh diri adalah suatu serangan yang
dilakukan oleh penyerangnya dengan maksud untuk membunuh orang
(atau orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam proses
serangannya.
4. Mass suicide atau bunuh diri masal adalah usaha untuk mengakhiri hidup
secara yang dilakukan secara bersama-sama.
5. Suicide pact adalah bunuh diri dari yang dilakukan oleh dua atau lebih
individu dengan telah direncanakan dan telah disepakati sebelumnya. Ini
dilakukan di tempat yang berbeda dengan adanya kesepakatan
sebelumnya.
6. Defiance or protest adalah bunuh diri yang dilakukan sebagai tindakan
pembangkangan atau protes politik. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
protes terhadap pemerintah.
7. Dutiful suicide adalah tindakan bunuh diri yang dilakukan karena tindak
kekerasan fatal di tangan diri sendiri dilakukan dengan keyakinan bahwa
itu akan menimbulkan kebaikan yang lebih besar, daripada melarikan diri
kondisi yang keras. Hal ini dilakukan untuk meringankan beberapa aib
atau hukuman, atau ancaman kematian atau balas dendam pada keluarga
atau reputasi seseorang.
41. 30
8. Escape adalah bunuh diri yang dilakukan untuk meringankan situasi untuk
hidup yang tak mampu untuk dijalaninya, beberapa orang menggunakan
bunuh diri sebagai sarana untuk melarikan diri dari penderitaan.35
Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri. Fungsi
pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati.
Sedangkan pada fungsi yang kedua, bahwa metode bunuh diri memiliki makna
khusus atau simbolisasi dari individu.36
Tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri menurut Husain
Jauhar bahwa tindakan bunuh diri bukanlah keberanian, karena seorang tidak
akan mati oleh satu faktor, baik itu dekat maupun jauh. Apa yang dilakukan
dari tindakan bunuh diri merupakan suatu ketakutan, sifat lemah dan hina.37
Dari prilaku untuk melakukan bunuh diri hingga tindakan bunuh diri
memerlukan suatu cara/metode seseorang dalam melakukan aksi bunuh
dirinya. Dari rangkaian inilah sebuah kesadaran di bangun dari faktor kognitif
(berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris), afektif (mempengaruhi
keadaan perasaan dan emosi) dan psikomotorik (berkaitan dng proses mental
dan psikologi) yang kemudian menjadi penggerak seseorang untuk jadi atau
tidaknya melakukan tindakan bunuh diri. Faktor kesadaran mendasari
seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri, hal ini di dukung oleh
kebulatan tekat dari keputusan yang diambil untuk melakukan bunuh diri.
35
Wikipedia, Suicide, diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide#Classification,
tanggal 24 November 2011 jam 19.30 wib.
36
Ronald W. Maris , Alan L. Berman , Morton M. Silverman, Comprehensive Textbook
Of Suicidology. Belmont: Guilford Press. 2000, h. 33
37
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Jakarta : Grafika Offfset, 2009, h.
30-31.
42. 31
3. Hukum Bunuh Diri
Dalam KUHP pada kasus bunuh diri hanya menjerat seseorang yang
mendorong, menolong dan memberikan saran untuk melakukan bunuh diri dan
“jika jadi bunuh diri”. Artinya jika benar-benar apa yang dilaksanakan atau
diperbuat orang yang ditolong diberi sarana itu menimbulkan akibat kematian
orang itu. Hal ini diatur dalam pasal 345 KUHP.
Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi saran kepadanya untuk itu
dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu
jadi bunuh diri.38
Dari rumusan itu dapat dirinci mengenai unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur-unsur obyektif terdiri dari :
1) Perbuatan : (a) Mendorong
(b) Menolong
(c) Memberikan Sarana
2) pada orang untuk bunuh diri
3) orang tersebut jadi bunuh diri
b. unsur subyektif : dengan sengaja
Berdasarkan pada unsur perbuatan, kejahatan pasal 345 ini ada 3
bentuk yakni ;
a. Bentuk pertama, melarang orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan mendorong orang lain untuk bunuh diri.
38
KUHP dan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 117.
43. 32
b. Bentuk kedua, melarang orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan menolong orang lain dalam melakukan bunuh diri.
c. Bentuk ketiga, melarang orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan memberikan sarana pada orang yang diketahui akan bunuh
diri.39
Selanjutnya yaitu perbuat itu dapat dipidana apabila terdapat unsur
“jika jadi bunuh diri”, artinya jika benar-benar apa yang dilaksanakan atau
diperbuat orang yang ditolong dan diberi sarana itu menimbulkan akibat
kematian orang itu. Jadi, unsur “jika jadi bunuh diri” merupakan unsur syarat
tambahan untuk dijatuhkan pidana ini, memerlukan 2 syarat mutlak yakni ;
a. Adanya wujud perbuatan yang merupakan perbuatan pelaksanaan dari
bunuh diri;
b. Dari wujud perbuatan itu menimbulkan akibat matinya orang itu.
Jadi bila hanya terpenuhi unsur pertama saja, matinya tidak. maka
terhadap orang yang memberi sarana tidak dipidana. Jadi bunuh diri
ditentukan dari kematianya bukan dari perbuatannya. Jadi jelas, dari hukum
pidana Indonesia bunuh diri dan unsur yang terkait didalamnya dapat
dimasukan ke dalam suatu tindakan Pidana dan di ancam dengan hukuman
sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.
Islam melarang bunuh diri dan pembunuhan.40 Dalam Islam,
pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar diibaratkan
seperti membunuh seluruh manusia. Bunuh diri merupakan tindakan
perusakan diri sendiri sehingga mengarah kepada kematian.
39
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001, h. 106-111.
40
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani, 2003 h. 71
44. 33
Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis
dalam menghadapi setiap musibah. Oleh karena itu Islam tidak membenarkan
dalam situasi apapun untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang
dipaksakan, hal ini sesuai dengan pokok-pokok ajaran Islam yang melindungi
kepentingan manusia melalui lima prinsip (al-dharuriyat al-khamsah) yakni,
Hifzh al-din atau menjamin kebebasan beragama, Hifzh al-nafs atau
memelihara kelangsungan hidup, Hifzh al-‘aql atau mejamin kreatifitas
berfikir, hifzh al-nasl atau menjamin keturunan dan keormatan, hifzh al-mal
kebebasan memiliki harta.41 Larang bunuh diri dari al-Quran dan habits antara
lain :
...
“...dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat
demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak
akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (an-Nisa’ : 29-30).42
Dalam hadits yang melarang melakukan bunuh diri diantaranya ;
ْ ﻗَﺎل َ ﻣ َﻦ
َ ﻨَﺎ ﺟ ُ ﻨْﺪ َب ٌ ر َ ﺿ ِ ﻲ
41
Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cet 1, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010, h. 76.
42
Departemen Agama, Op.cit, h. 75-76.
45. 34
(. )رواه اﻟﺒﺨﺎري
Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak ra. dari Nabi Saw bersabda:
"Barangsiapa yang bersumpah setia dengan agama selain Islam
secara dusta dan sengaja, maka dia seperti apa yang dikatakannya,
dan barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan besi, maka dia
akan disiksa di dalam nereka Jahanam". Dan berkata, Hajjaj bin
Minhal dari Al Hasan telah menceritakan kepada kami Jundab ra. :
"Didalam masjid ini tidak akan kami lupakan dan kami tidak takut
bahwa Jundab akan berdusta atas nama Nabi Saw, dia berkata,:
"Pernah ada seorang yang terluka lalu dia bunuh diri maka Allah
Swt berfirman: "HambaKu mendahului aku dalam hal nyawanya
sehingga aku haramkan baginya surga". (H.R Bukhari).43
Nash-nash di atas menunjukan betapa murka Allah dan Rasul-Nya
kepada orang yang melakukan bunuh diri dengan tujuan untuk membaskan
jiwanya dari kehidupan ini, memisahkannya dengan harta dunia dan menjauhi
segala sesuatu yang menyakitinya.
Pada surat an-Nisa’ diatas disebutkan, ‘janganlah kamu membunuh
dirimu’ maksudnya untuk memberi isyarat bahwa membunuh orang lain sama
dengan membunuh diri sendiri,. Bahkan di pandang membunuh seluruh
umat.44 Apabila membunuh orang lain berdosa, maka membunuh diri sendiri
lebih besar dosanya dan itu merupakan perbuatan yang sangat sadis (keji).
Perbuatan itu tidak layak dan tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang
beriman. Ini sebabnya al-Quran melarang orang bunuh diri.
Imam al-Qurtubi mengatakan bahwa para ulama telah ijma’ mengenai
pelarangan membunuh. Dia lalu menambahkan bahwa pelarangan termasuk
43
Abu Abdillah Muhammad ibn Islam’il al-Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih, juz 2, Beirut:
Dar Tauq an-Najah, 1312 H, h. 96
44
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’annul Majid An-Nur, Jilid I,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, h. 836.
46. 35
juga tindakan membunuh diri sendiri karena tujuan keduaniaan dan kerakusan
untuk mendapat kekayaan. Begitu juga mengambil resiko yang mengarah
kepada pengahancuran diri sendiri.45 Hal ini disebabkan karena membunuh
berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan mencabut ruh manusia. Padahal
Allah sajalah sang pemberi kehidupan dan Dia sajalah yang mematikannya.
Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam bukunya al hayat wal maut
mengatakan orang yang bunuh dirinya sendiri divonis akan kekal dan
dikekalkan di neraka. Hal ini disebabkan karena Allah-lah yang
menciptakannya dan ruh serta hidup manusia adalah milik Allah. Jika
melakukan bunuh diri, berarti dia menghancurkan atau merusak sesuatu yang
bukan miliknya. Dan orang yang membunuh satu jiwa dengan tidak sengaja
diharuskan membayar diyat (denda). Adapun orang yang bunuh diri dengan
sengaja, maka dia berhak mendapatkan balasan (siksa).46 Jadi, hukuman bunuh
diri bagi pelakunya merupakan sebuah kewenangan Allah yang diberikan di
akhirat. Hal ini dikarenakan orang yang melakukan bunuh diri telah menyalahi
fitrah yang diciptakan Allah kepadanya. Hukum dunia sudah tidak berlaku lagi
bagi orang yang bunuh diri dengan meninggalnya pelaku.
Bunuh diri dan unsur yang terkait di dalamnya dapat dimasukkan ke
dalam suatu tindakan pidana dan di ancam dengan hukuman sesuai dengan
ketentuan. Ketentuan hukuman bunuh diri dari hukum pidana Islam dan juga
hukum pidana Indonesia sama-sama tidak dikenakan bagi pelaku bunuh diri
45
Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, Al Jami’li Ahkam Al Quran Jild. 5. Kairo: Dar Al-
Kitab, 1967, h. 157.
46
Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Al Hayat Wal Maut, Kairo: Mu'assasah Akhbar,
1977, h.79
47. 36
yang meninggal dalam tindakannya tersebut. Hal ini karena, gugurnya
hukuman yang disebabkan meninggalnya pelaku.
Akan tetapi jika bunuh diri yang di lakukan itu dipengaruhi unsur
terkait dari alasan dia melakukan bunuh diri. Maka, dalam hukum pidana
Indonesia unsur terkait ini bisa dijatuhi hukuman disebabkan oleh dengan
tindakan bunuh dirinya. Akan tetapi dalam Islam unsur terkait dari tindakan
bunuh diri tidak bisa dijatuhi hukuman, karena bunuh diri tersebut atas dasar
kesadaran dan kehendaknya sendiri.
C. Bunuh diri sebagai bentuk jihad
Bunuh diri sebagai bentuk jihad disini di pahami sebagai suatu tindakan
yang dilakukan sebagai bentuk dari pembelaan untuk agama guna melakukan
perlawanan terhadap musuh Islam. Perlawanan yang membutuhkan pengorbanan
baik jiwa dan raga. Oleh sebab itulah, perjuangan atas nama Islam yang
terformulasi menjadi Jihad menumbuhkan semangat pengorbanan diri tersebut.
Pengorbanan diri yang dilakukan dalam bentuk perlawanan yang
mengakibatkan kemungkinan kematian yang tinggi. Seperti, menyerang musuh
sendirian di markas musuh, melakuakn peledakan / aksi bom bunuh diri dan juga
contoh-contoh yang semakna dengan peluang kematian sangat tinggi dalam
tindakanya tindakannya tersebut. Intinya dimana ketika membela agama, tindakan
mempertahankan kehormatan bangsa dan Negara menuntut pengorbanan diri.
Dalam kondisi seperti ini berarti ketika menjaga/membela agama (Hifzh al-din)
mengalahkan menjaga/melindungi jiwa (hifdu nafs). Mengambil istilah yang
48. 37
digunakan oleh Emile Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri diatas
disebut sebagai Altruistic Suicide.
Dalam literatur Islam keinginan kuat untuk mati dalam jihad diistilahkan
dengan istisyhâd. Kata Istisyhâd merupakan perubahan dari kata istasyhada
( ) - yastasyhidu ( ) - istisyhâd ( ), yang berarti thalab al-syahâdah
( ) atau mencari kesyahidan. Sedangkan orang yang meninggal dalam
mencari kesyahidan di jalan Allah disebut dengan syahîd (jamak syuhadâ’).47
Praktik istisyhâd yang memiliki kesamaan dengan intihar dilihat dari
adanya intense untuk mati. Akan tetapi, intensi bukanlah hal yang mudah
ditentukan. Intense mati dari istisyhad adalah untuk melakukan perlawanan
kepada musuh dan di dorong oleh rasa pengorbanan. Sedangkan intense mati dari
intihar adalah karena keterputusasaan dan untuk mengakhiri persoalan hidup.
Untuk menghindari kesalahpahaman karena kedua istilah tersebut kadangkala
digunakan secara bersama sehingga member kesan kalau keduanya adalah
sinonim.
Yusuf Qardhawi menyebutkan perbedaan praktik Istisyhad dan intihar.
Antara lain :
a. Orang yang bunuh diri adalah akibat kegagalan dirinya dalam transaksi, cinta,
ujian atau hal-hal lainnya. Ia tidak berdaya dalam menghadapi kenyataan, lalu
memutuskan untuk lari dari kehidupan dengan menjemput kematian.
Sementara Istisyhad, sama sekali tidak memandang kepentingan dirinya
sendiri. Orang yang melakukan praktik syahid rela mengorbankan dirinya
untuk kepentingan yang besar. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, ia
47
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Ehia al-Tourath, Juz IV, 1999, h. 2348-2350.
49. 38
memandang remeh segala pengorbanan. Ia menjual dirinya kepada Allah
untuk membeli surga.
b. Jika orang yang bunuh diri mati karena menghindar dan mundur karena takut,
orang yang melakukan praktik syahid meninggal karena berani maju dan
menyerang.
c. Jika orang yang bunuh diri tidak memiliki tujuan selain lari dari pertarungan,
sebaliknya orang yang melakukan praktik syahid memiliki tujuan yang jelas,
yaitu meraih ridho Allah Swt. 48 Sebagaimana firman Allah Swt :
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun
kepada hamba-hamba-Nya.(Q.S al-Baqarah: 207).49
Pandangan ulama tentang menyerang musuh tanpa ada harapan untuk
kembali hidup dimasukkan ke dalam tiga konsep untuk dipertimbangkan :
1. At-Tahlukah (melemparkan diri sendiri ke dalam kehancuran)
Ibn Al-Arabi mengartikan al-Tahlukan antara lain :
a. Menolak berbuat karena Allah
b. Melaksanakan jihad tanpa ketentuan
c. Melalaikan jihad
d. Menyerang musuh tanpa mempunyai alat yang diperlukan untuk
menyerang
e. Hilang harapan akan pengampunan Allah.50
48
Yusuf Qardhawi, Op.cit, h. 902.
49
Departemen Agama, Op.cit. h. 50
50
Al-Qurtubi, Op.cit, h. 364-365.
50. 39
Dalam rangka menyerang musuh tanpa menggunakan alat yang
diperlukan untuk menyerang al-Arabi mengatakan bahwa para ulama
berselisih pendapat mengenainya. Akan tetapi para ulama’ sepakat menentang
aksi menghancurkan diri sendiri karena tidak kuatnya menanggung beban
peperangan.
2. Al-Izzah (rasa mulia diri)
Al-Izz bin As-Salam berpendapat bahwa melarikan diri dari
peperangan adalah dosa besar. Tetapi bagaimanapun, hukumnya akan berubah
yaitu wajib baginya untuk melarikan diri kalau orang itu tahu bahwa sisa
peperangan akan mengakibatkan dia terbunuh tanpa mengalahkan musuh.
Kehilangan nyawa tanpa merugikan musuh atau member keuntungan bagi
Muslim hanya akan membawa kerugian bagi tentara Muslim dan hal seperti
itu tidak diperbolehkan.51
Namun beberapa ulama mengharuskan ‘operasi mati syahid’ walaupun
jika tidak mengakibatkan kerugian pada pihak musuh. Cukup saja jika ia dapat
memotivasi Muslim lainnya untuk menjadi berani dalam peperangan dan
dalam waktu yang sama menanamkan rasa takut ke dalam pikiran musuh.52
3. Al-Ithar (mengutamakan orang lain dan berkorban untuk mereka)
Islam menganjurkan Muslim untuk mengamalkan al-Ithar. Namun
aksi individu mengorbankan nyawanya sendiri untuk melindungi orang lain
menurut pandangan Asy-Syathibi masih tetap menjadi persoalan yang
diperselisihkan oleh para ulama’. ‘Operasi mati syahid’ dalam bentuk
51
Nawaf Hayil Takruri, Al Amaliyat AL Istisyhadiyah Fi Al-Mizan AL Fiqhi, Damaskus:
Dar Al-Fikr, , 2003, h. 72
52
Ibid, h. 73-74
51. 40
mengorbankan diri sendiri untuk menyelamatkan orang lain bisa diizinkan
atau tidak. Walaupun begitu dasar argument yang mengharuskannya, bisa
dilacak kembali kepada aksi para sahabat nabi, Abu Thalhah mengorbankan
diri sendiri untuk melindungi Nabi dari serangan musuh di Perang Uhud.
Namun argument tersebut masih tetap belum tersimpulkan apakah
boleh memandang operasi mati syahid dalam sudut pandang yang sama. Al
Ithar hanya diterima apabila keuntungan dari aksi tersebut lebih besar
daripada sebelum dilaksanakan aksi.53
Dari perbedaan itu, Yusuf Qardhawi menyebutkan tentang keabsahan
praktik bom bunuh diri (istishadiyyah) yang dilakukan di Palestina. Bahwa
praktik istishadiyyah yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan Palestina
untuk melawan penduduk Zionis, tidak termasuk dalam hal yang dilarang dengan
alasan apapun, walaupun yang menjadi korban adalah penduduk sipil. Kebolehan
dari praktik Istisyhad ini harus memperhatikan dua hal :
a. Membolehkan praktik istisyhadiyyah bagi saudara-saudara di Palestina karena
kondisi khusus mereka dalam membela diri, keluarga, anak-anak dan
kemuliaan mereka. Itulah yang memaksa mereka menggunakan cara tersebut,
karena tidak menemukan ganti perlawanannya. Kami tidak membolehkan
penggunaan praktik seperti ini di luar Palestina, karena ketiadaan kondisi
darurat yang memaksa atau membolehkannya. Menganalogikan kondisi yang
ada di negara lain dengan kondisi di Palestina adalah analogi yang tidak pada
tempatnya, yaitu qiyas ma’a al fariq. Hal ini tidak diterima oleh syari’at.
53
Ibid, h. 79.
52. 41
b. Jika sudah mendapatkan ganti perlawanannya mereka yaitu dengan
persenjataan, maka tidak lagi dibutuhkan praktik istishadiyyah. Hal ini sebagai
mana dalam kaidah ushul setiap keadaan ada ketentuannya tersendiri dan
setiap tingkatan ada ukurannya tersendiri.54
Istinbat hukum yang digunakan Yusuf Qardhawi dari kebolehannya
melakukan praktik istisyhadiyyah bahwa praktik tersebut harus melihat keadanya
dan kondisinya. Dari kondisi tersebut melahirkan suatu hukum yang mana hukum
ada dua jenis, yaitu hukum dalam kondisi normal dan hukum dalam kondisi
darurat. Dalam kondisi darurat, dibolehkan bagi seorang Muslim apa-apa yang
tidak dibolehkan dalam kondisi normal. Sehingga ketika dalam kondisi darurat
maka kaidah ushul yang menyatakan “keterpaksaan membolehkan larangan” yang
berarti istisyhadiyyah sebagai bentuk dari keterpaksaan untuk melakukan
perlawanan.55
Melihat berbagai sudut pandang yang diambil oleh para ulama’
kesimpulan dapat diambil seperti :
a. Menyerang musuh tanpa ada kesempatan mempertahankan diri ada dua tipe :
1) Apabila serangan tidak mengakibatkan kerugian apapun terhadap musuh,
mayoritas ulama melarangnya. Hanya al-Qurtubi yang berbeda pendapat
dan menggapnya diizinkan dalam kondisi bahwa aksinya dilaksakan untuk
mati syahid dan dengan niat yang tulus.
2) Apabila serangan mengakibatkan kerugian pada pihak musuh maka
seluruh ulama’ memperbolehkannya.
54
Yusuf Qardhawi, Op.cit, h. 904
55
Ibid, h. 998-900
53. 42
b. Melawan dan menyerang musuh tanpa ada kesempatan mempertahakan diri
sama saja dengan bunuh diri. Apapun yang dapat mengakibatkan kematian
dengan sengaja, bisa digolongkan sebagai bunuh diri. Apapun yang dapat
mengakibatkan dengan sengaja, bisa digolongkan sebagai bunuh diri. Secara
tidak langsung mengakibatkan kematian seseorang sama dengan membunuh
dalam pandangan para ulama dari Mazhab Maliki, As-Syafi’I dan Hambali.
54. BAB III
PANDANGAN IMAM SAMUDRA TENTANG JIHAD
A. Biografi Imam Samudra
Dalam buku “Imam Samudra: Aku Melawan Teroris”, 1 Abdul Aziz alias
Imam Samudra2 menulis bahwa dia dilahirkan di Kabupaten Serang, Kecamatan
Serang (sekarang Provinsi Banten), desa Lopang Gede, Kampung Lopang RT.
04/01, di jalan Sama'un Bakri 201, pada 14 Januari 1970/1971, Dia tidak yakin
tahun tepatnya dia dilahirkan.3
Ayahnya bernama Ahmad Syihabuddin bin Nakha'i, sedangkan ibunya
bernama Embay Badriyah binti Sam'un. Kedua orangtuanya memberikan nama
Abdul Aziz4 yang berarti hamba Allah yang Mulia, dijelaskan bahwa nama itu
sama dengan diberikan seperti nama Raja Saudi Arabia waktu itu, Abdul Aziz bin
Faishal. Dari garis ayah, kakeknya (M. Nakha'i) adalah seorang juragan besar
pada zamannya yang taat beribadah. Dari kakeknya inilah, ketika berumur 4 tahun
Imam Samudra dikenalkan untuk beribadah.5
Dari garis keturunan Ibunya dijelaskan oleh Imam Samudra bahwa masih
mempunyai garis keturunan seorang mujahid (Pahlawan Nasional) yaitu dari
kakeknya Ki (Kyai) Wasyid yang merupakan salah seorang tokoh perlawanan
1
Buku ini merupakan buku autobiografi dan pemikiran Imam Samudra tentang Islam dan
jihad. Diterbitkan oleh Jazera. Editor : Bambang Sukirno. Tataletak : Studio 619. Desain Cover :
Rahmat Rudianto. SIUP No. : 229/11.35/PK/VI/2004.
2
Buku ini ditulis langsung oleh Abdul Aziz atau lebih dikenal dengan Imam Samudra.
3
Abdul Aziz, Imam Samudra : Aku Melawan Teroris, Solo : Jazera, 2004, h. 22.
4
Menurut penulis Abdul Aziz dikenal dengan sebutan Imam Samudra, setelah ia pulang
dari perjalanan Afghanistan. Hal ini bisa disimpulkan setelah penulis membaca perjalanan Imam
Samudra sebelum dan sesudah ke Afghanistan.
5
Abdul Aziz, Op.cit, h. 22.
43
55. 44
masyarakat muslim Banten melawan penjajah Belanda. Peristiwa perlawanan itu
terjadi pada Senin, 9 Juli 1988 masyarakat Banten menyebutnya peristiwa itu
sebagai "Geger Cilegon".6
Pendidikan formal Imam Samudra adalah Sekolah Dasar Negeri (SDN) 9
Serang pada 1978. Diteruskan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 4
Serang dan diakhir dengan Sekolah di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Cikulur,
Serang lulus pada tahun 1990.7
Pada waktu SD Imam Samudra mewakili sekolah untuk mengikuti
pemilihan pelajar teladan mulai tingkat Kecamatan sampai Kabupaten. Dia
berhasil menjadi pemenang dengan meraih angka delapan (8) untuk studi
Matematika. Selain itu dalam lomba cerdas cermat P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila), dia dan timnya meraih juara I di tingkat Kecamatan. Dia
maju mewakili sekolahnya untuk lomba baca puisi dan meraih juara pertama di
tingkat Kecamatan, kemudian pada tingkat Kabupaten dia hanya meraih juara II.8
Pendidikan informal yang di ikuti oleh Imam Samudra sewaktu di bangku
sekolah dasar dengan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairiyah Serang yang
diikutinya setelah pulang (dimulai pukul 14.00 hingga 17.00).9 Setelah Maghrib
sampai Isya ia mengikuti pengajian al-Quran secara khusus, mulai dari turutan
(juz 'amma) yang menggunakan metode Baghdad sampai khatam al-Quran.
Selama enam tahun belajar al-Quran, belajar pada enam guru ngaji.10
6
Ibid. h. 23
7
Ibid. h. 24-38
8
Ibid., h. 26-27.
9
Ibid., h. 25.
10
Ibid., h. 22-31.
56. 45
Setelah lulus SD, Imam Samudra berkeinginan melanjutkan jenjang
pendidikanya ke SMPN 4 Serang dan MTs Insaniyah Serang. Menurutnya, SMP
Negeri untuk urusan dunia sedangkan Tsanawiyah urusan akherat. Akhirnya
diputuskan untuk masuk ke SMPN 4 Serang. Dikarenakan pada waktu itu SMPN
4 Serang kekurangan lokal, sehingga untuk murid kelas 1 harus menjalani
kegiatan belajar pada sore hari. Sehingga tidak dapat sekolah juga di MTs
Insaniyah Serang. Dalam bukunya dia berpikir berarti saat itu dia "siap di proses"
menjadi manusia sekuler, manusia Pancasilais yang wajib bertoleransi dengan
kebatilan dari penjuru manapun.11
Pada masa-masa di SMP Imam Samudra juga memperoleh sederet prestasi
dan penghargaan. Ia meraih juara I lomba pidato se-SMP 4 dengan naskah pidato
yang dituisnya sendiri yang merupakan memory recall dari pelajaran Tarikh Nabi
dan sejarah 25 Nabi dan Rasul.12 Tidak hanya itu, dia juga sering masuk rangking
3 besar pararel.13
Imam Samudra menceritakan pengalamanya mengenai keikutsertaannya
dalam Pesantren Ramadhan. Seusai EBAS (Evaluasi Belajar Akhir Semester) II
kelas 1 SMP. Sekolah libur selama dua pekan dan bertepatan dengan Bulan
Ramadhan. Dia mengikuti Pesantren Ramadhan yang diadakan oleh organisasi
Islam, Muhammadiyah dan PERSIS (Persatuan Islam).14 Dari situ, dia
mengungkapkan ;
11
Ibid., h. 30.
12
Ibid., h. 32.
13
Ibid., h. 37.
14
Ibid., h. 32. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman
Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H). Persatuan Islam (disingkat
Persis) didirikan pada 12 September 1923 di Bandung Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
57. 46
“Bagiku, Pekan Ramadhan saat itu benar-benar penuh
hidayah dan rahmat. Itulah starting point yang membuatku mengerti
betapa indahnya Islam, betapa hebatnya Islam, betapa sempurnanya
Islam. Di situ aku mengerti bahwa hanya Islamlah satu-satunya jalan
menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Padalah sebelumnya
aku hanya mengerti bahwa Islam sekedar ritual. Sejak saat itu aku
mulai mengerti apa arti hidup, apa arti ibadah, Aku mulai pahan dan
merasakan sebuah kekhusyukan. Aku mengerti bahwa masalaluku
adalah salah. Astaghfirullah!!!”.15
Dari pengalaman sepekan itu merubah sikap dan prilaku Imam Samudra.
Dinilai olehnya bahwa prilakunya yang lampau merupakan prilaku yang sesat,
sehingga kedepanya tidak boleh terulang kembali. Dia bahkan ingin pindah
sekolah dari SMPN 4 yang dinilai sekuler ke pesantren atau pidah ke sekolah
PERSIS (Persatuan Islam). Akan tetapi niatan itu diurungkan karena tidak ingin
membuat ibunya kecewa.16 Perubahan lainya di antaranya ketika disapa dengan
ucapan “selamat pagi” dijawab olehnya dengan “Assalamu’alaikum”. Dia juga
menolak jika diajak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Peci
selalu dikenakannya dimanapun berada layaknya wanita yang wajib mengenakan
jilbab. Dia juga mendakwahkan kepada teman-temannya mengenai wajibnya
pengenaan jilbab bagi siswi yang beragama Islam.17
Pengalaman di pesantren ramadhan membentuk kesadaran Imam Samudra
sebagai orang muda yang radikal dalam pengertian puritan. Pengalaman itu
terbentuk dari organisasi Islam yang diikutinya waktu itu yaitu Muhammadiyah
dan Persis. Dalam ajaran Muhammadiyah dan Persis yang memiliki prinsip yang
sama ar-ruju' ila al-Quran wa as-Sunnah (kembali langsung kepada sumber asli
al-Quran dan as-Sunnah) dan memanifestasikan dalam konteks kehidupan.
15
Ibid., h. 33.
16
Ibid., h. 34-47.
17
Ibid., h. 38.
58. 47
Dengan melakukan pemurnian akidah dari unsur syirik, bid’ah dan khurafat. 18
Oleh sebab itulah, kedepanya Imam Samudra memliki kecondongan terhadap
paham Islam yang diadopsi oleh Muhammadiyah dan Persis seperti di Arab Saudi
(Wahabi), Afganistan (Taliban) dan juga negara-negara lain yang menerapkan
konsep yang sama.
Imam Samudra sendiri sangat gemar membaca, sehingga di kamarnya
yang penuh dengan tempelan rumus matematika dan fisika, juga dipenuhi buku-
buku keagamaan, seperti buku hadits, bahasa Arab, fiqh, novel-novel Islam dan
utamanya buku tentang jihad dll. Selain gemar membaca, Imam Samudra juga
gemar menulis, dan beberapa tulisannya sempat dimuat di Majalah Panji
Masyarakat. Dari buku-buku yang dibaca, terdapat buku Ayatur Rahman fi Jihadi
Afghan karangan Dr. Abdullah Azzam.19 Dari buku tersebut membuat hatinya
terenyuh, sehingga timbul keinginan dan cita-cita untuk ikut berjihad mengangkat
senjata di Afghanistan. Namun karena usianya ketika itu baru 16 tahun,
keinginannya itu hanya sebatas angan-angan yang diekspresikannya melalui doa
agar Allah menggabungkannya dengan para mujahidin.20 Dalam buku Ayatur
Rahman fi Jihadi Afghan berisikan tentang kumpulan Sejarah karamah
perjuangan jihad sahabat Nabi Muhammad Saw, karamah-karamah perjuangan
18
Zuly Qodir, Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki
Abad Kedua, Yogyakarta : KANISIUS, 2010. h. 76.
19
Dr. Abdullah Yusuf Azzam (1941–1989), lahir pada tahun 1941 di desa As-ba'ah Al-
Hartiyeh, provinsi Jenin di sebelah barat Sungai Yordan. Di Universitas Al-Azhar ia memperoleh
Ph.D dalam bidang Ushul Fiqh pada tahun 1973. Pada tahun 1980 ia pindah ke Peshawar. Di sana
ia mendirikan Baitul Anshar, sebuah lembaga yang menghimpun bantuan untuk para mujahid
Afghan. Ia juga menerbitkan sebuah media Ummah Islam. Lewat majalah inilah ia menggedor
kesadaran ummat tentang jihad. Meninggal pada hari Jumat, 24 November 1989 akibat serangan
tiga buah bom yang sengaja dipasang di gang yang biasa di lewati Abdullah Azzam ketika ia
memarkir kendaraan untuk salat Jumat di peshawar, Pakistan.
20
Abdul Aziz, Op.cit., h. 41-43.
59. 48
dalam jihad di Bumi Afghan.. Serta ajakan terhadap kewajiban untuk
melaksanakan jihad.21 Dengan penggunaan retorika bahasa yang indah tidak heran
jika buku ini pada akhirnya dapat membangkitkan semangat dan minat jihad dari
Imam Samudra.
Setamat SMA ketika ia mulai memilah-milah untuk memasuki Perguruan
Tinggi, di Jakarta ia bertemu seseorang yang bernama Jabir ketika sedang
mendengarkan ceramah keagamaan di Masjid al-Furqan milik Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII). Jabir selanjutnya menginformasikan bahwa pada
tahun ini (1990) ada rekrutmen mujahid untuk diberangkatkan ke Afghanistan.
Imam Samudra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dan bergabunglah ia untuk
berjihad di Afganistan.22
Kesempatan untuk bergabung menjadi Mujahidin di Afganistan datang
ketika dia menghadiri pengajian di Masjid Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia,
yaitu masjid al-Furqan jalan Keramat Raya 45 Jakarta. Disitu dia bertemu dengan
seorang bernama Jabir (yang meninggal pada saat peristiwa pengeboman di
Antapani, Bandung) yang menawarkan kesempatan tersebut dengan biaya Rp.
300.000,00. Setelah berhasil mengumpulkan uang yang cukup dan mendapatkan
paspor, dia dan Jabir berangkat menuju Dumai. Kemudian mereka naik kapal feri
ke Malaka, Malaysia. Sehari setelahnya mereka ke Bandara Subang dan naik
pesawat Malaysian Airlines ke Karachi, Pakistan. Dari Karachi mereka
melanjutkan perjalanan ke Peshwar. Dua orang arab yang belum pernah mereka
kenal sebelumnya bergabung bersama mereka menuju perbatasan Pakistan-
21
Abdullah Azzam, Ayatur Rahman fi Jihadi Afghan, Jeddah : An-Nasyir al-Mujtami'
Cet. 5. 1405H/1985M, h. 25-27.
22
Abdul Aziz, Op.cit, h. 23-42.