1. Rancangan Perkuliahan
P1: Pengantar
P1: Definisi Kebudayaan: Etimologis dan Semantis
P2: Defnisi Kebudadayaan: Berdasarkan Fungsinya dan
menurut disiplin ilmu.
P2: Kerancuan defenisi kebudayaan
P3: Kebudayaan sebagai proses yang dinamis
P4: Peradaban.
P5: Transformasi kebudayaan dan perintah sejarah.
P6: Kemajemukan kebudayaan nusantara.
P7: Kebudayaan Indonesia.
P8: Budaya Damai di Papua
P9: Sistem makna.
P10: Transformasi Kebudayaan
P11: Peradaban Spiritualitas dunia.
P12: Proses Kebudayaan
3. Introduction
A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn
menyelidiki 160 definisi kata
‘kebudayaan’.
Beberapa definisi kebudayaan :
Definisi Etimologis
Definisi Semantis
Membedakan Kebudayaan dan
Peradaban
4. Beberapa contoh kata budaya :
cultuur (Belanda), Kultur (Jerman), culture (Inggris
& Perancis), cultura (Latin/Italia).
Budaya dapat dipilah menjadi kata
budi & daya, buah & budi, bu & daya.
Dari bahasa Sansekerta buddhaya merupakan
bentuk jamak dari buddhi (=akal, maksud,
pandangan). Ada kata lain yang mendekati
‘kebudayaan’ yaitu abhyudaya (=hasil baik,
kemajuan, kemakmuran yang serba lengkap).
Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara
para ahli dalam definisi etimologis ini.
Definisi Etimologis
5. Definisi Semantis
Bandingkan definisi etimologis tadi dengan kata-kata
berikut :
Paideia (=pendidikan, Latin) dipakai masyarakat
Yunani untuk menunjuk pada pendidikan, cita-cita
generasi tua yang diturunkan / diwariskan kepada
generasi muda.
Cultura (Latin) mencurahkan perhatian.
Sarvodaya (Sansekerta) keseluruhan hasil usaha
manusia untuk mencapai perkembangan integral dan
seimbang.
Parishad (Sansekerta) kesatuan jemaat yang
berbakti.
Hadarat (Arab) menekankan aspek pengolahan dan
penyempurnaan.
6. Malinowsky
civilization : aspek khusus dari
kebudayaan yang lebih ‘maju’.
J. Maritain
‘kebudayaan’ : penekanan lebih
pada aspek rasional dan moral.
‘peradaban’ : penekanan pada
aspek sosial, politik dan
institusional.
O. Spengler
‘kebudayaan’ : perwujudan dari
budi manusia.
‘peradaban’ : perbudakan dan
pembekuan budi.
Chudoba
‘kebudayaan’ : kegiatan kreatif
dan hidup dari nilai-nilai baru.
‘peradaban’ : gagasan-gagasan,
karya-karya, alat-alat, adat
kebiasaan dan pranata dalam
masa lampau yang tidak dapat
diubah
Menurut para tokoh :
7. Arti kata budaya sebagai istilah bisa ditelusuri dari
asal kata, pemakaiannya maupun fungsinya secara
objektif dan subjektif.
Uraian ini makin dipertajam oleh beda
disiplin-disiplin ilmu mengenai makna budaya
(sosiologi, sejarah, filsafat, antropologi, psikologi,
ilmu bangsa-bangsa).
Defnisi Kebudadayaan Berdasarkan Fungsinya
8. Kita dapat menganalisis kebudayaan menurut
aspek manusiawinya, yaitu : subjektif & objektif
1. Kebudayaan Subjektif menunjukkan
kekuatan-kekuatan kreatif dalam diri manusia
yang menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan
subjektif adalah realisasi diri manusia.
Ditunjukkan oleh W. Moock, wujud kebudayaan
dapat berupa kesempurnaan batin.
9. Sementara menurut Gillin, wujud
kebudayaan berupa ide, nilai, perasaan.
Kebudayaan subjektif juga terwujud
dalam kebenaran, kebajikan, keindahan,
kesehatan, perasaan, kecerdasan budi,
kecakapan berkomunikasi, nilai-nilai
kerohanian.
Dari kebudayaan subjektif yang tinggi
dapat diharapkan manusia yang berbudi
luhur dan berkeutamaan.
10. 2. Kebudayaan Objektif adalah hasil pengobjektifan atau
materialisasi dari kebudayaan subjektif. Kebudayaan objektif
dapat dinikmati, dipakai dan dipartisipasikan dengan orang
lain.
W. Moock : benda (sache)
Gillin : aspek-aspek yang berdaya guna, objek material dan
teknik.
Kebudayaan objektif tidak hanya tampil dalam hasil material,
tapi juga pranata, organisasi, tata negara.
11. Definisi kebudayaan menurut disiplin ilmu
Sosiologi menekankan kebudayaan sebagai
keseluruhan kecakapan (adat, akhlak,
kesenian, ilmu, dll) yang dimiliki manusia
sebagai subjek masyarakat.
Ilmu sejarah menekankan perkembangan
kebudayaan dan tradisi atau warisan dari
generasi ke generasi.
Filsafat menekankan aspek normatif, nilai-
nilai, realisasi cita-cita dan way of life.
12. Antropologi budaya menekankan aspek tingkah laku,
tata kelakuan manusia sebagai makhluk sosial.
Psikologi menekankan proses-proses penyesuaian,
belajar dan pembentukan kebiasaan-kebiasaan
manusia terhadap lingkungan alam dan lingkungan
sosialnya. Kebudayaan dipandang sebagai syarat-
syarat untuk survival. Psikoanalisa menekankan
peranan alam bawah sadar dalam pembentukan
kebudayaan. Freud, misalnya, berpendapat bahwa
kebudayaan tak lain dari sublimasi atau
deseksualisasi libido.
Ilmu bangsa-bangsa menyatakan kebudayaan
adalah bangunan atas ideologi yang mencerminkan
pertentangan kelas. Toynbee memahami
kebudayaan sebagai dialektika challenge and
13. Dari keseluruhan definisi itu,
sebenarnya mau menjelaskan
bahwa gejala hubungan timbal
balik manusia sebagai individu,
kolektif dalam ruang dan waktu
pada akhirnya menghasilkan
gejala kebudayaan –
merupakan ciri khas manusia.
14. Kerancuan defenisi kebudayaan.
Sebagai hasil karya, kebudayaan
dipahami dalam bingkai kata benda.
Sebagai proses menamai dan memberi
arti dinamis pada realitas hidup,
kebudayaan dipahami sebagai kata kerja.
15. Dahulu kebudayaan dipahami sebagai
kata benda, ketika kebudayaan
direduksi / dipersempit sebagai
kesenian.
Kebudayaan mempunyai konotasi
sebagai benda-benda hasil usaha
manusia dalam mengubah lingkungan
alamnya.
16. Kebudayaan dipahami sebagai buku-
buku, karya seni, gedung-gedung,
universitas, alat-alat upacara, koleksi
museum.
Ini semua menunjukkan kebudayaan
sebagai produk material, maka kata
kebudayaan dipahami sebagai kata
benda, sesuatu yang statis.
17. Dewasa ini kata kebudayaan lebih dilihat sebagai kata
kerja.
‘Kebudayaan’ lebih dipahami sebagai kegiatan
membuat alat-alat, kegiatan mendidik anak, menari,
berburu, mengelola tanah, bercinta, tata upacara, pola
tingkah laku, dst.
Kebudayaan dewasa ini dipahami sebagai kegiatan
produktif dan bukanlah produksinya. Maka, kata
‘kebudayaan’ bergeser menjadi kata ‘membudaya’.
Pergeseran ini menunjukkan pemahaman statis yang
telah berubah menjadi pemahaman dinamis tentang
konsep kebudayaan.
18. Kebudayaan sebagai proses yang dinamis.
Kebudayaan yang diproses kata kerja lewat aksi-
aksi budaya yang semakin mewujudkan
kesejahteraan sosial, ekonomis serta kepastian
hukum dan manusiawinya individu dan masyarakat
menjadi jejak-jejak peradaban.
19. Jadi, ‘kebudayaan’ bukan hanya
diperluas isinya, tetapi juga
didinamisasikan. Kebudayaan bukan
sesuatu yang beku dan jadi, melainkan
sesuatu yang senantiasa mengalami
proses perubahan. Perubahan-
perubahan besar dalam sejarah
pemikiran telah mempengaruhi
pergeseran arti. Beberapa peristiwa itu
adalah :
20. Revolusi Perancis, revolusi industri,
perkembangan ilmu dan teknologi modern
sejak masa pencerahan telah menimbulkan
‘kesadaran sejarah’. Kehidupan sosial-politik
semakin memungkinkan hidup yang lebih
manusiawi.
Di jaman Renaissance, rasionalitas dan
kebebasan manusia mendapat tekanan,
manusia menjadi titik tolak dan tujuan bagi
dirinya sendiri, maka manusia dapat
menentukan dirinya sendiri dan
lingkungannya.
21. Perubahan-perubahan di berbagai bidang
kehidupan mulai disadari dewasa ini karena
telah tercipta jalinan komunikasi mondial.
Bidang filsafat telah menemukan filsafat
eksistensialisme yang menekankan proses,
sehingga kebebasan dan proses menjadi
manusia menduduki tempat sentral.
Kerja kebudayaan dalam bahasa hukum adalah
mengusahakan dan mewujudkan keadilan.
Kerja kebudayaan dalam bahasa ekonomi
adalah kesejahteraan sosial dan mengatasi
jurang antara kaya-miskin, bodoh-terpelajar.
22. Dalam bahasa sosial adalah kerja-
kerja yang mengusahakan hidup
bersama yang saling menghormati
hak dan harkat dan saling
memperkaya multikutur yang
menuju multi-identitas keragaman
menuju keIndonesiaan yang
berkeadaban.
Bahasa kerja kultural berwujud
pendidikan pencerahan dan
transformasi agar kebiadaban
24. VERTIKAL
Hal yang dengan jelas membedakan manusia
dengan hewan adalah kebudayaan. Hewan
menghadapi tuntutan alam dengan naluri dan
insting, sedangkan manusia menghadapi
alam sebagai sesuatu yang lain dari dirinya.
Manusia harus menciptakan sistem pikiran,
alat-alat, tingkah laku untuk menjawab
tantangan alam. Naluri sudah diganti dengan
kebudayaan. Manusia mewujudkan
kemungkinan yang ada dalam alam menjadi
kenyataan yang sebelumnya ada dalam
pikirannya, mengolah alam dengan
25. Kebudayaan merupakan
perwujudan kehidupan setiap orang
dan setiap kelompok yang berupaya
mengolah dan mengubah alam
sehingga membedakannya dengan
hewan.
Kebudayaan merupakan hasil
kehendak bebas manusia sekaligus
merupakan gejala khas dari
manusia.
26. HORIZONTAL
Sistem pemikiran, tingkah laku, nilai-nilai
yang sudah ditemukan tersebut dibakukan
menjadi sebuah sistem untuk tata
kehidupan manusia dalam masyarakat.
Inilah peradaban, misalnya :
Revolusi Perancis dan revolusi industri
telah menimbulkan kesadaran sejarah
dalam diri manusia.
27. Renaissance, membuat manusia sadar akan
dimensi rasionalitas dan kebebasan dan
subjektivitas.
Teknologi dan globalisasi, manusia semakin
mampu membuat jarak dengan tradisinya
sendiri untuk bisa mengolah kembali.
Filsafat, manusia telah belajar tentang nilai-
nilai luhur manusia.
Pembakuan kesadaran, tingkah laku, nilai-
nilai menjadi sebuah sistem atau institusi yang
mengatur kehidupan masyarakat ini
merupakan peradaban dalam arti horizontal.
28. Transformasi kebudayaan dan
perintah sejarah.
Tidak setiap perubahan kebudayaan
membuahkan transformasi. Ada berbagai
faktor penyebab, salah satunya yang
paling penting adalah perintah sejarah.
29. Apa itu transformasi ?
Proses pengalihan total
dari bentuk ke sosok baru
yang akan mapan.
Transformasi juga dapat
diandaikan sebagai :
Tahap akhir proses
perubahan.
Proses yang lama
bertahap-tahap.
Titik balik yang cepat.
Apa itu perintah sejarah /
perintah historis?
Suatu strategi budaya untuk
mempertahankan
kelangsungan hidup dari
berbagai pengaruh
kekuatan peradaban dan
kekuatan ekonomi serta
politik.
30. Antara dialektika Hegel dan Marx,
memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaan :
membayangkan proses
tawar menawar terus
menerus dengan
kondisi transformasi
untuk dicapai
transformasi akhir,
besar dan langgeng.
membayangkan
transformasi tidak lewat
proses dialektika yang
linear.
Perbedaan :
Dialektika Hegel adalah dialektika spiritual
dimana sang ‘spirit’ yang akan terus mengilhami
dialektika untuk sampai pada transformasi akhir
dari Sang Spirit yang Absolut.
Sejarah ditentukan oleh proses kesadaran
manusia yang dalam dialektika semakin
menemukan wujud puncaknya.
Dialektika Marx diilhami pertentangan kelas
yang berebut penguasaan alat produksi untuk
sampai pada puncak dialektika masyarakat
yang tak berkelas yang langgeng dan abadi
(dialektika material).
Sejarah ditentukan oleh faktor-faktor material
ekonomis, kapital dan alat produksi.
31. Lain halnya dengan Max Weber yang membayangkan
proses transformasi dan perubahan lewat suatu proses
evolusioner dan saling pengaruh mempengaruhi antar
unsur dalam suatu ‘ideal type’ masyarakat yang
menciptakan paradigma pemikiran.
Sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat Eropa
menjadi kapitalis karena dalam tubuh budayanya sudah
ada ‘bumbu-bumbu’ yang memang akan melahirkan
semangat kapitalisme.
Perbedaan Marx dengan Weber :
Marx : historis – hirarkis – dialektis
Weber : ahistoris – multilinier – berpola
32. Semua perubahan terjadi dalam
tahapan-tahapan yang melalui
pertentangan kelas, persetujuan
sementara, kompromi, kesimpulan
sementara dalam dialog antara
serat budaya, dan kadang
kekerasan.
Dialog ini terjadi karena adanya
tahapan-tahapan yang tidak lain
merupakan perintah historis.
33. Dalam konteks Indonesia, perintah
historisnya meliputi geografi, geoekonomi
dan geopolitik.
Dengan kondisi yang dimiliki Indonesia,
memungkinkan terjadinya kontak dagang
dengan orang Cina, Arab, Mesir. Ditambah
pula dengan adanya dialog agama, sistem
nilai, cara hidup, keyakinan, dll.
Adanya perintah historis membuat kita selalu
memperhitungkan dan memanfaatkan
kondisi geografis, geoekonomi dan geopolitik
dari kepulauan Indonesia.
34. Kemajemukan kebudayaan nusantara.
Ketika Nusantara dengan kemajemukan serat-
serat kekayaan budayanya punya waktu untuk
dialog-dialog damai dengan budaya lain secara
hidup dan tanpa dominasi kekuasaan, ia
bertumbuh sehat.
Akan tetapi, ketika pemaksaan dan kolonialisme
menjeratnya, terjadilah wajah indo dalam
budayanya.
35. Perintah sejarah merupakan strategi
budaya untuk melangsungkan
kehidupan masyarakat Nusantara dari
pengaruh berbagai kekuatan sosial,
politik dan ekonomi. Kalau dialog
terjadi dengan damai tanpa dominasi
kekuasaan, ia tumbuh sehat. Contoh :
Kerajaan Sriwijaya, Candi Borobudur
dan Candi Prambanan, karya
Kakawin, kerajaan Demak, kisah
Walisongo, Sultan Iskandar Muda.
36. Kerajaan Sriwijaya yang tumbuh
sebagai kerajaan maritim dan pusat
agama Buddha Mahayana.
Keluwesan dan kelenturan para
pedagang dan penguasa dari
Sumatera Selatan dalam
berhubungan dengan kekuatan
perdagangan dari India dan Cina
serta kecerdikan mereka mengontrol
kekuasaan Melayu telah menghantar
mereka pada kejayaan Kerajaan
37. Borobudur sebagai monumen Buddha
Mahayana dari Dinasti Syailendra dan
Prambanan sebagai monumen Hindu
Siwa juga merupakan contoh kelenturan
dan keluwesan untuk merangkul dan
berdialog dengan budaya India,
sehingga memperkaya kebudayaan
wilayah tersebut. Proses ini merupakan
Indonesianisasi, dan bukan Indianisasi.
Local genius-nya mempu
menerjemahkan ‘perintah sejarah’
menjadi bentuk bangunan yang
menakjubkan.
38. Surat Kakawin merupakan proses
inkulturasi kontekstual sastra India di
bumi nusantara.
Transformasi budaya secara damai
terus berlangsung sampai kedatangan
Islam dan pendirian kerajaan-kerajaan
Islam dan Hindu serta Jawa. Kerajaan
Demak, sintesa budaya Islam-Hindu.
Kisah Walisongo, sintesa budaya Jawa-
Islam.
39. Sultan Iskandar Muda, sewaktu
pemerintahannya, sintesa Aceh-Islam
mencapai puncaknya.
Dialog budaya itu merupakan proses
panjang dan lama serta syarat dialogal
sehingga menjadi sintesis yang mengakar.
Prosesnya bisa dialektis yang menuju
sintesis, bisa osmosis saling membuahi,
sinkretis atau antagonis dan saling
meniadakan.
40. Lain halnya, ketika Belanda dan
Portugis datang menguasai seluruh
perdagangan, rempah, dan menetap
sebagai penjajah di kepulauan
Nusantara, tentu pedagang dan
penguasa lokal harus berhadapan
dengan kekuatan yang belum pernah
dikenal. Mereka datang dengan
meriam, tentara, senjata dan organisasi
perdagangan modern dan memaksa
perdagangan sehingga terjadi
konfrontasi yang keras.
41. Dialog budaya Nusantara dan budaya
Barat sejak awal berlangsung kikuk.
Inilah yang oleh Alvin Toffler disebut
future shock (=kejutan masa depan).
Nusantara tidak siap dengan budaya
Barat yang sedang mempersiapkan
budaya modern yang kelak akan
menentukan idiom modernitas dunia.
42. Di saat Nusantara melakukan sintesa
budaya Jawa-Islam, tiba-tiba datang
budaya Barat yang agresif yang
menaklukkan Nusantara. Dialog ini
merupakan dialog yang dipaksakan
lewat rekayasa politik dan kebudayaan
sehingga budaya yang dihayati adalah
budaya indo, dimana nilai-nilai barat
(rasionalitas, modernisasi, anonim,
impersonal) terpaksa dihayati dengan
panggung gebyar (negara panggung
ala Clifford Geertz).
43. Kebudayaan Indonesia.
Hanya dalam ruang dialog antar budaya
yang setara dan saling memperkaya
(cross cultural fertilization) serta dalam
waktu sejarah yang dinamai sendiri
dengan identitas Indonesia, maka proses
menjadi Indonesia yang bhinneka dan eka
menemukan wujud-wujud peradaban
sejarahnya yang sehat.
44. Pengertian Indonesia dalam
konteks menjadi Indonesia adalah
usaha membentuk suatu bangsa
Indonesia dengan satu teritorial,
satu bahasa, satu budaya
Indonesia. Lebih sempitnya,
usaha mencari nilai-nilai budaya
yang Indonesia,
menumbuhkannya dalam
pertemuannya dengan nilai-nilai
budaya lain.
45. Akan tetapi, usaha menumbuhkan
keIndonesiaan yang bhinneka dan eka
dalam pertemuannya dengan nilai-nilai
budaya lain akan berlangsung secara
sehat jika terjadi tanpa adanya dominasi
kekuasaan politik, ekonomi, sosial atau
kolonialisme.
Dialog yang kikuk antara Indonesia
dengan kebudayaan Barat (Belanda dan
Portugis) adalah bukti bahwa dialog itu
berlangsung dalam suasana dominasi
satu atas yang lain, sehingga hanya
melahirkan budaya indo yang muncul
46. Sedangkan dialog kebudayaan
Nusantara dengan budaya India,
Islam atau Hindu, berlangsung
secara luwes dan adaptable dalam
suasana keterbukaan dan
kebebasan serta saling memperkaya
(cross fertilization), sehingga
melahirkan sebuah kebudayaan
yang secara asli dihayati sebagai
bagian dari identitas keIndonesiaan.
47. Demikian pula dengan dialog yang terjadi di wilayah
Indonesia sendiri, antara kebudayaan satu daerah
dengan daerah lain. Kalau dialog itu berlangsung
dalam suasana dominasi politik dan dipaksakan
demi kepentingan politik penguasa, hasilnya adalah
dialog yang kikuk. Contoh dialog yang kikuk seperti
di Aceh (dialog demi kepentingan minyak bagi
penguasa) Papua ( dialog demi kepentingan minyak,
emas, tembaga dan kekayaan lainnya).
Usaha untuk mewujudkan identitas Indonesia yang
bhinneka dan eka dengan menumbuhkannya dalam
kerangka dialog dengan budaya-budaya entah antar
wilayah di Indonesia sendiri atau dengan budaya
asing, harus berlangsung dalam suasana
kebebasan, tanpa dominasi, setara dan saling
memperkaya.
48. Budaya Damai di Papua
Untuk mewujudkan tanah Papua
yang damai, maka dialog dengan
pola kekerasan yang dijalankan
pemerintah (Belanda dan
Indonesia) dan nominasi
kebudayaan yang kuat (budaya
nusantara yang lain dalam hal ras,
ekonomi dan politik ) harus diganti
dengan dialog dengan penuh
kebebasan, tanpa kekerasan,
tanpa nominasi dan setara.
49. Empat Sumber konflik di Papua
Pertama: perubahan budaya.
Dahulu orang Papua mempunyai adat yang dapat
mengatur kehidupan bersama sehingga segala
sesuatu dapat berjalan baik dan kelestarian hidup
baik perorangan maupun kelompok terjamin.
Adat adalah pegangan dan nilai yang diakui
bersama dan ditegakkan bersama,
kepemimpinan, peraturan pergaulan, pembagian
peluang ekonomi, pelayanan kesejahteraan para
warga dan pegangan religius teruangkap dalam
seremoni religius.
50. Para warga diantar masuk kedalam
kehidupan sosial serta diajarkan
tentang pegangan nilainya secara
bertahap (melalui inisiasi, pendidikan
dalam keluarga dan seterusnya).
Dewasa ini orang Papua kehilangan
segala macam pegangan karena
begitu banyak pengaruh dan tawaran
yang membuat orang Papua bingung.
51. Penyebaran HIV dan AIDS cepat di
Papua di sebab hilangnya pegangan
moral sehingga kelakuan seksual
menjadi tidak jelas. Dulu seks dalam
adat diatur dengan ketat sekarang
seks dapat dibeli tanpa membawa
konsekuensi bagi pribadi tertentu
yang kemudian pelan-pelan
menghancurkan kehidupan bersama.
52. Benar bahwa segala perubahan
berjalan begitu cepat menimbulkan
suatu ketegangan baik dalam
kehidupan pribadi maupun
kehidupan bersama karena
ternyata belum ditemukan suatu
adat baru (pegangan nilai) yang
diakui dan ditegakkan bersama.
53. Kedua : ras yang berbeda.
Di tanah Papua terdapat berbagai
suku dan bahasa yang berbeda
namun terdapat satu kesamaan yang
kuat asal-usul dan juga terungkap
dalam banyak kesamaan dalam
latarbelakang budaya maupun
rumpun Melanesia/ Austronesia.
54. Di antara sesama orang Papua tidak sulit
mengakui keberadaannya walaupun sangat
berbeda misalnya orang Mimika sangat berbeda
orang Biak dsb.
Orang Papua kehilangan “identitas” di atas
karena orang Papua menjadi minoritas di
tanahnya sendiri karena kehadiran para
pendatang “orang seberang” mayoritas yang
didukung oleh pemerintah.
Orang Papua kehilangan status sebagai “tuan
rumah” karena keminoritasannya. Hal ini
dikuatkan oleh perbedaan ungkapan budaya,
gaya hidup, religiositas, daya penyesuaian dsb.
55. Apa yang dihargai dan dilestari oleh orang Papua
sekian tahun lamanya menjadi sesuatu yang tidak
laku, primitif. Hal ini tentu saja menimbul
ketegangan dan kemarahan dan perasaan marah
terhadap mereka yang menganggap bahwa pola
hidup tradisional orang Papua merupakan
sesuatu yang ketinggalan jaman.
Anggapan seperti ini membuat orang Papua
merasa minder dan merasah diri sebagai orang
yang ‘tra laku, bodoh dsb.
56. Ketiga : ekonomi.
Para pendatang selalu berada dalam
posisi yang menguntungkan secara
ekonomis. Di pasar misalnya para
pedagang asli sering duduk dilantai atau
tanah saja sementara para pendatang
duduk di kios-kios/ tenda.
Perbedaan taraf hidup mudah dikaitkan
dengan perbedaan yang lain yang
menonjol seperti etnis, agama, budaya ,
pandangan politik dst.
57. Keempat: Politik
Situasi sosial politik di Papua rawan dengan
konflik. Hal ini terjadi karena selama puluhan tahun
orang Papua dipaksa diam dan mengikuti
kemauan pemerintah.
Orang Papua masih menanti penghargaan dan
pengakuan akan jati dirinya dan hak dasarnya
untuk menentu nasibnya sendiri.
Banyak kisah tragis diceritera “bapa dibunuh di
kali, ibu dan adik perempuan diperkosa, kampung
di bumihangus, hutan sagu dhabiskan, dan diganti
dengan rumah-rumah transmigrasi dan
perusahaan masuk tanpa bicara.
58. Membangun budaya damai berkaitan langsung
dengan hal-hal praktis seperti uapaya upaya-
manusia untuk ‘memperbaikan’ suasana hidup
yang telah rusak akibat tindakan manusia sendiri.
Membangun budaya damai berarti membangun
suatu dialog untuk mencapai kesepakatan
bersama antara pihak korban dan ‘pelaku’
(penyebab konflik) suatu damai.
Inti dari budaya damai adalah memperbaiki dan
membantu para korban mengolah
pengalamannya yang pahit sehingga tidak ada
suatu beban berat dalam menata hidupnya di
masa depan.
59. Para korban diberi kesempatan untuk
mengutarakan nasibnya secara terbuka, tanpa
terancam dan diberikan kesempatan untuk
memahami latar belakang persoalan terjadinya
penderitaan terhadap dirinya.
“Membangun budaya damai” adalah proses
untuk menegakkan kembali citra diri manusia
Papua dengan menghargai manusia Papua
yang mempunyai asal-usul, adat-istiadat,
budaya, sejarah dan hak politiknya. Jadi
membangun budaya damai di Papua tidak
identik dengan minta maaf kepada bangsa
Papua.
60. Sistem makna.
Terdapat 4 (empat) pandangan dunia menurut
Clifford Geertz, mulai dari akal sehat biasa
(common sense), ilmu pengetahuan, estetika
dan agama dimana manusia menenun
(menghayati rajutan) makna hidupnya.
Dalam keempatnya, terdapat perbedaan titik-
titik kritis yang menyebabkan krisis atau
situasi kabur makna (chaos).
61. Clifford Geertz melihat kebenaran dalam 4
tingkat : common sense, ilmu pengetahuan,
estetika dan agama.
Common Sense, [dalam pengertian CG] adalah suatu
realisme naïf, dimana dunia yang dialami dan diisinya
diterima sebagaimana tampaknya.
Tidak ada distingsi yang dibuat antara gejala yang
menampak (seeming) dan wujud yang sebenarnya (being).
Realitas diandaikan benar (given). Dalam berhadapan
dengan dunia hidupnya orang-orang berdasarkan common
sense ini dibimbing oleh motif pragmatis.
Dunia ditanggapi sejauh memenuhi kebutuhannya sehari-
hari. Tanggapan terhadap dunia dan lingkungan hidupnya
dilakukan melalui semacam analisis yang dilakukan
berdasarkan konsep-konsep informal.
62. Ilmu pengetahuan bertolak dari paham yang oleh
CG dinamakan realisme kritis. Mulai dicoba
mengadakan pembedaan antara gejala-
gejala yang tampak (seeming) dan wujud
yang sebenarnya yang berada di balik
gejala-gejala itu (being). Realitas tidak
diterima sebagai apa adanya, tetapi
mulai dipertanyakan.
Dunia hidup tidak dihadapi semata-mata
secara pragmatis, tetapi ‘diawasi’ dalam
observasi yang terkontrol. Tanggapan
terhadap dunia atau lingkungan hidup
dilakukan berdasarkan analisa dengan
bantuan konsep-konsep formal yang
teruji dan terus menerus diuji.
63. Estetika menunjukkan suatu kecenderungan
yang khas. Kalau dalam common sense jarak
antara penampakan gejala-gejala tidak
dilihat, dalam ilmu pengetahuan jarak itu
dipertegas dan diawasi, maka dalam estetika
jarak itu diabaikan sama sekali.
Wujud yang sebenarnya dari gejala-gejala
menjadi tidak penting karena estetika
sebetulnya sudah merasa cukup puas
dengan kualitas penampakan-penampakan
itu. Perjumpaan seseorang dengan
penampakan-penampakan itu justru
diintensifkan supaya yang bersangkutan
dapat terserap secara total ke dalamnya.
64. Realitas tidak dipertanyakan,
melainkan diterima atau ditolak,
dianggap penting atau diabaikan.
Kalau ilmu dipertaruhkan dalam
observasi kritis tentang gejala-
gejala empiris, maka estetika
dipertaruhkan dalam kontemplasi
intensif tentang kualitas-kualitas
sensoris.
65. Agama oleh CG ditinjau secara khusus
dalam kontraposisinya dengan ketiga bidang
di atas.
Kalau dalam common sense orang sudah
merasa puas dengan kenyataan sehari-hari
(everyday life reality), maka dalam agama
orang akan mencari realitas yang lebih benar,
bahkan yang terakhir, yang dapat menjadi
ukuran untuk kenyataan hidup sehari-hari.
Tanggapan terhadap dunia tidak dilakukan
secara pragmatis, melainkan dilakukannya
berdasarkan persepsinya mengenai
kenyataan terakhir (ultimate realities).
66. Dalam keempatnya, terdapat perbedaan titik-titik kritis
yang menyebabkan krisis atau situasi kabur makna
(chaos)
Agama berbeda dari ilmu pengetahuan justru
dalam sikap keduanya terhadap kenyataan sehari-
hari tersebut.
Ilmu pengetahuan :
mempertanyakan
berdasarkan
konsep-konsep
hiptetis, bekerja atas
dasar analisis yang
dilakukan dalam
jarak (detachment)
Agama :
mempertanyakan
berdasar kebenaran-
kebenaran kategoris,
menghimbau
penganutnya untuk
berjumpa / berhadapan
dengan kenyataan-
kenyataan terakhir dan
melakukan komitmen
terhadapnya.
67. Agama berbeda dengan estetika dalam definisinya
mengenai kenyataan-kenyataan terakhir.
Estetika :
seseorang
merasa cukup
menerimanya
sebagai gejala /
penampakan
Agama :
seseorang dituntut
untuk menerimanya
sebagai fakta,
realitas, the really
real
68. Tingkatan pandangan dunia / sistem makna
tersebut memungkinkan seseorang yang
kehilangan sistem makna pada lapis yang satu
masih dapat diselamatkan pada lapis yang lain.
Misalnya, orang yang kehilangan sistem makna
dalam agama, masih dapat memperoleh
pegangan dalam ilmu pengetahuan. Batas
terakhir yang tidak dapat dilanggar untuk tetap
mempertahankan suatu kehidupan yang normal
adalah common sense. Jadi, seseorang bisa
saja tidak acuh secara religius, tidak terlatih
secara ilmiah, tidak peka secara estetis, tapi ia
tidak bisa hidup tanpa common sense.
69. Sistem makna / pandangan dunia adalah
kebutuhan dasar kebudayaan karena
tanpanya dunia akan tampak sebagai suatu
chaos, yang bukan saja tanpa arti, tapi juga
tidak mungkin diberi arti.
Menurut CG, ada 3 titik dimana chaos
dapat menelusup ke dalam hidup manusia,
yaitu :
Titik analitis, dimana kemampuan seseorang untuk
memahami dan menjelaskan sesuatu, berakhir. Chaos
pada tingkat ini menghasilkan kebingunan.
Titik emosional, dimana kemampuan seseorang untuk
menahan sesuatu, berakhir. Chaos pada titik ini
menghasilkan penderitaan.
Titik moral, dimana pengertian seseorang mencapai
batasnya. Chaos pada titik ini menimbulkan rasa
pertentangan / paradoks moral.
70. Transformasi Kebudayaan.
Transformasi kebudayaan bisa dijelaskan
lewat tahap-tahap peradaban van Peursen
dari tahap mitis, ontologis dan fungsional.
Dalam tiap tahap terdapat dampak negatif
sikap atas kenyataan, misalnya sikap magis
untuk tahap mitis dan sikap instrumentalis
untuk tahap fungsional serta substansialis
untuk tahap ontologis.
71. Kebudayaan dewasa ini dipengaruhi oleh
suatu perkembangan pesat dan manusia
modern menyadari hal itu. Lebih dari itu,
manusia dewasa ini sadar akan
kebudayaannya. Kesadaran ini merupakan
suatu kepekaan yang mendorong manusia
agar ia secara kritis menilai kebudayaan
yang sedang berlangsung. Evaluasi serupa
ini dapat menghasilkan, agar dia secara
praktis menyusun kembali kebudayaannya
sendiri.
Tiga tahap kebudayaan menurut van
Peursen : mitis, ontologis dan fungsional.
72. Tahap Mitis
Tahap mitis, dimana sikap manusia yang
merusakkan dirinya terkepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu
kekuasaan dewa-dewa alam raya atau
kekuasaan kesuburan, seperti
dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang
dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dalam
kebudayaan modern pun sikap mitis ini
masih terasa.
73. Tahap Ontologis
Tahap ontologis, dimana sikap manusia yang
tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan
mitis. Manusia mengambil jarak terhadap
segala sesuatu yang dirasakan sebagai
kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran
atau teori mengenai dasar hakikat segala
sesuatu (ontologi) dan mengenai segala
sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu).
Kita akan melihat bahwa ontologi itu
berkembang dalam lingkungan-lingkungan
kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi
oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
74. Tahap Fungsional
Tahap fungsional, dimana sikap dan alam
pikiran yang makin nampak dalam manusia
modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh
lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi
dengan kepala dingin ambil jarak terhadap
objek penyelidikannya (sikap ontologi). Bukan,
ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu
kebertautan yang baru terhadap segala
sesuatu dalam lingkungannya.
75. Setiap tahap perkembangan
kultural itu memiliki aspek-aspek
negatif.
Dalam tahap mitis, terlihat praktek magis, yaitu
usaha menguasai orang-orang lain atau
proses-proses alam dengan ilmu sihir.
Dalam tahap ontologis, substansialisme
menunjukkan unsur negatifnya, yaitu usaha
menjadikan manusia dan nilai itu semacam
benda, barang-barang atau substansi-
substansi yang terpecah, lepas yang satu dari
76. Dalam tahap fungsional pun terdapat suatu segi
negatif, yaitu operasionalisme : bahaya bahwa kita
saling memperlakukan diri sebagai buah-buah catur,
nomor-nomor dalam seberkas kartu-kartu arsip. Kita
semua maklum akan bahaya-bahaya jaman
sekarang ini : manusia dijadikan skrup dalam sebuah
mesin raksasa, sebuah slogan pada spanduk,
seekor burung hantu yang tersilau oleh lampu-lampu
iklan malam hari, foto roentgen dalam arsip dinas
kesehatan. Pada jaman dulu pun manusia terancam
oleh bahaya-bahaya serupa. Ahli ilmu sihir dari dunia
mistik tak jauh berbeda dari wajah-wajah bergigi
putih bersih yang menyodorkan kesehatan dan
kebahagiaan dari layar TV atau papan-papan iklan.
Di belakang wajah-wajah itu, tersembunyi jamur-
jamur yang berkasiat tinggi, mantra-mantra, obat-
obat untuk menggelorakan semangat, kemahiran
untuk meyakinkan orang lain dengan ilmu jiwa
77. Peradaban Spiritualitas dunia.
Transformasi budaya mengenal
hancur dan bertahannya
peradaban.
Arnold Toynbee dan Pitirin Sorokin
membingkainya dengan pasang
surut tumbuhnya spiritualisme
dunia.
78. Arnold Toynbee mendeskripsikan
sebab-sebab muncul, tumbuh dan
gulung tikarnya kebudayaan dari
kesejarahan. Ia menekankan sisi
intelligible (semacam penalaran)
studi sejarah dimana munculnya
peradaban bila manusia menghadapi
situasi sulit yang menantang hingga
bertumbuh kegiatan-kegiatan kreatif
untuk melakukan usaha yang tidak
terduga dalam proses challenge dan
response.
79. Melalui tantangan itu, timbullah peradaban
dan bila terus kreatif akan menumbuhkan
respon yang makin canggih dengan
kreativitas yang makin optimum. Rangsangan-
rangsangan kebudayaan terus diasah dan
dipertajam yang lahirnya berupa penguasaan
keadaan luar dan secara batinnya berupa
artikulasi diri dalam self determination yang
progresif. Terdapat proses etherialization,
yaitu ikhtiar-ikhtiar untuk memusatkan energi
kebudayaan pada optimalisasi tantangan-
tantangan yang semakin halus atau
spiritualisasi dari kebudayaan.
80. Peradaban akan runtuh bila gagal memunculkan
kreativitas dalam menghadapi tantangan.
Puncak keruntuhan terjadi bila ada disintegrasi
peradaban, dimana kesatuan sosial pecah dan
ketidakmampuan kebudayaan itu memberi
respon kreatif pada tantangan jaman.
Dinamika tumbuh runtuhnya kebudayaan disoroti
tajam oleh Pitirin Sorokin dangan ditunjuknya 3
tahap perkembangan kebudayaan : ideational,
inderawi (sensate) dan idealistic.
81. Ideational.
Setiap kebudayaan dimulai dari tahap
ideasional yang ditandai oleh adanya
pemersatu kebudayaan, yaitu Allah
yang tak terbatas, maha kuasa, supra
rasional, supra inderawi. Dalam
kebudayaan Barat pada abad
pertengahan, Yunani abad 8 dan abad
6, India pada masa Buddhisme dan
Cina pada masa Taoisme.
82. Inderawi (sensate).
Ketika muncul kesadaran bahwa
nilai yang otentik adalah yang
inderawi, maka kebudayaan
ideational merosot. Yang nyata
adalah yang bisa ditangkap indera.
Inilah abad materialis dan empiris.
83. Idealistic.
Tahap ini merupakan perpaduan dari
yang inderawi dan supra inderawi.
Contoh sejarah budaya ini adalah
sintesis Thomas Aquino yang
memadukan kitab suci (ideational) dan
pemikiran Aristoteles (inderawi).
84. Namun demikian, menurut Sorokin, akan muncul
satu tahap perkembangan baru yang mengganti
kebudayaan sensate atau inderawi di atas, yaitu
tahap kerohanian.
Sorokin berpendapat bahwa kapitalisme, demokrasi,
sosialisme, agama - semua ini punya kelemahan
secara budaya, yaitu tidak memiliki kekuatan
menyembuhkan (curative).
Ia menaruh harapan pada creative altruism, yaitu
munculnya kesadaran baru melalui supra conscious
level dimana religiositas altruis (berkorban dan
prihatin baik spiritual maupun jasmani pada
sesama) menjadi acuan hidup bersama.
85. Proses pembudayaan adalah tindakan yang
menimbulkan dan menjadikan sesuatu lebih
bermakna untuk kemanusiaan. Proses
tersebut diantaranya
Internalisasi :
Merupakan proses
pencerapan realitas
obyektif dalam
kehidupan manusia
Sosialisasi : Proses
interaksi terus menerus
yang memungkinkan
manusia memperoleh
identitas diri serta
ketrampilan-ketrampilan
sosial..
Proses Kebudayaan
86. Enkulturasi adalah pencemplungan seseorang
kedalam suatu lingkungan kebudayaan, dimana
desain khusus untuk kehidupan kelihatan sebagai
sesuatu yang alamiah belaka.
Difusi : Meleburnya suatu kebudayaan dengan
kebudayaan lain sehingga menjadi satu kebudayaan.
Akulturasi : percampuran dua atau lebih kebudayaan
yang dalam percampuran itu masing-masing unsurnya
masih kelihatan.
Asimilasi : proses peleburan dari kebudayaan satu ke
kebudayaan lain.
87. Kebudayaan sebagai proses liberisasi.
Dr. Moh Hatta mengatakan kebudayaan adalah
usaha manusia yang merombak dan membentu
alam sebagaimana adanya itu menjadi lebih
sempurna. Manusia tak beradab takluk semata-m
kepada alam (tidak bebas/menjadi objek)
sedangkan manusia yang beradab adalah manu
yang mampu merombak alam, ia pembangun k
atau kebudayaan (bebas/ menjadi subjek)
88. Kebudayaan berarti kebebasan sepanjang kebudaya
itu menjadi penyempurna manusia/humanisme.
Humanisme adalah sikap hidup yang menempatka
manusia sebagai makhluk tersendiri, spesifik secara
khusus, mempunyai struktur dan tendensi tersendiri
Jadi humanisme merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan mutuh hidup manusia sesuai dengan
tuntutan human structure. Dalam humanisme manu
hidup sedemikian rupa sehingga ia bebas dari
kesengsaraan, kekekangan dan paksaan alam.
89. Humanisme adalah suatu bentuk hidup yang lebih
tinggi, yang dibahagiakan dengan pengetahuan,
tehnik ,kesenian, dst yang membuat hidup
menjadi indah dan menyenangkan.
Humanisme hanya bisa dicapai dengan
kebudayaan karena itu humanisme bisa
dikatakan kebudayaan/kultur.
Nilai apa yang kita peroleh dari berbudaya?
Nilai vital, nilai mengenai hidup manusia yang
harus dirawat, dipertahankan, dan
dikembangankan. Manusia memerlukan
makanan, minuman, perumahan, dan pakaian.
90. Dengan berbudaya manusia melaksanakan nilai
vital artinya membuat sesuatu yang diperlukan
dalam hidupnya.
Kebudayaan merupakan suatu proses dan gerak
liberalisasi atau gerak pembebasan. Dalam
memandang, mengolah alam itu, manusia
menempatkan diri terhadap alam sebagai subyek.
Ketika manusia menjadi subyek manusia
bertindak dari dalam, maka di mana kebudayaan
dimulai di situ mulai tampak kemerdekaan
manusia. Ia tampak sebagai subyek yang
merdeka, bebas dari kekekangan alam dan bukan
lagi bagian dari alam.
91. Kebudayaan adalah “cara manusia berada di
dunia”. Manusia itu merealisasi, mengada. Bagi
manusia ‘berada’ selalu berarti menjadi.
Jadi dengan membudaya manusia menjadi lebih
manusiawi karena kebudayaan atau lebih tepat
pembudayaan merupakan proses hominisasi atau
penjadian manusia.
Dengan pembudayaan manusia menghayati,
menyadari, menyelami, dan menyelami diri
sendiri.
Bahkan bisa dikatakan bahwa pembudayaan
adalah eksistensial dan eksistensi artinya
sesuatu yang melekat pada eksistensi secara
struktural.
92. Suatu skema untuk mengambar hal di atas; dari
dalam keluar: insistensi-eksistensi-ekstensi dan
dari luar ke dalam; estensi-eksistensi dan
insistensi (lebih tepat untuk manusia).
Konkretnya, eksistensi berarti (berupa) kesatuan
kita dengan dunia sedangkan eksistensi adalah
kebangkitan karena ekstensi itu. Puncak
kebangkitan adalah insistensi di manusia menjadi
lebih sempurna, ia mengalami dirinya sendiri
sebagai manusia.
Pembudayaan adalah ialah eksteni manusia
sepanjang ekstensi itu merupakan pelaksanaan
dari eksistensi dan menyebabkan insistensi.
93. Kita menggunakan istilah “pembudayaan”
untuk mengganti kata kebudayaan. Jika kita
melihat gerak dan aktivitas manusia (eksistensi
dan ekstensi sebagai gerak dan aktivitas) maka
lebih tepatlah memakai istilah ‘pem-budaya-
an’.Eksistensi dan ekstensi berarti membudaya
namun dalam bentuk yang konkret, yang
biasanya kita sebut kebudayaan.
94. Kebudayaan sebagai proses
liberasasi pada intinya mau
mengatakan bahwa manusia tidak
seperti batu yang menguling di
lereng gunung atau dibawa arus
sungai, tanpa daya, tanpa
kemungkinan di tangannya sendiri.
Manusia lepas dari determinasi, ia
berada “di atas” arus alam.
95. Ia merdeka artinya bisa
menentukan sendiri, memegang
dalam tangannya sendiri apa yang
akan dipilihnya tetapi ini hal
sekunder. Letak kemerdekaan
manusia adalah berdiri dengan
‘distansi, menghadapi dan oposisi’.
Konsekuensinya adalah
kebebasan dalam berbuat.