Suku Anak Dalam, Mengenal Kehidupan Masyarakat Pedalaman di Sumatera

Penulis: Dewi Rosya Wahyu Handayani
Editor: Raihan Risang A. P.
Mengenal Suku Anak Dalam di  Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. (Ilustrasi oleh Muhammad Lazuardi)

Asal-usul Suku Anak Dalam masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Sulit mengulik sejarah suku Anak Dalam ini. Sejarah mereka sedikit dapat diketahui dari cerita mulut ke mulut para keturunnya. Ada beberapa teori yang menjelaskan asal mula hadirnya suku Anak Dalam, tetapi belum memiliki cukup bukti. Suku Anak Dalam memiliki beberapa nama yaitu suku Kubu, suku Anak Dalam dan anak Rimba. Untuk nama Kubu bagi suku Anak Dalam memiliki arti yang negatif. Kubu memiliki arti menjijikan, kotor dan bodoh. . Suku Anak Dalam adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.


Mayoritas Suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga Suku Anak Dalam yang pindah ke Agama Kristen atau Islam. Suku Anak Dalam tinggal menetap di daerah Sumatera Selatan terutama daerah Rawas Rupit dan Musi Lakitan, di sana banyak terdapat Suku Anak Dalam menggantungkan hidup di persawitan. Bahkan ada di antara yang memanfaatkan lahan sawit perusahaan Lonsum untuk mereka ambil dan mereka jual. Mereka seperti itu karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh di alam adalah milik mereka bersama


Kehidupan Suku Anak Dalam

Cagar Biosfir Bukit Duabelas merupakan wilayah keberadaan suku ini, terdapat tiga kelompok suku anak dalam yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan kawasan, Kejasung di bagian utara dan timur serta Makekal di bagian barat kawasan. Penamaan kelompok-kelompok tersebut disesuaikan dengan nama sungai tempat mereka tinggal. Seperti halnya masyarakat umum, Suku Anak Dalam merupakan kelompok masyarakat yang tergantung dengan keberadaan sungai sebagai sumber air minum, transportasi dan untuk aktivitas kehidupan lainnya. Suku Anak Dalam hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang selalu menempati wilayah bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir sampai ke hulu.


Awalnya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suku Anak Dalam melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun, perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup serta akulturasi budaya dengan masyarakat luar, suku ini telah mengenal budidaya pertanian dan perkebunan. Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, masih dipertahankan sebagai mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan Parang. Selain itu menangkap binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat. 


Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu di dalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan, dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu di hutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia.


Adapun kebiasaan yang harus kita hindari jikalau bertemu dengan suku Kubu (Anak Dalam) atau jika kita berkunjung ke daerah Jambi. Mereka terkenal tidak pernah "mandi" jadi hal terbaik jangan pernah menunjukkan gerakan kalau kita merasa terganggu akan "bau badan" mereka. Jika kita atau mereka meludah ke tanah dan mereka menjilat ludah tersebut secara tidak langsung kita sudah menjadi bagian dari mereka. Sama halnya dengan suku Primitif lainnya di wilyah Indonesia, mereka memiliki ilmu magis yang bisa dikatakan sakti. Percaya atau tidak percaya itulah kenyataan yang ada.


Kepercayaan Suku Anak Dalam

Sebuah tulisan BMT, Depsos tahun 1988, menyebutkan bahwa suku Anak Dalam berasal dari Kerajaan Jambi. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa mereka adalah sekelompok prajurit yang di kirim untuk berperang melawan Kerajaan Tanjung Jabung. Raja Pagaruyung mengirim pasukan yang telah menyanggupi untuk melawan kerajaan yang menantang Kerajaan Jambi. Pasukan tersebut bahkan telah berjanji tidak akan kembali sebelum misi mereka berhasil. 


Namun, di tengah perjalanan mereka kehabisan bekal. Mereka terjebak di tengah hutan belantara yang sangat luas. Para prajurit yang telah terlanjur berjanji pun malu untuk pulang. Perjalanan tidak memungkinkan lagi untuk berperang dengan kondisi kelaparan. Akhirnya para prajurit tersebut memutuskan untuk tinggal dan menyepi di hutan. Lama kelamaan mereka hidup dan membentuk kebudayaan sendiri hingga menjadi suku Anak Dalam yang kita kenal sekarang.


Suku Anak Dalam memiliki keyakinan seperti suku Purba yang ada di daerah lain. Mereka percaya kepada dewa-dewa, roh-roh, dan sesuatu yang mereka anggap mengagumkan. Selain itu, suku Anak Dalam juga mempercayai empat elemen yang ada di bumi layaknya Avatar, seperti air, tanah, api, dan udara (angin). Mereka menggangap keempat elemn itu sebagai Yang Kuasa.


Mereka mempercayai Dewa yang bernama Bahelo, hal ini dilihat dari seloko mantera yang memiliki arti Bahelo sang tunggal penguasa kehidupan. Hal menarik dari masyarakat adat suku Anak Dalam adalah larangan melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, jika dilanggar maka hidup orang tersebut akan susah. 


Dalam bahasa mereka dikiaskan dengan “Di bawah idak berakar, diatas idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo“. Artinya, Jika ada suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan. Hampir semua aktivitas budaya Suku Anak Dalam menggunakan pembacaan mantera dan pembakaran kemenyan.


Suku anak dalam juga percaya bahwa orang yang telah meninggal, rohnya akan kembali ke tempat mereka berasal dan diterima oleh Raja Nyawa yaitu Surga. Oleh sebab itu, mereka memberikan penghormatan kepada orang yang meninggal dengan melakukan upacara penghormatan dengan begitu roh tidak akan mengganggu yang hidup dan diharapkan untuk segera menuju Surga. Dalam adat istiadat masyarakat suku Anak Dalam terdapat banyak kegiatan upacara atau ritual yang memiliki tujuan untuk menghormati arwah nenek moyang, mengharapkan keberkahan dan untuk menjauhkan malapetaka.


Seiring berkembangnya waktu, suku Anak Dalam pun mengikuti arus modernisasi. Seperti suku Anak Dalam yang tinggalnya dekat dengan suku Melayu sudah ada yang ikut memeluk agama Islam atau Kristen. Namun, mayoritas suku Anak Dalam masih memegang teguh keyakinan asli mereka yang bersifat animisme dan dinamisme.


Tradisi Melangun

Suku Anak Dalam memiliki tradisi yang disebut Melangun. Melangun merupakan tradisi suku Anak Dalam yang berkaitan dengan tradisi menjauhi tempat tinggal semula untuk menghilangkan rasa sedih akibat ditinggal mati oleh sanak saudara mereka. Tradisi Melangun diawali dengan meratap dan menghempaskan badan ke tanah selama se-pekan, se-tahun, 10 tahun hingga 12 tahun. 


Kini tradisi Melangun di pangkas hanya selama 4 (empat) bulan bahkan se-bulan lantaran wilayah mereka yang kian sempit. Hal itu dilakukan karena suku Anak Dalam berharap nyawa yang telah hilang akan kembali ke tubuh jenazah. Sebelum melakukan Melangun, jenazah ditutup dengan kain dan di baringkan di Pasoron. Pasoron adalah pondok.


Jenazah suku Anak Dalam tidak dimandikan dan tidak pula dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali. Jika dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut diyakini tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui keluarganya. 


Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa nyata dahulu kala, dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok, ternyata kemudian hidup kembali dan sehat serta pulang ke keluarganya. Kejadian ini yang mengilhami untuk tidak menguburkan jenazah Suku Anak Dalam yang sudah meninggal.


Tradisi Manumbai

Suku Anak Dalam juga memiliki tradisi yang berkaitan dengan pengambilan madu. Tradisi pengambilan madu itu mereka sebut dengan manumbai. Tradisi manumbai adalah tradisi pengambilan madu dengan cara juagan yaitu, orang yang memanjat pohon sialang untuk mengambil madu, dengan menggunakan mantra untuk melakukan puji-pujian terhadap lebah. 


Sambil membakar kemenyan, juagan mengasapi lebah dengan membakar tunon (kulit kayu) dan sabut yang dibentuk memanjang agar lebah pindah ke pohon lain. Hal itu dilakukan agar juagan tidak disengat oleh lebah. Seorang warga suku Anak Dalam saat mengambil sarang madu dari pohon yang tinggi biasanya membaca mantra-mantra yang disebut dengan Tomboy.


Upacara Besale

Selain upacara penghormatan terhadap orang yang sudah mati, suku Anak Dalam juga mempunyai upacara penyembuhan yang disebut Upacara Besale. Upacara ini telah dilakukan turun temurun dari nenek moyang suku Anak Dalam sehingga menjadi tradisi turun temurun dilakukan suku Anak Dalam apabila ada salah satu anggota keluarganya yang menderita penyakit. Arti Besale bagi masyarakat Anak Dalam adalah membersihkan jiwa seseorang yang sedang sakit akibat roh-roh jahat yang bersemayam dalam diri seseorang tersebut. Ritual Upacara Besale berupa rangkaian tari-tarian yang menggunakan rumah-rumah terbuat dari daun pepohonan hutan.


Menurut hasil penelitian Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya Departemen Pendidikan Kebudayaan Indonesia (1977.127), masyarakat Anak Dalam menganggap jika ada anggota keluarga atau kerabat yang sakit maka itu merupakan pertanda bahwa dewa telah menurunkan malapetaka. Proses upacara adat Besale yang dilakukan oleh masyarakat Anak dalam adalah dukun Besale menyanyikan mantera-mantera sambil menari kepada orang yang sakit. Sesajian yang sudah ada dalam upacara ini dipersembahkan kepada dewa-dewa agar mereka memberikan kebaikan dan menjauhkan masyarakat Suku Anak Dalam dari malapetaka.


Menurut ketua adat Desa Senami Dusun 3 Upacara Besale berasal dari daerah Mentawak, Sarolangun. Upacara Besale di pandu oleh seorang Pawang (dukun yang dipercaya memiliki ilmu turun-temurun), nantinya akan menari dan bernyanyi membacakan jampi-jampi, ditujukan untuk orang yang sedang sakit. 


Seorang Pawang menggunakan pakaian yang berwarna putih, terdiri dari celana panjang yang berwarna putih, penutup kepala dari kain putih yang dililitkan ke kepala sang Pawang dilengkapi dengan tudung yang terbuat dari kain putih. Perlengkapan lainnya seperti Tenggiring yaitu berupa lonceng yang terbuat dari kuningan yang bersuara nyaring. Mangkuk kecil 2 buah tempat air jampi-jampian. Diujung kain putih terdapat Pera yaitu ujung kain yang dipercaya bisa untuk mengobati Suku Anak Dalam  yang sakit, dengan cara mencelupkan Pera ke dalam air dan air dari pera tersebut di teteskan ke mata anak yang sakit.


Dalam upacara adat Besale dipercaya bahwa apabila salah satu syarat dalam pembuatan upacara tidak dipenuhi maka pengobatan yang dilaksanakan tidak begitu manjur bahkan dapat membuat arwah-arwah marah. Bait lagu sebagai pembuka upacara adat Besale ini adalah Betinjak dibungin baru sebiji Dijanjam baru setitik Angin baru serembus Beteduh di langi


Lagu-lagu yang di nyanyikan terus berlangsung selama semalam dalam kondisi Pawang dilarang makan, Pawang menari-nari mengelilingi orang sakit yang duduk atau berbaring di bawah rumah-rumahan yang di buat sebelumnya, dengan mengibaskan bunga pinang yang di celupkan air yang telah dijampi-jampi kepada orang yang sakit tersebut sang dukun terus bernyanyi tanpa sadarkan diri diiringi oleh tabuhan gendang dari beberapa suku Anak Dalam lainnya.


Oleh: Dewi Rosya Wahyu Handayani

*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY Angkatan 2019


 DAFTAR PUSTAKA

Alimansyur, Moh. 1985. Arsitektur Tradisional daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Ermitati, 2014. Pengungkapan Budaya Suku Anak Dalam Melalui Kosakata Bahasa Kubu. Kandai. 10(2): 153-164

Kuswanto, Heri, 2016. Representasi Budaya Suku Anak Dalam Pada Kmpulan Cerpen Negeri Cinta Batanghari. Jurnal. 2(1): 50

Manurung, Butet. 2013. Sokola Rimba.Yogyakarta: Insist Press.

Prihatini, D. 2007. Makalah Kebudayaan Suku Anak Dalam. Yogyakarta: UNY.

Suparlan, P., 2004. Hubungan Antarsuku Bangsa. Jakarta: YPKIK.

Somad, K.A., 2003. Mengenal Adat Jambi dalam Persfektif Modern. Jambi: Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.

Komentar