- Advertisement -
Pro Legal News ID
Pidana

Kaltim Garap Bersama Delta Mahakam

Mahakam, ProLegalNews.com.

Kalimantan Timur kini menjadikan Delta Mahakam sebagai salah satu kawasan konservasi strategis yang akan dikelola dengan mekanisme Kesepakatan Pembangunan Hijau (Green Growth Compact).

“Pemerintah tak bisa sendiri menyejahterakan masyarakat dan melindungi lingkungan, harus melibatkan banyak pihak,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur Wahyu Widhi Heranata di Desa Saliki, Kutai Kartanegara, Selasa, 24 Oktober 2017. Pernyataaan Wahyu Widhi tersebut disampaikan dalam sarasehan “Membangun Kemitraan Delta Mahakam dalam Kerangka Green Growth Compact dan Serah Terima Pusat Informasi Mangrove,” yang dihadiri juga oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Kalimantan Timur Jauhar Effendy, Kepala Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Daddy Ruhiyat, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim, Balai Besar Penelitian dan Pengembanan Ekosistem Hutan Dipterokarpa (B2P2EHD), warga desa Saliki, perwakilan dunia usaha dan mitra pembangunan.

Sarasehan ini membahas nasib Delta Mahakam yang memiliki luas sekitar 1500 kilometer persegi. Delta dengan kekayaan hayati dan non hayati melimpah termasuk tutupan nipah dan mangrove ini, kondisinya memprihatinkan. Sudah 80 persen dari tutupan lahannya masuk dalam kategori rusak. Padahal, kawasan ini adalah salah satu benteng Kalimantan Timur akan hempasan gelombang pasang laut, tsunami dan mencegah infiltrasi air asin (ke Sungai Mahakam) dari selat Makassar. Bentang pesisir ini kaya akan keanekaragaman hayati dengan potensi sumber daya perikanan utama adalah udang dan kepiting. Masih di wilayah delta mahakam juga, terdapat potensi minyak dan gas bumi. Dengan segala hasil bumi banyak pihak yang ingin mengeksplorasinya, baik dari masyarakat maupun dunia usaha.

Pengelolaan sumber daya alam memang membawa geliat perekonomian. Namun, menurut Daddy, suka tidak suka berimbas pada degradasi lingkungan, termasuk yang terjadi di Delta Mahakam. Masyarakat mengelola tambak, perusahaan mengeksplorasi minyak dan gas, dan juga kegiatan pembukaan tutupan lahan lainnya. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman telah membuat daftar isu utama yang harus diselesaikan di Delta Mahakam. Isu tersebut antara lain kerusakan mangrove, mangrove ditolak petambak karena membuat air menjadi asam, produktivas tambak menurun, restorasi agraria (izin pembukaan dan pengelolaan tambak), pengolahan nipah untuk nira dan bioetanol. Status tanah ini yang menjadi perhatian bagi Idam Halid, warga desa Saliki, kecamatan Muara Badak. Ia mempertanyakan status tambaknya dan warga desa lainnya yang masuk wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi sehingga sulit mendapatkan sertifikat tanah. Padahal ia sudah tinggal empat generasi di desa. Idam tak sendiri, status tambak yang tidak diakui juga dialami warga desa Salo Palai. Tambak menguasai bukaan lahan di Delta Mahakam. Kajian Universitas Mulawarman menunjukkan bahwa sekitar 61,2 persen kawasan sudah beralih fungsi menjadi tambak. Jumlah ini meningkat dari 47 ribu hektar (1990an) menjadi 65 ribu hektar (2017).

Peneliti Madya dari Balai Besar Tien Wahyuni mengakui bahwa petambak di Delta Mahakam mayoritas mengelola secara masif dan tradisional. “Bahkan ada yang memiliki tambak hingga 100 hektar, itu besar sekali,” kata Tien membandingkan dengan luasan petambak di Sidoarjo yang hanya lahannya tak sampai 10 hektar dengan hasil panen 9x dari petambak Delta Mahakam. Konsep sebagian besar petambak di Delta Mahakam bahwa semakin besar lahan, semakin tinggi hasil panen tambak. Padahal biaya operasional juga lebih tinggi, apalagi kalau terjadi kerusakan. Tambak juga akan mengalami kejenuhan lahan di tahun ketiga yang ditunjukkan dengan penurunan produksi. Tien mengatakan, sudah ada sebagian kecil petambak yang menerapkan prinsip berkelanjutan dengan menyandingkan tambak bersama mangrove, namun masih sangat kecil jumlahnya. Kebanyakan mereka memilih membuka lahan mangrove, meninggalkan lahan yang tidak produktif dan kemudian kembali membuka lahan di area yang sama. Kesadaran para petambak inilah, menurut Tien, yang harus terus dibangun demi menyelamatkan delta mahakam tanpa mengurangi kesejahteraan warga.

Agar tidak kerusakan tidak meluas dan meningkat skalanya, maka Daddy mengatakan perlu dikuatkan lagi komitmen para pihak yang berkepentingan di Delta Mahakam. Serah terima institusi ini, Daddy melanjutkan, adalah langkah awal merehabilitasi kawasan sekaligus mensejahterakan masyarakat dalam kerangka Kesepakatan Pembangun Hijau. “DDPI mendorong upaya-upaya kolaborasi di delta mahakam untuk membuat suatu wilayah lebih baik, syukur-syukur bisa menjadi obyek wisata,” kata Daddy.

Hari ini disepakati sejumlah usulan program pengembangan di Delta Mahakam dengan melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak yang akan terlibat dalam pengelolaan Delta Mahakam nantinya adalah mitra pembangunan, dunia usaha (SKK Migas, Vico, Pertamina Hulu Mahakam), masyarakat di tiga kecamatan (Muara Badak, Anggana,Muara Jawa), Universitas Mulawarman, B2P2EHD, dan Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi, serta KPH Delta Mahakam. Program-program yang disepakati akan dikembangkan antara lain penguatan kelembagaan KPH Delta Mahakam, Pengelolaan Tambak Berkelanjutan, Peningkatan ekonomi Rakyat (silvofisheries, Hasil Hutan Bukan Kayu, ekowisata), rehabilitasi mangrove, Penguatan kapasitas masyarakat, pemutakhiran data, perlindungan keragaman hayati di kawasan Delta ini. Adv

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan