Jayapura, Nokenlive.com – Badan Eksekutif Mahasiswa, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (BEM STFT) ”Fajar Timur”dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi GKI I.S.Kijne meminta kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten/kota diseluruh Papua dan Papua Barat untuk segera membuka ruang dialog bersama para mahasiswa eksodus.
“Merumuskan suatu solusi terbaik untuk mengakhiri kondisi Papua yang tengah memanas ini, alangkah kokohnya, Pemprov Papua dan Pemkot seluruh Papua dan Papua Barat harus membuka ruang dialog dengan mahasiswa eksodus sebagai rumusan solusi untuk mengakhiri tuntutan mereka.
Hal itu dikatakan Aris Yeimo ketua BEM STFT “Fajar Timur” kepada wartawan di Jayapura, Sabtu, (28/9/2019).
Aris menjelaskan, melatarbelakangi dengan ungkapan rasis yang berbuntut ‘kemarahan’ mahasiswa dan warga dibeberapa kota di Papua dan Papua Barat lantas bermula dari gudaan pembuangan bendera merah-putih di selokan yang dilakukan oleh mahasiswa Papua serta perkataan tak humanisme yang dikelurkan oleh beberapa anggota TNI/POLRI serta Ormas yang hadir pada saat itu di depan Asrama mahasiswa Surabaya.
“Akibat dari perlakukan tersebut, kelompok masyarakat dan mahasiswa Papua melakukan aksi protes dalam bentuk demontasi (turun jalan) beberapa kota di Papua dan Papua Barat bahkan sampai di luar negeri untuk meminta keadilan hukum atas ungkapan tindakan rasis tersebut, sebab sampai saat ini, dimata hukum belum mengunggap pelakunya sehingga tuntutan bisa saja terus dilakukan oleh mahasiswa Papua,”katanya.
Pihaknya menilai, dari rangkaian peristiwa demontrasi atas permintaan keadilan tersebut, telah menelang korban jiwa terhadap Orang Papua maupun Non Papua bahkan aparat keamanan di Papua dan Papua Barat.
“Atas peristiwa tersebut sampai saat ini, korban jiwa yang kami peroleh dari beberapa media kurang lebih sebanyak 49 jiwa diantara dari Kabupaten Deiyai 9 orang, Jayapura 8 orang, Wamena 32 orang pasca kerusuhan di Papua,”ujar Aris.
Oleh sebab itu, pihak menilai, fakta tersebut mengindikasikan bahwa, kondisi di Papua dan Papua Barat masih bergejolak.
“Antisipasi tidak terulangnya aksi demontrasi dari mahasiswa Papua, kami minta negara bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Papua segera konsep ruang dialog dengan mahasiswa eksodus untuk mempertanyakan maunya apa keinginan mahasiswa Papua atas semua ini,”tegas Yeimo.
Pernyataan Sikap
Dengan melihat realita saat ini, kami mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi GKI S.I. Kijne sangat prihatin dengan merosotnya nilai-nilai kemanusian. Sangat jelas bahwa realita ini tidak sesuai dengan hakikat nilai kebijakan hidup beragama. Maka dengan berdasarkan pada Ajaran Sosial Gereja, kami turut menekankan pentingnya penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia. Setiap orang berhak mendapatkan pemenuhan hak asasinya.
Hak atas nilai-nilai moral dan budaya mencakup.
a. Kebebasan mencari kebenaran, mengungkapkan pendapat, kebebasan menerima dan memberi informasi dan hak atas pendidikan dasar (art.12-13).
b. Hak untuk berkumpul dan berorganisasi : karena kodrat sosial manusia (art. 23).
c. Negara harus menjamin agar hak-hak manusia :”diakui, dihormati, diserasikan dengan hak-hak lain, dibela dan dimajukan, sehingga setiap orang dapat dengan gampang menunaikan kewajibannya (art.60) (Pacem in terris: 1963).
Dengan demikian, kami juga perlu menegaskan bahwa keterlibatan Gereja dalam mengurua HAM tidak didasarkan atas kebencian dan balas dendam. Juga untuk kepentingan politik atau ekonomi. Gereja terlihat memperjuangka HAM, karena kasih dan untuk kasih. Oleh sebab itu, perjuangan terhadap perjuangan HAM dilaksanakn oleh gereja dalam semangat kasih. Keterlibatan gereja dalam mengurus HAM merupakan perwujudan dari hukum kasih kepada sesama manusia. Dengan demikian, Gereja menyatakan kasihnya kepada Allah dan sesama melalui perjuangan atas penghormatan HAM.
Oleh karena itu, sebagai bentuk solidaritas kepada semua masyarakat dan mahasiwa Papua eksodus, kami menyampaikan tuntutan sebagai berukut :
1. Hentikan seluruh pendekatan militer terhadap mahasiswa eksodus dan semua orang yang hidup diatas tanah Papua serta mengedepankan pendekatan humanistik.
2. Hentikan segala bentuk diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.
3. Negara harus menertibkan ormas-ormas reaksioner dan menjamin rasa aman bagi semua orang yang hidup di tanah Papua.
4. Tidak mengatasnamakan orang Papua untuk membawa aspirasi masyarakat Papua secara parsial ke Pemerintah Pusat.
5. Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten kota harus berusaha membuka ruang dialog dengan mahasiswa eksodus dan para Rektor di setiap PTN/PTS se-tanah Papua serta mengakomodir aspirasi mahasiswa eksodus.
6. Negara harus membuka ruang dialog dengan orang asli Papua, semua Paguyuban di tanah Papua, Pemerintah Daerah, TNI/POLRI, semua perusahaan Swasta, Pemerintah Pusat, TPM/OPM, ULMWP dan Orang Papua diaspora.
Jayapura, 28 September 2019
BEM STFT “Fajar Timur”.
(Thiand)
Apa komentar anda ?