Tampilkan di aplikasi

Buku Marja hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

KH. Hasyim Asy'ari

Membangun, Membela, dan Menegakkan Indonesia

1 Pembaca
Rp 54.000 15%
Rp 45.900

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 137.700 13%
Rp 39.780 /orang
Rp 119.340

5 Pembaca
Rp 229.500 20%
Rp 36.720 /orang
Rp 183.600

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

"KH Hasyim Asy’ari—kakek dari KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4 (1999-2001)—adalah salah seorang tokoh terbesar Islam Nusantara dan juga mahaguru para ulama dan kiai seluruh pesantren di Indonesia. Sumbangsih dan kiprah KH Hasyim Asy’ari sangat penting bagi gerakan Islam di Nusantara dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Organisasi massa Islam yang didirikannya 1926, Nahdlatul Ulama (NU), membawa dampak dan memainkan peran sangat penting bagi corak Islam Nusantara dan kepentingan bangsa Indonesia.

Di kalangan dunia pesantren dan para kiai, KH Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar Hadlratus-syaikh, yang berarti Mahaguru. Kiranya, gelar ini dipandang tidak terlalu berlebihan, karena beliau adalah salah seorang inisiator berdirinya NU. Di samping itu, KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang pemikir Islam dengan berbagai karya tulisnya dijadikan sebagai rujukan oleh para ulama terkemudian.

Mengingat kiprah dan sumbangsih Hadlratus-syaikh KH Hasyim Asy’ari kepada bangsa dan negara Indonesia, sepak-terjang dan jejak-langkah berikut perjuangannya yang dituturkan dalam buku ini sangat layak diteladani dan dilanjutkan oleh generasi muda bangsa dan negara kita tercinta ini. Oleh pemerintah Indonesia, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Buku ini sangat penting untuk disimak kandungannya."

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Dr. Miftahuddin
Editor: Mathori A Elwa

Penerbit: Marja
ISBN: 9786026297327
Terbit: April 2017 , 180 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

"KH Hasyim Asy’ari—kakek dari KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4 (1999-2001)—adalah salah seorang tokoh terbesar Islam Nusantara dan juga mahaguru para ulama dan kiai seluruh pesantren di Indonesia. Sumbangsih dan kiprah KH Hasyim Asy’ari sangat penting bagi gerakan Islam di Nusantara dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Organisasi massa Islam yang didirikannya 1926, Nahdlatul Ulama (NU), membawa dampak dan memainkan peran sangat penting bagi corak Islam Nusantara dan kepentingan bangsa Indonesia.

Di kalangan dunia pesantren dan para kiai, KH Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar Hadlratus-syaikh, yang berarti Mahaguru. Kiranya, gelar ini dipandang tidak terlalu berlebihan, karena beliau adalah salah seorang inisiator berdirinya NU. Di samping itu, KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang pemikir Islam dengan berbagai karya tulisnya dijadikan sebagai rujukan oleh para ulama terkemudian.

Mengingat kiprah dan sumbangsih Hadlratus-syaikh KH Hasyim Asy’ari kepada bangsa dan negara Indonesia, sepak-terjang dan jejak-langkah berikut perjuangannya yang dituturkan dalam buku ini sangat layak diteladani dan dilanjutkan oleh generasi muda bangsa dan negara kita tercinta ini. Oleh pemerintah Indonesia, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Buku ini sangat penting untuk disimak kandungannya."

Ulasan Editorial

Hasanudin Abdurakhman, kelahiran Kalimantan Barat, adalah penulis buku Melawan Miskin Pikiran dan Emakku bukan Kartini. Alumnus FMIPA UGM (1994) ini meraih Ph.D. (2002) di Departement of Applied Physics, Graduate Schools of Engineering, Tohoku University, Sendai, Jepang. Di samping menulis, ia menjadi General Manager for Business Department pada PT. Toray Industries Indonesia (2013-sekarang), plus ditugaskan menjadi Manager pada Indonesia Toray Science Foundation (2014-sekarang)

Pendahuluan / Prolog

Anak NU Pinggiran
Saya masih merekam dengan baik interaksi saya dengan ayah saya, yang saya saksikan saat saya masih kecil. Setiap pagi Ayah bangun, saat di luar sana masih gelap. Ia segera pergi mandi ke perigi di belakang rumah kami, berbekal senjata keramatnya, lampu senter. Tak lama kemudian dia kembali, kemudian memakai baju, sarung dan peci. Lalu Ayah mengumandangkan azan, membangunkan kami, seisi rumah.

Setelah itu ia berkeliling ke ranjang-ranjang, membangunkan anak-anaknya yang masih belum bangun juga.

Sambil menunggu kami semua siap, Ayah melakukan shalat sunnah rawatib. Lalu kami berjamaah shalat Shubuh. Di rakaat kedua, Ayah membaca doa qunut. Setiap hari mendengar Ayah membacanya, saya segera hafal doa itu.

Jumat pagi Ayah biasanya tak pergi bekerja di kebun. Atau, kalaupun ia pergi, ia pulang cepat. Sejak pukul 10 pagi Ayah sudah bersih, mandi, mencukur kumis, dan memotong kuku. Ia kemudian berlatih membaca khutbah dari buku yang ia miliki.

Kemudian Ayah berangkat ke mesjid. Biasanya ia adalah orang pertama yang tiba di masjid.

Shalat Jumat dimulai dengan azan. Kemudian jamaah melaksanakan shalat sunnah. Kemudian muazin (di kampung kami menyebutnya bilal) membacakan ma‘asyiral. Dulu saya menganggap ini adalah doa-doa yang merupakan bagian dari ritual shalat Jumat. Saya kira semua orang kampung kami begitu. Setelah sekolah di madrasah tsanawiyah barulah saya tahu bahwa ini adalah peringatan agar jamaah tidak berbicara selagi khatib berkhutbah. Lalu Ayah naik ke mimbar, mengucapkan salam, dan kemudian muazin kembali azan.

Bulan puasa, kami pergi ke masjid untuk tarawih. Tarawih bagi saya adalah hal yang sangat melelahkan dan menjemukan.

Kami shalat ‘Isya’, kemudian tarawih 20 rakaat, dan witir 3 rakaat. Saat pulang dari masjid, rasanya sungguh penat.

Ayah juga mengurus jenazah. Ia memandikan, mengafani, dan menyalati jenazah. Lalu kami semua membawanya ke kuburan. Setelah jenazah dikuburkan, Ayah membacakan doa talkin. Malam harinya kami berkumpul di rumah keluarga yang berduka, mengirimkan Al-Fâtihah dan doa-doa untuk si mayit.

Itu berlangsung selama 3 hari, kemudian diulangi di hari ke-7, 14, 21, dan 40 hari. Lalu hal yang sama diulangi setiap “ulang tahun” kematian.

Saat saya sudah agak besar, saya menyaksikan pertengkaran kecil antara Ayah dengan abang saya yang sekolah di kota. Abang saya itu mengritik Ayah atas amal-amal yang Ayah lakukan.

Bid‘ah, katanya. Kontan Ayah marah. Lalu mereka bertengkar.

Belakangan Ayah diberitahu oleh saudara-saudaranya di kota bahwa abang saya itu terpengaruh oleh paham modern. Lalu saya menyaksikan perbincangan yang menyalahkan paham modern tadi. Saya juga mendengar beberapa masjid pecah akibat perselisihan antara paham modern dan paham yang dianut Ayah tadi.

Kelak Ayah makin sering pergi ke kota, menengok anakanaknya yang sekolah di kota. Ayah bahkan melewatkan bulan puasa di kota. Di sana ia menemukan bahwa ada masjid-masjid melaksanakan amalan-amalan seperti yang biasa ia lakukan.

Tapi ada pula yang melakukannya dengan cara yang berbeda.

Kelak Ayah jadi paham bahwa itulah yang disebut masalah khilafiyah.

Di mana Ayah belajar semua ilmu yang dia pakai sebagai landasan amal-amalnya itu? Ayah hanya belajar dari guruguru yang pergi berdakwah berkeliling ke kampung-kampung.

Kami orang-orang yang tinggal di pesisir Kalimantan Barat, kampung-kampung kami tidak dihubungkan dengan jalan darat, tapi oleh laut dan sungai. Guru-guru itu datang dengan kapal motor dan sampan, menginap di rumah penduduk selama 1-2 minggu, dan mengajar setiap malam. Tak semua orang serius belajar dan mampu merekam kajian itu. Boleh dibilang hanya satu dua yang bisa. Orang itu menjadi pemuka agama kampung seperti Ayah.

Bagi Ayah, itulah Islam. Itulah satu-satunya versi Islam yang ia kenal, sampai kelak anaknya mengamalkan paham baru.

Ia sempat terkejut oleh kenyataan itu, tapi kemudian paham bahwa itu adalah perbedaan yang dibolehkan. Ia sendiri tetap menjalankan amalan sesuai yang diajarkan gurunya.

Kelak setelah saya belajar lebih banyak dan bergaul lebih luas, saya paham bahwa yang biasa diamalkan Ayah itu adalah paham mazhab tradisional, yang penyebarannya dimotori oleh Nahdlatul Ulama. Sedangkan paham modern tadi dimotori oleh Muhammadiyah. Lalu sedikit banyak saya mulai mengenal organisasi itu, Nahdlatul Ulama.

Ada beberapa wajah organisasi ini. Pertama, wajah organisasi massa (ormas). Juga ada wajah politik, yaitu partai politik Nahdlatul Ulama yang dikenal pada masa lalu.

Atau NU yang melebur menjadi bagian dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebelum organisasi ini menyatakan diri mundur dari politik praktis, dan kembali ke khittah. Wajah lainnya adalah pesantren-pesantren yang merupakan tulang punggung pendidikan bagi kalangan Nahdliyin.

Nah, sesungguhnya Ayah saya tidak pernah mengenal wajah-wajah itu. Bahkan, dia tak mengenal nama ormas itu.

Ayah adalah orang NU dalam wajah yang paling fundamental, yaitu wajah amalan. Ayah tak bersentuhan sama sekali dengan elit-elit NU, baik di ormas, partai politik, maupun pesantren.

Tapi Ayah bersentuhan dengan hal yang paling fundamental tadi, yang menjadi darah daging bagi agama yang ia anut. Bagi Ayah, NU itu identik dengan Islam. NU adalah Islam, dan Islam adalah NU.

NU itu besar. Tapi sesungguhnya ia lebih besar, bahkan jauh lebih besar. Entah ada berapa juta orang seperti Ayah saya, yang tak mengenal nama organisasi NU secara formal, tapi darah daging amalnya adalah NU. Ia berguru secara sambung menyambung kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Ilmu Sang Guru sampai kepada murid-muridnya, tanpa mereka pernah mengenal sosoknya, bahkan namanya. Lahul-fâtihah.

Daftar Isi

Sampul
Anak NU Pinggiran
Pengantar
Prakata
Kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Daftar Isi
Bab 1. Menatap Cermin Bening Sang Kiai
Bab 2. Bulan pun Jatuh di Perut Ibunda: Kisah Kelahiran, Masa Kecil, dan Remaja
     Kelahiran
     Nasab
     Masa Kecil
Bab 3. Dari Bangkalan sampai Makkah: Pengembaraan Intelektual
     Pengembara Muda
     Menikah Kembali
     Kehidupan Rumah Tangga dan Keturunan
Bab 4. Profil Singkat Para Guru
     Hubungan Guru-Murid
     Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan
     Syaikh Ahmad Khatib Sambas
     Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani
     Syaikh Abdul Karim
     Syaikh Mahfudh at-Tarmisi
     Barakah
Bab 5. Tebuireng, Nahdlatul Ulama, dan Indonesia
     Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
     Sejarah Pondok Tebuireng
     Perkembangan Pondok Tebuireng
     Mendirikan Nahdlatul Ulama
     Membangun, Membela, dan Menegakkan Indonesia
Bab 6. Wahai Para Ulama, Bersatulah: Warisan Pemikiran
     Karya Tulis Hasyim Asy’ari
Bab 7. Kisah Wafatnya Hadratussyaikh
     Tamu Terakhir: Utusan Bung Tomo dan Jenderal Sudirman
     Nakhoda Itu pun Pergi...
     Kesaksian Pak Dirman dan ki Bagus Hadikusumo
     “Hadratussyaikh Pandai Menyenangkan Tamu", Catatan Seorang Murid
     Ditawari Presiden
Pidato KHR As’ad Syamsul Arifin*
Indeks
Daftar Pustaka
Tentang Penulis

Kutipan

Bab 1. Menatap Cermin Bening Sang Kiai
“Aku ridha padamu wahai Hasyim. Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu.”—KH Kholil Bangkalan

Bab 2. Bulan pun Jatuh di Perut Ibunda: Kisah Kelahiran, Masa Kecil, dan Remaja

“Seorang santri harus menyucikan hatinya dari segala hal berunsur menipu, kotor, penuh dendam, hasut, keyakinan yang tidak baik, dan budi pekerti yang tidak baik. Hal itu dilakukan supaya santri pantas menerima ilmu, menghafalkannya, meninjau kedalaman maknanya, dan memahami makna yang tersirat.”—KH Hasyim Asy’ari

Bab 3. Dari Bangkalan sampai Makkah: Pengembaraan Intelektual

“Pergilah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti dari apa yang telah engkau tinggalkan. Bersungguh-sungguhlah dalam berusaha, sebab kenikmatan hidup hanya akan dapat dirasakan setelah bekerja secara sungguh-sungguh.”—Imam as-Syafi’i

“Seorang santri tidak boleh memiliki ambisi duniawi, misalnya menjadi pemimpin, jabatan, harta benda, bersaing dan saling mengalahkan sesama teman, berharap dihormati masyarakat dan sebagainya. Ia juga harus berusaha sesegera mungkin memperoleh ilmu di waktu masih belia dan memanfaatkan sisa umur.”—KH Hasyim Asy’ari

Bab 4. Profil Singkat Para Guru

“Saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun hanya satu kata saja.”—Sayyidina Ali bin Abi Thalib

“Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak akan berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya.”—KH Hasyim Asy’ari

Bab 5. Tebuireng, Nahdlatul Ulama, dan Indonesia

“Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, apa yang diperbaiki lagi darinya? Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan. Contoh-contoh ini telah ditunjukkan Nabi kita dalam perjuangannya.”—KH Hasyim Asy’ari

Bab 6. Wahai Para Ulama, Bersatulah: Warisan Pemikiran

“Wahai para ulama dan para pemimpin yang bertakwa dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, pemegang imam empat mazhab. Kalian telah menimba ilmu dari para pendahulu. Begitu pula para pendahulu belajar dari para pendahulu lainnya dengan mata rantai yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka hendaklah kalian melihat dari mana kalian menimba ilmu agama. Kalian adalah khazanah dan pintu-pintunya, dan tidak seorang pun memasuki rumah kecuali dari pintu-pintu tersebut. Barang siapa tidak memasuki dari pintu-pintu tersebut, maka orang tersebut adalah pencuri.”—KH Hasyim Asy’ari

Bab 7. Kisah Wafatnya Hadratussyaikh

“...Ibarat sebuah kapal membawa beribu-ribu umat Islam yang akan disampaikan ke pulau bahagia dan sejahtera, maka beliau almarhum adalah nakhoda dari kapal tersebut.”—KH Wahab Hasbullah