Sejarah Singkat Walisongo di Pulau Jawa

Sejarah Singkat Walisongo di Pulau Jawa

Ma’had Aly – Kata walisongo adalah bahasa Jawa yang artinya wali sembilan atau sembilan orang yang sudah mempunyai tingkatan “wali” yakni suatu derajat yang tingkatannya tinggi dimana mereka mampu mengawal babakan howo songo (mengawal sembilan lubang yang ada di dalam diri manusia), sehingga mereka mempunyai peringkat wali. Para wali ini tidak hidup secara bersamaan, namun mereka memiliki hubungan yang erat dan memiliki keterkaitan satu sama lain, seperti hubungan darah dan guru dengan murid.

Walisongo yang dimaksud yaitu :

  1. Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)

Sunan Gresik berasal dari negara Turki, beliau sangat ahli dalam urusan tata negara. Sunan Gresik datang ke Nusantara khususnya Pulau Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum Sunan Gresik datang ke Pulau Jawa, Islam pada waktu itu masih sangat sedikit. Pernyataan ini dibuktikan dengan adanya makam Fatimah Binti Maimun yang nisannya bertuliskan angka 1082 M.

Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal di kalangan masyarakat yang kastanya rendah, dimana kasta ini selalu tertindas oleh masyarakat yang berkasta tinggi. Beliau juga menjelaskan bahwa kedudukan semua orang adalah sama, yang membedakan hanya derajat ketakwaan dan keimanannya, karena orang yang paling tinggi imannya dan ketakwaannya adalah orang yang tinggi di sisi Allah swt. Beliau juga mendirikan sebuah lembaga perguruan Islam, yaitu pesantren sebagai tempat para santri digembleng dan dididik menjadi mubaligh.

Di Gresik beliau tak hanya mengajarkan agama Islam saja, akan tetapi beliau juga mengarahkan agar kehidupan masyarakat meningkat. Beliau juga memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik seorang tokoh “Walisongo” yang dianggap sebagai tokoh ayah dari walisongo. Sunan Gresik wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.

  1. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Raden Rahmat (Sunan Ampel) adalah putra dari Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dari istrinya yang bernama Dewi Candrawulan. Sunan Ampel memulai mendirikan lembaga pesantren di kota Ampel Denta, berdekatan dengan kota Surabaya. Di antara murid yang beliau didik antara lain Sunan Giri (Raden Paku), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak.

Menurut cerita “Babad Diponegoro”, Sunan Ampel (Raden Rahmat) di kalangan istana Majapahit beliau sangat berpengaruh, dan juga istrinya  berasal dari kalangan istana Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi murid Ampel. Sunan Ampel (Raden Rahmat) beliau tercatat sebagai seorang  perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Beliaulah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama kerajaan Demak. Di samping itu, Sunan Ampel (Raden Rahmat) juga ikut serta mendirikan dan membangun Masjid Agung di Demak pada tahun 1479 M bersama wali-wali lain.

Pada awal ketika islamisasi di Pulau Jawa, Sunan Ampel (Raden Rahmat) menginginkan agar seluruh masyarakat menganut keyakinan yang murni. Beliau tidak setuju adanya adat  kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji dan lainnya, namun hidup dalam suatu sistem sosio-kultural masyarakat yang sudah memeluk agama Islam. Akan tetapi wali-wali yang lain berbeda pendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan, karena masyarakat sangat sulit meninggalkannya secara bersamaan. Pada akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya ketika kanjeng Sunan Kalijaga dalam usaha mengajak penganut agama Hindu dan Buddha, mengusulkan agar adat istiadat orang Jawa itulah yang akan diberi warna Islami. Dan juga beliau wafat pada tahun 1478 M dan dimakamkan di sebelah masjid Ampel.

  1. Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim)

Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid. Beliau dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah.

Raden Makdum Ibrahim beserta wali lainnya ketika menyebarkan Islam di pulau Jawa mereka menyesuaikan dengan corak kebudayaan adat masyarakat Jawa, seperti musik dan gamelan. Dakwah mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan itu sebagai media dalam menyebarkan agama Islam, dengan menyisipkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Para wali menciptakan syair lagu gamelan yang berisi pesan tauhid, sikap keyakinan menyembah Allah swt., dan tidak menyekutukan-Nya. Satu bait tembang selalu disisipi dengan ucapan kalimat dua syahadat  gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah Sekaten, yang berasal dari Syahadatain. Raden Makdum Ibrahim juga membuat tembang yang berjudul durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang wafat di pulau Bawean pada tahun 1525 M.

  1. Sunan Giri (Raden Paku)

Sunan Giri atau dikenal dengan Raden Paku merupakan salah satu putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu, putri Menak Samboja. Kebesaran nama Sunan Giri terlihat antara lain sebagai salah anggota dewan Walisongo. Nama Sunan Giri ini  tak bisa terlepas dari proses berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Sunan Giri adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya kerajaan itu serta terlibat dalam penyerangan terhadap Majapahit sebagai penasehat militer. Sunan Giri atau Raden Paku sangat terkenal akan kedermawanannya, yaitu sering membagikan barang dagangannya kepada rakyat Banjar ketika terkena musibah-musibah. Beliau bertafakur dan bermunajat kepada Allah swt di dalam goa selama 40 hari 40 malam. Setelah selesai bertafakkur beliau teringat pada pesan ayahnya ketika belajar di daerah Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawa dari negeri Pasai. Melalui desa Margonoto, sampailah Sunan Giri di suatu daerah perbatasan yang hawanya sejuk nan indah lalu ia mendirikan sebuah pondok pesantren yang dinamai Pesantren Giri. Tidak lama kemudian hanya dalam waktu 3 tahun pesantren Giri tersebut terkenal di seluruh penjuru Nusantara. Sunan Giri sangatlah berjasa dalam penyebaran agama Islam, baik di pulau Jawa atau Nusantara dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang dan bersama dengan muridnya. Sunan Giri juga menciptakan tembang-tembang untuk anak kecil yang bernuansa Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.

  1. Sunan Drajat (Raden Syarifuddin)

Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Syarifuddin. Ada sumber lain yang mengatakan bahwa nama aslinya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu yang bernama Dewi Candrawati. Jadi Raden Qasim itu adalah saudara dari Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Oleh ayahnya yaitu Sunan Ampel, Raden Qasim mendapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di suatu daerah sebelah barat Gresik perbatasan Tuban. Di desa Jalang itulah Raden Qasim mendirikan sebuah pesantren. Tak lama kemudian banyak orang berbondong-bondong berguru kepada beliau. Setahun kemudian di daerah desa Jalang, Raden Syarifuddin mendapat isyarat agar pindah ke daerah sebelah selatan, tak jauh dari desa Jalang tersebut. Disana beliau juga mendirikan mushala yang sekaligus beliau manfaatkan untuk tempat berdakwah. Beliau tinggal disana selama 3 tahun, dan beliau mendapat isyarat kembali agar pindah tempat, yakni ke suatu bukit. Di tempat baru itulah beliau berdakwah dengan menggunakan cara baru yakni dengan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan untuk mengumpulkan orang-orang, sesudahnys beliau berceramah Islam. Begitulah cara beliau mendekati rakyatnya, beliau begitu cerdik dalam mendakwahkan Islam dengan cara mengunakan kesenian. Hingga sekarang seperangkat gamelan itulah yang masih tersimpan dengan rapi di museum dekat makamnya.

  1. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)

Nama aslinya beliau adalah Raden Sahid, putra dari Raden Sahur, putra Temanggung Wilatikta Adipati Tuban. Sunan Kalijaga sebenarnya anak muda yang sangat patuh dan kuat pada agama dan kepada orang tua, tapi beliau tidak bisa menerima ketimpangan keadaan yang ada di sekelilingnya, sehingga beliau mencari makanan dari gudang kadipaten untuk dibagikan kepada rakyat-rakyatnya. Akan tetapi hal itu diketahui ayahnya, sehingga beliau dihukum cambuk tangannya 100 kali dan beliau diusir.

Setelah beliau diusir oleh ayahnya beliau mengembara, Sunan Kalijaga bertemu orang berjubah putih, dan beliau adalah Sunan Bonang. Lalu Sunan Kalijaga diangkat menjadi muridnya, dan diperintahkan untuk menunggu tongkatnya di depan sungai bertahun-tahun hingga seluruh tubuh beliau berlumut, sehingga beliau dinamakan Sunan Kalijaga.

Raden Sahid menggunakan kesenian ketika beliau menyebarkan agama Islam, diantaranya dengan sastra, wayang dan berbagai kesenian lainnya. Untuk menarik perhatian masyarakat para pendakwah Walisongo menggunakan jalur pendekatan melalui kesenian, sehingga tanpa disadari mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam, karena pada awalnya mereka tertarik akan kesenian itu. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, cerita itu disisipkan ajaran-ajaran agama Islam dan nama-nama pahlawan Islam.

  1. Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)

Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq ini mensyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Dalam bidang agama, Sunan Kudus memiliki keahlian khusus, terutama dalam ilmu tafsir, hadits, fiqih, tauhid serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya beliau yang mendapat gelar dengan julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya beliau banyak didatangi oleh banyak para pencari ilmu dari lintas daerah Nusantara. Ada cerita lain yang mengatakan bahwa Sunan Kudus juga pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina, dan juga pernah berjasa ikut memberantas penyakit yang menelan banyak korban di negara Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestina beliau diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina, namun beliau mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa. Oleh karena itu, Amir (penguasa setempat) mengabulkan permintaan itu. Kembalinya beliau ke Jawa ditandai dengan didirikannya masjid di daerah desa Loran tahun 1549 M, dan diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitarnya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama sebuah kota di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan kultural, beliau menciptakan berbagai banyak cerita keagamaan. Yang paling terkenal cerita keagamaan adalah Gending Maskumambang dan Mijil.

Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:

  • Strategi pendekatan kepada masyarakat dengan cara:
  • Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
  • Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama Islam
  • Tut Wuri Handayani
  • Adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah langsung diubah.
  • Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
  • Merangkul masyarakat Buddha

Setelah masjid, Sunan Kudus menciptakan padasan tempat wudlu dengan pancuran yang berjumlah 8, di atas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Buddha “Jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.

  • Selamatan Mitoni

Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di Kudus. Di pintu makam Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun 1296 H atau 1878 M.

  1. Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Dalam berdakwah beliau persis seperti ayahnya yaitu menggunakan cara-cara yang halus, bila  diibaratkan mengambil ikan tidak sampai keruh airnya. Dalam mendakwahkan agama Islam, sasaran dakwah Sunan Muria adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Sunan Muria adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pula yang menciptakan tembang  Sinom dan Kinanthi. Sunan Muria banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung dino (peringatan 3 hari kematian seseorang), mitung dino (peringatan 7 hari kematian seseorang), nyatus dino (peringatan 100 hari kematian seseorang) dan sebagainya. Melalui dakwah tembang-tembang yang diciptakannya, Sunan Muria mengajak masyarakat untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah tapa ngeli (menghanyutkan diri dalam masyarakat).

  1. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Beliau adalah salah seorang dari Walisongo yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat, dan juga pendiri Kesultanan Cirebon. Nama asli beliau adalah Syarif Hidayatullah. Beliaulah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.

Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, dan Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi masyarakat yang belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mendakwahkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

Referensi

Abu Su’ud,Islamologi, Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. 

Budiono Hadi Sutrisno,  Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, Yogyakarta: Graha Pustaka, 2009.

Fatah syukur,  Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.

Ridin Sofwan, dkk., Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Samsul Munir,  Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.

Tatang Ibrahim,  Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: CV ARMICO, 2009.

 

Oleh : Andika Sucipto, Semester VI

 

Leave a Reply