KH. Ahmad Dahlan Pendiri Perserikatan Muhammadiyah

KH. Ahmad Dahlan Pendiri Perserikatan Muhammadiyah

KH. Ahmad Dahlan merupakan sosok pemimpin yang mengayomi, terbukti setelah mendirikan Perserikatan Muhammadiyah, beliau selalu memperhatikan rakyat lemah yang tertindas oleh Kolonial Belanda. Selain itu, beliau juga sosok yang cerdas fikirannya dalam memengaruhi teman-temannya 

KH. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1869 M/1285 H dan wafat pada tanggal 25 Februari 1923 M/ 7 Rajab 1340 H. Nama asli beliau adalah Muhammad Darwis. Sepulang dari Makkah beliau mengganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan haji pada waktu itu, setiap pulang dari haji pasti mengganti nama arab. Beliau terlahir dikalangan keluarga terpandang, ayahnya seorang ketib Masjid Agung Yogyakarta, ia bernama KH. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman dan ibunya bernama Siti Aminah binti KH. Ibrahim, penghulu Keraton Yogyakarta. 

Pada tahun 1889 M, KH. Ahmad Dahlan menikah dengan seorang gadis yang cantik yaitu Siti Walidah yang pada saat itu berusia tujuh belas tahun. Ia merupakan putri Kiai Fadhil Kamaludiningrat, seorang penghulu di Keraton Yogyakarta. Walaupun Siti Walidah tidak pernah mengenyam Pendidikan formal, tapi pengetahuannya sangat luas. Dari pernikahannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak.  Ketika KH. Ahmad Dahlan masih kecil, pendidikan formal itu sangat penting, tapi beliau tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah formal karena orang tua beliau tidak mengizinkan. Alhasil, beliau dididik langsung oleh ayahnya dengan metode pengajian. Setelah itu, beliau mengaji dengan ulama Yogyakarta dan sekitarnya untuk mendalami Ilmu Tafsir, Hadis, Bahasa Arab, dan Fikih. 

Setelah dinilai cukup memahami ilmu-ilmu dasar agama, KH. Ahmad Dahlan dikirim ayahnya ke Mekkah untuk menuntut ilmu kurang lebih satu tahun. Selama di sana beliau mendalami ilmu agama, seperti Seni Membaca Al-Qur’an, Tafsir, Tauhid, Ilmu Hukum, dan Ilmu Falak (Perbintangan). Salah satu guru yang mengajar KH. Ahmad Dahlan di Makkah yaitu Syekh Ahmad Khatib, ulama Syafi’iyyah di Makkah. Selama di Makkah, KH. Ahmad Dahlan menghabiskan waktu untuk berbincang tentang ide dan pemikiran-pemikiran Wahabi serta kaum pembaharu timur tengah, seperti Jamal Al-Din, Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh. Bahkan kitab Tafsir Al-Manar karya pembaharu Mesir Syekh Muhammad Abduh menginspirasinya untuk melakukan perubahan-perubahan keberagamaan di Indonesia, serta memberi pandangan lebih jauh tentang eksistensi Islam di Indonesia yang pada saat itu Islam mengalami tekanan karena penjajah dari Belanda. 

Setelah pulang dari Makkah, beliau dipercaya oleh KH. Abu Bakar untuk mengajar anak-anak pada siang dan sore hari bertempat di langar ayahnya dan tidak jarang beliau menggantikan ayahnya mengajar ketika sedang bepergian. Hal ini menyebabkan pengaruh KH. Ahmad Dahlan semakin meluas hingga dijuluki “Kiai”. Beliau memulai melakukan pembaharuan ketika menjabat sebagai khatib Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya dengan mengganti arah kiblat menjadi miring 241/2 derajat. Namun, ditentang oleh masyarakat setempat serta Kanjeng Kiai Penghulu dan menyuruh untuk menghapusnya. 

Lalu beliau membuat langar baru dengan arah kiblat miring 241/2, tapi lagi-lagi Kiai Penghulu berniat untuk merobohkannya. KH. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena kejadian tersebut dan berniat untuk meninggalkan kampung kelahirannya, namun dicegah oleh saudaranya dan mereka membangunkan langgar sendiri agar dapat mengajarkan pengetahuan yang dia pelajari. Hal ini menjadi cikal bakal pergulatan pembaharuan baru yang dipelopori oleh beliau. Tentunya sangat sulit bagi KH. Ahmad Dahlan untuk mensosialisasikan pemikirannya karena kefanatikan dan masyarakat belum siap dengan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan mereka dan beliau juga belum punya wadah untuk mensosialisasikannya tersebut. Masalah kiblat tidak akan pernah menyurutkan semangat untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya dan melakukan pembaharu Islam di Indonesia. 

Pada tahun 1902 M, beliau dikirim oleh Sultan Hamangkubuwono VII, untuk mempelajari arah kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal ini merupakan bukti bahwa pemikiran beliau sudah diterima  Kesultanan Yogyakarta. Setelah tinggal dua tahun di Makkah, perjuangannya tidak sia-sia, pada tahun 1920 an banyak masjid di Jawa Barat dibangun dengan arah kiblat ke arah barat laut. 

Pada tahun 1909 M, KH. Ahmad Dahlan menjadi anggota Budi Utomo cabang Yogyakarta dan menjadi salah satu pemimpinnya. Apa yang dilakukan beliau ini memberi peluang untuk mengajarkan agama kepada anggota-anggotanya dan berharap dapat mengajarkan agama di sekolah-sekolah formal. Gerakan pembaharuan KH. Ahmad Dahlan mempunyai landasan kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Quraniyyah guna meluruskan perilaku keagamaan yang belandaskan beda sumber aslinya. Bahkan beliau mengkritik sesuatu yang berlawanan dengan ajaran Islam, seperti slametan dan pengeramatan kuburan orang suci karena akan membawa kemusyrikan. Pembaharuan yang dibawa KH. Ahmad Dahlan bertujuan untuk membersihkan dan memurnikan Islam dari pengaruh dan praktik-praktik yang dianggap berlawanan dan tidak ada sumber dalam Islam. 

Pada tahun 1912 M, Kolonial Belanda menargetkan Yogyakarta dan Surakarta untuk mematahkan kekuatan Islamnya dan menjadikan medan Kristenisasi. Karena daerah tersebut telah dikelilingi pusat-pusat Kristenisasi dari Ungaran, Salatiga, Boyolali, dan Kebumen. Hingga Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta tidak berdaya lagi karena kebutuhannya dijatah oleh Belanda. Pada saat itu, umat Islam tidak mempunyai pelindung, masyarakat Indonesia menjadi tertindas dan hidup dalam kemiskinan yang luar biasa. Serta kelaparan dan berbagai penyakit sebagai dampak Sistem Kerja Paksa yang berlangsung 93 tahun (1245-1338 H/1830-1919 M), kalangan bangsawan tidak lagi mempedulikan rakyatnya. Mereka disibukkan dengan kepemilikan perempuan yang banyak sekitar 23 wanita. 

Melihat situasi di Indonesia, KH. Ahmad Dahlan terpanggil hatinya untuk menjawab tantangan yang dialami umat Islam pada masa itu. Beliau mendirikan Perserikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912 M. Senin legi, 17 Dzulhijjah 1330 H KH. Ahmad Dahlan membaca Kembali surah Al-Ma’un (Q.S 107: 1-7). Untuk membangkitkan kesadaran solidaritas kaum muslimin terhadap saudaranya sesama muslimin yang mengalami dampak Tanam Paksa, Penindasan Sistem Pajak, dan Penindasan lainnya dari Kolonial Belanda.

Untuk mengaplikasikan dan mengorganisasikan Surah Al-Ma’un, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, guna memelopori pembangunan Yayasan Yatim Piatu, serta untuk menyantuni Kaum Dhuafa, dan membentuk Majlis Penolong Kesengsaraan Oemam (MPKO) pada 1336 H/1918 M. Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan juga aktif diberbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyah (Organisasi Masyarakat Orang Arab di Indonesia), Budi Utomo, dan Serikat Islam. Ia juga ulama yang sudah mengajar diberbagai Sekolah Negeri.

KH. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama juga sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia, karena tujuan awal mendirikan Muhammadiyah untuk membantu rakyat pada masa Kolonial Belanda. Tentunya, dengan didirikannya Perserikatan Muhammadiyah dapat membantu masa sulit kaum miskin dan wanita pada masa itu. 

Referensi: 

A. Mujib, dkk. 2003. Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka 

Ahmad Mansur Suryanegara. 2010. Api Sejarah Jakarta: Salamadani  

Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed, dkk. 2015. K.H. Ahmad Dahlan Perintis Modernisasi di Indonesia. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional

HM Nasruddin Anshoriy CH. 2010. Matahari Pembaharu: Rekam Jejak Kh. Ahmad Dahlan. Jogjakarta: Penerbit Jogja Bangkit

Imron Mustofa. 2018. KH. Ahmad Dahlan si Penyantun. Yogyakarta: Diva Press  

Kontributor: Umi Fadilah, Semester VI 

Leave a Reply