"...Mengapa dikau bertanya , mengapa harus bersedih..." Ote Abadi lelaki berkaca mata itu melantunkan lengkingan nada oktaf tinggi dengan sedikit vibra membuat aku terlempar ke Tahun 1970 an . Saat itu memang kelompok band the Mercys memadati ruang-ruang setiap stasion radio yang terputar melalui piringan hitam keseluruh penjuru tanah air. Mengingat musik-musik melankoli mereka memang indah , banyak kenangan manis yang dihadirkan oleh lagu-lagu masa lalu itu oleh Jelly Tobing , pemusik serba bisa, menggebuk drum , memetik melodi dan melantunkan lagu dan tak kurang dari dua puluh lagu-lagu lawas itu ditembangkan dengan apik . Penonton diajak bernyanyi , hafal diluar kepala , ada musik asyik dengan interlude saxophone yang ditiup putra-putra almarhum Albert Sumlang dimalam itu . Aku sungguh beruntung menghadiri acara : " Remembering The Mercys" sambil berkumpul dan bersilaturahim . Hadir disana : Erwin , Rinto Harahap, Reynold , keluarga Charles Panggabean , Sumlang bersaudara dan tentu produser Musica Studio . Malam berjalan perlahan, engggan bergerak dari sofa paling depan yang berharga hanya Rp.150.000,- karena ini adalah ajang pertemuan fans yang digagas oleh Abang Jelly Tobing melalui Jeto entertainment. Musik membuat kehalusan hati , pencurahan perasaan dan potret kondisi zaman , melo dan tak berdaya dibawah cengkraman otoriter penguasa , mungkin perlu strategi dan kecerdasan untuk melawannya dengan lirik-lirik lagu sindiran tentang keserakahan , ketidak berdayaan dan protes-protes seperti dilakukan musisi Iwan Fals, Leo Kristi pada saat itu. The Mercys memang memproduksi lagu cinta , patah hati, sayang menyayang dan kegalauan saat ditinggal kekasih atau rindu yg sangat dalam buat sesorang diseberang sana yang hanya bisa disapa melalui salam-salam sayang dan bukan untuk penguasa zaman itu. Depok- 25 Juni 2013 - http://www.kap-gpaa.com ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------