Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguak Makna Filosofis Aksara Jawa

29 April 2018   16:59 Diperbarui: 29 April 2018   17:08 4723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://masbadar.com/aplikasi-android-aksara-jawa-hanacaraka/

Berbeda dengan aksara latin yang terdiri dari 26 huruf, aksara Jawa hanya berjumlah 20 huruf. Perbedaan yang lain, kalau aksara latin terdiri dari huruf konsonan dan huruf vokal, sementara aksara Jawa terdiri dari gabungan huruf konsonan dan vokal "a". Berikut adalah 20 aksara (suku kata) Jawa:

https://kawruhbasa.files.wordpress.com/2012/01/aksara-jawa.jpg
https://kawruhbasa.files.wordpress.com/2012/01/aksara-jawa.jpg
Di dalam aksara Jawa mengenal 3 sandhangan, yakni: sandhangan swara (pendek: [wulu, suku, pepet, taling, taling tarung/tolong] serta panjang: [tarung, wulu melik, suku mendhut, pepet tarung, dirga mure, dirga mure tarung]); sandhangan sesigeg (panyangga, cecak, wignyan, layar); dan sandhangan wyanjana (cakra, keret, dan pengkal).

Aksara Jawa memiliki tanda baca umum dan tanda baca khusus (tunggal dan kombinasi). Tanda baca umum terdiri dari: pada adeg, pada adeg-adeg, pada piselah, pada piselah terbalik, pada lingsa, pada lungsi, pada pangkat, pada rangkep. Tanda baca khusus tunggal terdiri dari: rerengan kiwa lan tengen, pada luhur, pada madya, dan pada andhap. Sedangkan, tanda baca khusus kombinasi terdiri dari: pada guru, pada pancak, purwapada, madyapada, dan wasanapada.

Bila dikaji lebih jauh, aksara Jawa yang 20 suku kata dan memiliki sandhangan atau tanda baca itu mengandung makna filosofis yang tinggi, yakni:

Sama Saktinya, Sama-Sama Mengalami Kehancuran

Terdapat suatu pendapat bahwa aksara Jawa: //ha-na-ca-ra-ka/da-ta-sa-wa-la/pa-dha-ja-ya-nya/ma-ga-ba-tha-nga//, semula dari rangkaian kalimat: //a-na-ca-ra-ka (ada utusan)/da-tan-sa-wa-la (tidak dapat mengendalikan diri)/pa-dha-ja-ya-ne (sama-sama saktinya)/ma-gang-ba-thang-e (akibatnya sama-sama menjadi mayat)//. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa aksara Jawa mengandung ajaran folosofis bahwa kedua orang yang sama-sama sakti dan tidak mampu mengendalikan diri, bila berperang akan sama-sama mengalami kehancuran (kematian).

Bermula Ha Berakhir Nga

Aksara Jawa selalu diawali dengan aksara "Ha" dan diakhiri dengan aksara "Nga". Dalam persepsi penulis, hal ini mengandung maka filosofis bahwa orang yang masih berusia sangat muda senantisa ngaha (sombong), namun sesudah manusia berusia tua akan menga (terbuka) nalar dan pemikirannya atau mengeng (meninggalkan kehidupan duniawi) untuk memikirkan alam kelanggengan. Sebab itu, orang yang sudah sampai pada tataran "Nga" akan banyak melakukan amal kebajikan.

Sandhangan dan Tanda Baca

Sandhangan dan tanda baca dalam aksara Jawa mengajarkan bahwa manusia bisa dianggap hidup dalam kesempurnaan bila dilengkapi dengan piranti (sandhangan). Apa piranti orang hidup? Selain terpenuhinya kebutuhan lahir, pula kebutuhan batin. Selain piranti, seseorang memerlukan rambu-rambu (pemaknaan dari tanda baca), agar perjalanan hidupnya mencapai suatu tujuan yang benar. Tidak terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan.

Dipangku Mati

Setiap aksara Jawa kalau dipangku pasti mati. Hal ini mengajarkan agar manusia jangan terlena dengan pujian. Sebab kalau manusia mudah terbuai dengan pujian, maka ia akan tidak lagi meningkatkan kemampuan atau keahliannya. Akibatnya, ia akan tertinggal dengan orang lain yang selalu dibesarkan oleh kritik, bukan oleh pujian yang memabukkan.

-Sri Wintala Achmad-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun