Segera Kelola Talenta Brilian
JAKARTA, KOMPAS —Di tengah terjadinya perebutan talenta-talenta terbaik (talent war) yang terjadi di dunia saat ini, Pemerintah Indonesia mesti segera menyusun strategi untuk mengelola sumber daya manusia sesuai dengan rencana pembangunan nasional. Jika tidak, kecerdasan yang dimiliki talenta-talenta terbaik Indonesia akan diserap negara lain.
Sosiolog pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Muchlis Rantoni Luddin, menjelaskan, hingga kini Indonesia belum memiliki strategi pengelolaan SDM sebagai bagian dari skema pembangunan nasional. Setiap kementerian/lembaga masih bergerak sendiri-sendiri.
Saat ini, misalnya, pemerintah giat mengembangkan tujuh sektor, antara lain energi baru dan terbarukan, ketahanan pangan, dan kelautan. ”Namun, rancangan besar untuk pendidikan dasar hingga tinggi yang sesuai dengan skema pembangunan itu masih samar,” kata Muchlis di Jakarta, Senin (7/5/2018).
Dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi, akhirnya mengelola SDM, termasuk talenta-talenta brilian dengan cara masing-masing. Ada perguruan tinggi yang memberi perhatian khusus pada talenta brilian, ada yang tidak.
Muchlis berharap lintas kementerian/lembaga bersama-sama menetapkan strategi pembangunan yang selaras dan harmonis. Dengan begitu, talenta-talenta yang dimiliki Indonesia, termasuk para olimpian, bisa dikelola di dalam negeri dengan baik. Dunia industri, usaha, ataupun sektor akademis, dan birokrasi juga harus dipersiapkan untuk menampung talenta-talenta terbaik yang dimiliki Indonesia.
”Misal, ketika para olimpian masih kuliah dan riset, perusahaan ataupun lembaga pemerintahan sudah menyiapkan lowongan kerja. Dosen memberi inspirasi dan memastikan mereka berada pada jalurnya,” ujar Muchlis.
Sosiolog sekaligus Rektor Universitas Negeri Surabaya, Warsono, berpendapat, talenta brilian, seperti pemenang olimpiade internasional, mestinya dikelola secara khusus agar bisa dimanfaatkan untuk mendorong kemajuan bangsa. Jika skemanya jelas, perguruan tinggi bisa mengelola talenta-talenta brilian tersebut dengan baik.
Muchlis setuju para talenta brilian dikelola secara khusus. Minat dan bakat mereka perlu dikembangkan dan diarahkan ketika akan memasuki pendidikan tinggi. Ia tidak setuju dengan kebijakan sekarang di mana para olimpian hanya bisa mendapat beasiswa pemerintah di PTN lokal jika mereka kuliah jurusan yang sesuai dengan bidang olimpiade yang mereka menangkan.
”Dibebaskan saja selama masuk ke dalam skema prioritas pembangunan nasional. Mereka juga tidak perlu diwajibkan untuk kuliah S-1 di Indonesia,” katanya.
Kebijakan yang berlaku saat ini adalah pemenang olimpiade bisa mendapat beasiswa jika kuliah S-1 di dalam negeri dan mengambil jurusan sesuai bidang olimpiade yang dimenangi. Kebijakan ini dianggap tidak menarik bagi banyak olimpian.
Kepala SMA Sutomo 1 Medan Khoe Tjok Tjin mengatakan, anak-anak didiknya yang menjadi juara olimpiade internasional kebanyakan melanjutkan studi di berbagai universitas di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Singapura. Universitas di luar negeri umumnya memberikan kebebasan dan tawaran beasiswa serta fasilitas menarik lainnya.
Hal yang sama dikatakan Kepala SMAK 1 Penabur Jakarta Endang Setyowati. Dulu pernah ada siswa yang sudah mendapat jalur undangan untuk masuk PTN. Namun, kemudian ia memerebut emas olimpiade astronomi. Setelah menang, ia langsung ditawari beasiswa dari Nanyang Technological University (NTU). Anak itu lebih memilih NTU daripada PTN lokal.
Ironis
Presiden Indonesia Diaspora Network-United (IDN-U) Herry Utomo menegaskan, sudah waktunya Pemerintah Indonesia merebut kembali talenta-talenta terbaik yang dihasilkan negeri ini. Bibit unggul, seperti para pemenang olimpiade, harus dianggap penting karena mereka merupakan mesin pendorong pembangunan. ”Yang terjadi sekarang ini ironis, kita membutuhkan SDM yang bagus untuk pembangunan, tetapi kita tidak bisa mengelola talenta brilian yang kita punya,” ujar Herry.
Herry yakin, jika ada kemauan politik yang dipahami dari level kementerian hingga universitas, Indonesia akan mampu mengelola talenta brialian. ”Makanya perlu dibangun sistemnya. Kami para diaspora siap membantu dan mematangkan sistem tersebut,” ujar profesor yang mengajar di Lousiana State University.
Di AS, kata Herry, saat ini ada lebih dari 80 profesor asal Indonesia yang aktif di 70 lebih universitas. Kalau dihitung para peneliti asal Indonesia yang membantu para profesor tersebut, jumlahnya bisa 600-an. Di luar kampus, ada ratusan orang Indonesia dengan pendidikan magister ke atas yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar.
Para diaspora itu bisa berfungsi sebagai pipa-pipa yang menyalurkan pengetahuan dan teknologi ke Indonesia. ”Mereka juga bisa ditarik ke Indonesia asalnya diberi tantangan dan arah yang jelas,” ujarnya.
Ia menambahkan, Indonesia akan rugi jika tidak mengelola talenta terbaiknya karena sudah pasti negara lain yang akan mengelola. Saat ini, katanya, negara-negara maju sadar benar bahwa talenta unggul merupakan kompenen yang sangat penting untuk menggerakkan mesin pembangunan. Mereka saling berebut untuk mendapatkan talenta terbaik. Itu pula yang sekarang dilakukan Singapura.
Politik pembangunan
Seperti negara-negara maju, Singapura sangat serius menyerap dan mengelola talenta-talenta dari berbagai dunia lewat lembaga pendidikan. Sektor pendidikan mereka tempatkan sebagai bagian dari politik pembangunan negara.
Seperti dikutip dari paper berjudul ”Mobility and Desire: International Students and Asian Regionalism in Aspirational Singapore” (dalam Koh & Chong, 2014), sejak 1998, Singapura menjalankan program Singapore’s Global Schoolhouse dengan tujuan, pertama, mendorong sektor pendidikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Kedua, membangun kapabilitas tenaga kerja yang relevan dengan industri. Ketiga, menarik, mengembangkan, dan menahan talenta-talenta untuk pembangunan ekonomi.
Dalam kebijakan tersebut, universitas, seperti National Univesity of Singapore (NUS), menjadi aktor penting untuk akumulasi talenta dan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya Singapura sangat agresif merekrut talenta-talenta terbaik dari seluruh dunia, termasuk China, India, Malaysia, dan Indonesia. Menurut paper tersebut, pada 2012, sekitar 84.000 mahasiswa internasional yang terdaftar di berbagai lembaga pendidikan negeri atau swasta di Singapura.
Untuk menarik mahasiswa asing, Pemerintah Singapura menyediakan beasiswa penuh, hibah uang kuliah, ataupun pinjaman uang kuliah. Sebagai balasan, mahasiswa asing diharapkan bekerja untuk perusahaan yang terdaftar di Singapura atau perusahaan Singapura di seluruh dunia.
Nuri, alumnus NUS, menceritakan, ia tidak hanya memperoleh beasiswa berupa biaya kuliah dan biaya hidup di Singapura sebesar 1.100-1.350 dollar Singapura per bulan. NUS juga menyediakan tempat tinggal di lokasi dan aneka fasilitas lainnya, termasuk student card keluaran imigrasi yang seperti visa untuk permanent resident.
”Kita mendapat fasilitas setara permanent residence. Belanja pun dapat diskon. Masuk ke wilayah Singapura tinggal tap in passport di Bandara Changi Airport. Padahal, ketika kita kembali ke Jakarta harus antre lagi di imigrasi. Siapa yang enggak senang coba?”
Nuri yang telah menyelesaikan kuliah di jurusan studi kebijakan publik mendapat beasiswa yang tidak mengharuskan penerima bekerja untuk perusahaan Singapura untuk periode tertentu. Ia pun memilih berkarier di Indonesia.
”Meski tidak ada ikatan kontrak atau kewajiban tertentu, alumnus tetap dikelola oleh NUS. Kami masuk dalam jaringan, kadang ditawari pekerjaan, dan dilibatkan dalam sejumlah kegiatan. Dengan cara seperti itu, paling tidak setiap alumnus ikut menjadi PR-nya Singapura. Jadi, selalu ada keuntungan buat Singapura,” ujar Nuri.
Malaysia sejak 2011 juga memiliki TalentCorp, sebuah badan di bawah kementerian yang memformulasikan inisiatif untuk memenuhi ketersediaan bakat unggul sesuai dengan transformasi ekonomi negara. (DNE/WSI/JAL/SIE)