Kiprah Olimpian di Dunia Kerja
Sebagian siswa cerdas yang pernah mengikuti olimpiade internasional bekerja di luar negeri. Ada yang karena terikat kontrak kerja, ada yang karena bisa berkarier lebih baik. Bagaimana kiprah mereka?
Waktu di Amerika Serikat mulai larut malam, Rabu (2/5/2018), ketika Harun R Sugito (24) menerima telepon video dari Kompas. Wajahnya tampak mengantuk, tetapi ia bersemangat menjelaskan kegiatan kuliah dan risetnya di Massachusetts Institute of Technology (MIT). ”Agustus ini saya akan melanjutkan kuliah kedokteran tingkat doktoral,” kata Harun yang telah diterima di Geisel School of Medicine di Dartmouth, Hanover, AS.
Harun adalah alumnus SMAK BPK Penabur 1 Jakarta yang memenangi medali emas Olimpiade Internasional Biologi 2010 di Changwon City, Korea Selatan. Ketika itu ia baru duduk di kelas X atau kelas 1 SMA.
Setelah juara olimpiade, perguruan tinggi dari Singapura, terutama Nanyang Technological University (NTU) dan National University of Singapore (NUS), gencar menawari Harun untuk kuliah di sana dengan beasiswa penuh dan tawaran karier setelah lulus. ”Mereka mengundang saya ke sana. Katanya, saya hanya perlu memasukkan nama dan biografi ke penerimaan mahasiswa baru. Jurusannya terserah saya.”
Tawaran datang sebelum Harun lulus SMA. Tawaran dari perguruan tinggi negeri di Indonesia juga datang. Namun, tawarannya kurang menarik buat Harun sebab ia harus mengambil jurusan biologi sesuai dengan olimpiade yang dimenanginya. ”Kalau mau ambil jurusan lain mesti ikut tes lagi. Ribet bangetlah.”
Ia akhirnya tidak mengambil tawaran dari PTN lokal ataupun perguruan tinggi Singapura, tetapi terbang ke Boston, AS, untuk kuliah di MIT. Dia lolos seleksi sangat ketat untuk jurusan bioteknologi dan mendapat beasiswa sekitar 80 persen dari biaya kuliah.
Di MIT, ia mencatat prestasi mengagumkan. Berbagai penghargaan ia rebut, antara lain Tau Beta Pi Engineering Honor Society. Ia juga masuk dalam kelompok 8 mahasiswa paling top dalam matematika, fisika, kimia, dan biologi dari MIT-Sabanci University Freshman Scholar Program.
Ketika lulus tahun 2016, GPA-nya sempurna, yakni 5,0 dan Science GPA 5,0. Ini adalah angka GPA tertinggi di MIT. Dari beberapa sumber, kurang dari 10 persen mahasiswa MIT setiap tahun yang mampu meraih GPA sempurna.
Ia juga diterima bekerja dan melakukan riset di sejumlah lembaga top, antara lain Whitehead Institute for Biomedical Research di Boston Children’s Hospital, The David H Koch Institute for Integrative Cancer Research di MIT, McGovern Institute for Brain Research di MIT, Swiss Federal Institute of Technology di Zurich, dan lain-lain. Beberapa risetnya di bidang kedokteran dan bioteknologi tergolong canggih. Ia antara lain meneliti perilaku mencit yang berada di bawah pengaruh amfetamin.
”Riset saya yang paling advanced mungkin yang sedang saya lakukan sekarang. Saya sedang mencari antibodi untuk vaksin malaria. Riset ini mungkin nantinya yang paling bisa diterapkan di Indonesia karena di negeri ini penderita malaria masih banyak,” ujar Harun.
Untuk menyelesaikan risetnya, Harun tidak berencana pulang dalam waktu dekat ke Indonesia. ”Saya mungkin akan berkarier dalam jangka panjang di AS sebab fasilitas yang disediakan MIT sangat menarik, tetapi bukan berarti berkarier di Indonesia tidak menarik.”
Selain Harun, ada sejumlah pemenang olimpiade asal Indonesia yang melanjutkan kuliah di MIT, antara lain Jonathan Pradana Mailoa. Ia adalah peraih medali emas dan absolute winner (juara dunia) pada Olimpiade Internasional Fisika 2006.
Belasan tahun
Seperti Harun, Ainun Najib (32), anggota tim Olimpiade Matematika Indonesia tahun 2002, memilih untuk berkarier di luar negeri. Setelah lulus SMA, ia mengira akan mendapat tawaran beasiswa dari PTN top di Indonesia. ”Ternyata tawarannya hanya bebas masuk ITB, tanpa beasiswa. Saya kecewa karena saya, kan, dari keluarga yang termasuk tidak mampu,” kata Ainun.
Pada saat itu, perwakilan dari Singapura justru menyodorkan tawaran untuk kuliah di universitas di ”Negeri Singa”. ”Bebas pilih jurusan apa saja, tetapi tetap ikut tes,” kata Ainun.
Ainun akhirnya memilih kuliah di NTU jurusan teknik komputer. Ia bercerita, dari sekitar 30 siswa yang ikut kamp Olimpiade Matematika seangkatannya, separuhnya kuliah di NTU.
Ainun kuliah dengan beasiswa. Namun, ia terikat kontrak kerja selama tiga tahun di perusahaan Singapura. Setelah lulus, ia memilih bekerja di IBM cabang Singapura selama tujuh tahun. Kemudian, ia pindah ke Traveloka cabang Singapura dan empat bulan lalu bekerja di kantor pusat Grab di Singapura.
”Tidak terasa hampir 15 tahun saya kerja di Singapura. Saya berencana tetap bekerja di Singapura agar anak-anak bisa mendapat ekosistem pendidikan yang lebih baik,” ujar penggagas situs kawalpemilu.org itu.
Pulang ke Indonesia
Brian Marshal memilih jalan lain dalam membangun karier. Pemenang medali perunggu Olimpiade Internasional Informatika (IOI) 2007 itu lepas SMA mengambil tawaran kuliah di NTU lewat jalur khusus. Setelah lulus dari NTU, ia terikat kontrak kerja selama tiga tahun.
Tahun 2011, dia bekerja di bagian analis data di PwC (PricewaterhouseCoopers) Singapura. ”Satu hal yang saya rasakan bekerja di perusahaan itu agak membosankan sih. Jadi, ibaratnya, tatanan kerjanya tuh rapi banget, di satu sisi bagus untuk mencari stabilitas,” ujar Brian.
Setelah menyelesaikan kontrak, ia memilih pulang ke Indonesia pada 2013 untuk membangun karier sendiri. Saat itu, perusahaan rintisan sedang berkembang di Indonesia. ”Di tahun itu, banyak teman saya anak olimpiade balik lagi ke Indonesia karena melihat perkembangan start up dan membutuhkan keahlian TI,” ujar Brian.
Tahun itu juga, Brian mendirikan Sirclo, perusahaan rintisan yang menyediakan jasa pembuatan situs untuk toko daring dan mengatur alur distribusi barang dari toko daring ke konsumen. Kini, perusahaan tersebut telah berkembang. Karyawan yang tadinya hanya 10 orang kini berkembang menjadi 120 orang. Sebagian bertugas di Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung.
Sirclo yang awalnya berkantor di kamar kos Brian kini berkantor di sebuah gedung empat lantai di Jakarta Pusat. Kantor tampak sibuk, Rabu (2/5/2018) siang. Hampir semua karyawan sibuk menatap laptop.
Ainun mengatakan, seiring berkembangnya usaha rintisan di Indonesia, banyak anak muda cerdas Indonesia–termasuk para olimpian–yang tadinya bekerja di luar negeri memilih pulang dan membangun karier di Indonesia. ”Kesempatan untuk membangun start up di Indonesia sangat besar. Peluang untuk bekerja di perusahaan Indonesia juga terbuka lebar. Yang kasihan itu para olimpian lulusan luar negeri yang ingin menjadi akademisi di Indonesia. Bisa dibilang no place for them. PTN di Indonesia tidak mau memberi tempat,” ujar Ainun dengan nada geram. (*)