SURABAYA, KOMPAS – Sejumlah peristiwa kematian massal ikan-ikan, air yang keruh dan berbau, endapan popok bekas, plastik, sampah tidak terurai, buangan rumah tangga, limbah pabrik, bahkan limbah bahan beracun berbahaya (B3) memperlihatkan pencemaran Sungai Brantas yang menghidupi separuh populasi Jawa Timur perlu segera ditangani dan diatasi.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Minggu (17/2/2019), merasakan letihnya menjaring sampah yang mengapung di sepanjang Sungai Brantas dari tepi kantor Divisi Jasa ASA II Perusahaan Umum Jasa Tirta I di Surabaya sampai di bawah Jembatan Sepanjang Baru, Sidoarjo.
Padahal, sampah berbagai jenis yang mengambang, tersangkut pada ranting atau dahan tumbuhan tepi sungai, pada pagar atau dinding pembatas permukiman warga, dan pada tiang-tiang jembatan merupakan pemandangan setiap hari.
Di dasar Sungai Brantas yang membentang 320 kilometer dengan wilayah sungai mencakup enam kota (Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya) dan sembilan kabupaten (Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan Sidoarjo), terdapat endapan popok bekas dan sampah lama terurai (karet, ban, tembaga, besi, kain, plastik). Sepanjang 2018, Relawan Jaga Kali mencatat ada enam kali peristiwa kematian massal ikan-ikan di kawasan padat industri yakni Mojokerto, Sidoarjo, dan Surabaya.
Penilikan berulang oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) kurun 2015-2018 menunjukkan sekitar 3 juta atau 53 ton popok bekas dibuang ke Sungai Brantas setiap hari. Padahal, jenis sampah ini perlu hampir 500 tahun untuk terurai. Popok yang terbuat dari bahan kimia dan mengendap di dasar sungai akan meracuni hingga mengubah ekosistem.
Diperkirakan 80 persen keberagaman hayati di Sungai Brantas terancam punah. Bengawan ini memiliki setidaknya 30 spesies ikan endemik. Di Kalimas, percabangan Sungai Brantas, ikan wader yang masih bisa ditemukan ternyata mayoritas betina (80 persen) dari kondisi ideal perbandingan 50:50.
Penelitian lebih jauh oleh Ecoton menunjukkan 30 persen ikan wader jantan mengalami perubahan hormon sehingga menjadi betina-jantan yang diduga terkait dengan pencemaran bahan kimia dari sampah seperti popok bekas.
Selain itu, Sungai Brantas merupakan salah satu sumber baku mutu air minum untuk kalangan warga Jatim. Bahkan, menurut Badan Pusat Statistik Jatim, Sungai Brantas menopang hidup 19 juta jiwa atau hampir separuh dari populasi provinsi yang 39,6 juta jiwa.
Bagi warga yang belum mendapatkan akses jaringan PDAM, memanfaatkan Sungai Brantas menjadi keniscayaan. Namun, di sisi lain, perlakuan hidup mereka terhadap batang air itu tidak lestari dengan menjadikannya tempat pembuangan sampah dan limbah keluarga.
“Ikhtiar untuk melestarikan Sungai Brantas harus dipertahankan,” kata Khofifah. Untuk itu, ia akan memimpin gerakan Adopsi Sungai Brantas dengan mendorong keterlibatan Relawan Jaga Kali dari hulu di Batu sampai hilir di Surabaya dan Sidoarjo.
Program Adopsi Sungai Brantas tidak bisa dijalankan sendiri oleh Pemprov Jatim tetapi harus didukung oleh pemkab, pemkot, swasta (pabrik, badan usaha), dan komunitas masyarakat.
Wujudnya adalah memulung sampah secara rutin sekaligus terus mengedukasi publik agar tidak membuang sampah ke sungai. Sampah sebisa mungkin dipilah dan dikelola sehingga memberi manfaat ekonomi bagi warga tepi kali. Penataan lingkungan juga harus ditempuh. Deretan rumah warga tidak boleh lagi membelakangan tetapi menghadap Sungai Brantas.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi yang turut dalam Deklarasi Relawan Jaga Kali menambahkan, mengapresiasi langkah Khofifah yang berjanji memasukkan kegiatan pelestarian Sungai Brantas dalam program kerja 99 hari pertama. Mereka akan menagih keberadaan tempat sampah (drop box) di 99 jembatan di Sungai Brantas. Khofifah diharapkan mendorong pemangku kepentingan memasang kamera pengawas di jembatan dan seluruh saluran pembuangan limbah pabrik.
“Agar pencemaran bisa terpantau,” kata Prigi. Jaringan kamera pemantau itu bisa diintegrasikan dalam sistem pengawasan yang akan dibangun Khofifah di ruang kerja Gubernur Jatim.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jatim Diah Susilowati menambahkan, akan bersama-sama dengan pemangku kepentingan menata lingkungan sempadan Sungai Brantas. Masyarakat juga didorong untuk menanam kawasan sempadan dengan pohon buah antara lain mangga dan kelengkeng. “Bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim dan swasta kami akan secara rutin menyebar benih ikan dan mendorong pola budidaya yang ramah,” katanya.
Pakar hukum lingkungan Universitas Airlangga Suparto Wijoyo dalam kesempatan terpisah mengatakan, untuk penanganan sampah, perlu kebijakan tegas dan terobosan dengan membatasi industrinya. “Jika industri plastik dibatasi separuhnya, yang akan beredar diharapkan tinggal separuhnya sehingga akan lebih mudah untuk mendorong masyarakat tidak memakai produk plastik,” katanya.