Belum Ada Penyelesaian Permanen Lumpur Panas (Arsip Kompas)
Tragedi semburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. Sampai sekarang, 16 tahun setelah kejadian, belum ada penyelesaian permanen.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA, DOTY DAMAYANTI, TIMBUKTU HARTHANA, YUNI IKAWATI
·4 menit baca
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 10 Agustus 2006. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
SIDOARJO, KOMPAS – Sampai hari ke-73 belum ada penyelesaian permanen terhadap genangan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Bahkan, semua langkah penanggulangan nyaris menemui jalan buntu karena semua alternatif memiliki risiko yang berat. Semua alternatif mengandung risiko, baik dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan.
Jika menggunakan alternatif pertama, yakni membuat tanggul seperti sekarang setinggi 4 sampai 6 meter mengelilingi genangan lumpur seluas 135 hektar, dikhawatirkan tanggul akan jebol karena tidak mampu lagi menahan tekanan lumpur yang volumenya terus bertambah.
Lima kolam penampungan lumpur berkapasitas total 767.000 meter kubik, berdasarkan pemantauan Rabu (9/8), sudah tidak mampu lagi menampung lumpur. Volume lumpur sampai saat ini sudah sekitar 3,65 juta meter kubik, setara dengan 730.000 truk pengangkut tanah. Lumpur sebanyak itu dapat digunakan untuk membangun tanggul setinggi 1 meter, lebar 1 meter, sepanjang 3.650 kilometer atau sekitar keliling Pulau Jawa.
"Kalaupun membangun kolam baru, hanya mungkin di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, yang masih berupa persawahan seluas 25 hektar," kata Ketua Tim Supervisi dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk Tim Pengelolaan Air dan Lumpur Rasio Ridho Sani. "Itu pun paling- paling hanya cukup untuk menampung lumpur selama sebulan ke depan," ujarnya.
Alternatif kedua, menanggulangi lumpur dengan memanfaatkannya menjadi batu bata. Hingga kini pilihan ini belum dipilih karena kandungan racunnya masih harus dikaji. Selain itu, kapasitas produksi batu bata tidak sebanding dengan banyaknya lumpur yang menyembur, yakni 50.000 meter kubik atau setara dengan 10.000 truk per hari.
Alternatif ketiga, yang bisa dipertimbangkan ialah dengan membuang air lumpur ke laut atau ke sungai. Vice President Administration and Human Resources PT Lapindo Brantas Yuniwati Teryana meminta pemerintah pusat segera memberikan izin pembuangan air lumpur ke laut atau sungai. Sebelum dibuang, Yuniwati menjanjikan, air lumpur akan diproses agar memenuhi baku mutu.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar saat berkunjung ke lokasi semburan pekan silam menyatakan, air lumpur bisa dibuang ke laut setelah diolah lebih dulu dan ada izin dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Ridho Saiful Ashadi menolak pembuangan air lumpur ke laut karena bisa merusak ekologi laut. "Selama ini di Indonesia belum ada alat pengolah lumpur. Yang ada hanya pemisah antara lumpur dan air. Tidak ada jaminan air lumpur aman," tuturnya.
Ini membuat alternatif membuang air lumpur ke laut dan sungai menjadi tidak jelas. Ini juga menyiratkan sejumlah alternatif yang tampak mungkin menjadi buntu atau hampir tidak mungkin. Untuk sementara, belum tampak terobosan menanggulangi masalah serius ini.
Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan perlu segera dibuat konsep relokasi permanen untuk warga korban lumpur. Hal ini didasarkan pada kondisi semburan yang makin besar dan belum adanya hasil signifikan dalam mengurangi semburan lumpur. Win meminta pemerintah pusat membantu penanganan relokasi warga yang berjumlah lebih dari 8.000 jiwa.
Masih dalam kaitan penanganan lumpur itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro usai Rakor BioFuel mengatakan pemerintah baru akan menggelar rakor untuk membahas perkembangan akhir kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas pada Sabtu ini.
Menurut dia, pemerintah tidak akan menetapkan batas waktu upaya penghentian. "Lha kalau misalnya saya bilang besok penanganan harus selesai ternyata tidak bisa, gimana? Yang kita hadapi ini alam," ujarnya.
Menyusul sejumlah kecelakaan pengeboran migas yang dekat dengan lokasi permukiman, Kepala BP Migas Kardaya Warnika mengatakan, pihaknya memang akan meninjau ulang ketentuan jarak aman pengeboran di wilayah permukiman.
"Ketentuan yang membolehkan jarak terdekat pengeboran 100 meter dari permukiman penduduk merupakan produk zaman Belanda tahun 1930. Tentu hal itu sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang," kata Kardaya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Kereta Api Ronny Wahyudi mengatakan sudah meminta bantuan Gubernur Jawa Timur untuk mengamankan jalur kereta api Surabaya-Malang-Jember dari kemungkinan genangan lumpur lumpur. Jika jalur itu terendam lumpur, akan mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat. Apalagi Jalan Tol Surabaya- Gempol pun sudah ditutup karena khawatir terhadap banjir lumpur.
Gempa Pangandaran
Dr Edy Sunardi, Kepala Pusat Riset dan Kerja Sama Universitas Padjadjaran Bandung yang juga Kepala Departemen Pengembangan Ilmu Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), mengatakan, meningkatnya semburan lumpur akhir-akhir ini diduga kuat ada pengaruhnya dari gempa bumi yang melanda Pangandaran, Jawa Barat, Juli lalu.
Terkait dengan makin besarnya volume semburan lumpur dan gas selama sepuluh hari belakangan, Kepala Unit Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Dr Amien Widodo mengkhawatirkan ada sumber lain yang terpicu. Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar memperkirakan ada dua penyebab makin besarnya semburan.
Pertama, telah terjadi penambahan tekanan di formasi Kalibeng. Tekanan tambahan itu terletak di bawah titik yang selama ini menjadi sumber semburan. Sebagai catatan, formasi tersebut merupakan zona bertekanan tinggi. Kedua, kemungkinan ada tambahan saluran atau retakan sebagai jalan baru keluarnya lumpur. (LAS/DOT/THT/YUN)