KOMPAS.com - Batik yang berkembang di masyarakat yang tinggal di luar benteng keraton, sebagai akibat dari pengaruh budaya di daerah di luar Pulau Jawa, dan adanya pengaruh budaya asing seperti China dan India, termasuk agama Hindu-Buddha, merupakan jenis Batik Pesisir.
Nama Batik Pesisir sendiri muncul karena berasal dari daerah pesisir utara Pulau Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Bakaran.
Batik Pesisir berasal dari luar Kota Solo dan Yogyakarta, seperti contohnya Batik Pekalongan, Batik Cirebon dan Batik Indramayu.
Baca juga: Sejarah Batik Jambi
Pada sekitar abad ke-15 dan 16, arus para kaum pendatang dari beberapa negara yang sampai di Nusantara semakin deras.
Mereka disebut sebagai kaum peranakan, baik dari China, India, Belanda, dan Arab.
Selama di Nusantara, mereka mengembangkan busananya sendiri berupa sarung dan kebaya.
Dalam perkembangannya, para kaum peranakan membutuhkan batik sendiri untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan kelompok.
Pada zaman Belanda, batik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Batik Vorstenlanden dan Batik Pesisir.
Batik Vorstenlanden adalah batik dari daerah Solo dan Yogyakarta, sementara Batik Pesisir adalah batik-batik yang dikerjakan di luar dua daerah tersebut.
Istilah Batik Pesisir sendiri muncul karena berkembang di daerah pesisir Pulau Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Lasem dan Bakaran.
Baca juga: 10 Motif Batik Daerah dan Filosofinya
Berbeda dengan batik keraton, batik pesisir lebih diutamakan sebagai barang dagangan.
Dalam perjalanannya, Batik Pesisir baru berkembang luas sekitar abad ke-19, yang disebabkan oleh adanya kemunduran produksi tekstil dari India, yang saat itu menjadi produsen kain terbesar yang dijual ke Pulau Jawa.
Barulah saat para pengusaha Indo-Belanda datang, Batik Pesisir semakin berkembang pesat.
Berikut ini ciri-ciri Batik Pesisir.
Baca juga: Apa Tujuan Pembuatan Batik?
Batik Pesisir memiliki beragam motif, berikut beberapa contohnya.