Sabtu, 18 Mei 2024

Nusantara, Asia Tenggara, dan Nusantaria

- Minggu, 17 Juli 2022 | 09:55 WIB
COVER BUKU
COVER BUKU

Philip Bowring mendedahkan konsep satu kawasan maritim bernama Nusantaria. Di dalamnya, dia juga menyinggung soal peradaban Atlantis yang hilang.

---

SEJARAWAN Adrian B. Lapian dalam Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut: Sejarah Kawasan Sulawesi Abad XIX (2009) menulis, ”…oleh sebab itu perhatian terhadap aspek maritim bukan lagi merupakan hal yang pantas dilakukan, melainkan menjadi yang wajib mendapat prioritas istimewa.”

Ini pula yang bisa disimpulkan mengapa karya Philip Bowring diperlukan untuk dipublikasikan secara luas. Kawasan Asia Tenggara yang sekarang terpetakan dalam negara-negara bangsa yang modern (state nations) memiliki akar kuat kesejarahan dalam dunia maritim. Sekaligus sebagai kawasan dengan identitas budaya yang terbangun dari kesatuan linguistik serta warisan budaya Austronesia.

Bowring bukan cendekiawan pertama yang menyatakan demikian. Sejarawan Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce 1450–1680: the Land Below the Winds (1988) telah mengemukakan soal persatuan kawasan Asia Tenggara sebagai suatu unit.

Tentu yang patut digarisbawahi lontaran Bowring mengenai konsep Nusantaria. Adakah yang membedakannya dengan konsep Nusantara yang membentuk Indonesia sekarang ini?

Tentang ini, Bowring mengajukan argumen bahwa konsep Nusantaria sebagai satu kesatuan kawasan maritim yang menggabungkan antara pintu masuk utara menuju Selat Malaka dan Selat Luzon serta Kepulauan Banda dan kawasan ujung timur kepulauannya (halaman xxvi). Pada kawasan itulah dinamika peradaban mengemuka yang dipertautkan dengan perniagaan global melalui jalur maritim.

Melalui prinsip kronologis pada bab-bab awal, Bowring merangkai awal peradaban Nusantaria yang dimulai dari zaman gletser hingga migrasi manusia yang kemudian membentuk manusia ras Austronesia. Meski dalam perkembangannya manusia yang mendiami Nusantaria tergolong ras Mongoloid.

Dalam bab soal peradaban awal Nusantaria, tesis Bowring yang menarik mengenai peradaban ”paparan Sunda”. Berawal dari studi Stephen Oppenheimer tentang peradaban Atlantis yang hilang.

Bowring berani berargumen bahwa peradaban Atlantis berada di kawasan paparan Sunda. Argumen yang dilontarkan Bowring merujuk pada sumber Mesir Kuno yang disitir filsuf Plato di mana kawasan tersebut memiliki kontak dengan dunia Timur serta perairan laut dangkalnya (halaman 7). Hanya sayang, argumen Bowring tak dieksplorasi dengan bukti-bukti arkeologis dan sumber-sumber teks setempat yang mewartakan hipotesis soal peradaban paparan Sunda tersebut.

Jejak Melting Pot Kebudayaan

Dinamika dengan akselerasi tinggi pada kawasan Nusantaria disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, mobilitas sosial kultural yang terintegrasi melalui perniagaan/perdagangan serta mobilitas demografi.

Rangkaian kontak perdagangan terhubung ke barat serta timur. Wilayah-wilayah yang terhubungkan mulai India, Teluk Persia, Mesir, dan Romawi (halaman 22). Beberapa komoditas yang dipertukarkan dari timur, antara lain, kain sutra, kain katun, keramik, kapur barus, rempah-rempah, kemenyan, gading, kayu cendana, dan kayu gaharu.

Telaah Bowring sejalan dengan pernyataan sejarawan Leonard Andaya, Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas (2019). Disebutkan bahwa pada milenium pertama sebelum tarikh Masehi terdapat jaringan perdagangan yang membentang dari India hingga China yang melibatkan komunitas-komunitas yang mendiami wilayah Indo China dan Teluk Siam.

Rekonstruksi koneksitas kawasan Nusantaria membuktikan argumen suatu kawasan yang melahirkan pusparagam sosiokultural (melting pot) sebagai dampak masuknya pengaruh dari berbagai kutub. Ini yang disebut Bowring sebagai multipolar. Pusparagam itu menciptakan ruang kontestasi dan resistansi yang tidak hanya dari sisi politik.

Bowring mencontohkan soal imbas masuknya keyakinan hingga imperium politik yang merambah ke Nusantaria. Sebagai contoh, imperium Chola India yang menyerang Sriwijaya dan Kedah memengaruhi dinamika perairan Andaman hingga Selat Malaka.

Pada bab tersendiri, Bowring mengkhususkan tentang diaspora masyarakat Makassar dan Bugis (halaman 248–263). Migrasi dua masyarakat tersebut meningkat sejalan dengan aktivitas perdagangan serta kawasan perairan terbuka dalam perniagaan maritim. Makassar seperti diketahui sebagai wilayah entrepot bagi rempah-rempah dari Maluku sekaligus distributor barang-barang manufaktur dari Tiongkok dan India ke Asia Tenggara. Demikian halnya dengan Bugis yang akrab dengan legenda bangsa pelaut, pedagang, serta memiliki mobilitas sosial yang tinggi jauh sebelum pengaruh Islam masuk. Mereka telah mendiami kawasan sepanjang Semenanjung Melayu hingga perairan perbatasan Sulawesi dengan Sulu.

Makna Publikasi

Meski terminologi Nusantaria debatable, setidaknya usaha Bowring untuk merekonstruksi pemahaman kawasan yang sekarang meliputi wilayah Asia Tenggara hingga kepulauan Pasifik patut diapresiasi. Ini menggenapi kajian-kajian sebelumnya. Seperti karya klasik Bernard Hubertus Maria Vlekke tentang kawasan Nusantara, Anthony Reid yang mencakup kajian komprehensif sejarah soal Asia Tenggara, dan Daniel Lombard maupun D.G. Hall.

Bowring mengingatkan soal pertautan identitas sosiokultural di tengah-tengah kondisi Nusantaria telah terfragmentasi menjadi negara-negara modern yang diikat melalui kebangsaan serta administrasi politik kewilayahan. Ia menguatkan argumennya bahwa wilayah Nusantaria tetap menjadi wilayah strategis dalam diplomasi global.

Kendati fragmentasi sebagai vnegara modern melindapkan potensi konflik diplomasi, tak bisa dimungkiri kesatuan budaya, khususnya dari sisi linguistik (bahasa), mempersatukan. Walaupun ada yang redup, bahkan hilang, yakni lesapnya keahlian dalam pelayaran serta teknologi maritim. Buku ini setidaknya menjelujuri dari sisi kesejarahan yang bertaut dan ingatan budaya. (*)

---

  • Judul Buku: Nusantaria, Sejarah Maritim Asia Tenggara

  • Penulis: Philip Bowring

  • Penerjemah: Febri Ady Prasetyo

  • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta

  • Tahun Terbit: 2022

  • Tebal: 400 halaman + i-xxx

  • ISBN: 978-602-481-801-2


*) WIJANARTO, Bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Brebes

 

Editor: Ilham Safutra

Tags

Konten berikut adalah iklan platform Geozo, media kami tidak terkait dengan materi konten ini.

Terkini

Orang Desa dan Pesisir Juga Berhak Punya Selera

Minggu, 12 Mei 2024 | 07:31 WIB

Khalwat: Menepi ke Batas, Mendekat ke Sudut

Minggu, 5 Mei 2024 | 09:32 WIB

Ketika Laut Jawa Menelan Lapangan dan Kebun-Kebun

Minggu, 28 April 2024 | 07:06 WIB

Menguatkan Rasa Percaya Diri Perempuan

Minggu, 14 April 2024 | 06:00 WIB

Tiga Generasi Perempuan Oman Berkisah Ketimpangan

Minggu, 7 April 2024 | 13:28 WIB

Kerja Artikulasi dan Otoritas Habib Luthfi

Minggu, 31 Maret 2024 | 12:37 WIB

Membunuh Harimau Jawa yang Sebenarnya

Minggu, 24 Maret 2024 | 03:05 WIB

Nyala Api di Serban Syekh Lemahbang

Minggu, 10 Maret 2024 | 10:50 WIB

Berbagai Cara Menjadi Diktator

Sabtu, 24 Februari 2024 | 20:53 WIB

Kretek dalam Balutan Tragedi Keluarga

Minggu, 18 Februari 2024 | 11:14 WIB

Perspektif Seorang Prancis di Tanah Jajahan Belanda

Minggu, 11 Februari 2024 | 06:00 WIB

Pentingnya Metode Berpikir Sains

Minggu, 4 Februari 2024 | 08:09 WIB

Dia yang Enggan Menjadi "Bocah Tua Nakal"

Minggu, 28 Januari 2024 | 09:19 WIB

Kumpulan Legenda yang Menjelma Puisi Naratif

Minggu, 21 Januari 2024 | 06:19 WIB