Minggu, 5 Mei 2024

Sebuah Siasat agar Filsafat Dikaji, Dikritik, dan Ditulis Ulang

- Minggu, 3 September 2023 | 13:58 WIB
COVER BUKU (Istimewa)
COVER BUKU (Istimewa)

Oleh YOGI ISHABIB

Muhammad Al-Fayyadl menyebut kumpulan tulisan di dalam buku ini sebagai ”arsip”. Ini cara dia untuk menandai momen dan problem pemikiran yang menyisakan celah ketidakpuasannya terhadap filsafat dan pembacaan publik atas Derrida.

BUKU Derrida (LKiS, 2005) diterbitkan tepat pada Agustus 18 tahun yang lalu. Buku pengantar filsafat yang ditulis oleh Muhammad Al-Fayyadl itu dianggap sebagai salah satu sumbangan berharga bagi literatur filsafat di Indonesia.

Jacques Derrida adalah salah satu filsuf yang pemikirannya memiliki peran penting dalam perdebatan intelektual di Indonesia, terutama sejak masuknya gelombang filsafat pascastrukturalisme pada pengujung 1980-an. Istilah dekonstruksi yang ditawarkan Derrida sebagai peristiwa pembacaan yang menolak absolutisme teks tampak memukau.

Sebagai sebuah gagasan baru, dekonstruksi menjadi tren filsafat. Dan, dialamatkan kepada ”metode” apa pun untuk membongkar sesuatu yang dianggap mapan; yang kemudian lebih sering digunakan sebagai gimik intelektual.

Pada titik itu, Fayyadl seperti ingin menjajal kemungkinan lain pasca-Derrida, tepat ketika Derrida dengan dekonstruksinya telah menjadi status quo. Secara berurutan, perjalanan intelektual Fayyadl menyumbang pusparagam pemikiran, kritik, dan upayanya melampaui Derrida terekam pada Teologi Negatif Ibn ’Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (LKiS, 2012), Filsafat Negasi (Cantrik Pustaka, 2016), dan Fiction/Subjectivation Politique: Lecture de «La Nuit des prolétaires: Archives du rêve ouvrier» de Jacques Rancière (EUE, 2017) yang terbit dalam bahasa Prancis.

Tetapi, sejak terbitnya Derrida, Fayyadl tak pernah benar-benar meninggalkan Derrida. Jejak itu tampak dalam bukunya yang kelima, Derridean (Edisi Mori, 2023). Empat belas tulisan yang terangkum dalam buku ini merupakan fase-fase ”Derridean” seorang pengkaji filsafat yang tekun.

Baca Juga: Postecoglou Mendapat Pengakuan Sang Filsuf

Fayyadl menyebut kumpulan tulisan di dalam buku ini sebagai ”arsip”. Menyitir Derrida, arsip berangkat dari kata arkhé yang berarti permulaan. Dalam penelusuran yang lain, arsip berasal dari kosakata Yunani archium yang berarti tempat untuk menyimpan sesuatu. Melalui buku ini, Fayyadl seperti seorang arsiparis yang mengundang kita untuk menengok arsip-arsip pemikiran yang ia himpun dari periode 2004–2015 (fase-fase ”Derridean”) sebagai cara untuk menandai momen dan problem pemikiran yang menyisakan celah ketidakpuasannya terhadap filsafat dan pembacaan publik atas Derrida.

Soal dekonstruksi, Fayyadl memberi contoh, kerap disalahpahami sebagai pembacaan radikal yang menolak semua makna dalam teks. Dekonstruksi bukan ajakan nihilisme terhadap kebenaran, tetapi strategi melawan tradisi logosentrisme (pusat yang bersifat mutlak) yang dikekalkan melalui teks dalam metafisika filsafat Barat. Dengan demikian, di dalam dekonstruksi ada semangat keterbukaan yang mempertemukan teks dengan makna-makna lain yang direpresi oleh kuasa kepengarangan (halaman 15).

Buku ini juga menyegarkan kembali ingatan kita tentang abainya pembacaan publik atas gramatologi Derrida. Gramatologi merupakan ranah ilmiah sebelum dekonstruksi sebagai sebuah operasi atau ”metode literer” diderivasikan. Jika dekonstruksi merupakan suatu operasi, gramatologi merupakan kondisi prasyarat yang memungkinkan operasi tersebut dimulai (halaman 133).

Abainya pembacaan publik atas pemikiran filsafat beserta figur filsufnya dapat dijelaskan karena filsafat lebih mudah diterima sebagai gaya hidup dibandingkan sebagai tradisi riset dan kritik. Sebagai gaya hidup, filsafat dan figur filsufnya hanya menjadi penanda sementara atas tren tertentu.

Problem inaktualitas itu menempatkan filsafat pada kondisi ambang antara masa kini dan masa lampau. Saya rasa upaya Fayyadl menyebut kumpulan tulisannya selama periode ”Derridean” sebagai arsip merupakan siasat untuk tidak menjadikan filsafat sebagai nostalgia, tetapi sebagai praktik reorientasi agar filsafat dibaca, dikaji, dikritik, dituliskan kembali, atau bahkan dianggap biasa saja. (*)

---

Halaman:

Editor: Ilham Safutra

Tags

Artikel Terkait

Konten berikut adalah iklan platform Geozo, media kami tidak terkait dengan materi konten ini.

Terkini

Khalwat: Menepi ke Batas, Mendekat ke Sudut

Minggu, 5 Mei 2024 | 09:32 WIB

Ketika Laut Jawa Menelan Lapangan dan Kebun-Kebun

Minggu, 28 April 2024 | 07:06 WIB

Menguatkan Rasa Percaya Diri Perempuan

Minggu, 14 April 2024 | 06:00 WIB

Tiga Generasi Perempuan Oman Berkisah Ketimpangan

Minggu, 7 April 2024 | 13:28 WIB

Kerja Artikulasi dan Otoritas Habib Luthfi

Minggu, 31 Maret 2024 | 12:37 WIB

Membunuh Harimau Jawa yang Sebenarnya

Minggu, 24 Maret 2024 | 03:05 WIB

Nyala Api di Serban Syekh Lemahbang

Minggu, 10 Maret 2024 | 10:50 WIB

Berbagai Cara Menjadi Diktator

Sabtu, 24 Februari 2024 | 20:53 WIB

Kretek dalam Balutan Tragedi Keluarga

Minggu, 18 Februari 2024 | 11:14 WIB

Perspektif Seorang Prancis di Tanah Jajahan Belanda

Minggu, 11 Februari 2024 | 06:00 WIB

Pentingnya Metode Berpikir Sains

Minggu, 4 Februari 2024 | 08:09 WIB

Dia yang Enggan Menjadi "Bocah Tua Nakal"

Minggu, 28 Januari 2024 | 09:19 WIB

Kumpulan Legenda yang Menjelma Puisi Naratif

Minggu, 21 Januari 2024 | 06:19 WIB

Tahun, Terminasi, dan Puisi

Minggu, 7 Januari 2024 | 08:33 WIB

Menghidupkan Aksara Jawa dalam Imajinasi Anak-Anak

Minggu, 31 Desember 2023 | 09:10 WIB