Profil 4 Mahasiswa Korban Penembakan Tragedi Trisakti 25 Tahun Lalu

Peristiwa yang tak pernah surut dari pikiran dan kenangan

Jakarta, IDN Times - Peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti 25 tahun lalu masih menyisakan luka mendalam, terutama bagi keluarga yang masih memperjuangkan keadilan melalui Aksi Kamisan di depan Istana Negara. Empat mahasiswa Trisakti saat itu tewas tertembak aparat keamanan hingga memicu gerakan reformasi besar-besaran pada Mei 1998.

Keempat pahlawan reformasi '98 itu adalah Elang Mulia Lesmana (Teknik Arsitektur), Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi), Hafidhin Royan (Teknik Sipil), dan Hery Hartanto (Teknologi Industri). Buat kamu yang belum mengetahui siapa mereka, berikut profil-profilnya.

1. Elang Mulia Lesmana, Mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur Angkatan 1996

Profil 4 Mahasiswa Korban Penembakan Tragedi Trisakti 25 Tahun LaluTrisakti picture

Pemuda yang berpenampilan gagah, berwajah tampan, berkulit putih bersih, dan murah senyum ini selalu menyapa siapa saja yang berpapasan dengannya. Itulah Elang Mulia, kelahiran Jakarta, 5 Juli 1978, buah hati dari pasangan Boy Bagus Yoganadita Rahman dan Hira Tetty Yoga.

Sebagai pengunjuk rasa, Elang bukanlah aktor ataupun konseptornya. Keponakan penyanyi 'sendu' Nia Daniaty itu, sesuai dengan pembawaannya, lebih suka bercanda. Dalam suasana yang serius dan emosi pun, Elang masih bisa bercanda.

Misal ketika rekan-rekannya menggelar spanduk dan poster yang 'keras-keras', Elang berani tampil beda dan kocak. Dengan santai ia mangacung-acungkan poster bertuliskan: “Turunkan Harga Fotokopi dan Minyak Wangi!” Inilah, barangkali, satu-satuya poster “lain” yang digelar oleh seseorang pengunjuk rasa dalam atmosfer demonstrasi keras dan memanas itu.

“Saya ikhlas, Elang mati sebagai pejuang,” tutur Hira Tetty ketika mengantar kepergian anaknya ke liang lahat, dengan suara berat tertelan, 13 Mei 1998.

Anak kedua dari enam bersaudara yang tinggal di kawasan Graha Permai, Ciputat, itu sejak kecil sudah punya hobi melukis. Ketika menginjak remaja, penggemar seafood ini suka dengan olahraga basket.

Kegemarannya melukis itulah yang mengantarkannya studi ke jurusan arsitektur. “Itu sudah cita-citanya sejak kecil,” kata salah seorang pamannya, Untung.

Sebagai mahasiswa, Elang sangat rajin belajar, jujur, dan cerdas. Buku tentang arsitektur, baik yang berbahasa Inggris dan Indonesia, mendominasi rak bukunya. 

“Ia tak pernah menyusahkan orang tua,” kenang sang ibu. Bahkan, selama tiga hari sebelum lehernya tertembus peluru petugas keamanan, di malam hari, Elang tidur minta ditemani ibunya. Dengan tulus sang ibu menuruti permintaan anaknya yang berusia 19 tahun itu.

Kepergian Elang yang begitu cepat itu menyebabkan bukan hanya keluarganya saja yang merasa kehilangan, juga teman-teman kuliahnya. “Kami kehilangan seorang teman yang ramah dan suka menolong,” tutur seorang teman almarhum.

“Elang telah tiada, perjuangan harus dilanjutkan,” kata Boy, sang ayah, yang dengan tegar memberi semangat pada rekan-rekan almarhum, mahasiswa Indonesia, yang kini gencar menuntut reformasi itu. 

Baca Juga: Ngeri, Simak 6 Fakta Peristiwa Mei 1998 yang Perlu Diingat

2. Hendriawan Sie, Fakultas Ekonomi, angkatan 1996

Profil 4 Mahasiswa Korban Penembakan Tragedi Trisakti 25 Tahun LaluTrisakti Picture

Rabu dini hari, 13 Mei 1998, telepon di rumah Hendriksie di Balikpapan berdering nyaring. Si penelepon, Subaning, tak lain adalah adik iparnya, mengabarkan bahwa Hendriawan Lesmana telah gugur sebagai pahlawan reformasi.

“Dada ini langsung terasa sesak,” kata Hendriksie, ayah Hendriawan. Berita duka itu pun diteruskan pada istrinya, Karsiah, yang langsung pingsan. Kedua orangtua almarhum baru bisa terbang ke Jakarta, Rabu pagi. 

“Syukur alhamdulillah, kami masih bisa melihat dan mengantarkan jenazahnya,” tutur sang ayah dengan mata berkaca-kaca. “Aksi di dalam kampus kok ditembak, kan sah-sah saja,” kata sang ayah dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kesedihan. 

Hendriawan lahir di Balikpapan, 3 Mei 1978. Anak tunggal pasangan Hendriksie dan Karsiah ini menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di kota minyak Balikpapan. Pemuda bertampang macho dengan rambut sebahu yang disisir rapi itu juga dikenal sebagai pemusik, dengan petikan gitarnya yang cukup memikat. Tak hanya itu, berjalan di atas catwalk, sebagai peragawan, juga pernah dijalaninya.
 
Pada 1996, setelah tamat SMU di kota kelahirannya, Hendriawan masuk Fakultas Ekonomi di Universitas Trisakti. Di Jakarta, Hendriawan ikut pamannya, Subaning – pegawai pemerintah DKI di Kawasan Kedoya, Jakarta Barat. Di kalangan anak-anak di kawasan Kedoya itu, Hendriawan dikenal sebagai pencerita yang suka memberi permen. “Sejak kecil ia memang sudah pandai bercerita,” tutur Subaning.

Sehari sebelum putranya gugur, Hendriksie bekerja di PT THIESS Contractor menerima dua pucuk surat dari almarhum. Isinya, ia meminta uang, karena koceknya sudah menipis, minta didoakan juga agar ujian semester bisa dijalaninya dengan baik, dan ceritanya panjang lebar tentang gerakan reformasi yang diperjuangkan mahasiswa Indonesia.

“Tentang aparatur keamanan bentrok dengan mahasiswa, dan soal PHK juga diceritakan,” tutur Hendriksie.

Karena itu, Selasa pagi, 12 Mei 1998, sang ayah langsung mentransfer sejumlah rupiah ke rekening Almarhum. Tapi rupanya uang itu belum sempat diambil, karena sore harinya Hendriawan terkena tembakan yang mematikan itu. 

3. Hafidin Royan, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil, angkatan 1996

Profil 4 Mahasiswa Korban Penembakan Tragedi Trisakti 25 Tahun LaluTrisakti Pictures

Anak keempat dari lima bersaudara pasangan Ir. Enus Yunus, pegawai Binamarga Pusat, dan Ir. Sunarmi, pegawai Puslitbang Pengairan, Jawa Barat, yang lahir di Bandung, 28 September 1976 ini menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Bandung. 

Setelah menamatkan SMU di Bandung pada 1966, Royan melanjutkan pendidikannya ke Trisakti. Di Jakarta, Royan ikut ayahnya dan tinggal di perumahan Cipayung, Jakarta Timur. Bila tak ada kesibukan di kampus, hampir setiap akhir pekan Royan pulang ke Bandung.

Royan adalah satu-satunya anak lelaki yang dipunyai pasangan Enus Yunus dan Sunarmi. Meski berpenampilan kalem, Royan suka bercanda, terutama pada kakak dan adiknya. Menurut penuturan seorang kakaknya, Husnun, Royan tak jarang menggoda saudara-saudaranya itu. Kalau candaannya itu membuat kesal sang kakak atau adik, Royan selalu mengatakan, “Ah, begitu saja kok marah!”

Di mata orangtuanya, Royan adalah anak baik, tak pernah macam-macam. “Dia itu anak saleh dan giat belajar,” kata Sunarmi, sang ibu. Pengakuan sang ibu tak berlebihan. Di kampusnya, almarhum dikenal sebagai seorang ustaz. “Soalnya, ia sangat rajin mengajak teman-temannya salat tepat waktu,” begitu kata salah seorang temannya. 

Sebagai aktivis, Royan tak pernah berada di garis depan, dan tak pula mengeluarkan umpatan. Ia berhati-hati, dan sopan. “Dia hanya ikut-ikutan saja, sebagai solidaritas,” kata seorang temannya yang enggan disebut jati dirinya. Ia hanya berdiri, dan sesekali ikut memberi semangat berupa tepukan. 

Di hari Selasa sore 12 Mei 1998 ketika salah seorang temannya, Agung, mau mengambil posisi di depan dalam berunjuk rasa, almarhum sempat mengingatkannya. “Jangan jauh-jauh, nanti kena,” tutur Agung menirukan saran almarhum.

Saat itulah keduanya pisah, karena Agung tetap berada di barisan terdepan. Maka, ketika kepala Royan tertembus peluru, Agung pun tak tahu. Di akhir minggu, Royan sempat ditanya ibundanya, kapan akan pulang ke Bandung? “Mungkin hari Rabu,” jawabnya. 

Ternyata benar. Di hari Rabu itu Royan datang ke Bandung, untuk dimakamkan di TPU Pasir Layung, yang berjarak 200 meter dari rumah duka di Gang Sirnagalih, Padasuka, Bandung.

Baca Juga: Rindu Tak Berujung Lasmiati pada si Sulung, Korban Trisakti 1998

4. Hery Hartanto, mahasiswa Fakultas Teknik Mesin, angkatan 1995

Profil 4 Mahasiswa Korban Penembakan Tragedi Trisakti 25 Tahun LaluTrisakti picture

Pemuda berusia 21 tahun yang bertubuh gempal dengan tinggi 170 cm itu gugur setelah bagian tulang belakangnya tertembus peluru yang bersarang di dada bagian kiri. Heri meninggalkan duka mendalam bagi kedua orangtuanya, Sjahrir Mulyo Utomo, 70, dan Lasmiati, 40, serta dua orang adik perempuannya. 

Sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Mesin, almarhum dikenal sebagai mahasiswa baik-baik. Ia tak dikenal sebagai aktivis suatu organisasi apa pun. “Jangankan berorganisasi, baca koran saja jarang,” kata Sjahrir, pensiunan Zeni Angkatan Darat berpangkat letnan dua itu.

“Anak saya bukan perusuh, kenapa ditembak,” begitu jerit Lasmiati ketika mengetahui anak sulungnya gugur tertembus peluru petugas keamanan. 

Meski tak aktif berorganisasi, Heri mudah bergaul dan banyak teman. Kepeduliannya terhadap rekan-rekannya, baik di kampus maupun di kampungnya, di Jalan Cempaka Timur XVII, Jakarta Timur, sangatlah kental.

Ini terbukti ketika ia merintis membuka usaha bengkel dan fotokopi. Usahanya itu dimaksudkan untuk menampung teman-temannya yang menganggur dan tak mampu meneruskan kuliah. 

Di kalangan teman-temannya, Hery dikenal mempunyai jiwa wirausaha dan solidaritas yang tinggi. Untuk memulai usahanya, Hery pernah mengajukan proposal untuk meminta pinjaman dana ke Bank Rakyat Indonesia, Rp 200 juta. Tapi suratan takdir telah menggariskan bahwa ia gugur bersama cita-cita yang tengah dirintisnya. 

Almarhum, yang sesekali ikut menjadi pengibar bendera di arena balap Sentul itu, memang sangat suka mesin mobil. Terakhir, ia sedang asyik mengutak-atik dan meneliti mesin VW kodok.     

Setelah 24 tahun, berganti lima presiden sesudah Soeharto, siapa yang harus bertanggung jawab atas kematian keempat mahasiswa ini belum terungkap. Pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan nasional saat itu, kini menjadi salah satu menteri penting di era Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Topik:

  • Rendra Saputra
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya