Jump to ratings and reviews
Rate this book

Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru

Rate this book
Kepulauan Nusantara adalah surga untuk melakukan eksplorasi ilmiah. Para ilmuwan dari seluruh dunia pernah membuat penemuan penting di sana. Namun, mengapa nama-nama ilmuwan Indonesia itu sendiri hampir tidak pernah muncul dalam catatan sejarah ilmu pengetahuan? Dalam buku ini Andrew Goss menganalisis zaman ke zaman kehidupan profesional para naturalis dan ahli biologi di Indonesia untuk menunjukkan apa yang terjadi pada ilmu pengetahuan ketika negara menjadi satu-satunya patron terhebat.

Melalui sokongan dana untuk membayar penelitian, para ilmuwan di Indonesia mengikuti agenda negara yang terutama dipusatkan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya yang paling berharga—terutama tanaman pangan ekspor: kina, gula, kopi, teh, karet, dan nila. Hasilnya adalah satu kelas birokrat botani yang Goss juluki sebagai “floracrats”. Dengan menggunakan arsip-arsip dan sejarah lisan, Goss menunjukkan bagaimana para ilmuwan ini berusaha mewujudkan cita-cita Aufklarung alias Pencerahan dari ilmu pengetahuan yang objektif, universal, dan berguna, bahkan ketika mereka mengkhianati cita-cita tersebut karena gagal membagi pengetahuan sains kepada masyarakat umum.

Dalam setiap bab, Goss memerinci fase kekuatan dan karakter ilmuwan di Indonesia yang telah berjuang dengan dilema ini, sejak awal era kolonial, melewati kemerdekaan, hingga negara Indonesia modern. Goss menunjukkan betapa kemerdekaan hanya berpengaruh terbatas bagi komunitas ilmuwan, tidak peduli betapa idealisnya ilmuwan itu tetap berpatron pada negara. Memang benar bahwa ilmu pengetahuan adalah alat negara, tetapi negara telah membatasi proses penyerapan ilmu pengetahuan, dan akhirnya gagal untuk memimpin masyarakat, tak mampu berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan negara. Ilmu pengetahuan masih menjadi urusan bagi segelintir kaum elite yang memang memiliki minat dan bakat.

364 pages, Paperback

First published February 1, 2011

Loading interface...
Loading interface...

About the author

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
11 (31%)
4 stars
16 (45%)
3 stars
7 (20%)
2 stars
1 (2%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 5 of 5 reviews
Profile Image for Silvia Iskandar.
Author 6 books28 followers
January 2, 2015
6/5 untuk isi
2/5 untuk terjemahan

Untuk isi..wow wow wow…ini gem banget ada sejarah ilmuwan di Indo, biasanya sejarah cuma ttg politik or ekonomi or budaya, tapi tentang ilmuwan, di Indo pula..jarang banget, sebagai pencinta sains, nih buku langsung saya sambar, dan cover-nya itu lhooo..so romantic.

Gaya penulisannya memang bukan soft, lebih berupa makalah, tapi setelah dengan sabar diikuti, menarik buangettss..tentang politik seputar penanaman pohon kina, tentang Junghun yg dipaksa-paksa menelurkan hasil secepatnya krn dana pemerintah gak balik, tentang Treub yg ambisius dan menyulap Kebun Raya Buitenzorg jadi salah satu lembaga sains terkemuka di Eropa…betul saudara2, itu Kebun Raya yg depannya macet terus, dan suka ada mafia tikar, yg main taro tiker tak bertuan, pas kita dudukin keluar minta duit..yeah..itu adalah lembaga sains yg tuker-tukeran preparat sama kebun raya di Jerman dan dipuji2 berbagai ilmuwan sbg salah satu lembaga ilmiah terkemuka di dunia, krn fasilitas lengkap, disediakan porter yg angkut2 barang kalau ilmuwan mau ekxpedisi, ada akomodasi, ada tenaga2 lab pribumi yg bisa bikin preparat…pada jamannya yah..pada jamannya..

Ah, berkesan banget nih buku, tentang kekacauan lembaga ilmu ketika Belanda harus angkat kaki, tiba2 semua dinasionalisasikan but gak ada org Indo yg qualified, dan ketika politik menjadi panas, ilmuwan2 ini ketakutan menentukan tema riset, takut gak sesuai sama hawa politik dan jadi sasaran pemerintah. Sebagai bekas mahasiswa yg pernah kebingungan sama tema riset, ini bisa saya hayati banget

Tentang ilmuwan yg dpt beasiswa tp melarikan diri dari ikatan dinas karena tidak kondusif-nya iklim penelitian di Indonesia sampai dicabut kewarganegaraannya, ttg ilmuwan2 idealis yg terpaksa jadi ilmuwan meja tulis demi mendapat gaji memadai…aih..aih..SUPERB..

BUT…terjemahannya itu lhoo…alamakjan…hampir membunuh niat membaca di awal

Hal 21
Sebelum penduduk sipil tercerahkan yang bersemangat tinggi berhasil dijinakkan…
APA COBA MAKSUDNYAAAA….APAAAA
Ini mah cuma mentah2 dr Inggrisnya toh? Lebih mudah dimengerti kalau kita baca asli di Inggrisnya deh

Hal 21
Para apostel pencerahan membawa pesan tidak hanya perihal pengetahuan alam yang superior, tetapi juga tentang partisipasi populer dalam menentukan masa depan koloni.
Apostel pencerahan itu apa ya? Langsung kebayang 12 Rasul Kristus dengan muka bercahaya…gubrax

Lebih lucunya lagi, di tengah2 buku, kata apostel pencerahan ini berubah jadi Floracrat, oke, setelah di google ternyata ini memang kata ciptaan si penulis, jadi penerjemah tentunya kesulitan krn gak ada padanannya di bahasa Indo. Tapi ya, mending ditulis floracrat aja kan? Dengan membaca buku kita dapat nuansanya.

Sampai saya bolak-balik, oh, ternyata memang ada 2 penterjemah, tapi hey! Saya juga pernah terlibat proyek terjemahan raksasa yang dikerjakan bersama oleh lebih dari 2 penterjemah,dan adalah TANGGUNG JAWAB EDITOR untuk MENYELARASKAN semua istilah berbeda2 yg dipakai oleh bbrp penterjemah tersebut sehingga buku menjadi satu kesatuan. Atau kalau males, ya biarin satu penterjemah aja yg kerjain dengan resiko waktunya jadi lama.

Entah yg mana dari 2 penterjemah itu, tapi saya lebih suka paruh belakang, rasanya lebih natural bahasanya.

Saya percaya, misi seorang penterjemah bukan hanya mengganti satu bahasa menjadi bahasa lainnya, tapi juga 'mengunyah' isi dan mengemasnya jadi lebih mudah dimengerti utk pembaca. Kalau cuma di translate begitu aja, saya jadi curiga deh, ini penterjemahnya mungkin gak terlalu ngerti maksud teks dan main aman.
Profile Image for Alya Putri.
77 reviews103 followers
September 28, 2020
Entah kenapa dulu waktu belajar sejarah, kita ngga diajarin soal sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Berawal dari nonton videonya Frame and Sentences dan baca review dari temanku, tertarik deh buat baca buku yang satu ini.

Katanya, lembaga penelitiannya Hindia Belanda itu ngga kalah canggih sama negara negara lain. Tapi kok, makin kesini, makin ngga keliatan ya? Apa yang terjadi? Pokoknya, lagi lagi ada sentuhan 'politik', karena buat kepentingan para penguasa gitu deh, akhirnya pengetahuan ngga bisa berkembang seidealnya. Bahkan, ngga tau deh sekarang rencana riset dan teknologi mau dibawa kemana. Tapi, ya pernah oke di zaman itu aja. Dan emang sih, seperti katanya Foucault, kalo pengetahuan ya, ngga bisa dilepasin sama kekuasaan sih, ya ngga?

Nah, buat yang suka sejarah, kayanya bole nih baca buku yang satu ini, aku ngga ngerti ya kenapa kalo bahasan Indonesia, yang nulis lengkap malah orang asing. Oh iya, di sini ada bahasan soal Kebun Raya Bogor juga, tapi ehm bukan bahas soal jalan jalan atau kulinerannya ya, lebih ke posisinya dulu sebagai surganya eksplorasi ilmiah.

Btw bukunya ada 7 bab, yang tiap babnya, bikin mindblowing deh beneran ._. Ini versi terjemahannya lumayan juga
Profile Image for triawan herdian.
27 reviews2 followers
December 3, 2019
Science is always political. Lewat bukunya, Goss menyajikan bagaimana gagalnya ilmuwan-ilmuwan Eropa awal (floracrats; para ilmuwan bidang botani) yang memiliki idealisme Pencerahan untuk menghadirkan masyarakat terpelajar di Hindia Belanda. Lewat pemerintahan kolonial para ilmuwan diarahkan untuk riset-riset yang berorientasi profitabilitas dan menutup kemungkinan untuk membangun interaksi dengan masyarakat lokal. Saat pascakolonial, Goss memberi perspektif mengapa riset di Indonesia cenderung mandek disamping minimnya kultur independen.
June 8, 2020
Suka sekali! Buku ini panjang-lebar mengupas produksi pengetahuan di Indonesia yang bermasalah karena patronase negara. Pola ini ditemukan nyaris sejalan dari periode kolonialisme dan pascakemerdekaan. Fokusnya adalah ilmuwan botani, di mana mereka bersusah payah menuruti arahan pemerintah dan kelembagaan. Banyak temuan-temuan menarik di sini, antara lain yang berkaitan dengan pendirian Kebun Raya Bogor, kelompok intelektual era Politik Etis, dan masalah dekolonisasi pengetahuan itu sendiri. Saya setuju dengan keluhan terjemahan terutama di bagian awal buku, namun tesis buku ini kelewat menarik dan hal itulah yang membuat saya bisa menikmati bukunya :)
Profile Image for Naysilla Rose.
58 reviews
February 7, 2022
susah memahaminya... mana dikejar deadline moderator, huhu. pembacaan pertama bagus, soon akan baca ulang :D
Displaying 1 - 5 of 5 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.