Kisah Pembarong Reog Ponorogo, Gigit Dadak Merak 100 Kg hingga Gigi Patah

Kisah Pembarong Reog Ponorogo, Gigit Dadak Merak 100 Kg hingga Gigi Patah

Charolin Pebrianti - detikJatim
Selasa, 12 Apr 2022 13:11 WIB
pembarong
Pembarong pada Reog Ponorogo (Foto: Dok.Pribadi)
Ponorogo -

Reog menjadi sebuah kesenian legendaris yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Ada beberapa tokoh pada seni tradisional ini. Salah satunya adalah pembarong, yang memiliki tugas terberat dalam pentas seni reog.

Pembarong adalah pembawa dadak merak. Tugasnya adalah menari dan mengangkat dadak merak. Berat dadak merak itu bervariasi, puluhan hingga mencapai ratusan kilogram. Namun, pembarong hanya membawanya dengan cara digigit.

"Saya biasanya kuat mengangkat dadak merak sekitar 60 hingga 70 kilogram," tutur salah seorang pembarong Ahmad Fhauzy (27) kepada detikJatim, Selasa (12/4/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ahmad bahkan pernah menggigit dadak merak dengan berat 90 kilogram. Beberapa kali bebannya juga ditambah dengan seorang penonton yang meminta naik ke atas dadak merak.

"Pembarong memang berat, tapi saya lebih memilih pembarong karena karakter pemain Reog yang paling seram ya pembarong," terang Ahmad.

ADVERTISEMENT

Ahmad sendiri telah menekuni posisi sebagai pembarong selama 14 tahun. Dia pun sempat mengalami kendala saat belajar, seperti kesulitan membawa bobot yang berat dan mendalami karakter sebagai harimau (objek pada dadak merak).

"Saya dulu awal-awal belajar dengan senior pembarong butuh waktu sekitar 1 tahun," kata Ahmad.

Sekitar 3 tahun lalu, Ahmad mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan. Saat tampil menjadi pembarong, dadak merak yang dia gigit tiba-tiba patah. Namun, dia tetap berusaha tampil secara maksimal. Pentas itu pun selesai dengan baik.

Pembarong lainnya, Ahmad Fauzi (37) alias Komo telah menggeluti profesi pembarong sejak 11 tahun lalu. Komo sendiri biasa mengangkat dadak merak berat 35 hingga 100 kilogram.

Salah satu penampilan yang tak bisa dilupakan Komo adalah mengangkat dadak merak ditambah seorang yang memiliki bobot sangat berat di atasnya. Dia pun sempat kelimpungan, namun berhasil berdiri.

"Awalnya sampai gemetar, terus lama-lama bisa. Untungnya cuma sebentar naiknya," kata Komo.

Komo sendiri rutin berlatih 3 hari sekali untuk melatih otot. Sebab, pembarong membutuhkan otot yang kuat. Selain itu, dia juga melatih kekuatan giginya. Meski begitu, sudah ada salah satu giginya yang patah akibat sering mengangkat dadak merak.

"Kalau ngangkat dadak merak saja ya enggak terlalu berat, tapi kalau pas menari kena angin itu berat. Apalagi ditambah ada yang naik (penonton)," tukas warga Desa Golan, Kecamatan Sukorejo ini.

Ada juga pembarong bernama Rudi Hartono (39), warga Desa/Kecamatan Sooko. Dia mengaku sudah 22 tahun menggeluti posisi pembarong.

"Karena saya suka dengan atraksi dadak merak, akhirnya memutuskan menjadi pembarong," ujar Rudi.

Dalam berpenampilan, Rudi membawa 'cakotan' atau alat bantu menggigit dadak merak saat tampil. Sebab, cakotan yang tidak nyaman digunakan bisa berakibat cedera.

"Saya bawa cakotan sendiri, biar lebih aman dan nyaman," terang Rudi.

Rudi sendiri memiliki kebiasaan khusus sebelum dirinya tampil menjadi pembarong. Yakni bagian leher dan punggung selalu diolesi krim penghangat tubuh atau balsam. Tujuannya agar dia tidak mudah keseleo saat tampil.

"Biar hangat, kalau panas kan pas tampil enggak sakit," pungkas Rudi.

Usai bercerita mengenai pengalamannya, ketiga pembarong ini menyampaikan harapannya. Terutama saat mendengar negara Malaysia berencana mendaftarkan kesenian reog ke UNESCO baru-baru ini.

"Kami para seniman, tetap memperjuangkan Reog Ponorogo masuk UNESCO dan para seniman tetap melestarikan memperjuangkan Reog Ponorogo," papar Rudi.



Simak Video "Briptu Luhur, Polantas yang Sabar Ajari Disabilitas Main Gamelan"
[Gambas:Video 20detik]
(hse/dte)