Sejarah Keraton Jogja Bergabung Republik Indonesia

Sejarah Keraton Jogja Bergabung Republik Indonesia

Tim detikjateng - detikJateng
Rabu, 19 Jan 2022 16:08 WIB
Keraton Jogja
Foto: dok. website Kraton Jogja
Jogja -

Sejarah mencatat Kesultanan Yogyakarta menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia sekaligus mengawal serta menyelamatkan kemerdekaan negara yang baru saja lahir. Berikut ini perjalanan peristiwa sejarah tersebut, dikutip dari website kratonjogja.id.

Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia

Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
ttd
Soekarno.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sepenggal piagam tersebut menjadi catatan sejarah atas sikap tegas Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam mendukung lahirnya Republik Indonesia. Piagam tersebut lahir segera setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan telegram ucapan selamat sekaligus dukungan begitu beliau mendengar diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

Sejak dari awal, Kesultanan Yogyakarta terikat oleh kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda. Setiap calon sultan yang hendak naik takhta harus mendapat restu dan menandatangani kontrak politik dengan pihak pemerintah kolonial. Ini dilakukan pemerintah kolonial agar Yogyakarta tetap dalam kendali kekuasaannya.

ADVERTISEMENT

Sri Sultan Hamengku Buwono IX Naik Takhta

Terkait dengan kontrak politik ini pula, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mencatatkan sejarah tersendiri saat hendak dinobatkan. Nyaris selama tiga bulan proses tersebut berjalan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX kukuh berkehendak agar pengaruh kekuasaan kolonial berkurang, bahkan hilang, dari lingkungan Keraton Yogyakarta. Tiga tuntutan utama beliau adalah: tidak setuju jabatan patih merangkap sebagai pegawai kolonial; menolak penasihatnya ditentukan oleh Belanda; menolak permintaan agar pasukan keraton mendapat perintah langsung dari pemerintah kolonial.

Meskipun akhirnya kontrak tersebut ditandatangani, setelah beliau mendapat ilham bahwa kekuasaan Belanda di Jawa akan berakhir, beliau masih teguh pada pendiriannya. Sikap ini juga tampak pada pidato beliau saat acara penobatan, 18 Maret 1940. "Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, tetapi pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa". Tidak hanya sampai situ, di akhir pidatonya beliau menyebutkan, "Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa". Janji inilah yang kemudian selalu beliau taati dan penuhi.

Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), sikap beliau tidak berubah. Beliau menyampaikan ke utusan Jepang bahwa beliau hanya mau ditemui di kantor. Sikap ini berbeda jauh dengan sikap raja-raja yang lain. Banyak pihak melihat beliau bersikap menutup diri dari kemungkinan bekerjasama dengan pihak Jepang. Namun sesungguhnya beliau sedang menjalani politik diplomasi yang halus, dengan tetap menjaga posisi dan wibawa sebagai penguasa Jawa.

Pada masa ini pula Sri Sultan memutuskan menghapus jabatan patih agar beliau dapat memengang kekuasaan atas kesultanan secara penuh.

Kemerdekaan Republik Indonesia

Sehari setelah mendengar diproklamasikannya Republik Indonesia, beliau bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim telegram ucapan selamat dan pernyataan dukungan terhadap Republik Indonesia.

Pernyataan tersebut kemudian disusul dengan maklumat resmi berisi pernyataan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta ke dalam pemerintahan Indonesia.

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngajogjakarta Hadiningrat,

28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

Namun rupanya pemerintah Belanda masih ingin menguasai nusantara dengan cara melakukan berbagai aksi militer. Keadaan ini membuat para pemimpin negara kesulitan menjalankan pemerintahan di Jakarta. Mensikapi keadaan itu, pada Januari 1946 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengundang para pemimpin Republik Indonesia untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Dengan menaiki kereta api yang berjalan dalam gelapnya malam, rombongan pembesar negara mengungsi ke Yogyakarta.

Atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX pula, Yogyakarta kemudian menjadi ibukota republik. Selama berada di Yogyakarta, seluruh biaya operasional, akomodasi, hingga gaji pejabat negara Indonesia ditanggung sepenuhnya oleh Keraton Yogyakarta.

Simak halaman selanjutnya...