Sejarah Keraton Yogyakarta, dari Kampung Abdi Dalem-Perumahan Belanda

Sejarah Keraton Yogyakarta, dari Kampung Abdi Dalem-Perumahan Belanda

Tim detikJateng - detikJateng
Senin, 04 Jul 2022 14:23 WIB
Raja Willem Alexander bersama Ratu Maxima dari Belanda mengunjungi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Rabu (11/3/2020). Setibanya di Keraton Yogya, Raja dan Ratu Belanda disambut Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X beserta keluarga.
Raja Willem Alexander bersama Ratu Maxima dari Belanda mengunjungi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Rabu (11/3/2020). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJateng
Solo -

Sejarah Keraton Yogyakarta berawal dari Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada Kamis Kliwon 13 Februari 1755. Keraton Yogyakarta menjadi embrio bagi tumbuh dan berkembangnya Kota Jogja, berawal dari kampung abdi dalem hingga perumahan warga Belanda.

Dikutip dari laman kratonjogja.id, Perjanjian Giyanti pada masa kolonial Belanda itu membagi Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Setelah Perjanjian Giyanti, 13 Maret 1755, proklamasi Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat (berdirinya negara Ngayogyakarta Hadiningrat) dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I membangun Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1755.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proses pembangunan Keraton Yogyakarta berlangsung hampir setahun. Selama itu, Sultan dan keluarganya tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang. Raja dan keluarga beserta pengikutnya mulai memasuki Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756.

Berakar pada keberadaan kuthanagara Keraton Yogyakarta itulah Kota Jogja berkembang sampai sekarang. Menurut buku Toponim Kota Yogyakarta, struktur tata ruang keraton secara lengkap menjadi bibit pertumbuhan Kota Jogja secara keseluruhan.

ADVERTISEMENT

Dalam buku yang diterbitkan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Yogyakarta pada 2007 itu disebutkan, dalam wilayah tempat tinggal seorang bangsawan atau kerabat keraton biasanya ditumpangi orang-orang yang sebelumnya tak memiliki tempat tinggal, disebut ngindhung atau magersari.

Sehingga di wilayah tempat tinggal bangsawan atau kerabat keraton tersebut biasanya tumbuh menjadi perkampungan. Misalnya Kampung Dipowinatan yang tumbuh di sekeliling rumah atau dalem KRT Dipowinoto.

Kota Jogja juga terus berproses dan berubah sesuai pluralitas warganya, Berbagai profesi, struktur sosial, etnik, dan aneka latar belakang budaya lainnya ikut mewarnai kehidupan di seluruh penjuru kota.

Keanekaragaman sisi profesi, lapisan sosial, serta etnisitas tersebut ikut mewarnai aneka toponimi di Kota Jogja. Misalnya, Gerjen. Gerjan adalah kampung tempat para gerji atau penjahit.

Ada Kampung Siliran yang merupakan tempat abdi dalem silir atau petugas lampu. Ada Kampung Gamelan, tempat abdi dalem gamel atau pemelihara kuda. Ada Pecinan, tempat komunitas Cina, dan Sayidan sebagai tempat komunitas Arab.

Sementara itu, kehadiran pemerintahan Hindia Belanda sebagai penguasa juga tampak dari hasil mereka 'menyisipkan' bangunan-bangunan yang mencerminkan kekuasaan ke civic center atau pusat kegiatan warga. Di antaranya, kediaman dan kantor Residen, Benteng Vredeburg, rumah-rumah, tempat peribadatan, serta Societeit yang semula dikhususkan bagi warga Belanda.

Seiring dengan semakin berkembangnya aktivitas dan jumlah warga Belanda di Kota Jogja, kebutuhan permukiman mereka pun juga berkembang. Sehingga muncul permukiman Belanda di Bintaran, Nieuwe Wijk (Kota Baru), Terban Taman (Cik Di Tiro), Jetis, dan lain-lain.



Simak Video "Perubahan Prosesi Grebeg Syawal Atas Perintah Sultan HB X"
[Gambas:Video 20detik]
(dil/rih)