BBM: Pertamina 'review' penjualan Premium dan Pertalite di Indonesia, ekonom sebut 'langsung lompat ke Pertamax' akan jadi masalah

  • Resty Woro Yuniar
  • BBC News Indonesia
bbm, premium

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Foto ilustrasi

Wacana penghapusan Premium dan Pertalite dari pasar bahan bakar minyak di Indonesia kembali bergaung menyusul rapat dengar pendapat antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pertamina baru-baru ini.

Pengamat ekonomi menyarankan wacana itu sebaiknya tidak diwujudkan pada saat ini, ketika ekonomi nasional tengah lesu.

"[Waktunya] tidak tepat ya, karena kekhawatiran sekarang adalah bagaimana upaya pemulihan ekonomi, agar daya beli masyarakat tidak jatuh terlalu dalam.

"Kalau kebijakan ini keluar, harga BBM yang bisa dijangkau masyarakat, itu makin lama makin naik. Yang terjadi justru kontraproduktif kepada upaya pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat justru malah digerogoti," kata Mohammad Faisal, direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia (01/09).

Sementara, Fithra Faisal, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, menyetujui rencana penghapusan bensin jenis Premium. Namun ia mengatakan sebaiknya bensin jenis Pertalite tidak dihilangkan pada saat yang bersamaan.

"Secara umum pemerintah perlu menyusun strategi untuk mengurangi subsidi BBM, terutama Premium. Kalau Premium dihapuskan ini akan sangat baik sekali, karena beban anggaran akan turun.

"Tapi di sisi lain harus juga ada masa antara. Kalau pun nanti Pertalite dihapuskan, seharusnya tidak bersamaan dengan Premium. Karena kalau dihapuskan secara bersamaan akan menimbulkan shock, yang pada akhirnya tidak bisa diantisipasi oleh masyarakat," ujarnya.

Pertamina menegaskan bahwa saat ini pihaknya masih menyalurkan Premium, dan keputusan penghentian penjualan suatu bahan bakar berada di tangan pemerintah.

"Sampai saat ini Pertamina masih tetap mendistribusikan, ini penugasan dari pemerintah. Ke depannya seperti apa, mungkin nanti ini akan disampaikan oleh pemerintah selaku regulator," ujar Fajriyah Usman, wakil presiden komunikasi korporat di Pertamina.

bbm, premium

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia meminta agar penghapusan Premium dan Pertalite tidak dilakukan secara bersamaan mengingat masyarakat kelas menengah ke bawah tidak bisa langsung "lompat ke Pertamax."

Pertamina 'perlu review' varian BBM di Indonesia

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Dalam rapat dengar pendapat antara Pertamina dengan Komisi VII DPR pada Senin (31/08), Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati membandingkan sembilan negara dalam presentasinya, yakni Singapura, Australia, Malaysia, China, Thailand, Filipina, Vietnam, India, dan Myanmar.

Dari negara-negara tersebut, hanya Indonesia yang menjual sampai enam varian BBM, termasuk BBM dengan jenis research octane number (RON) 88, yakni Premium.

"Jadi, itu alasan yang paling penting kenapa kita perlu me-review kembali varian BBM ini karena benchmark 10 negara seperti ini," ujarnya.

Nicke juga menyebut bahwa Pertamina akan berusaha mengikuti Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan no. 20 tahun 2017 yang mengharuskan standar minimal BBM yang dijual adalah RON 91.

"Ini artinya ada dua produk yang kemudian tidak boleh lagi dijual di pasar kalau kita mengikuti aturan itu, yakni Premium dan Pertalite," kata Nicke.

"Kita akan mencoba melakukan pengelolaan hal ini karena sebenarnya Premium dan Pertalite porsi konsumsinya paling besar. Oleh karena itu kita segera mendorong agar konsumen yang mampu beralih ke BBM yang lebih ramah lingkungan," ujarnya.

Di dunia, menurut Nicke, hanya ada tujuh negara, termasuk Indonesia, yang masih menggunakan BBM dengan RON di bawah 90, yaitu Bangladesh, Kolombia, Mesir, Mongolia, Ukraina, dan Uzbekistan.

Meski demikian, Fajriyah Usman, juru bicara Pertamina, menegaskan bahwa Pertamina saat ini baru dalam tahap sosialisasi pentingnya beralih ke BBM ramah lingkungan kepada masyarakat, dan tetap akan mendistribusikan Premium.

"Pertamina ini tidak dalam posisi untuk bisa menghapuskan Premium karena Premium ini adalah BBM penugasan dari pemerintah, jadi sepanjang penugasan itu masih ditugaskan oleh pemerintah maka pastinya Pertamina akan tetap mendistribusikan.

"Tugas Pertamina saat ini lebih ke arah edukasi agar masyarakat lebih tergerak atau mendorong konsumen untuk bisa beralih ke BBM yang lebih ramah lingkungan, yang RON nya lebih tinggi," jelasnya.

Menurut Pertamina, sampai akhir Agustus 2020, penjualan Premium adalah sebanyak 24.000 kiloliter, berkurang dari sekitar 32.000 kiloliter pada periode awal tahun lalu. Sementara penjualan Pertalite sebanyak 515.000 kiloliter sampai Agustus 2020.

Untuk penjualan Pertamax tahun ini baru sebesar 10.000 kiloliter, dan Pertamax Turbo dengan RON 98 sebesar 700 kiloliter.

bbm, premium

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Pengendara motor melintas di depan kios penjualan bensin eceran di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Subsidi premium 'membebani anggaran'

Fithra Faisal dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa dirinya setuju dengan wacana penghapusan Premium mengingat subsidi bagi BBM tersebut "membebani anggaran."

Alokasi anggaran untuk subsidi energi dalam APBN 2020 tercatat sebesar Rp125,3 triliun.

"Kalau Premium sih oke, karena selama ini membebani anggaran, bahkan dalam beberapa kasus justru menimbulkan penyelundupan di pasar karena ada celah antara harga domestik dengan harga di luar negeri," ujarnya.

Meski demikian, ia meminta agar penghapusan Premium dan Pertalite tidak dilakukan secara bersamaan mengingat masyarakat kelas menengah ke bawah tidak bisa langsung "lompat ke Pertamax."

"Kalau kita bicara Pertalite ini masih dalam wilayah perdebatan, saya rasa ini tidak akan lolos juga di DPR kalau Pertalite dihapuskan, karena masyarakat belum punya alternatif untuk kategori pengganti Premium. Kalau langsung lompat ke Pertamax ini akan jadi masalah untuk masyarakat sendiri karena mereka tidak punya pilihan.

Pastinya akan sangat menyulitkan, karena Pertamax ini kan untuk [konsumen] yang menengah atas atau middle up," jelasnya.

Selain itu ia juga mempertanyakan kesiapan kilang Pertamina jika memang varian BBM yang dijualnya berkurang.

"Kalau kita lihat dari kapasitas produksi dan efisiensi kilang minyak, kita juga harus melihat bagaimana konfigurasi [kilang mereka] apabila Premium dan Pertalite dihapuskan, ini harus dipertimbangkan juga," ujarnya.

Harga pangan 'sangat sensitif' terhadap harga BBM

Jika masyarakat diharuskan beralih ke Pertamax, yang harganya lebih mahal ketimbang Premium dan Pertalite, maka hal tersebut akan melahirkan dampak langsung dan tidak langsung terhadap komponen ekonomi lainnya, seperti kenaikan tarif angkutan umum dan harga bahan pangan, kata Mohammad Faisal, direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia.

"Dampak tidak langsungnya itu harga pangan akan lebih mahal, karena harga pangan ini sangat sensitif terhadap harga BBM, dan biasanya [kenaikan] harga BBM akan menaikkan inflasi untuk komponen transportasi. Yang kedua, itu juga akan menaikkan inflasi untuk komponen bahan pangan.

"Jadi masyarakat akan lebih diberatkan, bukan hanya dari harga BBM yang mahal, tapi harga barang-barang pangan, harga kebutuhan pokok yang juga lebih mahal," imbuhnya.

Ia menambahkan, kesuksesan rencana penghapusan kedua jenis BBM tersebut tergantung pada pemilihan waktunya. Jika dilaksanakan di tengah pandemi seperti sekarang ini, Mohammad mengatakan hal itu akan bertentangan dengan program pemerintah lainnya seperti Pemulihan Ekonomi Nasional, atau PEN.

"Kalau kebijakan ini keluar, harga BBM yang bisa dijangkau masyarakat, itu makin lama makin naik, yang terjadi justru kontraproduktif kepada upaya pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat justru malah digerogoti.

"Di sisi lain ada PEN, di mana bansos, bantuan langsung tunai, yang [diberikan] justru [karena] ingin menaikkan daya beli masyarakat Jadi timing-nya tidak tepat. Alasannya [Pertamina] adalah karena ada program langit biru, yang lebih ramah lingkungan, namun saya rasa timing-nya tidak sekarang," jelas Mohammad.