Apakah mayat korban bencana menimbulkan wabah penyakit?

Prajurit TNI mengangkat jenazah korban gempa Palu di TPU Poboya Indah, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10)

Sumber gambar, Antara Foto/Abriawan Abhe

Keterangan gambar, Prajurit TNI mengangkat jenazah korban gempa Palu di TPU Poboya Indah, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (02/10).

Sebanyak 153 jenazah korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, telah dikuburkan secara massal, empat hari pasca bencana. Tim evakuasi khawatir jenazah yang dibiarkan terlalu lama, justru akan menimbulkan wabah penyakit baru. Namun, apakah benar mayat korban gempa bisa menimbulkan wabah penyakit?

Sebanyak 18 jenazah korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, dimakamkan secara massal di TPU Poboya yang berlokasi di kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Senin (01/10). Ini adalah pemakaman massal tahap pertama dari sejumlah jenazah yang sudah terindentifikasi, namun tak segera diambil oleh keluarga.

Jenazah diangkut dengan dua truk polisi dan satu mobil bak dari Rumah Sakit Bhayangkara. Di tempat yang menjadi lokasi pemakaman massal, petugas sudah menggali lubang seluas 10x100 meter untuk menampung 1.000 jenazah.

Tak ada prosesi panjang dalam proses pemakaman ini. Setelah kantung jenazah dimasukkan ke dalam lubang makam massal, seorang anggota TNI lalu memimpin doa.

"Kenapa kita laksanakan, ini karena memang sudah seharusnya kita lakukan begini. Jadi sudah tiga hari ini jenazah-jenazah ini, ada 18 jenazah yang kita kebumikan secara masal. Dan ini merupakan pemakaman masal yang pertama," ujar Pangdam XIII Merdeka Mayjen Tiopan Aritonang kepada media.

Hingga Selasa (02/10), atau empat hari pasca bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 153 mayat korban gempa dan tsunami sudah dimakamkan di pemakaman massal di TPU Paboya dan sekitarnya.

"Hari ini akan dimakamkan jenazah lebih banyak. Sudah disiapkan truk dan 1.000 kantong mayat untuk pemakaman jenazah," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers yang digelar Selasa (02/10) siang.

Data terbaru BNPB menyebutkan 1.374 orang meninggal dunia, dan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan proses evakuasi yang terus berlangsung.

Warga menyaksikan proses pemakaman massal korban gempa Palu di TPU Poboya Indah, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (02/10.

Sumber gambar, Antara Foto/Abriawan Abhe

Keterangan gambar, Warga menyaksikan proses pemakaman massal korban gempa Palu di TPU Poboya Indah, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10).

Sebelumnya, Sutopo mengatakan para korban meninggal akan segera dimakamkan secara massal guna mencegah penyebaran penyakit.

Pemakaman massal, kata dia dilakukan dengan pertimbangan dampak kesehatan bagi warga yang selamat dari gempa.

Jenazah yang dimakamkan secara massal hanya dilakukan untuk yang telah diidentifikasi oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Palu.

Petugas dengan alat berat mengubur jenazah korban gempa Palu di TPU Poboya Indah, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10).

Sumber gambar, Antara Foto/Abriawan Abhe

Keterangan gambar, Petugas dengan alat berat mengubur jenazah korban gempa Palu di TPU Poboya Indah, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10).

Sekedar Mitos

Anggapan bahwa pemakaman korban meninggal pasca-bencana harus dilakukan sesegera mungkin guna menghindari penyakit sudah menjadi pemahaman umum.

Namun, ahli epidemiologi yang juga mantan staf ahli menteri kesehatan bidang epidemiologi dan sanitasi, I Nyoman Kandun, tak sependapat dengan hal itu dan menganggap wabah yang disebabkan jenazah korban bencana adalah mitos.

"Karena yang meninggal itu orang sehat, bukan orang yang menderita penyakit menular. Jadi, kemungkinan munculnya wabah dari jenazah ini kayaknya sangat kecil dan itu hanya sekedar mitos," tegas Nyoman.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Pendapat Nyoman dikuatkan oleh laporan organisasi kesehatan di bawah PBB, World Health Organization (WHO), yang menyatakan keyakinan masyarakat luas bahwa mayat korban bencana alam menimbulkan risiko kesehatan adalah tidak akurat.

Terutama jika kematian disebabkan oleh trauma, tubuh sangat tidak mungkin menyebabkan penyakit, seperti tipus dan kolera atau wabah.

Kendati begitu, jenazah itu dapat menularkan gastroenteritis atau sindrom keracunan makanan bagi orang yang selamat, jika jenazah itu mencemari sungai, sumur dan sumber air lainnya.

Dalam panduan manajemen evakuasi jenazah pasca-bencana, WHO mengungkapkan setelah bencana sering ada ketakutan bahwa mayat akan menyebabkan epidemi. Namun, kepercayaan umum ini tidak didukung oleh bukti, dan sering salah dilaporkan oleh media dan oleh sebagian orang.

Tekanan politik yang ditimbulkan oleh desas desus ini dapat yang mengakibatkan hal yang tidak perlu dan secara medis tidak dapat dibenarkan, seperti penguburan massal yang tergesa-gesa dan penggunaan disinfektan yang tidak tepat.

Namun, WHO mengakui, ada risiko -yang tidak pernah diukur atau didokumentasikan- dari air minum yang bersumber dari tanah yang terkontaminasi oleh feses yang dikeluarkan dari mayat kemungkinan menyebabkan diare.

Setelah meninggal, otot tubuh akan berubah menjadi rileks termasuk kandung kemih dan usus sehingga membuat kotoran yang tersisa, keluar. Manajemen buruk dalam memperlakukan jenazah korban bencana alam dapat membuat kotoran ini merembes dan mengontaminasi sumber air.

Yang harus dilakukan terhadap mayat korban bencana

Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk memastikan pemakaman jenazah korban bencana tidak menyebarkan penyakit baru bagi mereka yang selamat?

Kepala Sub Tanggap Darurat Bencana PMI Pusat Ridwan S Carman menjelaskan, setelah dievakuasi, jenazah dikumpulkan, diidentifikasi oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI) dan diberi catatan untuk keperluan forensik.

"Memang seharusnya begitu ada sebuah jenazah yang kemudian ditemukan di lapangan dengan ciri-ciri tertentu itu bisa diambil dokumentasinya, minimal terkait dengan ciri-cirinya atau pakaikan yang dikenaikan," papar Ridwan.

Setelah itu, baru dimulai penguburan jenazah.

Ahli bidang epidemologi dan sanitasi, Nyoman Kandun titik kubur harus berada di atas permukaan air tanah untuk melindungi air tanah.

"Jenazah ditanam 1,5 -2 meter sudah cukup aman apa pun jenis tanahnya," ujar Nyoman.

Lokasi pemakaman harus setidaknya 30 meter dari mata air atau anak sungai dan 200 m dari sumur atau sumber air minum lainnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Keterangan gambar, Lokasi pemakaman harus setidaknya 30 meter dari mata air atau anak sungai dan 200 meter dari sumur atau sumber air minum lainnya.

Sementara, panduan penanganan pasca bencana WHO mengungkapkan, meskipun tidak ada rekomendasi standar untuk kedalaman kuburan, disarankan bahwa lubang itu harus berada di kedalaman antara 1,5 m dan kedalaman 3 m.

Jika memungkinkan, tanah dengan tekstur berpasir dan mengandung alkali disarankan untuk mencegah kontaminasi air dan degradasi DNA mayat.

Adapun lokasi pemakaman harus setidaknya 30 meter dari mata air atau anak sungai dan 200 m dari sumur atau sumber air minum lainnya.

Pada pemakaman massal, masing-masing jenazah ditempatkan sejajar dengan jarak 0,4 m satu sama lain.

Praktik keagamaan yang berlaku dapat menunjukkan preferensi untuk orientasi tubuh dimakamkan (misalnya kepala menghadap timur, atau menghadap kiblat).

WHO menegaskan mayat korban bencana secara umum tidak menyebabkan wabah.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Darwin Fatir

Keterangan gambar, Mayat korban bencana bisa menyebabkan risiko wabah jika korban meninggal mengidap penyakit menular seperti ebola, kolera dan demam lassa.

Secara berulang, WHO pun menegaskan mayat secara umum tidak menyebabkan wabah setelah terjadinya bencana. Satu-satunya alasan mayat korban bencana bisa menyebabkan risiko wabah jika korban meninggal mengidap penyakit menular seperti, ebola, kolera dan demam lassa, atau ketika bencana alam terjadi di daerah di mana penyakit semacam itu endemik.

Konsekuensi dari salah urus orang yang meninggal salah satunya adalah tekanan mental terhadap keluarga mereka serta masalah sosial dan hukum.

Justru, populasi yang bertahan hidup jauh lebih mungkin menyebarkan penyakit.

Nyoman mengungkapkan imbas dari disrupsi lingkungan, kelangkaan air bersih, dan sampah berhamburan, bisa menyebabkan terjadinya wabah.

Ahli bidang epidemologi dan sanitasi, dokter Nyoman Kandun mengungkapkan imbas dari disrupsi lingkungan, kelangkaan air bersih, dan sampah berhamburan, bisa menyebabkan terjadinya wabah.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Keterangan gambar, Ahli bidang epidemologi dan sanitasi, dokter Nyoman Kandun mengungkapkan imbas dari disrupsi lingkungan, kelangkaan air bersih, dan sampah berhamburan, bisa menyebabkan terjadinya wabah.

"Jadi ada kemungkinan ada dua jenis penyakit yang menular langsung dan penyakit yang disebabkan penularan melalui vector," ujar Nyoman.

"Yang menular langsung adalah personal hygine dan environmental sanitation yang rusak, bisa muncul penyakit yang ada kaitannya dengan gastroinfestinal (muntah berak)," lanjutnya.

Maka dari itu, penanganan tanggap darurat gempa mutlak dilakukan. Kepala Sub Tanggap Darurat Bencana PMI Pusat Ridwan S Carman menjelaskan untuk mencegah wabah penyakit, penanganan korban yang selamat justru harus diprioritaskan.

"Ditengah seluruh kondisi yang serba minim, kita tetap harus berpikir higienitas menjadi hal yang sangat penting, baik dari sisi dasar, air dan makanan, juga dari sisi promosi perilaku-perilaku masyarakat yang ada disana," papar Ridwan.

Sejumlah warga korban gempa dan tsunami Palu memanfaatkan air tanah di salah satu tempat pencucian mobil di Kelurahan Palupi, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (01/10)

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Keterangan gambar, Sejumlah warga korban gempa dan tsunami Palu memanfaatkan air tanah di salah satu tempat pencucian mobil di Kelurahan Palupi, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (01/10).

Kendati begitu, Ridwan mengakui, hingga kini kondisi air bersih masih terkendala. Saat ini, PMI sudah memobilisasi 22 unit mobil truk tangki dengan kapasitas 5.000 liter.

"Kami juga mengirimkan alat water treatment plant, atau alat pengolah air, yang itu bisa menghasilkan air dalam 8.000 liter per jam," kata Ridwan.

"Itu langkah awal yang kami lakukan, nanti kami juga akan mendistribusikan air siap minum," lanjutnya.

Sayangnya, baru sebagian kecil air bersih itu terdistribusikan di Palu karena terkendala akses logistik yang rusak imbas dari gempa berkekuatan besar dan gelombang tsunami.

"Akses itu memang masih menjadi kendala," cetusnya.

Warga mengambil makanan dari 'minimarket' yang ambruk di Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9). Warga terpaksa mengambil karena mereka juga membutuhkan makanan dan air bersih.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rolex Malaha

Keterangan gambar, Warga mengambil makanan dari 'minimarket' yang ambruk di Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9). Warga terpaksa mengambil karena mereka juga membutuhkan makanan dan air bersih.

Sutopo Purwo Nugroho dari BNPB mengakui kebutuhan dasar seperti makanan, pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan trauma healing masih sangat diperlukan bagi para korban yang selamat.

"Artinya, memang kita perlu waktu untuk melakukan penanganan tersebut, karena supply-demand selama gempa mengalami gangguan," ujar Sutopo.