Tujuh suku pelindung gunung dan laut di Pegunungan Cycloop Papua

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Wakil dari tujuh suku yang hidup dalam harmoni di Yongsu Spari, Pegunungan Cycloop
  • Penulis, Famega Syavira dan Dwiki Marta
  • Peranan, BBC News Indonesia

Warga Desa Yongsu Spari hidup dalam harmoni alam Papua. Tujuh suku di desa ini menjadi pelindung gunung dan laut, memanfaatkan kekayaan alam dan tanah adat sekaligus menjaganya.

Sebelah kiri desa itu adalah Samudra Pasifik, dan di sebelah kanan adalah bukit dan gunung yang menjadi bagian dari Pegunungan Cycloop. Rumah-rumah warga yang bersih dan terawat, meski sederhana, berdiri di antara gunung dan laut.

Desa Yongsu Spari terletak di kaki Pegunungan Cycloop, yang berlokasi di Distrik Ravenirara, Kabupaten Jayapura, dua jam perjalanan ke barat Kota Sentani, atau tiga jam dari Jayapura, ibu kota Provinsi Papua.

Yongsu Spari adalah desa terakhir yang dapat dicapai dengan mobil. Jalan menuju ke desa teraspal cukup rapi, kecuali saat harus melewati sebuah sungai yang tidak punya jembatan.

Namun, jalan aspal itu tidak sampai di desa yang menjadi kediaman sekitar 86 keluarga ini.

Selama beberapa ratus meter, mobil harus berjalan pelan-pelan di antara tanah berbatu, lalu melewati satu sungai lagi. Desa berikutnya, Yongsu Desoyo, hanya dapat dicapai dengan perahu.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Kondisi alam Pegunungan Cycloop

Sungai jernih yang mengalir di kampung ini berasal dari gunung, dan bermuara langsung ke laut. Jika arusnya besar, terkadang karena hujan di hulu, sungai ini tidak dapat dilewati kendaraan. Karena itu, beberapa kali kami harus berjalan kaki melewati sungai ini.

Sebagian rumah terbuat dari bata dengan halaman tanah, namun masih ada juga rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu.

Tujuh suku bersama-sama menjaga kelestarian hutan dan laut, dengan pembagian tugas yang diatur secara turun-temurun. Mereka bersama-sama menciptakan sistem adat sesuai peran masing-masing suku.

Ada suku yang berkuasa atas laut, ada suku penjaga gunung, dan suku yang bertanggungjawab atas jalannya ketenteraman dan kemakmuran di desa.

Tujuh kepala suku itu punya satu pemimpin adat, yang saat ini dijabat oleh Yakob Apaserai, 71 tahun. Ia adalah kepala suku Apaserai.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Yakob Apaserai, ondoafi, pemimpin para ketua suku.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

"Peran saya melindungi suku, melindungi semua kampung. Ada apa-apa harus lewat saya, karena ada hukum. Lalu kita bahas bersama, solusi yang terbaik yang mana," kata Yakob.

Suku Apaserai secara turun-temurun menjadi tetua desa dan pengawas tegaknya aturan adat. Kepala suku Apaserai, otomatis menjadi ondoafi, atau pemimpin adat ketujuh suku.

Baca juga:

Yakob mendapatkan jabatan ondoafi yang diturunkan dari kakeknya, lalu ke ayahnya dan abangnya. Sistem ini kemudian diwadahi dalam Lembaga Masyarakat Adat.

Warga desa ini masih memegang teguh aturan adat dalam beriteraksi dengan alam sekitarnya. Ada tempat-tempat yang terlarang untuk menebang pohon, misalnya di pinggir kali, atau di gunung setelah ketinggian 600 meter di atas permukaan laut.

"Karena akan mendatangkan bencana, bencana bukan buat orang lain tapi kita sendiri yang dapat bencana. Ini aturan bukan hanya sekarang, sudah dari dulu begitu," kata Yakob.

Selain Apaserai, klan atau suku terbesar adalah Yomilena, Sorondanya, Norotouw, dan Okoserai.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Martin, sekretaris kampung, sekaligus putra kepala suku Yomilena.

Yomilena adalah suku tertua di desa ini. Posisi adat mereka berada di tengah, antara laut dan gunung.

Namun kuasa mereka atas laut hanya di tepian, berbeda dengan suku Norotouw yang merajai hingga laut lepas. Tempat mereka di darat pun hanya bisa bertani, tapi tidak boleh berburu ke dalam hutan.

"Sukunya kami itu lebih banyak tentang untuk melindungi. Ketika orang punya masalah, kami pergi untuk selesaikan," kata Martin dari suku Yomilena, yang secara resmi juga menjabat sebagai sekretaris kampung.

Masalah-masalah yang kerap diselesaikan oleh suku Yomilena antara lain masalah batas tanah adat.

Ini terkait dengan posisi mereka sebagai klan tertua, sehingga diberi hak untuk mengatur tanah.

"Tanah ini pada intinya dulu moyang saya punya. [...] Karena tanah mereka kita yang kasih, makanya kita yang tahu (batas-batasnya). Kalau tanah-tanah itu jadi sengketa, suku saya yang harus selesaikan, karena nanti di antara mereka salah paham," kata Martin, 39 tahun.

Selain itu, Yomilena pun bertugas menjadi penengah masalah-masalah keluarga, seperti soal perselingkuhan.

Adapun suku Norotouw tinggal di sisi desa yang dekat dengan laut. Mereka adalah penguasa laut di daerah ini, dan bermata pencaharian sebagai nelayan.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Terianus Norotouw, 'penguasa laut'.

"Alam ini berkat untuk semua. Tapi kami masing-masing punya bagiannya. Bagian suku Norotouw jaga hukum laut," kata Terianus, kepala suku Norotouw.

Meskipun laut berada dalam kekuasaan suku Norotouw, bukan berarti warga suku lain dilarang mencari ikan atau penghidupan di laut.

Semua boleh mencari ikan di laut, Terianus menjelaskan. Meski demikian, hukum yang berlaku di laut dikuasai oleh suku Norotouw.

Misalnya, tidak boleh mencari ikan dengan pukat. Dia menceritakan bahwa warga pernah mendapati orang luar yang mencari ikan dengan bahan peledak. Mereka ditangkap dan kemudian dihukum membayar denda, lalu diserahkan kepada polisi.

Keterangan video, Hutan Papua: Tujuh suku pelindung kelestarian di Pegunungan Cycloop

Ketika kami berada di atas kapal di lautan depan desa, Terianus menunjukkan lokasi lumba-lumba biasanya muncul, dan menceritakan bahwa paus berukuran besar kerap terlihat pada musim tertentu.

"Tapi kami tidak tangkap lumba-lumba, mereka teman," kata pria berusia 65 tahun ini.

"Dan di laut jangan baku benci, baku marah, tidak boleh. Seperti saya dengan ibu (istri), harus di rumah sudah aman, baru boleh pergi melaut," katanya.

Dahulu, warga pelaut dan warga yang bekerja sebagai petani atau pemburu sering membarter hasil kerja mereka.

"Saya kasih ikan, nanti dia kasih ketela, tukar apa yang ada," kata dia.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop

Hasil hutan dan binatang buruan, biasanya didapatkan oleh suku Sorondanya yang menjadi penguasa hutan.

"Kami dari suku Sorondanya saja yang bisa berburu. Suku lain tidak boleh. Kami berburu secukupnya, apa-apa yang bisa dimakan seperti babi, dulu termasuk kanguru dan lain-lain. Kalau burung langka tidak boleh," kata Amos, kepala suku Sorondanya.

Mereka juga berkebun di hutan, namun hanya di batas ketinggian 500 mdpl, dan yang terjauh, 2 kilometer dari kampung.

"Sebenarnya saya kerjanya di hutan, siang malam. Malam berburu, siang kadang tidur di hutan, tanam-tanam di hutan," kata Zakarias, dari suku Sorondanya.

Dia mengajak BBC News Indonesia untuk melihat hutan produksi yang dirawatnya di kaki gunung, dan menunjukkkan berbagai pohon yang menghasilkan seperti pohon durian, pohon petai, dan pohon pinang.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Zakarias (kiri, bertopi) menunjukkan kebunnya yang menjadi satu dengan pinggir hutan, dan termasuk dalam hutan produksi yang masih boleh dimanfaatkan warga.

Penemuan hewan yang hilang 62 tahun

Pada Juni-Juli 2023 lalu, desa ini menjadi tempat tinggal para ilmuwan dari Inggris yang menemukan bukti keberadaan Zaglossus attenboroughi, spesies mamalia berduri yang telah menghilang selama 62 tahun dan dikhawatirkan sudah punah.

Selama 62 tahun terakhir, keberadaan spesies ini hanya dibuktikan dari satu spesimen yang sudah diawetkan dan kini tersimpan di Naturalis Biodiversity Centre di Leiden, Belanda. Kini, spesies itu terlihat dalam bentuk foto dan video, masih ada di Pegunungan Cyloop.

Baca juga:

Ditemukan pula ratusan spesies yang baru bagi sains. Dr James Kempton, ilmuwan dari Universitas Oxford meyakini, salah satu faktor masih terjaganya spesies-spesies itu adalah berkat aturan adat dan tabu yang berlaku di desa.

"Saya rasa ekidna berhasil ditemukan karena warga berhasil melindunginya, karena mereka menjaga kawasan-kawasan yang dianggap tabu untuk berburu, dan ada juga wilayah yang tidak boleh didatangi," kata Dr James Kempton.

Beberapa warga mengenal binatang ini sebagai payangko, dari cerita-cerita tetua, namun tak ada yang pernah melihatnya secara langsung.

"Kami hanya dengar dari orang tua bicara saja, itu binatang yang paling langka dan susah ditemukan," kata Amos, kepala suku Sorondanya yang berusia 60 tahun.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop

Keterangan gambar, Foto pertama yang membuktikan bahwa spesies ekidna Zaglossus attenboroughi belum punah.

"Saya sendiri memang dengar cerita-cerita dari orang dulu, tapi sampai sekarang saya tidak tahu itu binatangnya seperti apa. Belum pernah lihat," kata Martin dari suku Yomilena.

Martin menjelaskan bahwa pada masa lampau payangko adalah hewan yang berperan penting menjaga perdamaian di kampung. Seseorang yang mendapatkan sanksi adat, bisa dihukum untuk mencari hewan itu.

"Karena itu memang hewan langka yang sangat susah orang dapat. Jadi ketika orang buat masalah, ada sanksi adat ini. Lalu biasanya orang berpikir, apakah dia bisa atau tidak. Kalau tidak bisa, dia harus buat penawaran yang lain lagi," kata Martin.

Saat ini, pelanggar hukum adat dapat dihukum dengan cara membayar denda berupa babi atau harta yang lain. Hukuman lain berupa pengusiran dari kampung dan penyitaan tanah selama waktu tertentu.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Peta lokasi Pegunungan Cycloop yang terletak sangat dekat dengan Kota Jayapura.

Namun dalam sistem adat itu, perempuan tidak punya suara. Hanya para pria yang boleh memberikan pendapat dalam musyawarah dan pengambilan keputusan adat.

Hal itu tidak membuat Susana Okoserai-Sorondanya, 49 tahun, berhenti bersuara. Dia mencari celah agar pendapatnya didengar oleh komunitasnya. Salah satunya adalah dengan memberikan pendapat di dalam acara-acara yang bukan adat.

Ketika Iain Kobak, salah satu pendiri Yappenda menunjukkan hasil penemuan dalam sebuah pertemuan dengan warga, Susana menjadi satu dari beberapa perempuan yang menyatakan pendapatnya.

Dia merasa takjub dengan ditemukannya berbagai spesies, namun juga berharap penelitian tersebut dapat bermanfaat bagi warga.

"Mama minta ada satu anak dari kampung sini harus ke luar (negeri) untuk kuliah tentang pelestarian, supaya nanti bisa pulang untuk sama-sama menjaga kampung ini," kata Susana.

Keterangan video, Ekidna yang muncul kembali di hutan Papua setelah 62 tahun 'menghilang'

Larangan dan mitos

Di antara pendakian ke Pegunungan Cycloop, tim ilmuwan dan mahasiswa dari Universitas Cenderawasih tinggal di desa Yongsu Spari selama lebih dari satu bulan.

Mereka memberikan pelatihan tentang keberagaman fauna dan cara melestarikannya kepada mahasiswa Papua.

James berharap, para mahasiswa yang turut serta dalam perjalanan ini bisa mempelajari berbagai teknik yang diajarkan agar kelak bisa melakukan penelitian sendiri demi masa depan pelestarian alam Papua.

Mereka dibantu warga Kampung Yongsu Spari yang memandu para peneliti di hutan, sebab mereka sangat mengenal hutan itu. Warga juga membantu para peneliti membawa barang dan membantu penyediaan logistik.

"Warga desa berperan sangat penting dalam suksesnya penemuan ekidna," kata James.

Warga yang memandu para peneliti dipimpin oleh Zakarias Sorondanya, yang sehari-hari berkebun dan berburu.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop

Sumber gambar, Ekspedisi Cycloop

Keterangan gambar, Dr James Kempton memberikan pelatihan kepada mahasiswa dengan cara praktik langsung di hutan.

"Saya berharap penemuan ini membuat warga menjadi terhubung lagi ke ekidna, karena binatang ini penting secara tradisional sebagai alat untuk menjaga perdamaian," kata Dr James Kempton.

James mengatakan bahwa dirinya dan anggota tim lainnya berusaha mematuhi mitos dan kebiasaan yang dilakukan warga di hutan.

Salah satunya adalah larangan untuk mengucapkan nama puncak gunung saat mereka mendaki gunung itu.

"Mereka yakin mengucapkan nama puncak gunung akan membawa marabahaya bagi semua orang yang ada di sana," kata James.

Larangan lain adalah untuk tidak menebang pohon, meskipun mereka diizinkan menebas ranting-ranting seperlunya saat mencari jalan menuju ke puncak.

Sekali waktu, salah satu porter dinilai membabat cabang terlalu banyak dan ditegur oleh pemandu lokal. Setelah itu, turun hujan badai sangat deras sehingga semua orang basah kuyup.

"Pemandu kami mengatakan, hujan sangat deras itu adalah hukuman dari sang penjaga hutan karena kami memotong terlalu banyak cabang," kata James.

"Apapun penyebab badai itu, setelahnya kami berusaha untuk lebih berhati-hati."

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Suasana kehidupan di Desa Yongsu Spari.

"Memang jangan sampai ada yang yang ikut ke sana kalau punya niat yang tidak baik. Nanti tiba-tiba kena dampak," kata Amos Sorondanya.

Dia menjelaskan bahwa warga suku lain, termasuk dari luar Papua, tidak boleh melangkah ke hutan tanpa izin warga.

“Terkecuali bagi mereka yang sudah kawin masuk ke suku kami, seperti misalnya adik ipar begitu, punya kuasa untuk cari hidup. Tapi kalau untuk memiliki tanah tidak bisa.

“Biarpun mereka pakai izin dari pemerintah bahkan dari gereja sekalipun, tidak bisa masuk tanpa izin. Biasanya kalau orang pergi tanpa izin kami, saat pulang akan muntah darah, itu dampaknya," kata Amos.

Dia percaya, ada 'penunggu hutan' yang mengenali warga suku Yongsu Spari dan siapa yang bukan. "Penunggu yang ada di situ (hutan), dia tahu siapa yang ada di sana. Kalau memang dari marga suku kami yang pergi ke sana, ya tidak apa-apa," kata Amos.

Perempuan dari luar desa yang dinikahi oleh warga suku, harus diperkenalkan pada penunggu hutan sebelum dibawa ke hutan. "Kalau ada perempuan luar yang dinikahi oleh suku kami, tidak boleh dibawa ke hutan sebelum diperkenalkan bahwa "Ini istri saya".

“Kalau sampai dibawa ke hutan, istri akan mandul, tidak akan berbuah, tidak punya anak. Sampai kapanpun seperti itu. Sudah berapa kali kami hadapi yang seperti itu," kata dia.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Sebagian besar rumah di desa terbuat dari bata dan semen, meskipun masih ada yang bertahan dengan rumah tradisional yang terbuat dari kayu.

Dampak aturan-aturan ini adalah kondisi hutan di dekat desa yang masih terjaga, dan hal itu diakui oleh para ilmuwan Oxford.

"Saya melihat keseimbangan antara apa yang warga ambil dari hutan, dan apa yang mereka berikan untuk hutan," kata Dr Leonidas Romanos-Davranoglou, pakar serangga dari Universitas Oxford.

Di ketinggian tertentu, dia melihat sudah tidak ada aktivitas manusia dan hutan masih sangat alami.

Bahkan di daerah rendah yang ditanami oleh warga sebagai hutan produksi, dia melihat warga Yongsu Spari masih tetap mempertahankan harmoni dengan hutan, dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Dari pantai, kita bisa melihat puncak-puncak Pegunungan Cycloop.

Menatap masa depan

Meski demikian, ancaman juga datang dari dalam dan terutama luar desa. Warga sering mendapati orang luar yang memburu binatang di desa mereka.

"Sekarang lihat saja, burung cenderawasih ada di pohon? Tidak. Karena berburu, berburu sembarang pakai senapan angin," kata Yakob.

"Kalau ketahuan akan kami tangkap dan kami pukul dia, nanti urusan di kantor polisi sana."

Dari tengah laut di depan desa, tampak salah satu puncak Pegunungan Cycloop, Gunung Dofonsoro setinggi 1.580 mdpl. Di balik gunung sana, adalah Kota Sentani, bagian dari Pegunungan Cycloop yang sudah banyak dirambah oleh pembukaan lahan.

Pada tahun 2017 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) mencatat terdapat sebanyak 450 Ha lahan kritis di kawasan Cagar Alam Cycloop.

Banjir bandang beberapa kali menerjang desa, terakhir terjadi pada 2019.

Rumah-rumah yang rusak akibat banjir bertahun-tahun sebelumnya dibiarkan begitu saja di bagian kampung yang sudah tidak ditinggali. Para penghuninya, termasuk sang ondoafi, Yakob, memindahkan rumah mereka ke bagian kampung yang dianggap lebih aman.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Bekas rumah yang diterjang banjir bertahun lalu, kini ditinggalkan.

Di hutan, Zakarias mengenang bahwa dulu, burung nuri sangat banyak dan begitu mudah ditemukan di hutan, bahkan ada beberapa yang hinggap di satu pohon.

Bahkan dari kampung, mereka masih bisa mendengar riuhnya berbagai kicau burung. Kicauan itu perlahan menghilang, berganti riuh aktivitas manusia.

"Ada masyarakat yang macam tidak peduli, masih tebang sembarang. Padahal untuk potong kayu ada hukumnya. Harus ada maksud, misalnya potong kayu untuk bikin rumah, itu boleh, tapi kalau asal tebang begitu, tidak boleh," kata Zakarias.

Di laut, Terianus menceritakan bahwa ikan-ikan semakin sulit didapat. Sambil berjalan di tepi pantai, dia menunjukkan batu-batuan yang dahulu menjadi tempat persembunyian ikan.

"Dulu bisa tangkap ikan di sini saja. Sekarang sudah tidak ada," kata dia.

Papua, suku, alam, hutan, keragaman, tradisi, budaya, Cycloop
Keterangan gambar, Terianus berdiri di muara, tempat pertemuan antara sungai yang mengalir dari gunung, dengan laut.

Banyak aturan adat juga terhubung kuat dengan bahasa lokal yang dipakai oleh warga desa. Mereka menyebutnya Bahasa Yongsu.

"Misalnya saya ke hutan, saya tidak boleh menyebut kata 'tanah' dalam bahasa daerah, harus Bahasa Indonesia saja, karena nanti tuan penunggu tanah pikir saya panggil dia," kata Martin.

Sayangnya, banyak generasi muda di desa ini sudah lagi mahir berbicara bahasa daerah mereka, menurut para warga.

"Termasuk saya, bahasa saya kurang," kata pria berusia 39 tahun itu.

Beberapa pemuda desa ada pula yang pergi meninggalkan desa dan mencari penghidupan di luar. Zakarias adalah salah satunya, meskipun akhirnya dia memutuskan untuk kembali tinggal di kampungnya.

"Saya dulu pernah kerja di perusahaan tapi akhirnya tidak ada hasil juga, beda dengan orang yang sekolah. Jadi ya balik kampung kita tanam-tanam supaya ada kehidupan di kemudian hari," kata Zakarias.

Meski demikian, para tetua suku tetap berusaha mengajarkan nilai-nilai adat mereka yang selaras dengan alam kepada para generasi muda.

"Sampai dengan keturunan kami, anak-anak kami, sudah kami kasih ingat bahwa alam ini harus dijaga, karena kami diingatkan oleh tua-tua bahwa jika kamu merusak, akan kena banjir, musibah," kata Amos Sorondanya.

Dia berharap, hutan dan alamnya akan terus lestari.

"Walaupun kita hidup di dunia global, tetapi alam itu tetap selalu ada. Di mana kita ada, dia selalu ada," kata Amos.