Mengapa manusia tidak berbulu?

Seorang perempuan menggenggam rambutnya yang panjang.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Setelah manusia purba kehilangan bulu mereka, rambut di kepala kita tetap bertahan — kemungkinan besar sebagai perlindungan dari radiasi matahari.
  • Penulis, Jocelyn Timperley
  • Peranan, BBC Future

Kalau alien datang ke Bumi dan menyuruh manusia berbaris di antara primata lainnya, salah satu perbedaan mencolok yang akan mereka amati – selain posisi kita yang tegak dan cara berkomunikasi kita yang unik – adalah tubuh kita yang nyaris tidak berbulu.

Bahkan, dibandingkan dengan kebanyakan mamalia, manusia sangat tidak berbulu (kecuali beberapa individu). Beberapa mamalia lainnya juga memiliki kualitas ini – di antaranya tikus mondok telanjang, badak, paus, dan gajah.

Tapi bagaimana kita berakhir dalam keadaan 'telanjang' seperti ini? Apakah tubuh tanpa bulu ada manfaatnya? Dan bagaimana kita menjelaskan kehadiran rambut yang tebal dan padat di beberapa bagian tubuh kita?

Tentu saja, manusia sebenarnya punya banyak bulu: kita memiliki rata-rata lima juta folikel rambut di seluruh permukaan badan kita.

"Kita secara teknis punya bulu di seluruh tubuh, hanya saja [kebanyakan] adalah folikel rambut miniatur," kata Tina Lasisi, antropolog biologi di Universitas Karolina Selatan yang berspesialisasi dalam sains rambut dan kulit.

"Namun ia sudah terminiaturisasi sampai pada titik ketika tidak lagi berfungsi melindungi kita."

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Para ilmuwan belum tahu pasti alasan perubahan dari bulu yang tebal dan kasar ke bulu-bulu yang halus, dan mereka juga tidak tahu pasti kapan itu terjadi.

Ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan apa kiranya yang telah mendorong hilangnya bulu dari tubuh kita.

Pandangan paling dominan di antara saintis adalah yang disebut hipotesis "pendinginan tubuh", yang juga dikenal dengan sebutan hipotesis "savana".

Dalil ini mengatakan bahwa meningkatnya kebutuhan manusia purba untuk menjaga suhu internal tubuhnya (termoregulasi) menjadi pendorong hilangnya bulu.

Selama masa Pleistosen, Homo erectus dan hominini lain yang muncul belakangan mulai berburu di savana terbuka. Mereka mengejar mangsa mereka selama berjam-jam untuk membuatnya kelelahan tanpa perlu alat berburu yang canggih, yang baru muncul belakangan dalam catatan fosil.

Aktivitas yang membutuhkan ketahanan ini dapat menempatkan mereka dalam risiko kepanasan alias overheating. Karena itu, bulu-bulu hilang, yang akan memungkinkan manusia purba untuk berkeringat lebih efisien dan mendinginkan badan lebih cepat tanpa perlu istirahat.

punggung manusia

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Manusia adalah satu dari sedikit mamalia yang memiliki sedikit bulu di tubuhnya.

Bukti untuk teori ini juga berasal dari studi yang menemukan perubahan pada beberapa gen yang berperan menentukan apakah sel tertentu berkembang menjadi kelenjar keringat atau folikel rambut. “Jadi semua ini punya jalur perkembangan yang saling berkaitan,” kata Lasisi.

“Jika kita melihat bukti itu, dikombinasikan dengan beberapa hal yang dapat kita simpulkan tentang gen yang meningkatkan pigmentasi kulit manusia, maka kita dapat memperkirakan dengan cukup yakin bahwa 2-1,5 juta tahun lalu… manusia mungkin kehilangan bulu di badan kita.”

Teori terkait yang digagas pada tahun 1980-an menduga bahwa perubahan pada posisi bipedal yang tegak membuat bulu badan jadi tidak terlalu bermanfaat dalam memantulkan radiasi matahari dari tubuh kita (kecuali dari atas kepala).

Karena kita berkeringat lebih baik tanpa bulu, tubuh tanpa bulu jadi relatif lebih menguntungkan daripada tubuh berbulu.

Namun meskipun hipotesis pendinginan tubuh ini sekilas tampak masuk akal, dan barangkali ada benarnya, teori ini gagal di beberapa area, menurut Mark Pagel, profesor biologi evolusi di Universitas Reading.

“Jika panas tubuh kita dipelajari selama periode 24 jam, kita kehilangan lebih banyak panas dari yang kita inginkan pada malam hari, dan jadi efek dari kehilangan bulu adalah kita mengalami defisit energi sepanjang waktu,” ujarnya.

Ia juga mencatat bahwa ada banyak populasi manusia yang tidak pernah berburu seperti manusia purba selama puluhan ribu tahun, tetapi mereka tidak jadi berbulu lagi, meskipun banyak yang tinggal di wilayah-wilayah terdingin di dunia.

Namun, Lasisi mengatakan bahwa hipertermia – suhu tubuh tinggi yang tidak normal – kemungkinan besar merupakan masalah yang jauh lebih besar dari hipotermia di Afrika khatulistiwa, tempat manusia berevolusi

“Bagi saya tampaknya ada tekanan yang sedikit lebih kuat untuk tidak kepanasan, alih-alih untuk tetap hangat.”

Ia juga mencatat bahwa banyak sifat genetik dapat menjadi terkanalisasi (sulit untuk berevolusi kembali dengan cara yang berbeda) dan ketika manusia mencapai lingkungan yang lebih dingin, mereka sudah mengembangkan teknologi lain untuk menjaga tubuh tetap hangat, misalnya api dan pakaian.

Manusia juga mungkin mengembangkan adaptasi fisiologi lainnya untuk cuaca dingin, misalnya jaringan lemak coklat, ia menambahkan.

Pada 2003, Pagel dan koleganya Walter Bodmer di Universitas Oxford mengusulkan penjelasan lain tentang mengapa manusia purba kehilangan bulunya, yang mereka sebut hipotesis ektoparasit.

Mereka berargumen bahwa primata yang tidak berbulu akan lebih jarang terkena parasit, sebuah keuntungan yang sangat besar.

“Kalau Anda lihat di seluruh dunia, ektoparasit masih menjadi masalah besar dalam bentuk lalat penggigit yang membawa penyakit,” kata Pagel.

“Dan lalat-lalat itu telah terspesialisasi untuk mendarat dan hidup di antara bulu-bulu dan menaruh telurnya di bulu-bulu… Parasit mungkin merupakan salah satu dorongan selektif paling kuat dalam sejarah evolusi kita, sampai sekarang pun begitu.”

Pagel berkata “belum ada hal baru yang membuat kita mempertanyakan” hipotesis ini sejak ia dan Bodmer pertama kali menggagasnya.

seorang pria mengenakan mantel bulu

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Manusia mulai mengenakan pakaian dari bulu hewan untuk melindungi diri dari cuaca dingin — tetapi para ilmuwan belum tahu kapan tepatnya ini terjadi.

Salah satu faktor di sini bisa jadi adalah penemuan pakaian yang dibuat dari bulu hewan lain, yang dapat dilepas dan dicuci.

Penemuan ini akan menempatkan kehilangan bulu pada 100.000 - 200.000 tahun yang lalu, jauh lebih akhir dari yang diperkirakan oleh hipotesis pendinginan tubuh, berdasarkan pada waktu kutu tubuh manusia pertama kali muncul. Sebab, kutu ini yang hanya hidup di pakaian.

Pagel mengatakan ia cenderung percaya bahwa garis waktu ini adalah yang paling mungkin untuk sebagian besar peristiwa kehilangan bulu, meskipun "tidak ada yang benar-benar tahu" karena rambut jarang menjadi fosil.

Sementara itu, Charles Darwin berpikir rontoknya bulu kita adalah akibat dari seleksi seksual — nenek moyang kita lebih suka pasangan dengan lebih sedikit bulu. Kebanyakan peneliti dewasa ini membantah hipotesis ini sebagai penyebab utama kehilangan bulu.

Tetapi ketika berpikir tentang mengapa manusia tak berbulu, ada satu pertanyaan yang terus-menerus muncul: kenapa kita masih punya rambut di kepala, area selangkangan, dan ketiak?

"Satu alasan yang masuk akal ialah manusia mungkin mempertahankan rambut di kepala dan bahkan menumbuhkan rambut yang lebih panjang dan ikal untuk meminimalisir panas dari radiasi matahari," kata Lasisi, yang mempelajari topik ini di tesis doktoralnya (temuannya akan diterbitkan tak lama lagi).

Secara khusus, rambut manusia memiliki struktur rumit yang memungkinkan terbentuknya kantong-kantong udara, sehingga dapat menghamburkan panas dengan sangat efektif dan meminimalisir panas yang sampai ke kulit kepala, ujarnya.

"Semakin banyak ruang antara radiasi matahari, puncak rambut, dengan apa yang ingin Anda lindungi, yaitu kulit kepala, lebih baik."

Orang mengenakan mantel bulu di wilayah dingin

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Manusia tidak kembali berevolusi menjadi berbulu bahkan ketika mereka pindah ke wilayah yang dingin, mengindikasikan bahwa tubuh yang tidak berbulu memberi suatu manfaat — atau telah menjadi terkanalisasi.

Adapun rambut kemaluan dan ketiak, teori Lasisi adalah spandrel – produk sampingan dari evolusi karakteristik lain – atau mungkin sisa dari nenek moyang primata yang menggunakan feromon untuk berkomunikasi dengan satu sama lain (tidak ada bukti kuat bahwa manusia modern menggunakan feromon).

Apapun yang menyebabkan hilangnya bulu pada tubuh manusia, ada satu hal yang sangat mungkin: itu terjadi bertepatan dengan ketika pigmentasi kulit manusia purba menjadi lebih gelap.

Sebelumnya, bulu di badan merupakan bentuk perlindungan dari radiasi UV.

"Itu kesimpulan logis yang bisa kita buat," kata Lasisi. “Bisa jadi beberapa manusia sekadar terlahir dengan tubuh yang sama sekali tidak berbulu, dan kemudian itu menjadi bentuk adaptasi bersamaan dengan evolusi kulit yang lebih gelap.

"Atau bisa jadi ada pengurangan bulu sedikit demi sedikit seiring peningkatan pigmentasi kulit sedikit demi sedikit."

Meskipun menarik untuk memikirkan bagaimana kita kehilangan bulu kita, ini mungkin tampak kurang relevan dengan kehidupan kita saat ini.

Namun penelitian telah menunjukkan bahwa pemahaman tentang persoalan ini bahkan dapat berimplikasi pada orang-orang dengan kerontokan rambut yang tidak diinginkan karena kebotakan bawaan, kemoterapi, atau gangguan yang menyebabkan kerontokan rambut.

Pada awal 2023, Nathan Clark, seorang ahli genetika di Universitas Utah, dan rekannya Amanda Kowalczyk dan Maria Chikina di Universitas Pittsburgh, menyurvei gen dari 62 mamalia, termasuk manusia, untuk menemukan pergeseran genetik yang terjadi pada mamalia tak berbulu dan membedakan mereka dari sepupu mereka yang berbulu.

Mereka menemukan bahwa manusia tampaknya memiliki gen untuk bulu di seluruh tubuh, tetapi regulasi genom kita saat ini mencegahnya diekspresikan.

Mereka juga menemukan bahwa ketika suatu spesies kehilangan rambut, itu dilakukan dengan perubahan pada set gen yang sama berulang kali, dan menemukan beberapa gen baru yang terlibat dalam proses ini.

"Beberapa dari gen [baru] itu belum dikarakterisasi sama sekali, karena orang belum melakukan banyak pemeriksaan genetik tentang keberadaan dan ketidakberadaan rambut di masa lalu," kata Clark.

"[Mereka] tampaknya menjadi pengendali utama yang barangkali dapat dimanipulasi di masa depan jika orang ingin merangsang pertumbuhan rambut."

Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini di BBC Future.