‘Kami belum tahu mau ke mana nanti’ - Nasib para transpuan di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta sepeninggal Shinta Ratri

waria di yogyakarta

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Beberapa transpuan mengenakan mukena saat salat, sementara lainnya dengan sarung. "Itu pilihan masing-masing," kata Rini Kaleng.

Sepeninggal aktivis sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Al-Fatah di Yogyakarta, Shinta Ratri, komunitas transpuan di Yogyakarta terancam tak punya tempat untuk berkumpul dan belajar mengaji.

  • Penulis, Silvano Hajid & Trisha Husada
  • Peranan, BBC News Indonesia

Rini Kaleng berhenti sejenak di samping sebuah toko kain di Jalan Urip Sumoharjo, Yogyakarta. Baju terusan hitamnya yang sudah lusuh dan wig sebahu yang dikenakannya sejak pagi basah oleh keringat.

Rini baru saja selesai mengamen, keluar masuk deretan toko yang ada di area itu. Ia menghitung hasil kerjanya sore ini, sekitar Rp20.000-an. Tak banyak tapi, “Cukup untuk transport,” kata transpuan berusia 53 tahun ini.

Saban hari, mulai jam 09.00 pagi hingga pukul 15.00 sore, toko-toko di jalanan ini menjadi tempat Rini mengais rejeki, berbekal pengeras suara yang ditenteng dan suara seadanya.

“Kalau malam kadang ngamen lagi di lesehan Jalan Solo atau Malioboro,” kata transpuan yang mengaku telah mengamen sejak 2009 ini.

Tapi pada Minggu (26/03), Rini sengaja berhenti keliling di jam 14.00 siang.

“Mau mengaji di pondok,” kata dia. “Biarpun waria, saya juga ingin mengaji dan mendekatkan diri pada Tuhan.”

Keterangan video, Pesantren waria Al-Fatah: Mencari lokasi baru untuk belajar agama dengan tenang

Yang dimaksud Rini adalah Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Meski namanya ‘pondok pesantren’, tempat ini tak terdaftar secara resmi sebagai pesantren atau sekolah Islam di bawah Kementerian Agama.

Di sini, sejak 2008, para ‘santri’ transpuan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan dan belajar beragam ketrampilan seperti menjahit, memijat, dan merias.

Terletak di Kotagede, Yogyakarta, pondok pesantren ini sebelumnya dipimpin aktivis transgender Shinta Ratri. Shinta meninggal dunia pada 1 Februari lalu karena serangan jantung.

“Senin sore masuk rumah sakit, Rabu pagi meninggal,” ujar Nur Ayu, 54 tahun, transpuan yang sehari-hari mendampingi Shinta Ratri dengan urusan pondok.

Sejenak Nur terdiam. Baginya, sosok Shinta Ratri merupakan motor penggerak pondok yang selalu mengayomi para santri.

waria di Yogyakarta

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Rini Kaleng, transpuan yang sehari-hari mengamen di Yogyakarta, mengatakan bahwa waria juga berhak untuk beribadah dengan nyaman.

Sepeninggal Shinta, Nur merasa hampa karena kehilangan sosok suri teladan sekaligus pengayom. Apalagi, rumah yang dipakai sebagai pondok ini adalah milik pribadi Shinta.

September nanti, rumah ini harus dikembalikan kepada keluarga yang menjadi ahli waris Shinta.

“Tidak tahu bagaimana seterusnya setelah Bu Shinta meninggal,” kata Nur. “Kita masih ada kecemasan, di mana kita akan pindah.”

“Tapi kami harus bisa mandiri, melanjutkan perjuangan Bu Shinta,” ujarnya pelan.

Dilema dana dan lokasi tempat baru

transpuan di Yogyakarta

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Sekelompok transpuan saling bercanda sambil menunggu waktu berbuka puasa.

Ramadan biasanya menjadi momen yang ramai di Pondok Pesantren Al-Fatah.

Seperti Minggu sore itu, meski hujan terus-terusan turun sejak siang hari, sejumlah transpuan hadir di bangunan rumah asri tersebut untuk mengaji dan berbuka puasa bersama.

Nur Ayu, pengurus ponpes yang sehari-hari tinggal di situ sudah sibuk di dapur menyiapkan sajian buka puasa.

transpuan di yogyakarta

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Nur Ayu yang mendampingi mendiang Shinta Ratri mengurusi pondok pesantren waria sehari-hari.

Sementara di ruang depan, suara hujan sayup-sayup mereda, digantikan dengan lantunan orang-orang mengaji. Ada yang sudah membaca Al-Quran, tapi banyak juga yang masih belajar Iqra.

“Saya sudah sampai juz empat,” kata Yetti, 64 tahun. Tajwid bacaannya masih belum benar, kata dia, namun Rosidah dengan sabar mengajari Yetti cara membaca yang benar.

Rosidah dan Teguh adalah warga setempat yang merelakan sebagian waktunya untuk mengajari para transpuan mengaji.

Kehadiran mereka di ponpes dan cara keduanya berinteraksi dengan para transpuan, menjadi salah satu bukti bahwa keberadaan kelompok minoritas ini cukup diterima oleh warga.

Transpuan di Yogyakarta

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Rini Kaleng belajar mengaji, ia membaca Iqra.

Ini menjadi salah satu alasan mengapa bayangan untuk pindah dari lokasi di Kotagede menakutkan bagi sebagian transpuan.

Tujuh tahun lalu, ponpes ini pernah didatangi ormas yang memaksa mereka tutup. YS Albuchori, 56 tahun, masih ingat benar bagaimana kejadian ini telah membuat sejumlah transpuan takut untuk kembali ke pondok.

“Di manapun kalian pindah akan kami kejar, kecuali kalau sudah bertobat menjadi laki-laki,” kata YS menirukan ancaman anggota ormas kala itu.

YS juga masih terkenang bagaimana setelah peristiwa itu, Shinta Ratri tetap memperjuangkan pondok untuk tetap buka dibantu dengan sejumlah kelompok nirlaba hingga akhirnya mendapat jaminan keamanan dari polisi.

Jika harus pindah ke tempat baru, YS tak yakin proses penerimaan dengan warga sekitar akan berjalan lancar.

transpuan mengaji

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Setiap hari Minggu, para transpuan belajar mengaji di 'pondok pesantren'.

Hal lain yang juga menjadi beban pikiran para pengurus pondok adalah soal dana. Diakui YS, selama ini mereka tak pernah mengeluarkan uang sewa karena menempati rumah ketuanya sendiri.

Tanpa Shinta, masa depan pondok seakan begitu gelap. Namun YS mengaku senang masih bisa menghabiskan Ramadan tahun ini bersama-sama.

“Kita bersyukur dikasih kesempatan berkegiatan di sini sampai September,” katanya.

Sejarah dan masa depan Al-Fatah

shinta ratri

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Shinta Ratri adalah pimpinan pesantren untuk waria di Yogyakarta. Foto ini diabadikan pada November 2009.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Keberadaan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah berawal dari tragedi gempa berkekuatan 5,9 skala richter yang mengguncang Yogyakarta pada 2006.

Ratusan ribu rumah hancur dan ribuan orang meninggal dunia. Peristiwa itu membuat setiap orang berduka, tak terkecuali para transpuan yang kala itu menggelar doa bersama untuk korban gempa.

“Kegiatannya difasilitasi Haji Hamruli yang kebetulan punya pondok pesantren di Sedayu,” kata YS Albuchori.

Dari situ, lahirlah ide mengadakan pengajian untuk teman-teman waria. Sebulan sekali, mereka datang ke pondok Haji Hamruli untuk mendengarkan pengajian.

“Lalu 2008 berdirilah Pesantren Waria Al-Fatah,” kata YS.

Saat itu, pondok berlokasi di Notoyudan, Yogyakarta. Di pondok, para waria belajar keagamaan: mengaji, belajar salat, dan mendengarkan pengajian dari para guru yang dibimbing Haji Hamruli.

Pada 2014, Shinta Ratri diangkat menjadi ketua pondok menggantikan ketua sebelumnya yang meninggal dunia. Shinta juga yang mengusulkan untuk memindahkan pondok ke rumahnya, supaya para waria tak perlu memikirkan uang sewa.

transpuan salat berjamaah

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Di sini, para transpuan mengaku lebih nyaman saat beribadah, tanpa "bisik-bisik dan jadi perhatian" jamaah lain.

Para pengajar atau guru ngaji di pondok, menurut YS, mayoritas dari kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta sejumlah relawan yang peduli dengan keberadaan pondok. Mereka mengajar dengan sukarela, tanpa imbalan.

Sekarang, meski ada kecemasan tentang masa depan pondok, semua santri sepakat Pondok Pesantren Waria Al-Fatah harus tetap ada karena ini penting untuk mereka.

“Pondok menjadi ruang belajar yang nyaman dan aman bagi waria di Yogyakarta dan sekitarnya,” kata YS.

Dia sendiri pernah mengalami hal yang membuatnya tidak nyaman ketika harus salat Jumat di sebuah masjid. “Saya malah jadi tontonan dan bisik-bisik dari jamaah lain,” ia mengingat.

“Kalau di sini kan semua transpuan. Jadi nyaman,” kata Yetti. “Di sini kita bisa mengaji dan ada gurunya. Bisa salat berjamaah.”

Di antara para santri, Rulli Mallay jadi yang paling optimistis dengan keberlangsungan pondok.

“Saya percaya kawan-kawan transpuan akan gigih memperjuangkan pondok terus berlanjut,” kata Rulli. Masalah legalitas Pondok Pesantren Al-Fatah, kata dia, juga sudah menampakkan titik terang.

“Kami sudah mencoba melakukan diskusi publik soal legalitas pondok pesantren ini. Kami diarahkan untuk membentuk yayasan, dan di bawahnya ada pengajian,” terangnya.

Untuk menjadi pondok pesantren di bawah Kementerian Agama, Rulli mengaku tidak mungkin, karena ada berbagai syarat yang cukup sulit untuk dipenuhi berdasarkan undang-undang.

Ini pun diamini oleh Kementerian Agama.

“Mungkin yang membina bisa orang lain atau lembaga lain, karena kan di republik ini kan tidak hanya Kementerian Agama yang membina masyarakat,” kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Waryono Abdul Ghofur.

“Akan lebih pas juga kalau bertanya ke masyarakat Yogyakarta ya. Kan, biasanya kalau secara sosial diterima, relatif ada dukungan.”

Pada akhirnya, lanjut Rulli lagi, “Kami bersyukur dengan apa pun bentuk legalitas yang diberikan kepada kami.”

Azan Isya sayup-sayup terdengar di Kotagede. Rulli dan santri lainnya bergegas mengambil wudu untuk salat berjamaah, dilanjutkan tarawih.

Kebersamaan seperti ini lah yang selalu mereka rindukan setiap Ramadan tiba, kata Nur Ayu.

“Semoga ada tempat yang menerima keberadaan kami, dan memandang positif kegiatan waria,” Nur Ayu berdoa.

Keterangan video, Pesantren Al-Fatah: Tempat aman mengekspresikan iman para waria Yogyakarta

Wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, turut berkontribusi dalam artikel ini.