Academia.eduAcademia.edu
ASAL USUL MANUSIA DALAM LEGENDA BATAK Konon khabarnya, dahulu kala hiduplah Nai Unggas Hulambu Jati, anak unggas Humarairi. Tubuhnya seperti kupu-kupu besar. Sahdan telurnya tiga butir sebesar periuk betina. Lalu ia menghadap sang Dewata. “Wahai, Sang Dewata! Mengapa nasibku begini! Sial pun datang, malang pun tiba, yang tak diduga telah menimpa hamba. Badanku hanya setara kupu-kupu besar, tetapi telurku tiga butir masing-masing sebesar periuk betina. Bagaimana gerangan ini bisa terjadi? Sungguh, hatiku amat masygul.” “Bukan sial dan bukan pula malang yang tak disangka telah menimpa dirimu. Eramilah,” katanya. “Bagaimana aku mengeraminya, tak mampu aku menyelimutinya. Makananku pun tak tersedia.” “Semuanya akan kusediakan,” kata Mula Jadi Na Bolon, sang Dewata. Sudah tiba bulannya, genaplah pula tahunnya, menetaslah manusia dari telur itu. Lalu, dikunjunginya lagi Mulajadi Na Bolon. “Dengarlah Eyang, sungguh tak disangka, dan belum pernah terjadi! Apakah yang saya perami ini?” “Bukannya yang tak disangka dan yang belum pernah terjadi! Itulah manusia yang kuutus. Camkanlah kata-kataku. Manusia yang pertama lahir, beri ia nama Batara Guru, yang tengah Ompu Tuan Soripada, dan yang bungsu Ompu Tuan Mangala-Bulan,” ujar Mula Jadi Na Bolon. Beginilah kisah selanjutnya. Ketiga manusia yang baru lahir bertumbuh sebagaimana layaknya mentimun, lembut bagai daun, mekar berlemak. Kemudian, mereka menghadap Mulajadi Na Bolon. “Hai Eyang, dengarlah! Tiada perempuan untuk kami nikahi!” Sementara itu, dikirimlah tiga orang perempuan untuk menjadi istri mereka masing-masing. Di kemudian hari, tiba bulannya, genaplah tahunnya. Lahirlah putra Ompu Tuan Batara Guru, yang bernama Tuan Sori Mahumet. Lahir lagi anak dari Ompu Tuan Soripada, yang diberi namanya Tuan Sori Mangaraja, lahir lagi putra Mangala-Bulan, dia digelari Tuan di Pampattinggi. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan, tujuh bulan, delapan bulan, sembilan bulan, sepuluh bulan, sebelas bulan, dua belas bulan, dan genap pula tahunnya, lahirlah putra Batara Guru, dia digelari Datu Tantan Debata Guru Badia Porhas. Ia bertikar tujuh lapis, berbantal setinggi orang, berbuku pustaka setebal orang duduk, mempunyai jimat gaib sakti yang tujuh kali tujuh yang tujuh kali keimamannya, yang tujuh kali lipat kesalehannya, ia sumber berkat, yang tak melayang jika ditutup angin, takaran bakulnya dua belas cupak, yang timbangannya tak akan curang. Lagi pula sudah bulannya, genaplah tahunnya, lahirlah putri Ompu Tuan Batara Guru kembar, yang sulung dinamai Siboru Sorbajati, adiknya bernama Siboru Deak Parujar, yang bergelar si Deak Ujar-ujaran, si Deak Uti-utian, si Deak Boto-botoan, si Deak Huraharik (Nan Banyak Gagasan, Nan banyak Ilmu Gaib, Nan banyak pengetahuan, nan banyak kecerdikan). Genaplah bulannya dan tibalah tahunnya, lahirlah putra Ompu Tuan Soripada yaitu si Raja Ilik atau si Raja Odong yang wajahnya mirip kadal. Kakinya empat bagai bengkarung, ekornya seperti pucuk kumparan, matanya sebesar bendul gong, bundar seperti genderang besar, pisau deresnya dari Dairi, perekatnya perekat dari jahe, kata-katanya memecah kemiri, dan kakinya tidak dapat digerak-gerakan. Kemudian, pergilah dia mengadukan nasibnya kepada Mula Jadi Na Bolon. “Dengarlah Eyang, malang tiba, yang tak pernah terjadi, yang tak pernah menimpa, bagaiman ini bisa terjadi?” “Bukan yang tak pernah terjadi yang tak pernah menimpa. Berilah namanya si Raja Enda-Enda, alias si Raja Endapati, si Raja Mogot Pinaungan. Ia berikat pinggang ijuk, menyandang kantongan sirih keemasan, bertampang tanpa tara, bersuara jelas asli, yang tak pernah kalah, senantiasa menang. Letakkanlah dia di singgasana datu panangkal bala, penangkal ratapan senandung, penangkal yang terbuat dari tungkai besi, tangga jantan, tangga gelang-gelang,” kata Mula Jadi Na Bolon menyahutnya. Di kemudian hari tatkala si Boru Deak Parujar bertenun bersama dengan kakaknya si Boru Sorbajati. Tumbuh rendang sebulan persis di tengah halaman, tiga tahun tiga bulan lamanya. Namun, tenunnya sebesar pinang, cuma selebar daun keladi, padahal tenunnya si Boru Sorbajati berpuluh-puluh kain berlipat-lipat ganda. Lalu, datanglah Batara Guru. “Bagaimana putriku, Boru Deak Parujar? Tumbuh rendang sebulan di tengah halaman tiga tahun tiga bulan, tenunanmu selebar pinang tetap saja tidak bertambah, cuma selebar daun keladi,” kata Batara Guru. ” Biarlah dicopot duri, ayah, dikatup dengan ramuan, walaupun sudah ditenun, Adikku besok, berpuluh kain, berlipat ganda, lebih baik besok yang kutenun satu,” katanya menjawab ayahnya itu. Setelah beberapa hari berlalu, datanglah Ompu Tuan Soripada menjumpai Kakaknya bernama Ompu Tuan Batara Guru. Katanya, “Anak kita sudah dewasa tak ada perempuan buat isterinya, dewasa puteri kita, tiada perjaka menikahinya. Mengguling batulah kita ke gunung, menjungkirbalikkan air kita ke hulu.” (Maksudnya: pekerjaan yang sia-sia). “Baiklah, putri kita si Boru Sorbajati dan berikan buat istri putra kita si Raja Enda-Enda.” “Bagaimanalah adikku, entah nanti tidak jodoh yang demikian itu,” kata Ompu Tuan Batara Guru. “Kalau demikian halnya Kakanda, kita lihat saja kemudian. Akan tetapi, berjanji sepakatlah kita. Beginilah itu! Haruslah putri kita itu menandangi putra kita,” kata Ompu Tuan Soripada. Lalu diberikannyalah mahar kepada kakaknya, dipetiklah seuntai daun bane, pertanda jadi pernikahan. Kemudian, Datu Tantan Debata yang bergelar Guru Badia Porhas membeli sebatang emas untuk adiknya yang dua itu. Dan Kakaknya itu berkata kepada kedua adiknya. “Pergilah Adikku ke rumah Pamanmu Ompu Tuan Soripada Boru.” Lalu, Putri Sorbajati pergi ke tempat losung gaja, yaitu losung sipitu kamata. Ketika itu ia bersenandung: “Leang-leang mandai, Gendong Aku dahulu, engkau yang mau meminang hai lelaki, menolehlah padaku.” “Jang ma jangjangi, Jong Jua yang jongjong, Bergegaslah kesampingku.” Sementara itu, si Raja Enda-Enda. Tetapi si Boru Deak Parujar tetap tinggal di gerbang pintu itu berdiri. Ditancapkan kumparannya di atas kepalanya seperti api marak menjelalat bagaikan bara api yang memijar. Berlarilah si Boru Sorbajati ke anak tangga yang di situ. Berkatalah si Raja Enda-Enda kepadanya: “Cabutlah dahulu indung rambutmu wahai putri raja. Tiuplah ke anak tangga itu, tangga jantan, tangga gelang-gelang. Kalau putus, janganlah kau menghampiri aku.” Maka, si Boru Sorbajati mencabut rambutnya kembali, lalu ditiupkannya, ternyata putus. Mereka pun pulang kembali ke rumah ayahnya. Setelah tiba di rumah ayahnya, ia pun menghempaskan badannya ke kiri dan ke kanan sambil menangis atas kejadian yang dialaminya. “Mengapa kau marah dan menangis,” sahut saudaranya yang bernama Datu Tantan Debata. “Apa tak putus asa aku ini Kakak, melihat kejadian itu. Sebab kalian tidak sayang dan tidak adil kepadaku.” Deak Parujar berdiri di pintu gerbang, ditancapkannya kumparannya di atas kepalanya seperti bara yang berpijar katanya. “Kalau demikian halnya, mari adikku saksikan, biar aku yang menimbangnya,” sahut Kakaknya yang bernama Datu Tantan. Lalu, diambilnya timbangan satu simpul, yang ke atas tidak jungkal yang ke bawah tidak oleng, sama berat timbangannya. Katanya lagi, “Janganlah sebut aku berputri yang tak sayang dan berputri yang tak adil, berputra kesayangan. Lihatlah, ke atas tidak jungkal, ke bawah tidak oleng.” “Sekarang pun, pergilah ke tempat Bibimu ompu Tuan Soripada boru.” Lalu, mereka pun berangkat. Tibalah merka di Losung Gaja, yaitu Losung Sipitu Kamata, Si Boru Sorbajati kembali bersenandung. “Layang-layang mandi, gendonglah aku dulu, yang mau meminang hai engkau lelaki, menolehlah padaku, ” Menyahutlah si Raja Enda-Enda, “Jangan mak yang jangjang, Jong jua mak yang jongjong, bergegaslah dari situ, hampirilah ke sampingku.” Dan, si Boru Sorbajati berlari menghampirinya. Tetapi, si Raja Enda-Enda, ”Cabutlah indung rambutmu, hembuskan ke pangkal tangga itu. Kalau masih putus juga sayang, janganlah kau datang. Tetapi, bila tidak putus, kau boleh datang ke sini.” Kemudian dicabutlah indung rambutnya, dihembus, lalu putus. Pulanglah mereka ke kampungnya. Ia pun putus asa tak kepalang tanggung, sambil menghempaskan badannya sampai terhuyung-huyung. Datanglah Kakaknya yang bernama Datu Tantan Debata bergelar Guru Badia Porhas, “Mengapa adikku putus asa dan menangis ?” “Yang kucabut adalah rambutku yang paling panjang. Kalau kuhembuskan ke anak tangga, selalu saja putus.” “Kalau demikian halnya, yakinlah adikku,” kata Datu Tantan. Dibenahinya adiknya itu berpakaian, sambil berkata, “Baik, berkunjunglah, hai adikku lagi ke kampung Bibi kita yang di Losung Gaja.” Berangkatlah mereka ke tempat Bibinya itu. Setelah ia tiba, putri Sorbajati bersenandung kembali. “Leang-leang mandi, Gendong aku dulu, Engkau yang meminang wahai lelaki, menolehlah kepadaku dulu,” Si Raja Enda-Enda menjawab “Jangma jangjangi, Jang jua yang jangjangon, bergegaslah dari situ, dekatlah ke sampingku ini. Tetapi cabut dulu indung rambutmu, hembuskan ke pangkal anak tangga itu.” Dicabut lagi indung rambutnya itu, lalu ditiup, sehingga rambutnya itu pun tidak putus. Ia pergi ke anjungan rumah Datu tersebut. Terlihat olehnya si Raja Enda-Enda. Kemudian, ia meloncatlah dari anjungan itu ke bawah halaman. Pulanglah mereka ke kampung ayahandanya. Ia pun merajuk putus asa. Datanglah Datu Tantan Debata berkata, “Kenapa merajuk engkau Adikku?” “Celakalah yang telah terjadi, bang, malang telah tiba. Ternyata si Raja Ilik adalah si Raja Odong, bertampang kadal, serupa bengkarung, kakinya empat, ekornya bagaikan pucuk kumparan, matanya sebesar bendul gong, terbaring seperti genderang besar. Pisau deres dari Dairi, perekatnya perekat jahe, kata-katanya memecah kemiri, kakinya tak bangkit-bangkit. Maka, lebih baik aku lengkuas daripada tasbih, lebih baik aku tewas daripada hidup bersedih, kalau kau harus menjodohkan aku kepadanya,” kata si Sorbajati. Jawab Datu Tantan Debata, “Kami akan tersingkir kalau kau tidak mau. Karena tambal ditambal sulam, nantinya akan renyai, yang satu jadi dua, yang tiga jadi enam, utang siapa yang bercerai runtuh, bersatu teguh, bak pemukul tambur, penolak bala prahara adikku, apabila tanpa mahar dari sang mempelai,” Begitupun dia tetap tidak mau. Akan tetapi, Ompu Tuan Soripada selalu saja datang kepada Kakaknya agar membujuk putrinya itu. Walau dibujuknya, ia selalu menolak. Lama kelamaan, Putri Sorbajati tetap tidak mau kawin dengan si Raja Enda-Enda. Kakaknya pun pergi menanyakan Putri si baso Paet, yang berkerudung luar biasa, Si Baso Panubuti, Si Boru Pangoloi. Berkatalah Sibaso itu kepadanya, “Bagaimanapun kau buat putri Sorbajati. Ia akan tetap jodohmu, pasanganmu masuk rumah si Raja Enda-Enda, peganganmu sebagai tali panah. Kalau kau pergi ke sawah, dia akan ikut juga, kalau dia pergi ke dukun, kau juga harus ikut, ia kawanmu setunggal sekapal.” Sesudah itu kawinlah si Boru Sorbajati. Datanglah Kakaknya, ”Apakah yang dikatakan oleh sibaso itu ?” “Kamu harus menggendangiku katanya, supaya aku mau pergi ke sana,” kata Si Boru Sorbajati. “Kalau demikian, Adikku, marilah kita gendangi, ” kata saudaranya. Maka dibunyikanlah gedang sepanjang satu malam. Menjelang fajar, dia pun menari sambil berkata, “Hai, Kakakku Datu Tantan Debata bersama engkau Ibunda, dan dikau Ayahanda. Saksikanlah si Boru Sorbajati akan menari. Sebentar lagi. Mentari akan terbit pada kokok ayam yang pertama, fajar akan tersembul di langit lazuardi, lihatlah tarianku ini.” Mulailah menari membungkuk-bungkuk ke depan, mencongkak-congkak ke belakang. Kalau ia membungkuk ke depan, semua mata mengikuti tariannya. Sementara itu, ia berujar, ”Wahai penabuh gendang, rebung si tunas bambu, berdaun pohon hopo, nasimu cukup, laukmu pun nikmat. Buatlah gendang bagi si Boru Sorbajati tali lentur liat yang bergoyang tak pernah putus, Aku pun akan menari lagi, akan meninggalkan ayah, meninggalkan ibunda, meninggalkan saudaraku Datu Tantan Debata, dan meninggalkan adikku si Boru Deak parujar.” Dia pun menari. Melompat ke atas para-para, memandang sambil berkata lagi, “Saksikanlah wahai saudaraku.” Kemudian, ia beranjak ke pinggir anjungan. Lalu, ia mencemplungkan diri ke tengah halaman. Ia tenggelam sedalam tujuh kali tinggi pohon enau. Lenyap tak tampak lagi. Mereka semua bersedih sambil berduka. Di kemudian hari, datanglah Ompu Tuan Soripada. Katanya, “Bagaimanalah ini, wahai Ompu Tuan Batara Guru. Tambal ditambal sulam nantinya akan renyai, yang satu jadi dua, yang tiga jadi enam, utang orang yang sudah bercerai. Bercerai kita runtuh, bersatu kita teguh, bak pemukul tambur penolak bala prahara, apabila tanpa mahar dari sang mempelai.” Jawab Batara Guru, ”Pohon Butar mengelupas, pohon butar dikuliti. Kalau kakaknya sudah meninggal, adiknyalah gantinya yang bernama si Boru Deak Parujar.” “Baiklah itu, bujuklah putrimu, ” kata Ompu Tuan Soripada. Disuruh dia, tetapi, tetap juga menolak. Sebab itu, ia pun berkata, “Sedangkan si Boru Sorbajati saja tidak mau, apa lagi aku?” Dia pun terus-menerus menolak bujukan ayahandanya itu. “Kau tak mungkin menolaknya sayang karena dapat berakibat buruk, kami semua akan tersingkir. Tambal ditambal sulam, nantinya akan renyai, yang satu jadi dua, yang tiga jadi enam, utanglah yang bercerai, bercerai runtuh, bersatu kita teguh ibarat pemukul tambur, penolak bara prahara apabila tanpa mahar mempelai. Apa tidak mungkin kami semua tersingkir ?” kata ayahnya. “Begitu pun aku tetap tidak mau,” kata si Boru Deak parujar. Pada hari yang tidak disangka-sangka tumbuh jadi pohon enau si Boru Sorbajati, Tulangnya menjadi batang keras enau, perutnya menjadi inti lunak enau. Kainnya menjadi pelepah, rambutnya menjadi serabut ijuk, tangannya menjadi tangkai daun, jari-jarinya menjadi lidi, matanya menjadi mayang, air matanya menjadi tuak. Itulah sebabnya, tuak tidak termasuk sesajen bagi sang Dewata sampai hari ini. Pagi-pagi benar, ayahnya membujuk si Boru Deak Parujar, tetapi tetap saja ia menolak bujukan ayahnya itu. Lalu, ia pun berkata kepada ayahnya, ”Kalau harus demikan halnya, adakanlah upacara dengan memalu gendang terlebih dahulu Ayah.” “Baiklah anakku. ” Si Boru Deak Parujar pun menari, mengikuti irama gendang yang dipalu bertalu-talu. Sebagaimana halnya singkoru buat umpan pukat, begitu pula si putri bagai dewi hinggap ke bumi :bagai cabang serupa rantingnya, bagaimana kakaknya demikian juga adiknya. Ia pun meminta gendang supaya dibunyikan “Tali liat lentur goyang-goyang tak putus.” Ia melompat ke tengah halaman dan dari situ ia berlari menuju Pintu Batu ke tempat penatapan tempat memandang. Ditancapkannya gagang benangnya, dirinya ditenggelamkan ke bawah tanah, hingga tiba ke tengah lautan ke onggokan batu sebagai pijakannya. Tidak lama kemudian, wafatlah si Raja Enda-Enda. Lama kelamaan pahanya menjadi bambu, dengkulnya menjadi ruas, mata kakinya menjada mata tunas, pantatnya menjadi jalur rotan, jari kakinya menjadi rotan sulpi, perutnya menjadi pohon buar, lidahnya menjadi daun cocor bebek. Menangislah seluruh keluarganya melihat tubuh putrinya telah berada di tengah lautan. Bangkai putrinya itu tersangkut di pohon kayu yang bergoyang-goyang di permukaan air laut. Oleh karena itu, tidak boleh enau menandangi tangga bambu, melainkan tangga bambu yang menandangi enau hingga sampai sekarang ini.