PAPER FILSAFAT PANCASILA
KASUS DISKRIMINASI DAN RASISME
TERHADAP MAHASISWA PAPUA DI SURABAYA
DITINJAU DARI TEORI MASYARAKAT PANCASILA DAN KONFLIK
Dosen Mata Kuliah :
Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum
Oleh :
Fransiska Oktavia Dewi
3803019008
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS BISNIS
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
KAMPUS MADIUN
2020
ABSTRAK
Kasus pengepungan asrama Mahasiswa Papua di Surabaya ini dilatar belakangi oleh
beredarnya kabar pengerusakan tiang bendera dan pembuangan bendera merah putih ke
selokan oleh Mahasiswa Papua. Berdasarkan teori Masyarakat Pancasila dan Konflik, kasus ini
termasuk ke dalam ketegori tindakan diskriminasi dan rasisme, karena para anggota dari aparat
negara telah melakukan pebuatan tidak adil dan main hakim sendiri (diskriminasi) dan
mengeluarkan kata – kata tidak pantas (rasisme) terhadap Mahasiswa Papua. Dari sini kita
belajar sudah semestinya sebagai bagian dari Indonesia yang lahir dari keanekaragaman suku,
ras, dan budaya, kita harus saling menghargai dan bertoleransi terhadap sesama demi menjaga
persatuan dan kesatuan Indonesia.
Keywords: mahasiswa papua, diskriminasi, rasisme
BERITA
Kronologis Kasus Pengepungan Asrama
Mahasiswa Papua di Surabaya
TRIBUNPAPUA.COM – pada hari Jumat (16/08/2019) yang lalu, sekitar pukul 15.45
WIB, Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III yang terletak di Jalan Kalasan Nomor 10
Surabaya itu didatangi oleh para anggota TNI, Satpol PP, Polisi, dan juga sejumlah ORMAS.
Kedatangan para anggota TNI, Satpol PP, Polisi dan sejumlah ORMAS itu berkaitan dengan
beredarnya kabar di grup WhatsApp bahwa adanya pengerusakan tiang bendera dan
pembuangan bendera merah putih ke dalam selokan yang dilakukan oleh mahasiswa Papua.
Menurut siaran pers dari Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Timur yang diterima oleh
TribunPapua.com, Selasa (20/8/2019) mengatakan bahwa seperti ini kronologis kejadiannya :
Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu (14/08/2019) sekitar pukul 09.30 WIB, para
anggota Satpol PP datang untuk meminta izin terhadap pemasangan bendera merah putih di
depan Asrama Mahasiswa. Esok harinya, Kamis (15/08/2019) pukul 09.00 WIB, Camat
Tambaksari, Satpol PP, dan TNI datang untuk melakukan pemasangan bendera di depan
asrama. Pada hari Jumat (16/08/2019), sekitar pukul 09.00 WIB, Satpol PP beserta dengan
personel intelijen aparat TNI dan Polri melakukan penambahan pengecoran tiang bendera di
depan asrama.
Tiba – tiba, tiang bendera yang sudah mereka pasang bengkok ke arah tanah. Siapa
yang sebenarnya merusak tiang bendera? Berdasarkan keterangan dari salah satu mahasiswa
yang ada di asrama tersebut, pada saat kejadian pada hari Jumat (16/08/2019), sekitar pukul
15.45 WIB, para oknum anggota TNI – AD (Danramil) datang mengamuk – ngamuk,
melakukan tendangan, penggedoran pintu gerbang asrama dan juga merusak fiber plat serta
banner penutup pagar asrama mahasiswa tersebut.
Dorlince Iyowau, salah satu mahasiswa Papua di Surabaya berkata, “Kami tidak tahu –
menahu soal bendera yang jatu ke got itu. Kami hanya tahu ketika TNI datang mendobrak –
dobrak tanpa pendekatan hukum, yang langsung main hakim sendiri dengan Satpol PP dan
ORMAS Reaksioner. Jadi sekali lagi kami tidak tahu soal kejadian bendera yang jatuh dan
kami tidak pernah membuang bendera yang mereka maksud itu ke got.”
Sementara itu, pimpinan RW di kawasan asrama juga tidak mengetahui siapa pelaku
yang sebenarnya. “Kondisi bendera itu kami tahu dari grup WhatsApp. Saya tidak melihat
dengan mata sendiri. Tapi semua yang melihat pasti emosi,” ujarnya.
Oknum tersebut tidak hanya menggedor dan merusak pintu pagar, namun para oknum
juga sambil mengucapkan ancaman pembunuhan dan melontarkan kata – kata penghinaan atau
tidak pantas (rasisme) seperti monyet, anjing, babi, kera, dan lain – lain yang ditunjukkan
kepada Mahasiswa Papua yang ada di dalam asrama.
“Awas aja kamu, kalau sampai jam 12 malam kamu keluar, lihat saja kamu saya
bantai,” ucap salah seorang oknum yang diduga intel.
Beberapa saat kemudian, puluhan anggota ORMAS berdatangan ke asrama dan
melempari asrama dengan batu sehingga menyebabkan beberapa kaca jendela asrama pecah.
Tidak hanya itu, Massa yang ada di depan asrama juga melakukan orasi sambil menyanyikan
yel – yel yang berbunyi usir Mahasiswa Papua.
“ Usir.. usir.. usir Papua, Usir Papua sekarang juga,” teriakan yel – yel para massa.
Berdasarkan pantauan langsung dari LBH Surabaya, sampai sekitar pukul 21.40 WIB,
Massa, anggota Kepolisian, TNI, dan Satpol PP masih tetap bertahan di depan asrama. Tidak
hanya membawa senjata laras panjang, anggota dari aparat kepolisian juga membawa anjing
pelacak.
Para Massa, anggota Kepolisian, TNI, dan Satpol PP dengan sengaja menutup akses
jalan depan asrama sehingga menyebabkan mahasiswa yang ada di dalam asrama tidak bisa
beraktivitas keluar yang hanya untuk membeli makan dan mereka memutuskan untuk
berkumpul di aula asrama. Kemudian, sekitar pukul 02.00 WIB dini hari (17/08/2019), terdapat
dua orang mahasiswa yang mengantarkan makanan ke Asrama Mahasiswa Papua ditangkap
oleh anggota aparat kepolisan dan langsung dibawa ke Mapolrestabes Surabaya.
Pada hari Sabtu (17/08/2019), tepatnya pukul 14.40 WIB, para anggota aparat kepolisan
menangkap semua mahasiswa yang ada di dalam asrama tersebut. Sebelum para anggota aparat
kepolisan masuk ke dalam asrama, mereka sempat beberapa puluhan kali menembakkan gas
air mata ke dalam asrama dan menyebabkan para mahasiswa yang terkena gas air mata
merasakan pedih dan panas di kulitnya.
Dengan beberapa perlengkapan seperti senjata laras panjang, para anggota dari aparat
kepolisian memasuki asrama mahasiswa dan langsung menangkap semua mahasiswa yang ada
di dalam asrama tersebut yang kemudian dimasukkan ke dalam truk Dalmas. Pada saat
melakukan penangkapan, oknum kepolisian juga melakukan tindak kekerasan sehingga
menyebabkan beberapa mahasiswa mengalami luka – luka. Selain itu, beberapa mahasiswa
juga ada yang dipukul dengan sepatu laras panjang dan pukulan tangan hingga mengeluarkan
darah.
Saat itu juga, semua mahasiswa yang ada di dalam asrama diminta secara paksa,
didorong turun dari lantai 2 agar berjalan jongkok keluar dengan tangan posisi terangkat. Tidak
hanya itu, anggota aparat kepolisian juga menyita semua alat komunikasi milik mahasiswa.
Sebanyak 43 orang Mahasiswa Papua dibawa ke Mapolrestabes Surabaya untuk diinterograsi
dan dimintai keterangan serta klarifikasi mengenai dugaan pengerusakan tiang bendera dan
pembuangan bendera merah putih ke dalam selokan.
TEORI
Masyarakat Pancasila dalam Perspektif Paradigma Konflik dan Struktural Fungsional
1. Masyarakat: Suatu Keteraturan atau Konflik ?
Masyarakat sering dipandang sebagai suatu keteraturan. Pada dasarnya, masyarakat
diartikan sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari individu – individu dan kelompok –
kelompok yang melakukan interaksi secara harmonis. Masyarakat yang baik dan ideal dengan
demikian adalah masyarakat yang mempunyai ciri keseimbangan (equilibrium) dan jauh dari
kata guncangan.
Secara umum, masyarakat merupakan sistem sosial yang paling besar dan inklusif.
Masyarakat disebut sistem sosial karena terdiri dari individu – individu dan kelompok –
kelompok yang saling berinteraksi dengan cara – cara yang kurang lebih tetap dan selalu terpola
(Sadbudianto, 2000). Dengan demikian, satu perubahan yang terjadi pada sistem tersebut dapat
mempengaruhi bagian – bagian yang lain.
2. Masyarakat Menurut Karl Marx
Menurut Karl Marx, masyarakat adalah buatan manusia. Dari sini dapat dipahami
bahwa manusia kemudian mempunyai kuasa untuk membentuk dan juga mengubahnya. Di sisi
lain, Auguste Comte, seorang bapak sosiologi berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu
entitas tersendiri. Masyarakat memang terdiri dari individu – individu, tetapi masyarakat tidak
bisa diterangkan hanya dari kumpulan individu. Masyarakat adalah entitas sendiri yang
tentunya mempunyai hukumnya sendiri pula.
Marx membuat suatu kesimpulan bahwa bidang ekonomi menentukan pikiran manusia.
Baginya materi ini dapat diindetikkan sebagai ekonomi. Kondisi ekonomi inilah yang
kemudian membentuk kesadaran seseorang. Pandangan seseorang mengenai dunia ditentukan
oleh posisi ekonominya. Seseorang yang berada dalam kelas yang terhormat tentu memiliki
pandangan dan wawasan yang berbeda dengan orang yang ada di kelas bawah. Perbedaan
inilah yang kemudian menimbulkan adanya konflik. Menurut Marx, konflik adalah hal yang
tidak dapat dihindari dan bersifat normal.
3. Paradigma (Teori) Konflik Marx
Paradigma sendiri diartikan sebagai suatu sudut pandang atau kerangka acuan
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI, 1988). Dengan kata lain, paradigma adalah
cara pandang seseorang terhadap dunia, tentu tanpa mengadili salah atau pun benar
(Sadbudianto, 2000).
Konflik adalah perselisihan mengenai nilai – nilai atau tuntutan – tuntutan berkenaan
dengan status, kuasa, dan sumber – sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, di
mana para pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang
yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan, dan menghancurkan lawan mereka.
Konflik atau perselisihan ini dapat berlangsung antara individu – individu, kumpulan –
kumpulan, atau antara individu dengan kumpulan. Teori konflik mengatakan bahwa
perselisihan selalu ada dalam kehidupan bersama. Konflik merupakan unsur interaksi yang
sangat penting dan tidak boleh dikatakan sebagai sesuatu yang jelek, merusak, atau memecah
belah. Justru konflik dapat menyumbang banyak hal kepada kelestarian masyarakat dan
mempererat hubungan setiap anggotanya.
4. Masyarakat ditinjau dari Teori Konflik
Pemahaman masyarakat pada teori konflik ini bertentangan dari kenyataan bahwa ada
paling tidak dua golongan besar di dalamnya, yaitu golongan berkuasa dan golongan yang
dikuasai. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya konflik. Mengapa? Karena kedua golongan
ini pasti menimbulkan kepentingan yang berbeda yang akan melahirkan benturan (konflik),
karena setiap golongan pasti ingin memperjuangkan kepentingannya.
Dari situlah Marx hendak mengkritik tentang masyarakat. Masyarakat yang harus
dirombak dan diganti (pasti melalui konflik) dengan masyarakat baru yang disebut dengan
masyarakat tanpa kelas. Marx mengatakan bahwa selalu ada konflik di dalam masyarakat. Jika
hal ini tidak dilakukan, maka masyarakat tetap tinggal statis dan dikuasai oleh ketidakadilan
yang semakin meluas.
5. Relevansinya Bagi Masyarakat Indonesia yang Pancasilais dan Multikultural
Ada dua indikasi bahwa transparansi Indonesia dinyatakan belum menyakinkan.
Indikasi pertama, yaitu maraknya kejahatan publik di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini
berkaitan dengan publik yang menghukum secara membabi para penjahat kelas kecil dan
tindakan peradilan sendiri tercetus sebagai suatu bentuk kejahatan baru, kejahatan publik.
Indikasi kedua, yaitu masyarakat kita belum cukup menyakinkan dalam menegaskan
transparansinya. Hal ini karena hadirnya “Tiranisme Elite Politik“ yang berarti sikap dari
strategi, argumentasi, kebijakan, dan keputusan yang tidak mengedepankan kepentingan
masyarakat secara keseluruhan tetapi pada keperluan sendiri atau kelompok sendiri.
Pada dewasa ini, tiranisme juga diperteguh oleh kehadiran model atau cara – cara baru
dalam menekan aneka ketidakberesan yang terjadi tidak melalui jalur hukum, melainkan pada
kekuatan, fisik, dan kegagahan seragam untuk main hukum sendiri dengan berbagai alasan
yang hendak mendulang kepuasan karena telah menghantam para penjahat dari kelas bawah.
Tiranisme tidak meletakkan keadilan pada kebenaran, melainkan mereduksi kebenaran pada
asumsi dan kepercayaan emosional. Dengan begitu, keadilan menjadi sulit dijalankan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai
keragaman sosial, kelompok etnis, suku, budaya, dan agama sehingga bangsa ini disebut
sebagai masyarakat multikultural. Multikultural diartikan sebagai bentuk pluralisme budaya
yang berbeda dan masing – masing mempunyai integritas dan tantangannya sendiri.
Pemahaman dan kesadaran mengenai multikultual ini sebenarnya sudah muncul sejak
pendiri bangsa mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi dewasa ini pemahaman akan
multikulturalisme mulai keluar dari konsep tersebut dan menyebabkan munculnya paham
monokulturalisme yang bercirikan penyeragaman atas berbagai aspek, sistem sosial, dan
politik budaya. Seperti contoh, misalnya: amuk massa, pembakaran tempat ibadah, aneka
kerusuhan, main hakim sendiri, konflik bernuansa sara.
Dari sini dapat dikatakan bahwa berbagai kekisruhan etnis yang merabak di berbagai
daerah di Indonesia merupakan akibat dari rendahnya kesadaran mengenai multikulturalisme.
Multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
ARGUMENTASI
Diskriminasi merupakan suatu tindakan yang biasa dijumpai di dalam kehidupan
bermasyarakat, yakni suatu perbuatan yang mengarah kepada pelayanan yang tidak adil
terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu, dimana layanan ini dilakukan sesuai
dengan karakteristik yang diwakili oleh seseorang atau sekelompok orang tersebut. Sikap
manusia yang lebih suka membeda – bedakan seseorang dengan yang lain menjadi pemicu
munculnya diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan rasisme lebih mengarah kepada suatu pandangan atau paham yang dianut
oleh seseorang yang menolak atau tidak menyukai suatu golongan masyarakat tertentu yang
biasanya dipandang berdasarkan ras, etnis, suku, budaya, agama, dan lain sebagainya. Rasisme
menjadi salah satu faktor pendorong munculnya tindakan diskriminasi dalam kehidupan
bermasyarakat.
Berdasarkan kasus yang telah saya sampaikan di atas, menurut saya hal tersebut
merupakan salah satu tindakan yang termasuk dalam kategori diskriminasi dan rasisme. Sudah
dijelaskan sebelumnya, bahwa diskriminasi adalah tindakakan yang memperlakukan seseorang
atau sekelompok orang secara tidak adil. Dalam kasus ini, terlihat bahwa sejumlah anggota dari
aparat Kepolisian, TNI, Satpol PP dan ORMAS melakukan perbuatan tidak adil kepada para
mahasiswa. Mereka dengan secara tiba – tiba datang dan mengamuk – amuk kepada para
mahasiswa, padahal mereka tidak mengetahui kebenarannya siapa pelaku sesungguhnya dari
pengerusakan lambang negara tersebut.
Tidak seharusnya sebagai anggota dari aparat negara mereka melakukan tindakan yang
tidak semestinya kepada masyarakat biasa seperti para mahasiswa itu. Sesuai dengan teori
“Masyarakat Menurut Karl Marx” dan teori “Masyarakat ditinjau dari Teori Konflik,”
dikatakan bahwa terdapat dua golongan, yaitu golongan kelas atas – kelas bawah, dan golongan
berkuasa – golongan dikuasai yang. Perbedaan inilah yang menimbulkan konflik.
Dalam kasus ini, golongan kelas atas atau golongan berkuasa berada di tangan para
anggota dari aparat negara, sedangkan golongan kelas bawah atau golongan dikuasai berada di
tangan para mahasiswa. Seperti yang telah dipaparkan dalam teori, pada umumnya golongan
kelas atas atau golongan terhormat seperti para anggota dari aparat memiliki pandangan yang
lebih luas daripada golongan kelas bawah.
Dengan demikian, tidak seharusnya para anggota dari aparat negara melakukan tindak
diskriminasi terhadap para Mahasiswa Papua ini. Seharusnya mereka melakukan penyidikan
terlebih dahulu, mencari dan menguak informasi yang masih berstatus simpang siur itu lebih
dalam sehingga mereka mendapat bukti yang kuat dan mengetahui siapa pelaku sesungguhnya
dari pengerusakan lambang negara tersebut. Padahal kasus seperti ini dapat diselesaikan
dengan baik – baik dan kepala dingin tanpa adanya tindakan diskriminasi dan kekerasan.
Namun, pada kenyataannya yang mereka lakukan adalah tindakan ketidakadilan. Mereka justru
langsung menghakimi para mahasiswa tanpa melalui proses hukum yang ada dan para anggota
dari aparat negara ini tidak memberi kesempatan para mahasiswa untuk bersuara memberi
penjelesan mengenai kasus tersebut.
Selain itu, pada kasus tersebut terlihat beberapa anggota dari aparat negara dan para
massa juga melontarkan kalimat ancaman serta kata – kata seperti anjing, babi, monyet, dan
lain sebagainya. Tak hanya terlihat sebagai kalimat yang tidak pantas, melainkan lebih dari itu.
Ucapan tersebut merupakan tindakan rasisme dimana para anggota dari aparat negara dan
massa telah menghina, menyudutkan, merendahkan, menghancurkan serta seakan – akan telah
mengujar kebencian kepada seluruh mahasiswa yang berasal dari Papua itu. Kalimat hinaan itu
kini tidak hanya mengiris hati para mahasiswa namun juga para masyarakat Papua lainnya.
Dimana mereka merasa ras, etnis, suku, dan budayanya telah diolok – olok dan dihina oleh
sesamanya.
Dengan adanya tindakan diskriminasi dan rasisme seperti ini tentu telah merusak dan
memecah persatuan antar masyarakat, toleransi dan keharmonisan yang seharusnya dijunjung
tinggi – tinggi kini menjadi tidak bernilai dalam kehidupan bermasyarakat. Seakan – akan tidak
ada lagi rasa saling menghargai dan menghormati antar masyarakat yang berbeda suku dan
budaya.
Dalam teori “Masyarakat ditinjau dari Teori Konflik,” dikatakan bahwa seharusnya
masyarakat yang sekarang dirombak dan diganti dengan masyarakat yang baru yang disebut
dengan masyarakat tanpa kelas. Saya setuju dengan kalimat tersebut. Sudah seharusnya di masa
seperti ini kita tidak lagi memandang adanya perbedaan kelas. Tidak ada lagi perbedaan antara
kelas atas dan kelas bawah, serta memandang seluruh lapisan masyarakat disekitar kita sama
semua tingkatan kelasnya.
Yang seharusnya kita lakukan adalah hidup saling menghormati dan menghargai untuk
mencapai tujuan bersama. Jika kita masih membeda – bedakan sesama kita berdasarkan
tingkatan kelas, maka yang terjadi adalah tindakan diskriminasi, rasisme, dan ketidakadilan
yang semakin meluas dalam kehidupan bermasyarakat ini.
Dalam teori “Relevansinya Bagi Masyarakat Indonesia yang Pancasilais dan
Multikultural,” diketahui bahwa transparansi Indonesia masih belum menyakinkan hal ini
dikarenakan karena, pertama maraknya kejahatan publik yang berkaitan dengan adanya
tindakan ketidakadilan seperti penghukuman secara membabi para penjahat kelas kecil.
Menurut saya, kasus ketidakadilan diatas selain termasuk dalam tindakan diskriminasi juga
termasuk kedalam tindakan yang dapat menjadi faktor transparansi Indonesia dinilai belum
menyakinkan.
Kedua, adanya “Tiranisme Elite Politik” yang berarti sikap yang tidak mengedepankan
kepentingan masyarakat tetapi lebih pada keperluan sendiri atau kelompok sendiri. Pada kasus
diatas, terlihat bahwa para anggota dari aparat negara dan massa lebih mengedepankan
kepentingannya sendiri. Mereka lebih menuruti keegoisan dan emosional mereka dengan cara
mengamuki dan menghakimi para mahasiswa ketimbangang menyelesaikan masalah dengan
baik – baik.
Benar jika dikatakan bahwa di masa dewasa seperti ini tiranisme juga diperteguh oleh
kehadiran cara – cara aneka ketidakberesan yang terjadi melalui jalur hukum, melainkan pada
kekuatan fisik, dan kegagahan seragam untuk melakukan main hukum sendiri. Mengapa
demikian? Dapat dilihat pada kasus diatas, para anggota dari aparat negara lebih mengandalkan
seragam yang mereka kenakan untuk melawan dan main hukum sendiri kepada para
mahasiswa. Mereka tidak meletakkan keadilan pada kebenaran, melainkan mereka malah
mengeluarkan kekuatan fisik mereka (menyemprotkan gas air mata, memukul dengan senjata
laras) dalam menghadapi kasus ini.
Masyarakat Indonesia identik dengan pancasila. Dengan demikian, seharusnya seluruh
lapisan masyarakat Indonesia ini mampu menerapkan nilai – nilai yang terkandung dalam
pancasila di kehidupan sehari - hari agar dapat hidup dengan tentram dan jauh dari konflik
terutama konflik yang mampu memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Namun, pada kasus diatas justru nampak adanya pelanggaran terhadap nilai – nilai yang
ada dalam pancasila. Tindakan diskriminasi dan rasisme tersebut telah melanggar beberapa sila
dalam pancasila, yaitu: Sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” tindakan yang telah
dilakukan oleh sejumlah anggota dari aparat Kepolisian, TNI, Satpol PP, dan beberapa
ORMAS telah melanggar sila kedua. Mereka telah melakukan tindakan tidak adil (main hakim
sendiri tanpa jalur hukum) terhadap para mahasiswa. Tidak hanya ketidakadilan, mereka pun
telah melakukan tindakan kekerasan seperti memukul mahasiswa dengan senjata laras yang
menyebabkan beberapa mahasiswa mengalami luka – luka. Pada sila ketiga ini, seharusnya kita
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, namun faktanya mereka malah melontarkan kata – kata
yang tidak pantas (anjing, kera, babi, dll), itu berarti para oknum sama saja tidak memanusiakan
manusia atau dengan kata lain mereka telah menganggap sesamanya (para mahasiswa) seperti
binatang.
Sila ketiga “Persatuan Indonesia,” negara Indonesia terkenal dengan berbagai suku, ras,
etnis, budaya, dan agama yang dianut setiap masyarakatnya. Seperti yang kita tahu, seharusnya
kita wajib menjaga dan melestarikan berbagai keragaman suku, ras, budaya, dan agama yang
ada agar persatuan dan kesatuan di Indonesia ini tetap ada. Namun yang terjadi pada kasus
diatas malah berbanding terbalik dengan sila ketiga ini. Bukannya bersikap toleransi dan saling
mengharai dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, tetapi mereka justru bertindak
diksriminasi, rasisme, mengujar kebencian, serta memojokkan para mahasiswa yang berasal
dari Papua ini. Seharusnya demi menjaga persatuan di negara ini, mereka para anggota dari
aparat Kepolisian, TNI, Satpol PP, dan ORMAS harus menyaring terlebih dahulu setiap berita
yang ada, mencari tahu kebenarannya bukannya malah lansung menyerang dengan kekerasan
dan melontarkan ucapan ancaman dan kata – kata tidak pantas yang membuat persatuan di
Indonesia menjadi hancur.
Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan,” pada kasus diatas, terlihat bahwa Para anggota dari aparat
Kepolisian, Satpol PP, TNI, dan ORMAS tidak bertindak secara bijak dalam mengatasi
permasalahan yang ada. Seharusnya mereka berembuk dan membicarakan baik – baik,
bermusyarawah dengan para masyarakat dan mahasiswa untuk mencari solusi dan jika pada
akhirnya masih belum menemukan solusi seharusnya dibawa ke jalur hukum bukannya malah
langsung menghakimi, melakukan kekerasan terhadap para mahasiswa.
Sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” pada sila kelima ini, kita
seluruh rakyat Indonesia di minta untuk bersikap adil kepada para sesama kita. Namun pada
kasus diatas, terlihat jelas tidak ada keadilan bagi para mahasiswa. Menurut salah satu
mahasiswa, para anggota dari aparat negara juga mengabaikan keinginan mereka saat mereka
hendak menyampaikan penjelasan. Yang ada malah mereka merasakan adanya tindakan
diskriminasi, rasisme, serta kejahatan.
Jadi, kita sebagai bangsa Indonesia yang lahir dari berbagai keanekaragaman suku,
budaya, entnis, ras, dan agama, harus mampu menerapkan paham multikultural dalam
kehidupan sehari – hari dan juga sesuai dengan nilai – nilai sosial yang terdapat dalam
pancasila. Masyarakat Indonesia harus mampu menerapkan paham multikultural yang berlatar
belakang “Bhinneka Tunggal Ika.” Dengan adanya keanekaragaman tersebut diharapkan kita
dapat saling memupuk rasa persaudaraan, toleransi, sikap menghargai dan menghormati, dan
yang paling penting kita dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Dengan begitu
sudah semestinya kita menyikapi kasus – kasus seperti diatas sebagai wadah untuk lebih saling
bertoleransi da menghargai sesama kita bukan malah menjadikan wadah untuk
menghancurkan, menyudutkan, merendahkan nilai kemanusiaan dan menyebar kebencian,
sehingga tidak ada lagi perpecahan dan diskriminasi serta rasisme di negara Indonesia ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Filsafat Pancasila (Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini) Dr. Agustinus W.
Dewantara, S.S., M.Hum
2. Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.
3. Dewantara, A. W. (2017). MULTIKULTURALISME INDONESIA (STUDI
PERBANDINGAN ANTARA KONSEP MADANI NURCHOLISH MADJID DAN
KONSEP CIVIL SOCIETY). JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, 17(9), 15-25.
4. Dewantara, A. W. (2019, November). BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI
MODEL MULTIKULTURALISME KHAS INDONESIA. In Seminar Nasional
Keindonesiaan IV (pp. 396-404).
5. Dewantara, A. W. (2015). Pancasila Sebagai Pondasi Pendidikan Agama Di
Indonesia. CIVIS, 5(1/Januari).
6. Dewantara, A. (2018). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (indonesia Dalam
Kacamata Soekarno).
7. Dewantara, A. W. (2017). Kerasulan Awam Di Bidang Politik (SosialKemasyarakatan), Dan Relevansinya Bagi Multikulturalisme Indonesia. JPAK: Jurnal
Pendidikan Agama Katolik, 18(9), 3-15.
8. Dewantara, A. W. (2019). RADIKALISME AGAMA DALAM KONTEKS
INDONESIA YANG AGAMIS DAN BERPANCASILA. JPAK: Jurnal Pendidikan
Agama Katolik, 19(1), 1-14.
9. Dewantara, A. W. (2016). POLITIK MENURUT FOUCAULT DALAM “THE
ARCHAEOLOGY
OF
MULTIKULTURALISME
KNOWLEDGE”
INDONESIA.
DAN
JPAK:
RELEVANSINYA
Jurnal
Pendidikan
BAGI
Agama
Katolik, 15(8), 12-22.
10. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819060430-20-422545/penyeranganasrama-papua-di-surabaya-dinilai-langgar-ham
11. https://news.detik.com/berita/d-4676722/ylbhi-kecam-dugaan-diskriminasi-padamahasiswa-papua-di-surabaya
12. https://suarapapua.com/2019/08/17/mahasiswa-papua-di-surabaya-mengaku-diteriakimonyet/
13. https://www.tribunnews.com/regional/2019/08/20/kronologi-pengepungan-asramapapua-di-surabaya-versi-mahasiswa-ada-rasisme-hingga-kekerasan-fisik