PAPER FILSAFAT PANCASILA
KERUSUHAN DI WAMENA PAPUA, BERAWAL DARI KABAR HOAKS DI
SEKOLAH DITINJAU DARI TEORI ASAL-USUL NEGARA INDONESIA YANG
BERPANCASILA DAN GAGASAN NEGARA GOTONNG ROYONG MENURUT
SOEKARNO
DOSEN MATA KULIAH
Dr. Agustinus W. Dewantara, SS.M.HUM
Disusun Oleh
Nita Dyah Ayu Pramudhani (3803019015)
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
KAMPUS MADIUN
TAHUN 2020
ABSTRAK
Kerusuhan yang terjadi di Wamena, yang diakibatkan berita hoaks yang
menyebabkan korban tewas sebanyak 32 orang serta membuat 5 ribu lebih orang terusir dari
rumahnya sendiri. Peristiwa ini tentunya membuat miris bagi masyarakat yang mendengar
berita ini. Karena berita hoaks yg disebarkan oleh seseorang dapat membuat terpecah belah
masyarakat. Kerusuhan di Wamena, Papua merupakan peristiwa yang bukan mecerminkan
nilai-nilai Pancasila. Dalam semangat gotong royong yang mencangkup kerja sama,
musyawarah yang mufakat, dan rasa saling menghargai. Bukan yang terjadi dalam peristiwa
ini yaitu saling menjatuhkan satu sama lain. Dan tidak mencari kebenaran berita tersebut
apakah berita itu benar terjadi atau hoaks.
KATA KUNCI :
Kerusuhan, Wamena, Pancasila
PEMBAHASAN
1. KERUSUHAN DI WAMENA PAPUA, BERAWAL DARI KABAR HOAKS DI
SEKOLAH
Kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua pada tanggal 23 September 2019.
Yang mengakibatkan korban tewas sebanyak 32 orang dan membuat kurang lebih 5
ribu lainnya terusir dari rumahnya sendiri. Dari informasi yang beredar, peristiwa
krusuhan ini awalnya disebabkan oleh insiden rasisme oleh seorang guru kepada
siswa. Peristiwa kerusuhan tersebut berawal dari kesalah pahaman antara seorang
guru ekonomi dan pelajar di Sekolah Menengah Atas PGRI 1 Wamena. Siswa
tersebut menuduh guru pengganti, Riris teodora Pangabean, mengucapkan kata rasis.
Lima hari sebelumnya Riris mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
di kelas XII dan memeriksa pekerjaan rumah membuat bagan akuntansi.”Rupanya ada
sepuluh siswa yang tidak mengerjakan tugas tersebut,” kata Kepala Satuan Reserse
Kriminal Kepolosian Resor Jayawijaya Ajun Komisaris Suheriadi dikutip dari
Majalah Tempo edisi Senin, 7 Oktober 2019.
Riris tiba di Wamena 3 bulan lalu dan mulai mengajar dua pecan sebelum
kejadian. Polisi telah meminta keterangan Riris pada hari kerusuhan. Ia tak bisa
ditemui lagi untuk diwawancarai. Sejumlah narasumber mengatakan Riris telah
meninggalkan Wamena. Kepada polisi, Riris mengaku meminta anak yang tidak
mengerjakan tugas yang ia berikan untuk berdiri di depan kelas salah satunya Anton
Pahabol. Dari versi Perwakilan Papua serta Direktur Yayasan keadilan dan Keutuhan
Manusia Papua, Theo Hasegem, nama anak ini adalah Nathan Pahabol. Kepada murid
tersebut, Riris berkata, “Baca yang keras agar teman lain ikut mendengarkan”. Kata
“keras” inillah yang menjadi sumber dari masalah kerusuhan tersebut. Sang murid
merasa risih menyebutnya “kera”. Tapi hingga selesei pelajaran, Pahabol diam saja.
Isu rasisme muncul dua hari kemudian.
Disejumlah grup percakapan whatsapp, beredar meme yang menampilakn foto
Riris dengan keterangan ada guru yang mengucapkan kata “monyet” kepada murid di
SMA PGRI 1 Wamena. “Kasus ini tak ramai hingga sabtu, 21 September 2019 pagi,”
kata Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frists Ramadndey. Frits juga
sempat bertemu dengan Riris. Pada hari sabtu , sejumah pelajar asli Papua berkumpul
di halaman sekolah menunggu Riris Theodora. Wakil Kepala Sekolah Bidang
Kesiswaan, Debora Agappa, kemudian mempertemukan Riris dengan para siswa
mereka diperhadapkan soal ucapan “kera”. Namun dalam pertemuan itu, dugaan
rasisme tetap tak terang. Menurut Ajun Komisaris Suheriadi, ada siswa lain mengaku
mendengar
Riris
mengucapkan
kata
“kera”.
Siswa
lain
mengaku
tak
mendengarkannya.
Lantaran tak ada titik temu, Debora meminta masalah tak dibesar-besarkan.
Frits menambahkan, siang itu sebenarnya Riris dan sejumlah pelajar sudah saling
memaafkan. “Mereka bahkan sempat berpelukan dan bersalaman.” Kata dia.
Pertemuan pada Sabtu itu tak memuaskan pihak lain. Sehingga, kemarahan tersebut
dapat direndam setelah dilakukan klarifikasi yang mengundang guru tersebut beserta
murid-muridnya. “Bahkan setelah sekolah sempat bernyanyi bersama-sama dengan
murid yang lain karena ada satu muridnya yang ulang tahun, baik-baik saja enggak
terjadi apa-apa” ucap Taufan Ketua Komnas HAM yang berada di kantor Komnas
HAM. Namun, suasana tiba-tiba memanas pada minggu keesokan harinya ketika
sekolah tersebut mulai diserang sejumlah orang. Lalu, pada Senin 23 September 2019
gelombang unjuk rasa pun mulai membesar karena tersulut isu pernyataan guru
tersebut. Menurut Taufan hal itu mengherankan karena dugaan pernyataan bernada
rasialis sudah diselesaikan pada sabtu.
“Sudah diselesaikan di situ tetapi tiba-tiba bisaa meledak kemana-mana,
datang massa begitu besar dari berbagai penjuru. Kemudian membakar gedunggedung, setelah itu terjadi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa,” ujar dia.
Menurut Taufan, eksklasi unjuk rasa yang berujung pada kerusuhan inilah yang mesti
diinvestigasi karena muncul dugaan bahwa massa perusuh bukan merupakan warga. “
Itu yang enggak jelas ini karena banyak juga orang disitu yang bilang enggak kenal
dengan massanya. Spekulasi ya Pak Bupatinya dan Polresnya bilang itu tidak banyak
yang kenal wajahnya, itu orang darimana,” kata Taufan. Taufan melanjutkan, dugaan
penggunaan senjata tajam dan senjata api yang menyebabkan korban tewas dan luka
perlu diinvestigasi lebih lanjut karena ia menduga kerusuhan ini telah dirancang
sistemastis. “Enggak jelas jadinya siapa yang melakukan atas kepada siapa, karena
semua letusan senjata itu ada di mana-mana itu keterangan dari warga itu mereka
tidak bisa dipastikan siapa ini”, ujar Taufan.
Adapun kronologi di atas didapat dari tim perwakilan Komnas HAM di
Wamena yang melakukan pemantauan disana. Kendati disebabkan masalah sepele,
Komnas HAM mengingatkan pemerintah agar menanggapi peristiwa itu secara serius.
“Ini satu peristiwa yang sebetulnya sudah karut marut sejak lama kemudian ada
pemicu sedikit saja menimbulkan besar kerusuhan yang menimbulkan korban
manusia dan harta benda,” kata Taufan. Hingga minggu kemarin, Komnas HAM
mencatat 32 korban jiwa akibat kerusuhan itu. Disamping itu, terdapat 8.200 orang
yang mengungsi di Polres Wamena, Kodim Wamena, dan Bandra Wamena. Jumlah
tersebut belum termasuk ribuan warga lain yang pergi meninggalkan Wamena
2. LANDASAN TEORI FILSAFAT PANCASILA
2.1 ASAL – USUL NEGARA : NATURAL ATAU KONVENSIONAL
Dalam kehidupan sehari-hari kata natural mungkin tidak asinng agi bagi
masyarkat umum. “natura” dalam bahasa sehari-hari adalah “alam”, meskipun
memiliki arti yang menyimpang, maka arti ini belum sepenuhnya tepat dalam
konteks politik. Dalam kehidupan sehari – hari, kata natural jelas mempunyai
karakter dan intensitas yang asli, autentik, dan sejati daripada konvensional yang
merupakan produk dari konvensi, atau kesepakatan, dan persetujuan. Sesuatu yang
konvensional berarti memiliki arti buatan, rekayasa, dan artificial. Terminoogi
“natural” dalam filsafat politik sangat penting, karena berurusan langsung dengan
kesejatian dari realistas yang dipersoalkan. Dalam konteks perdebatan tentang
natura manusia. Selain merujuk pada asal-usul, natural dalam filsafat Yunani juga
menunjuk pada tujuan kodrati. Segala aktivitas kehidupan bersifat natural, artinya
kehidupan telos, yaitu tujuan yang selaras dengan kodratnya.
Natura berkaitan dengan akal budi ilahi, sebagaimana yang dimaksud
keteraturan kodrat kehidupan ini sudah sedemikian sempurnanya, sehingga
manusia diundang untuk menata hidupnya selaras dengan natura. Menurut para
filsuf klasik yaitu Sokrates, Plato, Aristoteles, dan lainnya, soal fundamental
dalam politik berkesinambungan dengan soal natural dan konvesional. Inilah yang
dikejar oleh para filsuf-filsuf sehingga menjadi paradigm cara berfikir filsuf dari
para filsuf politik sampai zaman modern ini. Dewasa, terutama bagi Negara kita
tema natural atau konvensional sendiri kurang mendapat perhatian dari para
masyarakat. Seperti pemerintahan, urusan hukum dan masalah lainnya. Semua
masyarakat dan pejabat-pejabat tinggi mempunyai pemikiran “pokoknya
bagaimana baiknya”. Pemerintah baik sudah tidak lagi dipikirkan daam
hubungannya dengan jiwa natura atau konvensional.
Kedua ini yaitu natura dan konvensional sangat penting dan actual. Secara
ekstrim menduduki posisi utama dalam penjelajahan filsafat politik. Hak Asasi
Manusia atau HAM, contohnya yaitu persoalan yang bersentuhan langsunng
dengan natura atau natura manusia. Hak Asasi Manusia adalah natural right / hakhak kodrati manusia, juga soal pemerintahan politik yang benar sering dikaitkan
dengan masalah naturalitas. Dalam kehidupan politik, nature dan convention
sangat penting untuk mencari penegasan dan pengertian yang masuk akal juga
dapat diterima tanpa sangsi dan kebenarannya. Pergumulan setiap gagasan yang
berkenan dengan tata hidup bersama harus memiliki kebenaran dan kesahihan
yang seuniversal mungkin atau sesejati mungkin. Dengan kebenaran universal
atau sejati, tidak dimaksudkan semata-mata berkaitan dengan domain atau ruang
lingkupnya yang menjangkau sebanyak mungkin manusia/ peradaban hidup
manusia. Kebenaran universal atau sejati yang dimaksudkan yaitu kebenaran yang
menjadi
pemenuhan
kesempurnaan
kodrat
manusia.
Dalam
artian,
universalitasnya/ kesejatian refleksi filsuf politis dipirkan sedemikian rupa
sehingga menyentuh pada kesejatian manusia. Jadi, nature dan convention dalam
konteks filsafat politik langsung berhubungan dengan konsep tentang kesejatian
manusia.
2.2 NATURA NEGARA DITARIK DARI NATURA MANUSIA
Ide tentang Negara pertama-tama adalah ide tentang manusia. Plato
berpendapat bahwa jika manusia terdiri atas tiga bagian yaitu intelektualitasnya
(intellect-part), semangatnya (spirited-part), dan hasrat/nafsunya (appetitivepart). Susunan suatu Negara Platonis juga ditarik dengan tiga bagian tersebut
(persis dengan tiga bagian dari jiwa manusia). Dalam suatu Negara ada bagian
yang memerintah (identik dengan intellect-part dari jiwa manusia), ada bagian
yang menjaga keamanan Negara (identik dengan spirited-part dari jiwa
manusia), dan ada bagian yang memproduksi untuk kelangsungan ekonomi
Negara (identik dengan appetitive-part jiwa manusia).
Berbeda halnya dengan Plato, Aristoteles justru berpendapat bahwa manusia
adalah makhluk politik. Manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan
kodrati tinggal bersama satu sama lain. Negara berasal dari kodrat manusia. Mulamula manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia senantiasa membangun kesatuan.
Kesatuan pertama ialah kesatuan antara laki-laki dan perempuan (union of male
and female ) dan kesatuan antara tuan dan hambanya, atau yang memerintah dan
yang diperintah (union of the ruling and the ruled or union of the ruler mid the
subjected).kesatuan ini membentuk komunitas kecil, yaitu keluarga. Apabila
banyak keluarga yang tinggal dalam satu tempat, muncuah perkampungan. Polis
atau suatu sistem hidup bersama ada secara natural karena keluarga-keluarga
membangunnya. Polis dibangun pertama dibangun untuk memenuhi kebutuhan
setiap anggota. Yang memerintah negara dalam filsafat Aristoteles ialah seseorang
yang mengerti dan memiliki kebijaksanaan praktis (practical wisdom).
Kebijaksanaan praktisah yang merupakan senjata penting dan paling mungkin
mewujudkan the good life (kesejahteraan umum- bonun commune). Bonun
commune inilah cetusan kesempurnan hidup manusia.
Pada zaman yang lebih modern Machiavelli mengagas Negara berbeda dari
filsuf sebelumnya. Machiavelli merupakan seseorang yang realis. Dia tampil daam
realistas konkret dunia politik, dunia kekuasaan, dunia penataan Negara.
Machiavelli untuk menghindari keterpecahan, mencegah invasi pihak-pihak luar,
mengalahkan musuh yang mengancam kekuasaan dan wibawa pemerintahan,
mempertahankan keutuhan Negara dan sejenisnya adalah masalah yang dihadapi
oleh Machiavelli. Dia setuju dengan Aristoteles, Plato dan Sokretes bahwa
manusia yang baik itu adalah manusia yang utama (virtuous). Menurut
Machiavelli, keutamaan dalam politik adalah aneka kecerdikan yang dimaksudkan
untuk menaklukkan lawan, memberdaya para penghianat, menajaga kesatuan dan
keutuhan rakyatnya, dan membela dan memperkokoh tahta kekuasaannya.
Apabila dalam melakukan semuanya itu pemimpin atau raja perlu melakukan
tindakan-tindakan kekerasan atau kebrutalan
yang
bertentangan dengan
keutamaan manusiawi. Ada semacam prinsip tujuan menghalalkan setiap cara.
Artinya, demi membela keutuhan Negara atau keselamatan tahta, seorang
pemimpin dapat melakukan dengan segala cara. Yang memerintah Negara
menurut Machiavelli adaah seseorang yang cerdik dan mampu membuat strategi
untuk merebut kekuasaan dan membelanya.
Realisme Machiavelli dilanjutkan dengan Thomas Hobbes. Menurut Hobbes.
Demikian juga dengan Hobbes. Dalam the state of nature (saat belum ada
hukum), manusia adalah sama dalam kehadirannya. Mereka pertama sama-sama
mengaamu keterancaman kematian. Bukan kematian wajar, melainkan kematian
karena akan dibunuh oleh satu sama lain. Dalam pengandaian Hobbes, realistas
kodrat manusia pertama adalah sama atau sederajat. Realism Hobbes ini bertolak
belakang dengan filsafat Platonian dan Aristotelian yang secara garis besar
manusia filsuf atau manusia dengan practical wisdom yang boleh memerintah.
Inilah
gagasan
yang
membedakan
filsafat
Hobbes
dengan
filsafat
Aristotelian/Plutinian, juga Machiavellian. Menurut Hobbes sang pemimpin hanya
menjadi mungkin apabila dengan persetujuan/ kesepakatan dari manusia yang
bersangkutan. Hobbes menggagas dua hal sekaligus yang sangat penting dalam
filsafat politik :
1) Hobbes menunjukan martabat dan keluhuraan manusia dengan segala hak
naturalnya.
2) Suatu pemerintah politik lahir atau ada apabila disepakati.
Karena pemerintahan politik dengan segala sistem aturannya menjadi mungkin
karena kesepakatan, sehingga dengan jelas filsafat Hobbes merupakan
konvensional.
2.3 NEGARA GOTONG ROYONG
Gotong royong ini merupakan ciri khas masyarakat Indonesia, Soepomo, Hatta
dan Yamin juga mengatakannya. Di dalam semangat gotong royong inilah
tercakup kerja sama, musyawarah untuk mufakat, dan rasa saling menghargai.
Negara gotong royong dengan demikian adalah Negara yang difondasikan atas
semangat kerja sama dan saling bantu khas Indonesia. Plato mengatakan bahwa
susunan suatu Negara menemukan pandangannya dengan tiga bagian jiwa
manusia, yakni rational-part (bagian yang berpikir), spirited-part ( roh atau
semangat), dan appetitive-part . dalam suatu negara, menurut Plato, ada bagian
yang memerintah (sepadan dengan rational-part), ada tentara yang menjaga
keamanan negara (sepadan dengan spirited-part), dan ada produse yang menjaga
kelangsungan ekonomi Negara (sepadan dengan appetitive-part). Manusia akan
tampil utuh apabila ketiga bagian ini bekerja sama secara harmonis. Kokoh bila
ketiga bagian ini bisa menjalankan tugasnya dengan baik secara harmonis.
3. HUBUNGAN
KASUS
TERHADAP
TEORI
ASAL-USUL
NEGARA
INDONESIA YANG BERPANCASILA DAN GAGASAN NEGARA GOTONG
ROYONG MENURUT SOEKARNO
Setelah mengetahui penjelasan dari teori-teori tersebut maka hubungan dari
kasus kerusuhan di Wamena, Papua. Jika kita ketahui asal mula adanya kasus tersebut
karena tersebarnya berita hoaks dari seseorang yang tidak bertanngung jawab dan
tersebar sehingga menimbulkan konflik. Maka, dari kasus tersebut sangat jelas bahwa
hal tersebut tidak mencerminkan dengan adanya konsep bernegara kita yang
bergotong royong. Kasus tersebut juga tidak masuk dalam konsep bernegara yang
dijelaskan oleh
Plato yaitu : intelektualistasnya (intellect-part), semangatnya
(spirited-part), hasrat/nafsunya (appetitive-part). Mungkin saja oknum-oknum
tersebut yang melakukan kerusuhan mereka mudah terpancing dengan omongan
orang dan mereka juga tidak menyaring informasi terlebih dahulu dan tidak mencari
kebenaran dari berita tersebut.
Mereka menggunakan konsep Plato yang
hasrat/nafsunya (appetitive-part) untuk tindakan yang salah. Dan juga tidak termasuk
pada konsep yang dijelaskan oleh Aristoteles, yang mana Negara merupakan berasal
dari manusia. Awal mula manusia tidak bisa sendirian. Manusia senantiasa
membangun kesatuan. Dan kesatuan tersebut membentuk komunitas kecil, sistem
hidup bersama menurut Aristoteles adalah hidup bersama secara natural dan
kekeluargaan.
Menurut saya justru kasus kerusuha di Wamena, Papua ini malah merujuk ke
konsep bernegara yang dijelaskan oleh Thomas Hobbes. Menurutnya, dalam the state
of nature atau saat sebelum ada hukum. Manusia semua sama dalam kehadirannya.
Mereka sama-sama mengaami keterancaman kematian. Bukan karena kematian wajar
yang mungkin akan dialami oleh setiap orang hidup, melainkan kematian yang
dikarenakan oleh sesama manusia yang saling membunuh satu sama lain. Tetapi,
realistas kodrat manusia semuanya adaah sama derajatnya. Realis Hobbes juga
bertollak belakang dengan filsuf-filsuf lainnya.
Kasus kerusuhan di Papua, Wamena yang terjadi karena masalah sepele ini
bukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Yang merupakan prinsip dari Indonesia
adalah gotong-royong bahkan Soepomo, Hatta, dan Yamin juga mengatakan hal yang
sama. Oknum atau pelaku yang melakukan bentrok mereka melakukan kerusuhan
tersebut hanya karena amarah sesaat saja. Mereka tidak dapat merendam emosi nya
dan mengakibatkan mudah terpancing amarah nya. Mereka langsung melakukan
bentrok tanpa melihat kebenaran informasi yang telah mereka terima. Apakah
informasi yang mereka dapat benar atau salah alias hoaks. Mereka tidak melakukan
musyawarah dengan pihak terkait untuk mendapatkan hasil yang mufakat. Bahwa
Soekarno sudah mengatakan prinsip Negara Indonesia adalah gotong royong. Beliau
mengatakan bahwa tidak ada klaim-klaim golongan, pribadi, ataupun kelompok yang
hendak memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing. Menurut Soekarno
Formulasi formal dari Pancasila mempunyai akar yang dalam pada kegotonngroyongsn masyarakat Indonesia. Gotong royong sudah menjadi ciri khas dari manusia
Indonesia dan llembaga social yang ada di Indonesia. Gotong royong merupakan
prinsip dinamis, bahkan lebih dinamis daripada kekeluargaan. Yang menggambarkan
satu usaha bersama dan saling membantu demi kepentingan bersama. Bukan untuk
mencari kesalahan orang lain dan hanya kita yang melakukan kebenaran. Gotong
royonng merupakan keseimbangan antara kepentingan individu daam hubungannya
dengan kebutuhan masyarakat yang terjadi secara timbal balik atau mempunyai
simbiosis mutualisme sehingga saling menguntungkan satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1259380/salah-paham-antarakata-keras-dan-kera-di-kerusuhan-wamena
2. https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2019/09/30/17230711
/kronologi-kerusuhan-di-wamena-versi-komnas-ham
3. Dewantara, W. 2017. Diskurkus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. Yogyakarta : PT
Kanisius
4. Dewantara, W. 2017.”Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong”(Indonesia dalam
kacamata Soekarno). Yogyakarta : PT Kanisius
5. Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.
6. DEWANTARA, A. W. (2016). GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO
DALAM PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI
NASIONALISME INDONESIA (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
7. Dewantara, A. (2018). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (indonesia Dalam
Kacamata Soekarno).
8. Dewantara, A. W. (2019, November). BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI
MODEL MULTIKULTURALISME KHAS INDONESIA. In Seminar Nasional
Keindonesiaan IV (pp. 396-404).
9. Dewantara, A. INTERNALISASI NILAI-NILAI DALAM PANCASILA PADA
KALANGAN PELAJAR.
10. Prastica, S. A. (2019). KASUS KORUPSI DAN SISTEM HUKUM PARA
KORUPTOR DI NEGARA PANCASILA.