Editor:
Rahman Mantu
Arhanuddin Salim
AKTIVISME AGAMA &
PEMBANGUNAN YANG MEMIHAK
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
Sulur Pustaka
AKTIVISME AGAMA &
PEMBANGUNAN YANG MEMIHAK
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
Editor:
Rahman Mantu
Arhanuddin Salim
Desain sampul: Marsus
Tata letak isi: Mirna Safitri
Penerbit Sulur
Jalan Jogja-Solo, Km 14, Candi Sari,
Tirtomartani, Kalasan, Sleman, DI.Yogyakarta, 55571.
Email: penerbitsulur@yahoo.com
Web: www.sulur.co.id
CP: 0852-2929-9377
Cetakan Pertama, 2019
15 x 22 cm., 200 hlm
ISBN: 978-602-5803-61-1
UCAPAN TERIMA KASIH
M
asifnya pembangunan pusat perdagangan dan pelayanan
jasa di pesisir Manado belakangan ini memberi gambaran
umum proses akselerasi juga ekspansi kemodernan. Kawasan
pesisir kota Manado, tepat di bibir teluk, dimaknai sebagai model
atau representasi pembangunan kota setelah sebelumnya hanyalah
sebuah pesisir pantai yang dihuni nelayan lokal. Sebagai salah satu
pusat kota di Indonesia Timur, Manado terus diarahkan menjadi
ikon kemajuan kota yang berpusat di kawasan pesisir. Kawasan ini
memiliki kecenderungan untuk membentuk identitas ke-Manadoan itu sendiri. Pendek kata kawasan pesisir Boulevard diarahkan
menjadi pusat kemajuan dan peradaban kota Sulawesi Utara. (PMII
Manado: 2004). Meskipun penolakan dan perlawanan muncul pada
tahun 1997-98 banyak orang di Sulawesi Utara menikmati kawasan
ini sebagai pusat konsumsi, imaji dan gaya hidup.
Di sisi lain brand kota religius begitu melekat pada Sulawesi
Utara khususnya Manado, mungkin bisa disebut di antaranya istilah
kota doa yang akhir-akhir ini sering di dengungkan. Label religius
3
ini seiring sejalan dengan pesatnya industri bisnis dan jasa, Manado
bahkan diprediksi menjadi salah satu wilayah pertumbuhan ekonomi
terbaik mencapai kisaran 6,2 persen dengan inflasi di angka stabil
3 persen. Lalu kemudian bagaimana klaim religuisitas itu menjadi
bagian dari ide-ide pembangunan. Apa kontribusi Agama sebagai
nilai, landasan etis? Secara praksis wujudnya seperti apa dan sejauh
mana pengaruh Agama terhadap pembangunan yang ‘berpihak’,
tentu berpihak pada kemanusiaan. Buku ini adalah usaha akademik
untuk mengurai masalah, mendiskusikan, memberikan alternatif
pada kita semua tentang agama dan pembangunan yang berpihak
di aras lokal.
Untuk menghadirkan buku ini, kami harus mengucapkan
terima kasih kepada banyak orang. Pertama tentu Direktur LAPEMA
(Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Antar Agama) yang saat ini
menjabat sebagai Rektor IAIN Manado Delmus Puneri Salim.
Beliau sangat berjasa dalam menginisiasi terbitnya buku Antologi
ini. Juga kepada Arhanuddin Salim Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Manado yang bekerja
keras agar buku ini terbit dan ia juga yang berupaya menyiapkan
logistik atas terbitnya buku ini. Ardianto, Rusdiyanto, Aris Soleman,
Abdul Muis, Faradila Hasan, Misbahuddin, Rizaldy Pedju, Olha
Niode, Almunauwar Rusli, Ali Amin, Faradila Hasan mereka intens
menghadiri diskusi-diskusi memberikan sumbangsih ide dan kritik
perihal artikel-artikel dalam buku ini. Juga tidak lupa kepada saudara
Ghazali yang mengurusi hal-hal administratif berkaitan dengan
terbitnya karya ini. Terima kasih khusus kami sampaikan kepada
Sulaiman Mappiase yang mau menyempatkan berkontribusi, berbagi
informasi, koreksi juga kritik dan mau menyumbangkan idenya
dalam prolog buku ini.
Akhirnya, Rahman Mantu sudah memainkan banyak peran
menghasilkan produk akademik ini. atas inisiatifnyalah segala
4 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
sesuatu bermula, dari konsep tema, menghubungi para kontributor,
penyiapan naskah, dan bertindak sebagai editor buku ini.
Demikianlah dengan penuh suka cita kami persembahkan
buku ini kepada khalayak publik Sulawesi Utara. Semoga Bermanfaat.
Penulis,
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 5
DAFTAR ISI
9
PROLOG ~ Oleh: Sulaiman Mappiasse
16
POLITIK DAN PARSIAL AGAMA DI SULAWESI
UTARA:
Oleh: Delmus Puneri Salim
32
DARI KAMPUNG ISLAM SAMPAI KAMPUNG
ISRAEL: Etnosentristik Dalam Pembelahan Ruang
di Manado
Oleh: Rahman Mantu
Fano Arthur Gerung
41
AGAMA-AGAMA DAN PEMBANGUNAN
BERKEADILAN DI SULAWESI UTARA:
Beberapa Pokok Pikiran Kritis-Reflektif
Oleh: Denni H.R. Pinontoan
59
MANADO KOTA DOA: Sebuah Refleksi-Kritis
Warga Kota
Oleh: Muhammad Iqbal Suma
70
PEMBANGUNAN YANG BERPRESPEKTIF
GENDER
Oleh: Riane Elean
7
91
PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MAYORITAS
KRISTEN MANADO
Oleh: Ismail Suardi Wekke
118
AKTIVISME AGAMA, KETIDAKADILAN,
DAN KEMISKINAN: Sebuah Upaya Komunitas
Lintas Iman di Tanah Bendar Manado
Oleh: Samsi Pomalingo
145
MENJAGA KERUKUNAN, MERAYAKAN
KERAGAMAN DI ‘NEGERI SERIBU GEREJA’:
Harapan dan Tantangan
Oleh: Taufani
170
BERDAMPINGAN SATU DALAM BEDA:
Rawat-Bangun Infrastruktur Sosial Masyarakat
Sulawesi Utara
Oleh: Taufik Bilfagih
180
MERETAS JALAN PENDIDIKAN KRISTIANI
BERWAWASAN KELAUTAN
Oleh: Jeane Marie Tulung
Yan Okhtavianus Kalampung
190
BENARKAH TOLERAN?: Beberapa Catatan
Mengenai Politik Kewargaan dan Pembangunan
di Kota Manado
Nono S.A. Sumampouw dan Haryanto
211
TENTANG PENULIS
8 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
PROLOG
Oleh: Sulaiman Mappiasse
P
aradigma hubungan antara pembangunan dan agama kini telah
mengalami pergeseran signifikan dibandingkan dengan masa
tujuh puluh tahun lalu setelah Perang Dunia II berakhir. Pada masa
itu, pembangunan identik dengan narasi utama Proyek Pencerahan
Eropa di mana penjelasan kausalistik dipisahkan dari pemaknaan
subyektif manusia melalui mekanisme sekuralisasi dan modernisasi.
Pembangunan yang digambarkan sebagai gerak maju manusia
diimajinasikan secara terpisah dari agama; salah satu sumber utama
makna-makna simbolik kehidupan manusia. Agama direduksi dan
diisolasi ke dalam dunia spirit gaib; tidak terkait sama sekali dengan
realitas sosial dan politik manusia.
Seiring dengan penetrasi ideologi pembangunan sekuler ke
berbagai penjuru dunia, khususnya di negara-negara pinggiran;
biasa disebut dengan negara berkembang atau ketiga, ideologi
pembangunan ini mempertontonkan kegagalannya dalam mensejahterakan manusia. Kemiskinan dan kesenjangan terjadi di manamana. Semakin dalam penetrasi dan semakin lebar okupasinya di
sebuah wilayah, polarisasi dan ketidakadilan di wilayah tersebut
9
semakin nampak. Di sisi lain, polarisasi ekonomi antara negaranegara metropolitan, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara,
dan negara-negara pinggiran1 semakin lebar. Hubungan intim antara
negara-negara metropolitan dan negara-negara pinggiran yang pernah
diimajinasikan sebagai mekanisme yang akan mensejahterahkan
mereka yang miskin dan tertinggal justru melanggengkan bahkan
memperparah kesengsaraannya.
Transfer dana pembangunan internasional dari berbagai lembaga donor dunia yang dimaksudkan untuk menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di negara-negara pinggiran gagal
mencapai tujuan. Kemiskinan dan berbagai persoalan sosial yang
ada di negara-negara ini diyakini dapat diselesaikan dengan cara
mengadopsi aturan dan melakukan transformasi dan implementasi
kelembagaan seperti yang pernah diterapkan di negara-negara metropolitan. Setelah berlangsung kurang lebih enam dekade, kenyataan
di lapangan justru menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan dan
pembangunan tidak sederhana; keduanya merupakan proses yang
sangat kompleks. Ketimpangan dan polarisasi sosial yang terjadi
akibat pola pembangunan global yang melihat manusia hanya sebagai
pencari sesuap nasi saja; setelah kebutuhan ekonominya terpenuhi,
semuanya menjadi baik-baik saja - membuat para pengambil
kebijakan pembangunan tersadar bahwa pembangunan seharusnya
dipahami sebagai sebuah proses yang kompleks. Pembangunan
bukan hanya sebatas memenuhi hajat makan saja, tetapi mencakup
pemenuhan hajat sosial, politik, keamanan, budaya, psikologi, dan
moral manusia.
Berapa, bagaimana dan kepada siapa dana bantuan pembangunan yang dikucurkan banyak dipengaruhi oleh konstalasi politik
internasional di kala itu, antara Blok Barat dan Timur. Alokasinya
ke negara-negara tertentu tidak semata-mata karena pertimbangan
kemiskinan, tetapi acapkali ditentukan oleh pertimbangan pengua-
10 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
tan salah satu blok politik. Setelah dana itu disalurkan ke negara
penerima, elit negara tersebut tidak rela mendistribusikannya
kepada orang banyak; rakyatnya sendiri. Dana itu mereka tahan
untuk kepentingan kelompok dan kroninya. Praktik korupsi dan
kolusi mewarnai pengelolaannya sehingga konflik, baik pada skala
internasional maupun lokal tidak terhindarkan.
Belajar dari sejarah kegagalan seperti itu, meskipun lembaga
sekuler dan agama memiliki cara pandang yang berbeda tentang
pembangunan manusia, keduanya sepakat bahwa kemiskinan,
ketidakadilan dan korupsi merupakan persoalan kemanusiaan dan
moral yang tidak dapat dikesampingkan. Kesadaran dan kesepahaman
baru ini mengubah paradigma pembangunan dalam dua dekade
terakhir; ditandai dengan kehadiran agenda-agenda pembangunan
manusia yang lebih komprehensif dalam program-program yang
dicanangkan oleh lembaga donor dunia, World Bank, misalnya,
melalui program Millennium Development Goals (MDGs).
Di samping kesepahaman baru di atas, para pengambil
kebijakan pembangunan menyadari bahwa pembangunan aspek
budaya, etika, dan moralitas manusia sangat erat hubungannya dengan
prinsip-prinsip dasar agama. Mereka juga mengakui bahwa agendaagenda pembangunan di berbagai wilayah sangat sulit diwujudkan
tanpa melibatkan orang atau organisasi berbasis keyakinan dan
agama. Sebab, tokoh-tokoh agama di berbagai wilayah pada negaranegara pinggiran yang menjadi target pembangunan manusia
merupakan kelompok elit yang dihormati dan diteladani. Kebutuhan
untuk melibatkan semua unsur masyarakat dalam pembangunan
dipandang semakin mendesak setelah sumber dan kemampuan
negara menangani berbagai persoalan semakin merosot.
Hari ini, sejak tahun 2000-an, berbagai lembaga donor pembangunan internasional seperti World Bank, Organisasi Buruh
Internasional (ILO), dan Dana Monoter Internasional (IMF) aktif
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 11
melakukan pendekatan terhadap organisasi-organisasi berbasis
keyakinan dan agama di berbagai belahan dunia pinggiran dalam
pelaksanaan proyek pembangunan, termasuk di Indonesia. Gerakan civil society dan lingkungan hidup, misalnya, yang didanai
oleh lembaga-lembaga donor pembangunan melibatkan berbagai
organisasi berbasis agama dalam agenda-agenda program mereka,
baik secara langsung maupun melalui jalur pemerintahan.
Organisasi-organisasi berbasis keyakinan dan agama akhirakhir ini telah banyak dilibatkan dalam agenda-agenda pembangunan
manusia. Bukan hanya pada implementasi, tetapi termasuk dalam
perumusan konsep pembangunan manusia yang holistik dan lebih
relevan dengan esensi kemanusiaan. Namun demikian, seiring
dengan peningkatan partisipasi positif agama dalam pembangunan,
penetrasi agama ke dalam ruang publik menyisahkan trauma bagi
banyak orang. Fundamentalisme, radikalisme dan terorisme telah
menjadi wajah lain dari kehadiran agama di ruang publik. Wajah
negatif ini, tentu saja, bertentangan dengan semangat pembangunan
yang berorientasi pada kedamaian, kesejahteraan dan keadilan
untuk semua. Hal ini telah menorehkan catatan bahwa agama dapat
memiliki remifikasi destruktif terhadap pembangunan manusia.
Nilai-nilai atau doktrin-doktrin moral agama juga terkadang
memiliki dampak counterproductive dalam pembangunan manusia.
Pembangunan yang terjadi selama ini melahirkan dua golongan manusia
yang berbeda, yaitu mereka yang menikmati hasil pembangunan
secara maksimal dalam bentuk akumulasi modal ekonomi, sosial,
politik dan budaya; dan mereka yang mendapatkan sedikit atau
bahkan tidak mendapatkan apa-apa dari hasil pembangunan yang
terjadi. Golongan pertama, biasanya lebih sedikit jumlahnya dari
pada golongan yang kedua. Visi dan misi politik, sosial dan budaya
kedua golongan ini dalam mengespresikan kepentingannya acapkali
berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Atas nama demokrasi,
12 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
golongan pertama lebih sering mengusung ide-ide kebebasan dan
rasionalitas. Sementara golongan kedua yang mayoritas, atas nama
demokrasi, mereka sering mengkampanyekan ide-ide sosial yang
menekankan pada prinsip keadilan dan kesamaan kesempatan.
Saat suara politik dua golongan ini disampaikan oleh orang
atau organisasi berbasis keyakinan dan agama, biasanya norma
dan nilai agama diterjemahkan ke dalam sebuah cara pandang
yang melanggengkan kepentingan para teknokrat kebebasan dan
rasionalitas dengan mengesampingkan prinsip-prinsip keadilan dan
kemanusiaan. Mereka, tokoh agama, sering menjadi kolaborator
intelektual dan budaya bagi kelompok elit kecil, baik dari kalangan
birokrat, politisi, maupun pengusaha. Semangat keadilan dan
kemanusiaan disuarakan terkadang hanya untuk sebuah penampakan
menutupi realitas yang sesungguhnya terjadi. Sebuah realitas tidak
kasat mata bekerja sebagai kekuatan membendung implementasi
prinsip keadilan dan kesetaraan bagi mayoritas orang. Nilai kesabaran
yang mulia dan keyakinan eskatologis yang memberi pengharapan
banyak digunakan untuk membungkam semangat dan suara-suara
manusia pencari keadilan. Akibatnya, tokoh dan organisasi berbasis
agama sering menjadi agen-agen pembela kepentingan kelompok
elit yang anti terhadap ide-ide keadilan dan kemanusiaan.
Saat itu, sebagaimana agama menjadi kekuatan destruktif bagi
pembangunan manusia saat digunakan untuk aksi kekerasan dan
pemaksaaan, ia juga berbalik menjadi penyebab keterbelakangan
(underdevelopment) manusia saat pemahaman dan aksi atas nama agama
tidak lagi memberikan penekanan kuat dan hakiki pada prinsip
keadilan. Karena itu, agama sebaiknya diberi ruang otonom untuk
menerjemahkan dirinya dalam kerangka kemaslahatan manusia
secara total. Adalah sebuah utopia memisahkan kepentingan
manusia dari interpretasi dan aksinya; tetapi poin terpenting bahwa
kepentingan itu seyogianya berdiri di atas prinsip moral yang
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 13
berpihak pada kemanusiaan.
Kumpulan tulisan dalam buku ini merepresentasikan ide-ide
dan analisa fenomena lokal masyarakat beragama dalam berbagai
konteks ekspresi politik, sosial dan budaya di Sulawesi Utara dari
para penulis berlatar belakang lintas agama, sosial dan budaya. Ikhtiar
seperti ini perlu diapresiasi sebab pola dan konsekuensi pembangunan
tidak dapat dipahami dan ditempatkan dalam sebuah bingkai logika
esensialis yang mengasumsikan bahwa pembangunan di mana pun
dilakukan arah dan remifikasinya seragam. Pembangunan adalah
proses sosial budaya yang kompleks sehingga kontur, implementasi
dan efeknya bersifat dinamis dan contingent; banyak dipengaruhi oleh
struktur hubungan kelas, politik, dan budaya para agennya, serta
kondisi lokal dan global yang mengitarinya.
Tulisan-tulisan dalam buku ini menampilkan dinamika tersebut. Tulisan satu dan dua menggagas ide-ide keadilan sosial dalam
konteks pembangunan dan interaksi sosial; tulisan tiga sampai
enam mengangkat isu ekspresi budaya dan politik di ruang publik;
tulisan tujuh sampai sembilan mendiskusikan agama dalam konteks
pendidikan sebagai modal pembangunan manusia; tulisan sepuluh
dan sebelas merupakan telaah kritis terhadap kebijakan publik
pemerintahan lokal; dan terakhir menyoroti soal pembangunan dan
gender.
Bibiliography
Bush, R., Fountain, P., & Feener, R. M. (2015). Religion and the Politics
of Development. In Religion and the Politics of Development (pp. 10–
34). New York: Palgrave Macmillan.
Gottlieb, R. S. (2003). Religion, Political Movements, and the Fate of the
World. In R. S. Gottlieb (Ed.), Liberating Faith: Religious Voices for
Justice, Peace, and Ecological Wisdom (pp. xvii–xxiii). Maryland:
Rowman & Littlefield. Haynes, J. (2007). Religion and Development:
14 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Conflict or Cooperation? New York: Palgrave Macmillan.
Roxborough, I. (1979). Theories of Underdevelopment. New Jersey:
Humanities Press.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 15
POLITIK DAN PARSIAL AGAMA
DI SULAWESI UTARA
Oleh: Delmus Puneri Salim
A
gama sering dipahami secara parsial oleh pengambil kebijakan
dan tokoh agama sekalipun. Pemerintah terfokus dalam
mendukung program-program yang terinspirasi dari agama sebagai
solusi mudah dalam menyelesaikan masalah sosial yang ada,
sedangkan tokoh agama menganggap pendidikan agama sebagai
solusi bagi perubahan perilaku tanpa melihat faktor lain, seperti
faktor ekonomi, dalam masalah perilaku tersebut.
Dengan mengambil kasus perda miras dan hubungan antara
profesi ojek dengan perilaku terhadap pelanggannya di Sulawesi
Utara, tulisan ini berpendapat bahwa dukungan pengambil
kebijakan terhadap perda miras merupakan sebuah solusi yang
mudah untuk dilaksanakan dan terkesan agamis namun solusi ini
belum menyelesaikan akar masalah kriminalitas yang dilakukan
oleh mereka yang pada umumnya mempunyai status sosial rendah
dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Sedangkan pendidikan
agama sebagai solusi terhadap perubahan perilaku di masyarakat
16
mengabaikan hubungan antara perilaku dengan pekerjaan seseorang.
Kebijakan pemerintah dalam mengurangi kriminalitas melalui
adanya perda miras dan mendorong penguatan pendidikan agama
sebagai solusi terhadap perubahan perilaku di masyarakat adalah
kebijakan dan pandangan parsial terhadap agama. Tulisan ini
merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk melengkapi
perda miras dengan penyediaan lapangan kerja yang luas bagi
masyarakat kelas menengah ke bawah yang sering terjebak dalam
kebiasaan minuman miras yang tidak terkendali. Begitu juga dengan
pendidikan agama sebagai solusi yang sering disampaikan oleh
tokoh agama dalam merubah perilaku di masyarakat.
Namun demikian, bukan untuk mengatakan ekonomi dalam
bentuk penyediaan lapangan kerja dan status pekerjaan sebagai satusatunya solusi terhadap persoalan yang ada dan mengabaikan peran
perda miras dan pendidikan agama. Tulisan ini mengkritisi sikap
seolah-olah kebijakan yang terinspirasi dari agama dan pendidikan
agama saja sudah cukup dalam mengatasi berbagai persoalan
kriminalitas dan perilaku di masyarakat tanpa melihat faktor lain
yang lebih mendasar dan berpengaruh langsung.
Sosio Demografis Sulawesi Utara
Secara administrasi kependudukan, Provinsi Sulawesi Utara
terdiri dari 11 kabupaten dan 4 kotamadya dengan kota Manado
sebagai ibu kota provinsi. Provinsi ini memiliki penduduk sekitar 2
juta jiwa (BPS 2011). Secara sosial budaya, Sulawesi Utara didiami
oleh kebanyakan suku Minahasa, Bolmong, dan Sangihe dan
memiliki budaya patrilineal sama seperti kebanyakan provinsi lain
di Indonesia, dimana garis keturunan seseorang didasarkan pada
bapak. Secara khusus, masyarakat provinsi ini dikenal dengan nama
keluarganya atau yang dikenal dengan sebutan ‘fam’.
Secara geografis, Sulawesi Utara dikelilingi oleh laut Sulawesi
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 17
ke utara dan laut Maluku ke timur dan selatan. Pulau Sulawesi
mencakup kepulauan Talaud dan Sangihe di laut Sulawesi.
Kebanyakan dataran provinsi ini adalah pegunungan dengan banyak
vulkan yang aktif. Pesisir pantai kepulauan ini pendek dan dataran
pesisirnya dipenuhi sungai dengan arus yang deras. Sementara
dataran tingginya dipenuhi pohon hutan, kelapa dan sejenis pohon
konifers lainnya.
Sementara dari sisi agama, Sulawesi Utara dihuni oleh hampir
semua agama besar dunia. Agama Kristen Katolik pertama kali
diperkenalkan di Sulawesi Utara oleh bangsa Portugis pada abad ke
16 dan 17. Sebelumnya, penduduk Sulawesi Utara sudah mengenal
agama Buddha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang dan Hindu
dari Kerajaan Majapahit di pulau Jawa. Sementara Islam pernah
diperkenalkan oleh Kerajaan Gowa pada abad ke 15. Agama Kristen
Protestan mulai berkembang lebih luas di Sulawesi Utara pada masa
pemerintahan Belanda sejak tahun 1905. Sinagog bagi agama Yahudi
pun didirikan di daerah Tomohon dan masih digunakan dalam
peribadatan hingga saat ini. Semua agama ini kemudian berkembang
dan diasosiasikan dengan beberapa suku-suku tertentu; Minahasa
dengan Kristen dan Bolmong dengan Islam. Asosiasi dan keragaman
agama di provinsi ini kemudian menjadikan Sulawesi Utara sebagai
salah satu wilayah majemuk di Indonesia.
Agama, Politik dan Perda Miras di Sulawesi Utara
Hubungan agama dan politik adakalanya saling bertentangan,
berjalan sendiri-sendiri dan bekerjasama satu sama lain. Agama dan
politik sering dianggap berseberangan, misalnya, dalam menentukan
kriteria pemimpin dan siapa yang berhak memilih pemimpin. Kaum
agamawan sering merekomendasikan nilai-nilai agama sebagai
kriteria utama dalam menentukan pemimpin politik, sementara
18 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
politik saat ini memberikan peluang kepada siapa saja warga negara
yang memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dengan dukungan
partai politik atau orang dengan jumlah tertentu. Begitu juga
dengan kriteria siapa yang termasuk dalam menentukan pemimpin
politik tersebut. Hampir tidak ada satupun institusi agama yang
memberikan hak kepada jamaahnya untuk terlibat dalam pemilihan
pemimpin agama. Pemilihan imam di beberapa masjid sudah
mulai melibatkan jamaah tetapi pemilihan pimpinan lembaga dan
organisasi keagamaan sering dilakukan oleh kelompok kecil yang
biasa disebut tim formatur. Sementara dalam sistem politik saat ini,
system one man one vote yang digunakan. Ini menunjukkan bahwa suara
pemimpin agama dianggap sama dengan suara mereka yang diklaim
berdosa oleh para pemimpin agama tersebut.
Agama dan politik juga bisa berjalan masing-masing tanpa
mengganggu yang lain. Misalnya, pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan kawasan Boulevard untuk memicu perekonomian daerah. Anggaran negara yang digunakan oleh pemerintah daerah tersebut sangat jarang mendapat kritikan atau
masukan dari tokoh-tokoh agama, sama seperti, pemerintah daerah
yang sulit terdengar mengkritisi penggunaan anggaran lembaga dan
organisasi agama non-pemerintah yang bersumber dari umatnya
masing-masing.
Namun demikian, hubungan agama dan politik lebih banyak
saling bekerjasama di daerah ini sama seperti daerah-daerah lain
di Indonesia. Sejak kemerdekaan, agama sudah mempengaruhi
sisi kebijakan politik dan pembangunan di Sulawesi Utara. Para
pengambil kebijakan telah mendirikan dan mensupport berbagai
macam institusi dan lembaga agama, baik secara utuh, seperti
kementerian agama wilayah,maupun secara semi, seperti MUI dan
GMIM yang selalu menerima bantuan dari pemerintah setiap tahun.
Pemerintah daerah juga telah mengambil kebijakan untuk membantu
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 19
membiayai pembangunan banyak rumah ibadah dan honorarium
para pemimpin agama setiap bulan. Pemerintah daerah kabupaten
dan kotamadya juga telah menyelenggarakan dan melibatkan
tokoh-tokoh agama dan lembaga agama dalam kegiatan-kegiatan
seremonial keagamaan yang beragam setiap tahun dari anggaran
keuangan negara.
Sebaliknya, tokoh-tokoh agama dan lembaga agama sudah
lama mempengaruhi pemerintahan di Sulawesi Utara. Banyak
tokoh-tokoh agama terlibat langsung dalam mengambil kebijakan
politik dengan menjadi anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Rekomendasi-rekomendasi tokoh-tokoh dan lembaga agama
terhadap calon pemimpin daerah selalu terdengar setiap kali ada
pemilihan pemimpin di wilayah ini. Salah satu produk hubungan
politik dan agama di Sulawesi Utara adalah munculnya Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi Sulawesi Utara Nomor 4 Tahun 2014
Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol atau
disingkat dengan perda miras.
Secara keseluruhan materi yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian Dan Pengawasan
Minuman Beralkohol di Provinsi Sulawesi Utara berisikan 13 Bab dan
36 Pasal. Bab perda tersebut menyangkut; Penggolongan dan Jenis
Minuman Beralkohol, Pengendalian, Penjualan, Larangan, Perizinan
Dan Usaha, Penyimpanan Minuman beralkohol, Pelaporan bagian
Keenam Pengendalian Produksi Minuman Beralkohol Tradisional,
Pengawasan Peredaran Minuman Beralkohol, Pengawasan,
Pembentukan Tim Pengawas, Penanggulangan Mabuk, Peran Serta
Masyarakat, Sosialisasi, Sanksi Administrasi, Penyidikan, Ketentuan
Pidana.
Secara umum, perda ini membahas tentang upaya pencegahan
anak meneguk minuman keras, batas waktu penjualan, batasan
kadar minuman beralkohol impor, pencantuman label dengan
20 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
bahan secara detail, kadar, dan volume alkohol, lokasi larangan
minuman beralkohol, pembatasan penjualan minuman beralkohol,
peran pemerintah dalam mendatangkan investor minuman beralkohol lokal, larangan penjualan minuman beralkohol lokal
kepada masyarakat secara langsung, penganggaran dana untuk
kegiatan penanggulangan minuman beralkohol, dan rehabilitasi
termasuk menbentuk tim pengawas pelaksanaan pengendalian dan
pengawasan minuman beralkohol di Sulawesi Utara.
Poin-poin di atas terumuskan dalam kalimat seperti di bawah ini:
• Dalam upaya mencegah anak di bawah umur untuk meneguk
minuman beralkohol, maka ditegaskan bahwa penjual minuman
beralkohol, dilarang menjual minuman beralkohol kepada anak
berusia di bawah 21 tahun yang dibuktikan dengan penjual
memiliki identitas diri (SIM/KTP) dari anak yang bersangkutan;
• Penjual Minuman beralkohol eceran yang mempunyai izin
resmi, tidak boleh melakukan penjualan minuman beralkohol di
atas pukul 20:00 WITA;
• Minuman beralkohol yang berasal dari luar daerah Sulawesi
Utara dengan kadar ethanol di atas 55%, dilarang di impor,
diedarkan atau dijual di Provinsi Sulawesi Utara;
• Minuman beralkohol yang dijual secara eceran, harus dalam
kemasan dan berlabel yang mencantumkan bahan, jenis kadar
alkohol serta volume. Tetapi juga memuat larangan minum bagi
anak di bawah usia 21 tahun dan ibu hamil.
• Dilarang juga menjual secara langsung untuk minum di
tempat pada lokasi sebagai berikut :Gelanggang remaja, Kaki
Lima, Terminal, Stasiun, Kios-kios kecil, penginapan remaja
dan bumi perkemahan. Tempat ibadah, sekolah, Rumah sakit
dan pemukiman. Tempat tertentu lainnya, yang ditetapkan
oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan kondisi daerah
masing-masing.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 21
•
•
•
•
•
•
•
Minuman beralkohol termasuk dalam barang yang peredarannya
berada dalam pengawasan, sehingga minuman beralkohol tidak
diizinkan diedarkan dan dijual secara bebas.
Dalam upaya pengendalian produksi lokal bajab baku minuman
beralkohol, maka pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/
kota wajib membantu dan memfasilitasi serta mendatangkan
investor dalam upaya alih produksi, serta membantu dan
memfasilitasi petani cap tikus dalam menghasilkan minuman
beralkohol dengan kualitas ekspor, dengan nilai ekonomis yang
lebih tinggi.
Bahwa produksi lokal bahan baku minuman beralkohol yang
dihasilkan petani cap tikus, hanya boleh dipasarkan pada pabrik
minuman beralkohol dan tidak diizinkan dijual langsung kepada
masayarakat selain hanya kepada pabrikan minuman beralkohol.
Menyadari bahwa dampak minuman beralkohol sangat
berbahaya bagi kesehatan dan kamtibmas, maka ditegaskan
perlu upaya yang komprehensif integral dalam menanggulangi
dampak minuman beralkohol melalui tindakan preventif dan
represif serta rehabilitasi.
Dalam upaya tindakan rehabilitasi bagi warga Sulawesi Utara yang
kecanduan alkohol, maka diharapkan agar kiranya pemerintah
provinsi Sulawesi Utara melalui Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Dinas kesehatan dan RS Ratumbuysang, dapat
menganggarkan mulai pada APBD induk tahun 2015.
Dalam upaya mengoptimalkan pengawasan peredaran minuman
beralkohol, maka paling lambat 3 (Tiga) bulan setelah ditetapkan
Perda ini, maka diharapkan Gubernur Sulawesi Utara telah
membentuk dan menetapkan tim terpadu pengawasan dan
penjualan minuman beralkohol di provinsi Sulawesi Utara.
Bahwa sesuai dengan hirarki perundang-undangan pasal 7 UU
nomor 12 tahun 2011, dimana Perda Kabupaten/Kota tidak
22 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
boleh bertentangan dengan Perda Provinsi dan peraturan di
atasnya, maka Perda ini dimaksudkan menjadi Perda payung bagi
Kabupaten/Kota di provinsi Sulawesi Utara, sehingga upaya
pengendalian dan pengawasan serta penanggulangan dampak
minuman beralkohol di provinsi Sulawesi Utara,dpaat dilakukan
secara luas dan menyeluruh dan terpadu.
• Bahwa Perda ini bukan hanya saja mengubah Perda no 18
tahun 2000, tetapi mencabut dan mengatur Perda yang baru,
mengingat bahwa sebahagian besar materi muatan yang diatur
dalam perda ini tidak diatur dalam Perda nomor 18 tahun 2000.
• Bahwa terdapat pengaturan sanksi administrasi dan sanksi
pidana yang semula dalam Perda 18 tahun 2000, administratif
tidak diatur. Sedangkan dalam perda yang baru ini, diatur sanksi
administrasi dan sanksi pidana dari 6 (enam) bulan diubah
menjadi 3 (tiga) bulan agar masuk dalam pelanggaran tindak
pidana ringan, walaupun dalam pasal 143 UU nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah maksimal 6 (enam) bulan
kurungan dengan denda sebesar Rp. 500 juta rupiah.
Adapun alasan dukungan terhadap perda miras ini sering
dimunculkan oleh beberapa anggota dewan provinsi Sulawesi Utara.
Salah seorang anggota dewa menyampaikan dalam berbagai media
lokal seperti Tribun Manado bahwa alasan dukungan terhadap
perda miras ini adalah untuk menanggulangi tingkat kriminalitas
di Kota Manado yang sering terjadi karena tingginya penjualan
Minuman Keras (Miras) di kios-kios kecil. Pandangan anggota
dewan ini tentu saja tidak salah. Bahkan beliau menunjukkan sendiri
bahwa pembelian minuman keras di toko-toko kecillah yang sering
menyebabkan kriminalitas, bukan penjualan di toko-toko besar dan
eksklusif.
Dengan pengamatan yang lebih dalam terhadap penjelasan ini,
maka muncul pertanyaan yang sangat penting bagi kita semua dalam
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 23
melihat kaitan antara toko kecil, penjualan miras dan kriminalitas.
Kenapa penjualan miras di toko-toko besar dan esklusif tidak
melahirkan tingkat kriminalitas yang sama seperti di penjualan
toko-toko kecil? Observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa
pembeli miras di toko-toko kecil adalah mereka yang memiliki
tingkat ekonomi yang rendah dan status pekerjaan yang tidak jelas.
Situasi sosial ini jika dibarengi dengan meminum minuman keras
yang tidak terkendali akan menyebabkan pelaku berfikir pendek dan
gampang tersulit emosi yang selanjutnya mempengaruhi mereka
dalam tindakan kriminalitas baik berupa penikaman, pencurian dan
pemerkosaan.
Hal yang sama tidak terjadi kepada mereka dengan status
sosial dan pekerjaan yang tetap ketika mereka meminum minuman
yang sama. Kelompok ini ketika meminum minuman beralkohol
memiliki kendali diri dalam menahan efek dari minuman tersebut,
yaitu status sosial dan pekerjaan yang tetap. Jarang sekali terdengar,
guru-guru di sekolah melakukan tindakan kriminalitas setelah
meminum minuman beralkohol ketika sebuah kegiatan perayaan
dilakukan di sekolah. Sudah menjadi pembicaraan biasa ketika
beberapa orang dosen di perguruan tinggi di daerah ini meminum
minuman yang mengandung alkohol sebelum memulai perkuliahan.
Beberapa kegiatan keagamaan juga dianggap normal dilengkapi
dengan minuman beralkohol yang diikuti oleh mereka yang punya
kendali atas diri mereka secara lebih baik meski meminum minuman
beralkohol.
Bagian dari tulisan ini ingin menekankan bahwa miras
bukanlah penyebab utama dari kriminalitas. Miras hanyalah trigger
atau pemicu kriminalitas bagi kelompok masyarakat produktif yang
tidak memiliki pekerjaan tetap dan status sosial yang rendah di tengah
masyarakat. Status sosial dan pekerjaan yang tetap merupakan alat
untuk mengendalikan diri ketika meminum minuman keras. Ketika
24 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
alat pengendali diri ini tidak ada, maka kriminalitas memang akan
mudah muncul dari kelompok masyarakat jenis ini.
Miras sebagai penyebab kriminalitas merupakan sikap
penyederhaan masalah kriminalitas dan melarikan masalah dari
pokok persoalan yang lebih penting. Salah satu persoalan yang lebih
penting dari akar kriminalitas adalah kurangnya lapangan pekerjaan
yang lebih luas dan dapat dijangkau oleh banyak orang, terutama
kelompok masyarakat kecil. Jika lapangan pekerjaan ada, maka yang
biasa terjadi adalah informasi lapangan pekerjaan itu hanya terbuka
bagi sebagian orang dengan waktu yang lebih panjang. Masyarakat
umum biasanya menerima informasi pekerjaan ketika lowongan
pekerjaan tersebut tinggal beberapa hari lagi. Jika informasi pekerjaan
sudah diinformasikan secara luas dengan waktu yang cukup, maka
proses selanjutnya yang biasa terjadi adalah penerimaan pekerjaan
berdasarkan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Semua ini
menyebabkan masyarakat yang berasal dari keluarga miskin akan
secara structural terus menjadi miskin. Dengan situasi seperti ini,
maka kriminalitas dari kelompok masyarakat kelas bawah akan terus
mudah terpicu oleh minuman keras.
Agama dan Perubahan Perilaku Sosial di Sulawesi Utara
Agama selalu dianggap menjadi solusi bagi setiap masalah
perilaku oleh kalangan masyarakat beragama. Oleh karena itu,
masyarakat beragama seperti Sulawesi Utara juga memahami bahwa
jika semua orang memiliki agama yang baik maka masalah prilaku
tidak akan muncul lagi. Asumsi ini bukanlah tidak tepat, tetapi
asumsi ini masih mengabaikan faktor lain dalam perubahan sikap.
Bagian tulisan ini ingin menunjukkan bahwa pendidikan
agama sangat penting untuk perubahan prilaku di masyarakat tetapi
perubahan prilaku juga bisa terwujud dengan hubungan professional
seseorang dengan customer-nya, yang dalam tulisan ini disebut dengan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 25
pelayanan pelanggan.
Pelayanan pelanggan merupakan salah satu kompenen
penting yang harus dijalankan oleh semua pelaku professional
yang memiliki pelanggan dan tidak mau kehilangan pelanggannya.
Pelayanan pelanggan hanya bagian kecil dari sistem manajemen
profesi yang kompleks, tetapi jika dijalankan dengan baik akan
memberikan manfaat yang besar untuk profesi yang bergerak dalam
bidang pelayanan jasa. Pelayanan pelanggan adalah bertitik tolak
pada konsep kepedulian kepada pelanggan untuk menciptakan
hubungan yang baik dengan pelanggan dan memberikan kepuasan
kepada pelanggan sehingga pelanggan bisa bertahan dan selalu
datang menggunakan jasa yang diberikan.
Pelayanan pelanggan adalah kepedulian kepada pelanggan
dengan memberikan pelayanan yang terbaik untuk menfasilitasi
kemudahan pemenuhan kebutuhan dengan terus mengupayakan
penyelarasan kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan dan
tanggung jawab guna mewujudkan kepuasan pelanggan agar mereka
selalu loyal kepada pelaku profesi tertentu. Pelayanan pelanggan
adalah termasuk perbuatan atau tindakan yang memberikan kepada
pelanggan sikap yang memang mereka harapkan pada saat mereka
membutuhkan, dengan cara yang mereka inginkan.
Pelayanan pelanggan berasal dari konsep bahwa jasa
yang ditawarkan digunakan atau dibeli oleh pelanggan. Hal ini
menunjukkan bahwa pelanggan bukanlah sebuah masalah melainkan
mereka adalah tujuan bisnis Anda. Untuk mencapai tujuan bisnis
tersebut, pelaku profesi harus memberikan perhatian dan sikap total
kepada apa yang ingin pelanggan dapatkan. Tanpa pelanggan profesi
pelayanan jasa tidak akan bertahan dan berkembang.
Pelayanan pelanggan sangat penting karena pelanggan bisa
mencari atau menggunakan pelayanan jasa dari pelaku profesi yang
lain yang mereka sukai. Mereka berhak memilih pelayanan jasa dari
26 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
pelaku profesi yang memberikan pelayanan jasa terbaik. Semakin
banyak pelaku profesi memberikan jasa yang kita tawarkan semakin
tinggi pelayanan pelanggan yang harus kita berikan.
Pelayanan pelanggan akan menentukan sukses pelaku profesi
dalam pelayan jasa. Pelanggan akan terus setia jika mereka merasa
puas terhadap pelayanan jasa yang ditawarkan. Pelaku profesi
pelayanan jasa yang sukses adalah mereka yang bisa terus-menerus
memberikan kepuasan kepada pelanggan mereka. Pelaku profesi
berhasil memenangkan persaingan dan menjadi semakin besar
karena bisa memberikan kualitas pelayanan yang bisa melebihi
kualitas pelayanan yang diberikan oleh pesaing mereka, dan melebihi
kualitas pelayanan yang diharapkan oleh pelanggan mereka.
Pelayanan pelanggan juga akan memberi banyak keuntungan.
Jika mereka puas menggunakan pelayanan jasa yang diberikan,
mereka cenderung akan kembali untuk menggunakan pelayanan jasa
yang ditawarkan. Jika mereka mendengar berita buruk mengenai
jasa yang diberikan dari orang lain, mereka akan tampil memberikan
testimony membela pelaku profesi yang mereka sukai. Mereka juga
menjadi sarana promosi ampuh bagi pelayanan jasa yang ditawarkan.
Pelanggan yang puas akan bercerita tentang kepuasan mereka
menggunakan jasa yang ditawarkan pada kenalan, teman, sahabat
dan sanak keluarga mereka. Ucapan mereka merupakan sarana
pemasaran yang ampuh, karena mereka merupakan nara sumber
yang dapat dipercaya oleh orang-orang yang berhubungan dengan
mereka.
Pelayanan pelanggan yang prima atau yang sering disebut
Service Excellence sering menjadi training yang sangat penting kepada
para karyawan perusahaan-perusahaan dalam mengembangkan
produk dan jasa yang ditawarkan. Namun demikian, tulisan ini
mengangkat pelayanan pelanggan sudah dipahami secara alami oleh
mereka yang berprofesi ojek di daerah Malendeng Perkamil Manado.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 27
Berdasarkan pengamatan penulis, kriminalitas lebih sering
terjadi di daerah observasi Malendeng Perkamil Manado sebelum
profesi ojek muncul secara perlahan. Para pengangguran sering
minum-minuman beralkohol dan kemudian melakukan pemerasan,
memaksa meminta uang, kepada mereka yang melewati jalan dimana
mereka minum. Ada kalanya mereka juga memaksa para pejalan kaki
yang melewati mereka untuk ikut bergabung meminum minuman
beralkohol.
Kriminalitas yang lebih tinggi bisa terjadi dalam berbagai
bentuk. Perkelahian antar teman baik karena salah satunya mabuk
ataupun karena kedua-duanya mabuk dulu lebih sering terdengar.
Pembunuhan yang dipicu oleh ketersinggungan oleh suatu masalah
yang kecil bisa mudah terjadi. Situasi ini membuat banyak orang
khawatir dan selalu lebih waspada melewati daerah-daerah yang
sering menjadi tempat berkumpul mereka ini.
Persoalan sosial di atas memang disebabkan oleh banyak hal
mulai dari lemahnya penegakan hukum dan patroli pengawasan
lingkungan oleh aparat penegak hukum, tingginya angka
pengangguran dan mudahnya minuman beralkohol dikonsumsi.
Namun demikian, bagian tulisan ini ingin menekankan bahwa
meskipun saat ini kriminalitas masih ada dan penegakan hukum
serta patroli pengawasan lingkungan oleh aparat penegak hukum
masih lemah, angka pengangguran masih tinggi dan minuman
beralkohol masih mudah dikomsumsi, tetapi profesi ojek, sebagai
salah satu profesi pelayanan jasa, mulai merubah sikap banyak orang
di wilayah ini.
Profesi ojek membutuhkan pelanggan dan tukang ojek
tidak mau kehilangan pelanggannya. Profesi ojek mengharuskan
tukang ojek peduli kepada orang lain yang bisa jadi akan menjadi
pelanggannya. Sikap peduli kepada orang lain ini belum muncul
ketika mereka belum berprofesi tukang ojek. Kepedulian kepada
28 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
orang lain atau pelanggan sangat penting untuk mempertahankan
profesi tukang ojek yang dijalani sebagai sumber penghasilan seharihari dan pelanggan bisa bertahan dan selalu datang menggunakan
jasa ojek yang diberikan.
Profesi ojek bukan hanya membuat tukang ojek peduli
kepada orang lain tetapi juga terus mengupayakan sikap dan prilaku
yang menyenangkan bagi orang lain. Kepedulian kepada pelanggan
dengan memberikan pelayanan yang terbaik merubah sikap tukang
ojek untuk terus berbenah mengasah kemampuan, penampilan,
sikap, perhatian, tindakan dan tanggung jawab yang memberikan
kepuasan kepada pelanggan agar mereka selalu datang dan suka
menggunakan jasa ojek mereka. Profesi ojek membuat mereka
melakukan tindakan yang pelanggan atau orang lain butuhkan
dengan cara yang pelanggan inginkan.
Profesi ojek juga membuat tukang ojek menyadari bahwa
pandangan orang lain atau pelanggan sangat penting dalam
kesuksesan profesi mereka. Nasib mereka sangat tergantung kepada
orang lain atau pelanggan. Perhatian dan sikap total kepada apa yang
diinginkan pelanggan sangat penting untuk mereka pikirkan. Mereka
tukang ojek selalu memahami bahwa tanpa pelanggan profesi ojek
mereka tidak akan bertahan dan berkembang.
Perhatian kepada orang lain atau pelanggan sangat penting
bagi tukang ojek bukan hanya untuk mempertahankan profesi ojek di
mata pelanggan tetapi juga bagi masing-masing tukang ojek. Orang
yang suka dengan tukang ojek tertentu akan menjadikan tukang ojek
tersebut sebagai tukang ojek tetapnya. Hal ini menyebabkan tukang
ojek berlomba-lomba untuk menunjukkan sikap dan pelayanan
yang prima sehingga para pelanggan menjadikan mereka tukang
ojek tetap dan menghubungi mereka setiap kali diperlukan. Semakin
banyak seorang tukang ojek memiliki pelanggan tetap, semakin
tinggi perhatian dan kepedulian tukang ojek tersebut terhadap orang
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 29
lain dalam mempertahankan pelanggan tetapnya.
Tukang ojek menyadari kesuksesan mereka sangat tergantung
kepuasan pelanggannya. Profesi ojek membuat mereka harus bisa
terus-menerus memberikan sikap yang baik kepada orang lain.
Orang lain menjadi kepanjangan tangan sukses atau tidak suksesnya
mereka. Jika orang lain puas menggunakan pelayanan jasa ojek yang
dia diberikan, orang lain tersebut akancenderung untuk kembali
menggunakan pelayanan jasa ojek yang diberikan. Jika orang lain
menyampaikan berita buruk tentang pelayanan ojek mereka, tukang
ojek tersebut bisa jadi akan dihindari oleh banyak pelanggan. Orang
lain bisa menjadi sarana promosi atau bencana bagi tukang ojek
dari kualitas pelayanan jasa ojek yang diberikan. Pelanggan yang
puas akan bercerita tentang kepuasan mereka pada kenalan, teman,
sahabat dan sanak keluarga mereka. Begitu juga berita sebaliknya.
Penjelasan di atas menekankan bahwa profesi ojek mendorong
tukang ojek untuk peduli kepada orang lain. Profesi ojek, sama seperti
profesi penawaran jasa lainnya seperti Bank, membutuhkan kepuasan
pelanggan untuk bisa bertahan dan berkembang. Kebutuhan ini
membuat pelaku profesi tersebut harus merubah sikap mereka yang
bisa jadi sebelumnya egois menjadi peduli dan santun kepada orang
lain. Peduli dan santun kepada orang lain adalah sikap yang penting
bagi banyak profesi yang menawarkan pelayanan jasa kepada banyak
orang.
Kesimpulan
Tulisan ini telah menjelaskan bahwa pengambil kebijakan dan
tokoh agama sering memahami agama secara parsial. Perda miras
secara sepotong dipahami sebagai penyebab kriminalitas tanpa
melihat faktor lain yang lebih dominan oleh pemerintah daerah
sedangkan tokoh agama sering melupakan kaitan antara perilaku
dengan pekerjaan seseorang.
30 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Perda miras dianggap merupakan solusi yang mudah
untuk dilaksanakan bagi pengambil kebijakan dalam mengurangi
kriminalitas ketimbang menyediakan luasnya lapangan kerja bagi
banyak orang. Padahal perubahan perilaku di masyarakat juga bisa
dicapai dengan memperluas pekerjaan yang memberikan pelayanan
jasa kepada banyak orang.
Diharapkan tentu pemerintah daerah untuk melengkapi
perda miras dengan meningkatkan penyediaan lapangan kerja yang
luas bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Tulisan ini juga
merekomendasikan kepada berbagai pihak yang konsen dengan
perilaku di masyarakat untuk menempatkan mereka yang ingin
dirubah prilakunya bekerja di profesi yang membutuhkan orang lain
atau pelanggan.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 31
DARI KAMPUNG ISLAM SAMPAI
KAMPUNG ISRAEL:
Etnosentristik dalam Pembelahan
Ruang di Manado
Oleh:
Rahman Mantu
Fano Arthur Gerung
M
anado adalah bukit Wenang yang dikembangkan menjadi
beberapa perkampungan berdasarkan suku bangsa masingmasing. Ada kampung Arab, Ada kampung China, dan ada kampung
Islam. Orang Belanda sendiri tinggal di komplek yang dikelilingi
Benteng tebal yang sudah dihancurkan di tahun 1950-an (lokasinya
di pasar 45). Kota yang bergeliat ini berada di ujung pulau Sulawesi,
dengan kedudukannya yang khusus sebagai ibu kota provinsi
Sulawesi Utara.
Sesuai dengan PP No 22 tahun 1998 tentang perubahan batas
wilayah, maka luas kota Manado yang semula hanya hanya 2.369
hektar bertambah menjadi 15.726 hektar. Kaitannya dengan hal
itu, ditetapkan Perda No.04 tanggal 27 September 2000 tentang
pemekaran kecamatan dan Perda pada tanggal yang sama tentang
perubahan status desa menjadi kelurahan. Dengan demikian
wilayah administarsi kota Manado yang semula terdiri atas hanya 5
32
kecamatan dengan 66 kelurahan/desa menjadi 9 kecamatan dengan
87 kelurahan.
Sulit untuk memastikan secara spesifik mengenai kapan
sebenarnya perkampungan-perkampungan di Manado muncul
pertama kalinya. Selain karena belum ditemukannya data yang
cukup meyakinkan dan bisa dipertanggungjawabkan, juga mengingat bahwa proses perubahan sosial dan budaya serta setting
historis terkadang memang tidak pernah berjalan secara jelas kapan
sebenar-benarnya titik mula dan akhirnya. Tiba-tiba terhampar
begitu saja dihadapan kita, tanpa kita bisa menandai proses-proses
perubahan itu dengan sangat jelas (Budihardjo dkk; 1996). Namun
jika ditelusuri, perkampungan di Manado sangat berkait erat dengan
eksodus para migran dan pedagang, di sisi lain kolonial sedang
gencarnya melakukan politik kontrol. Menariknya nama dan pola
hunian perkampungan menggunakan identitas serta agama sebagai
penanda.
Keberadaan kampung berlatar etnis maupun agama di
Manado hari ini yang kita kenal; Kampung Islam, Cina, Arab,
Ternate, Banjer (Banjar) hingga muncul kampung Israel dengan
lorong tanah perjanjian memunculkan diskursus tentang bagaimana
perkampungan itu terbentuk dan apa dampaknya terhadap kondisi
Manado hari ini. Artikel ini akan mengurai informasi pembentukan
ruang perkampungan di Manado dengan argumentasi sosio-historis
hingga fenemona ramainya kasus-kasus benturan antar kampung.
Kenapa Ruang Menjadi Penting
Ruang merupakan konsep yang selama ini telah banyak di
dekati dan dirumuskan dari berbagai sudut pandang dan perspektif
mulai dari filsafat hingga sciences (Setha dan Zuniga, 2003; 247),
Termasuk dari perspektif ilmu sosial Neo-Marxian.
Seperti diketahui, dalam lapangan ilmu pengetahuan sosial
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 33
sebelumnya, ruang dianggap sebagai statis, diam, tidak bergerak dan
tidak dialektis, oleh sebab itu, kajian ruang kurang diminati. Padahal
ruang adalah produk sosial yang memproduksi struktur kelas, sistem
kapitalis, ruang juga dimana tempat praktik-praktik perebutan wacana dan ideologi tertentu selalu terjadi, memperebutkan pengaruh
di dalamnya. Ruang bisa mengarahkan bagaimana orang berpikir
dan bertindak tertentu dalam kesehariannya, karena ruang memang
dimaksudkan untuk kepentingan kontrol dan dominasi (Lebrave,
1991; 26-27).
Di dalam ruang semua orang seperti “disituasikan”, dimana
mereka harus mengakui diri mereka atau menghilangkan diri mereka
sendiri. Ruang bukanlah suatu area yang kosong dan kotak yang
netral. Ruang-ruang yang secara sosial diproduksi menjadikan ruang
itu sesuatu yang tidak sederhana, melainkan sesuatu yang kompleks
dan selalu bertaut erat dengan persoalan kekuasaan (Arifin, 2019;34).
Setting Antropologis Hunian di Manado
Pola perkampungan dari tiap-tiap kelurahan di wilayah
kota Manado pada umumnya terletak di atas tanah dataran, baik
dataran tinggi maupun dataran rendah secara berkelompok padat.
Kelurahan yang satu dengan kelurahan yang lainnya sambungmenyambung menjadi satu kesatuan mengikuti jalan raya maupun
memanjang mengikuti jalan-jalan kecil dan juga lorong-lorong.
Sebelah utara berbatasan dengan desa Talawaan Bantik, Wori dan
Tiwoho, kecamatan Wori kabupaten Minahasa dan selat Mantehege.
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Paniki Atas dan Mapanget
Kecamatan Dimembe dan Desa Maumbi Kecamatan Airmadidi
di Kabupaten Minahasa. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Sawangan, Kamangta, Sea dan Desa Pineleng, Kabupaten Minahasa.
Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Manado.
Sejak mula setidaknya dari abad 16 hingga masuk abad 20 (era
34 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
kolonial), Manado menjadi sentral bertemunya masyarakat dengan
ragam etnis dan agama, ditandai ramainya lalu lintas laut pelabuhan
Manado hingga Kema membuat aktivitas ekonomi makin tinggi,
terciptanya sentra-sentra perdagangan baru membuat para pedagang
dari Ternate, Banjar, Bugis, Arab mulai memikirkan tinggal menetap
di Manado, terkecuali Cina yang sudah lebih dulu bermukim
sejak pembangunan benteng Amsterdam. Sejak 1655, orang Cina
didatangkan oleh pemerintah kolonial untuk pembangunan benteng
kayu De Nederlandsche Vastiegheid, begitupun pada saat renovasi
benteng pada 1703, yang kemudian diberi nama Fort Amsterdam.
Belanda membangun pusat pemerintahannya di tengah kota
dengan deret pemukiman sebagai pagar yang mengelilingi, sebuah
strategi jika sekali-sekali ada penyerangan dari pihak luar maka
benteng otomatis terlindungi. Lalu Belanda melanjutkan siasatnya
dengan mengatur pemukiman-pemukiman tersebut bahwa yang
tinggal adalah para eksodus, pekerja, pedagang juga pelayar, mereka
dikelompokkan sesuai etnis.
Pekerja yang didatangkan oleh kompeni adalah orang-orang
Makassar, Bali, Ternate, turunan Portugis, Spanyol, Manila, dan
Cina. Pemisahan pemukiman berdasarkan etnis membuat eksistensi
agama-agama juga ikut tetap terpelihara. Konghucu terpelihara
di kampung Cina dan Islam bertahan di Kampung Arab atau di
perkampungan Islam lainnya (Makkelo, 2010; 96).
Orang Arab sendiri datang ke Manado sekitar 1740 untuk
berdagang. Awalnya, mereka tinggal di kampung Islam Tuminting,
dan kemudian membentuk perkampungan tersendiri di timur
benteng Amsterdam, tidak jauh dari di muara sungai Tondano.
Berdirinya Kampung Arab mendapat dukungan dari pemerintah
kolonial dengan harapan bisa meramaikan aktifitas perdagangan dan
pelabuhan Manado (Lamangida, 2003;123-142).
Pemerintah kolonial tetap menjaga keberadaan agama selain
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 35
Kristen, meskipun hanya terbatas pada perkampungan mereka.
Untuk lebih mengontrol keberadannya, ditetapkan jabatan di tiap
kampung, misalnya, pejabat letnan kampung Arab atau kapten
kampung Cina. Begitu pun, ada pejabat agama di tiap kampung
hingga 1942 diberi gaji, seperti hoofd penghulu (kepala penghulu) di
perkampungan Islam.
Dari sudut perkembangan, bisa dikatakan bahwa hingga akhir
periode kolonial, agama-agama selain Kristen tidak menunjukkan
pertumbuhan yang signifikan, khususnya dalam jumlah, walaupun
harus dicatat bahwa perayaan tradisi orang Cina yang berhubungan
dengan keyakinannya sudah berlangsung meriah sejak abad ke-19.
Setelah kemerdekaan, terjadi pertumbuhan yang berarti agamaagama selain Kristen. Islam, misalnya terus bertambah seiring
terjadinya migrasi besar-besaran orang beragama Islam pada masa
pasca kolonial, khususnya sejak peristiwa permesta terjadi.
Menguatnya Etnosentrisme di Manado: Benturan dan Konflik
Yang Lebih Luas
Etnisitas merupakan fenomena tersendiri yang muncul
dalam interaksi sosial. Etnisitas juga beraneka ragam, tergantung
pada jenis hubungan yang saling mempengaruhi antara individu
dan kelompok, dengan lingkungan sosial maupun alam mereka,
etnisitas muncul ke permukaan pada saat terjadi kontak sosial dan
geografis yang intensif, di antara para anggota kelompok etnis
yang berbeda. Realitas ini dapat dianggap benar, khususnya dalam
hubungan kepentingan ekonomi dan kegunaannya dalam persaingan
memperebutkan sumber daya tertentu (Suparlan, 2003;81). Menurut
Barth (Barth, 1969;9-38), kategorisasi kelompok etnis tertentu
ditentukan melalui basisnya, identitas secara umum merupakan
sebuah praduga oleh latar belakang serta asal-usulnya. Kelompok
entis dan kultur khususnya kultur keagamaan atau kepercayaan
36 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
agama melekat kepada identitas etnis individual atau etnisitas dan
kelompok etnis tertentu.
Dalam sebuah komunitas etnis lokal yang homogen, sumber
daya lingkungan dan kedudukan tertentu dialokasikan di antara para
anggotanya, berdasarakan lingkungan lokal resmi dan kebiasaannya
(adat). Persaingan dalam memperebutkan sumber daya dan
kedudukan hampir tidak dapat ditemukan dalam masyarakat yang
yang sudah teratur secara social dan kultur. Jadi, struktur lingkungan
yang ditetapkan tidak akan terganggu oleh bergabungnya para
migran dan penduduk asli. Hal ini biasanya dikondisikan melalui
tidak adanya persaingan memperebutkan sumber daya ekonomi
dan kedudukan antara para migran dan anggota komunitas lokal,
baik karena suplai sumber daya yang melimpah maupun karena
para migran membentuk komunitasnya sendiri. Para migran juga
cenderung mengkhususkan diri di sektor ekonomi dan aktivitasaktivitas berbeda dengan penduduk lokal. Gambaran tentang hal
ini juga terjadi di Sulawesi Utara khususnya di pusat provinsinya,
Manado.
Pada periode 80-90an, para migran (Ternate, Makassar,
Jawa, dan Gorontao) terus berdatangan dan bertempat tinggal di
wilayah-wilayah komunal, jumlah populasi komunitas tersebut jauh
melampaui sumber daya lingkungan yang tersedia. Struktur dari
hubungan-hubungan kekuatan tertentu pun berubah, seiring dengan
para migran yang mulai memasuki sektor-sektor ekonomi yang
sebelumnya merupakan lahan eksklusif bagi masyarakat Minahasa
(etnis lokal) atau mereka menciptakan aktivitas ekonomi (pasarpasar baru) yang berbeda dengan pasar-pasar tradisional. Struktur
hubungan-hubungan antar etnis antara para migran dan anggota
masyarakat lokal pun berubah.
Masyarakat etnis lokal jadi menderita, karena kehilangan
hak-hak istimewanya di bidang ekonomi. Di sektor politik dan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 37
pemerintahan yang awalnya juga banyak dikuasai oleh etnis lokal, kini
juga mulai diisi para migran. Akhirnya, hubungan simbiotik antara
para pendatang dan etnis lokal berubah menjadi perebutan sumber
daya, temasuk kedudukan dan kekuasaan. Usman,1 salah satu aktivis
LSM bahkan menyebutkan jika ada nama-nama yang menunjukkan
identitas keislaman, contoh misalnya Muhammad, Khodijah, Abdul,
Rahman, dan sebagainya, ketika mengajukan lamaran pekerjaan di
instansi-instansi pemerintah dan swasta, pada umunya berkas-berkas
mereka ditolak. Pada saat itulah etnisitas tersebut kembali dipertegas
untuk tujuan memelihara dan memperkuat batasan-batasan etnis
untuk semakin membedakan “kami” melawan “mereka”. Hasil
yang terjadi adalah pembagian kerja dan spesialisasi ekonomi yang
berdasarkan pada etnisitas, yang di pasar adalah orang Gorontalo,
Ternate, Makassar dan di pemerintahan harus orang Minahasa yang
Kristen.
Sudah dua tahun belakangan, kekerasan yang melibatkan
antar kelompok masyarakat sering terjadi di beberapa kampung di
kota Manado, situasi ini sangat menganggu aktivitas warga. Berbagai
sumber menyebutkan bahwa maraknya perkelahian pemuda antar
kampung dipicu oleh masalah pribadi antar person. Ada dua
kampung di wilayah Utara kota Manado yang hampir setiap hari
bentrok, yakni; Kampung Tuna dan Kampung Ternate Baru,
keduanya merupakan wilayah administrasi Kecamatan Singkil. Setiap
kali terjadi bentrokan, pasti ada korban yang jatuh (meninggal) dari
kedua belah pihak.
Di pinggiran kota terdapat kampung-kampung dengan suku,
dan dari agama dan strata sosial yang berbeda.2 Konflik sering
1 Hasil Wawancara dengan Usman (Nama disamarkan)
2 Di Kecamatan Singkil-Tuminting Masyarakat Huniannya Terkelompokkan
Sesuai Dengan Agama dan Suku Yang Sama. Misalnya Kampung Ternate-Baru Yang
Warganya Mayoritas Beretnis Ternate-Gorontalo dan Beragama Islam. Kampung
Ternate Bertetangga langsung Dengan Kampung Tuna yang Mayoritas Beretnis Sangihe-
38 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
dipicu hal-hal sepele, setiap ada pertandingan sepakbola pasti
berakhir dengan kericuhan karena saling ejek, begitupula kesalahan
kecil di tempat keramaian (pasar, konser) dapat dengan mudah
menjadi pertumpahan darah yang sering melibatkan komunitas
atau antar kampung. Kemudian jika kampung-kampung dari pihak
yang berperang secara kebetulan berasal dari suku atau agama
yang berbeda, maka hal itu sering dibawa-bawa yang tujuannya
membangkitkan “solidaritas”, sehingga muncul semangat untuk
menyerang kelompok yang berbeda suku dan agama.
Masyarakat kota Manado sedang dalam cengkaraman budaya
kekerasan yang melibatakan pemuda kampung, dimana konflik
yang biasa terjadi sehari-hari ini tidak lagi dikelola dengan cara
yang konstruktif, tetapi sebaliknya segera menjadi kekerasan dan
bisa melibatkan seluruh komunitas. Hal itu terjadi tanpa ada tandatanda bahwa pihak yang tertarik dapat dengan mudah mengambil
keuntungan dari situasi ini.
Bahayanya adalah bahwa begitu agama terlibat, mekanisme
pembentukan solidaritas dapat berubah menjadi gerakan dengan
dampak lebih luas. Ada fenomena yang mengganggu, bahwa
meskipun mempunyai latar belakang dan kondisi yang khusus dan
berbeda, konflik-konflik ini cenderung semakin lama semakin lebih
sederhana, yaitu menjadi konfrontasi antara Kristen dan Islam, antar
suku Minahasa-Sangihe dan Gorontalo-Ternate. Dan Konfrontasi
seperti ini dapat menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan
berpotensi menjadi bencana besar.
Penutup
Konstruk perkampungan berlatar etnis dan agama menimbulkan masalah tersendiri di tengah cairnya identitas di Manado.
Minahasa dan Beragama Kristen. Dua Kampung Ini Yang Sering Terlibat Konflik.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 39
Muncul harapan masyarakat memposisikan identitas diri sebagai
orang Manado, sebuah identitas yang dilekatkan pada sebuah
kota. Masyarakat mulai melepaskan identitas lama yang melekat
bedasarkan etnisitas, agama, “genealogi kekerabatan runut-jelas”,
“teritori-adat”; termasuk pakem-pakem budaya yang dikenali sebagai
“asli” atau “tradisional” dan sebagainya walaupun bukan dalam
rangka menghilangkan nilai dan kulturnya sebagai Jawa, Sangir,
Talaud, Gorontalo, Bugis, Cina, Kristen, Islam, Katolik, Hindu dan
Budha, akan tetapi warga menempatkannya Manado sebagai rumah
bersama, hidup, saling menjaga, membutuhkan tanpa memandang
etnis dan agama tertentu.
Daftar Pustaka
D. Toar. 1978. Orang Cina di Manado. Manado: Tesis Fakultas Sastra,
Universitas Sam Ratulangi.
Makkelo Ilham Daeng. 2010. Kota Seribu Gereja: Dinamika Keagamaan
dan Penggunaan Ruang di Kota Manado. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Lamangida Yoran. 2003. Masyarakat Keturunan Arab di Manado.
Manado: Esagenang. Jurnal Hasil Penelitian Jarahnitra.
Suparlan Parsudi. 2003. Etnisitas dan Potensinya Terhadap Disintegrasi Sosial
di Indonesia, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS
bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif
Hidayatullah,.
Barth Fredrik. 1969. Introduction, dalam Fredrik Barth (Ed.), Ethnic Groups
and Boundaries, Boston: Little, Brown and Co.
40 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
AGAMA-AGAMA DAN PEMBANGUNAN
BERKEADILAN DI SULAWESI UTARA:
Beberapa Pokok Pikiran KritisReflektif
Oleh: Denni H.R. Pinontoan
T
ulisan ini membahas beberapa pokok pikiran mengenai peran
agama-agama dalam pembangunan di Sulawesi Utara (Sulut).
Dengan pertimbangan bahwa agama-agama yang diwakili oleh
umat beragamanya hadir dalam hampir semua dimensi kehidupan
bermasyarakat, maka titik berangkat tulisan bahwa adalah sebuah
keniscayaan agama-agama memiliki pengaruh signifikan dalam
pembangunan di Sulut.
Tulisan ini terutama tidak dimaksudkan sebagai deskripsi
berisi potret dan evaluasi atas keseluruhan bentuk-bentuk peran
agama-agama dalam pembangunan di Sulut. Akan tetapi akan lebih
memberi perhatian pada pokok-pokok pikiran konstruktif sebagai
tawaran dalam diskursus agama-agama dan pembangunan di Sulut.
Dengan demikian penulis akan mengurai secara singkat
mengenai posisi agama-agama dalam konteks masyarakat Sulawesi
Utara. Berikut akan didiskusikan pula tentang tentang pengertian
pembangunan. Kemudian, pada bagian selanjutnya, sebagai
41
fokus utama tulisan ini, diskusi bermuara pada beberapa pokok
pikiran mengenai peran-peran konstruktif agama-agama dalam
pembangunan.
Agama-agama di Sulut
Mendiskusikan peran agama-agama dalam suatu konteks
untuk hal tertentu butuh kehati-hatian agar tidak terjebak pada
generalisasi atau simplifikasi. Sebab dengan menyebut ‘agamaagama’ secara jamak berarti itu menunjuk pada keragaman sejarah,
tradisi, praktek keagamaan, dan pula organisasi. Fakta keragaman
baik antar maupun inter agama, pada satu pihak adalah kekayaan
namun, dalam diskursus semacam ini justru merupakan suatu
kesulitan tersendiri. Cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan
lebih memberi perhatian pada fungsi sosial politis agama-agama
yang biasa diistilahkan sebagai fungsi ‘etis-kritis-teologis’.
Dalam konteks Sulawesi Utara, agama-agama ini telah hadir
dan menjadi bagian dari keragaman di utara pulau Celebes ini sebelum
era kolonial. Islam di kepulauan Sangihe masuk dari Kedatuan SuluMindanao dan Kesultanan Ternate-Tidore sejak kira-kira akhir abad
15 (Kaunang, 2010; 112). Setelah itu pada abad 16 datang agama
Katolik dan kemudian sejak abad 17 agama Kristen Prostestan (Van
Den End, 1999; 143). Agama Konghucu datang bersama dengan
kehadiran orang-orang Tionghoa. Agama Hindu dan Budha juga
terdapat di beberapa wilayah sejak beberapa abad lampau. Agamaagama leluhur masih tampak dalam ritual dan simbol-simbol tertentu
di beberapa tempat.
Dalam sejarah, interaksi antara penganut agama-agama ini
terjadi secara kultural, yaitu di ranah sosiologis, politis dan ekonomis
(Makkelo, 2010). Pasar misalnya menjadi ruang perjumpaan antara
yang berbeda ini sebagai penjual dan sebagai pembeli. Dalam bidang
politik dan birokrasi, di kantor-kantor pemerintahan warga yang
42 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
berbeda-beda agama dan suku serta budaya saling menjalin relasi.
Secara kelembagaan, agama-agama ini telah menjalin relasi
sebagai bagian dari partisipasi pembangunan daerah melalui Badan
Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang berdiri tahun
1969 dan hingga kini masih eksis. Di dalam wadah bentukan
pemerintah ini, tokoh-tokoh agama menjadi suatu mengambil peran
untuk memberi pertimbangan bagi pemerintah di bidang sosial
keagamaan.
Hal yang hendak mau dikatakan dengan uraian singkat di
atas, bahwa agama-agama melalui umatnya telah menjadi bagian
dari kebudayaan di Sulut, yang dengan demikian, sebagai warga
negara atau lebih khusus sebagai warga di daerah ini, relasi antara
yang beragam ini adalah sebuah keniscayaan. Siapapun warga negara
itu, apapun peran dan jabatannya, sekaligus juga ia adalah umat
beragama. Dengan demikian, agama-agama memiliki pengaruh
signifikan dalam berbagai bidang kehidupan di daerah ini, entah itu
politik, sosial, budaya dan ekonomi.
Memikirkan Ulang Dasar dan Tujuan ‘Pembangunan’
Setelah era penjajahan berakhir, maka lahirlah sejumlah nation
state di Asia dan Afrika, salah satunya Indonesia. Pada negaranegara baru ini, ‘pembangunan’ berarti menjalankan modernisasi
dan industrialisasi sebagai cara untuk mengejar ketertinggalan dari
negara-negara maju (Siwu, 2005; 34). Pembangunan sama dengan
perubahan, pertumbuhan dan kemajuan. Modernisasi diterapkan
pada banyak bidang kehidupan. Politik mesti demokratis, dengan
antara lain menjalankan pemilu, partisipasi rakyat di bidang politik
digiatkan, masyarakat mesti sadar hukum dan menghormati hakhak asasi manusia. Pengetahuan modern diperkenalkan mengganti
kepercayaan-kepercayaan mistis tradisional. Teknologi modern
mendukung proyek-proyek pembangunan di segala bidang.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 43
Industrialisasi dipahami sebagai salah satu cara untuk memajukan
ekonomi, yang konsekuensinya adalah penerimaan terhadap sistem
kapitalisme global (Siwu, 2000; 70-72).
Di era orde baru, pembangunan dalam pengertian modernsasi
dan industrialisasi menjadi keyakinan negara. Secara normatif
dirumuskan bahwa tujuan pembangunan adalah untuk menuju
masyarakat yang adil dan sejahtera. Pembangunan digalakkan pada
semua bidang, dengan syaratnya adalah stabilitas sosial dan keamanan
demi kenyaman investasi. Perusahaan-perusahaan transnasional dan
multinasional diterima sebagai bagian dari pembagunan ekonomi
nasional.
Namun, visi masyarakat yang adil dan sejahtera dengan
pembangunan yang berorientasi pada modernisasi dan industrialisasi,
dalam evaluasi kritis kemudian justru malah menimbulkan
kemiskinan ‘material’ dan ‘spriritual’, kerusakan tata sosial-budaya
dan lingkungan hidup (Dahler & Budianta, 2000; 188-210). Dalam
hal dampak pada spiritualitas sebagai dampak dari sekularisme,
Richard A.D. Siwu menyebut istilah alienation and homelessness atau
keterasingan. Pembangunan ala orde baru yang kapitalistis, oleh
Sarbini Sumawinata menyebutnya sebagai kapitalisme tanpa
demokrasi dengan pemerintahan yang sangat otoriter, pemusatan
kekuasaan pada satu orang, yaitu presiden. “Kapitalisme zaman Orde
Baru adalah kapitalisme dalam versi yang paling buruk (Sumawinata,
2004; 19-20).”
Pembangunan yang adalah modernisasi dan industrialiasi
itu ternyata tidak langsung dapat membuat visi bernegara tercapai.
Jauh-jauh hari G.S.S.J. Sam Ratulangi telah mengingatkan hal
mendasar yang sebagai penyebab masalah utama negara ini. Sam
Ratulangi dalam pidato perdananya di depan Volksraad tahun 1927,
mengatakan,
44 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
...bahwa orang Indonesia, adalah penghasil primitif barangbarang ekonomi, orang bukan-Indonesia adalah pengolah hasil
ekonomi ini, orang Indonesia pekerja proletar, orang bukanIndonesia organisator pekerjaan, orang Indonesia konsumen
barang-barang asing, orang bukan-Indonesia, pembawa dan
distributor barang-barang ini (Arsip Samratulangi, 2011).
Sam Ratulangi menjelaskan, kategori-kategori itu tidak terjadi
begitu saja. Ia menyebut latar belakangnya sejak abad 16, yaitu sejak
bangsa Eropa-Barat mulai menjelajahi wilayah-wilayah yang meliputi
hampir seluruh dunia, termasuk Asia. Menurut Sam Ratulangi,
sejak saat itulah mulai berlaku suatu ‘organisasi ekonomi dunia’
yang berpusat di Eropa-Barat. Dengannya maka mulai berlaku pula
penilaian-penilaian dari dan untuk ekonomi ‘Eropa-Barat’ (Said,
2010). Artinya, masalah politik-ekonomi, kemudian juga menjadi
masalah sosial dan mental-psikologi. Sam Ratulangi bertanya:
Setiap peninjau serius atas gejala-gejala masyarakat, pernah
bertanya pada dirinya sendiri apa asa-usul perkembangan
seperti ini! Bagaimana mungkin, kelompok penduduk yang
jumlahnya puluhan kali lipat lebih banyak dari kelompok
lain, dalam proses produksi dan pertukaran barang, merosot
sampai ke pekerja tanpa inisiatif dan pengguna barang belaka?
Mengapa jutaan orang ini tidak berhasil meraih bagian lebih
besar dalam kepemimpinan organisasi ekonomi?
Secara ringkas, jawaban Sam Ratulangi atas pertanyaan itu,
seperti yang sudah diuraikan di atas, sesungguhnya adalah masalah
perjumpaan antara dua kebudayaan yang berbeda, Asia lebih khusus
Indonesia dengan Eropa-Barat.
Sam Ratulangi berbicara di era Indonesia masih dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Sehingga, konteksnya
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 45
waktu itu yang disebut Indonesia belumlah sebagai suatu kesatuan
politik independen yang menata negaranya sendiri dengan
pemerintah sendiri dengan rakyat yang terorganisir secara birokratis.
Artinya, meski visi bernegara belum terumus secara jelas, namun
apa yang disampaikan oleh Sam Ratulangi tersebut releven dalam
memahami konteks Indonesia merdeka pasca orde baru. Secara
ringkas, yang hendak mau dikatakan oleh Sam Ratulangi, bahwa
salah satu masalah besar bagi pembangunan negara Indonesia adalah
kemampuannya untuk menjadi negara yang merdeka atau berdaulat
secara ekonomi, yang tidak terlepas dengannya adalah bermartabat
secara sosial-budaya dan kekuatan intelektual serta mental.
Pada pidatonya itu, Sam Ratulangi menyebutkan, bahwa pembangunan mesti meliputi kemampuan negara dalam penganggaran
dan pengorganisasian rakyat, yang didukung oleh kemampuan
dan potensi-potensi kreatif yang dimiliki oleh rakyat. Jadinya,
pembangunan mesti terjadi secara partisipatif, yang melibatkan
rakyat sebagai subjek pembangunan. Sam Ratulangi tidak menolak
pembangunan dengan cara modernisasi ala Eropa, bahkan mungkin
menganggap hal itu sangat penting. Tapi bagi dia, pembangunan
mesti meliputi semua aspek, yaitu material, intelektual dan spiritual
yang dilaksanakan secara bersama-sama.
Di kemudian hari, belajar dari pembangunan yang hanya
menitikberatkan pada material, yaitu ekonomi yang telah memunculkan dampak-dampak destruktif bagi manusia dan masyarakat
serta lingkungan hidup, teori-teori pembangun lebih menekankan
aspek holistik keseluruhan prosesnya. Misalnya sudah sering
didengar istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ atau ‘pembangunan
yang sadar ekologis’ atau ‘pembangunan manusia seutuhnya’.
Dengan kata lain sudah dan sementara berlangsung kritik, evaluasi
dan rekonstruksi terhadap apa yang disebut pembangunan tersebut
(Sastrapatedja, 1986).
46 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Pembangunan, dalam harapan-harapan idealnya mesti
humanis, emansipatif, berawawasan multikultural dan ekologis telah
menjadi semacam paradigma di abad 21, atau tahun-tahun pasca
orde baru untuk konteks Indonesia. Bukan saja dalam teori-teori
atau gagasan-gagasan filosofis tentang pembangunan, tapi juga
dalam politik pemerintahan bahkan ideologi. Lihat misalnya visi,
misi serta program aksi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang
diberi judul “Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat,
Mandiri dan Berkepribadian (Dokumen Visi Misi Jokowi, 2014).”
Disebutkan dalam naskah itu, bahwa ‘jalan perubahan adalah jalan
ideologis’.
Fungsi Etis-Kritis-Teologis Agama-agama dalam
Pembangunan
Agama, bagi umatnya adalah wadah dia mengungkapkan dan
mengekspresikan keyakinan, kepercayaan atau iman kepada yang
dipercayainya sebagai Yang Ilahi. Sumber-sumber kepercayan itu
adalah kitab suci dan ajaran-ajaran keagamaan yang dikembangkan
sebagai hasil tafsir untuk menjadi pedoman secara moral-etika
dalam menjalankan kehidupan. Pada hal ini, agama adalah sesuatu
yang subjektif, ekslusif dan lebih berorientasi pada komunitas yang
memiliki kesamaan identitas. Namun, ketika menyebut ‘agamaagama’ dalam konteks kehidupan bernegara, maka kita menunjuk
pada kehadiran umat beragama, yang sekaligus warga negara di
ruang-ruang publik. Di ruang publik ini, fungsi etis-kritis-teologis
agama-agama mewujud dalam bentuk gagasan atau praksis sosial
yang tidak lagi berorientasi pada diri dan kelompok sendiri tapi telah
meluas dengan tujuan untuk kehidupan bersama. Agama di ruang
private dan di ruang publik meski berbeda pada hal-hal tertentu,
namun mestinya saling mendukung.
Agama sebagai keyakinan subjektif dan ‘agama-agama’
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 47
sebagai kenyataan objektif bukanlah dua hal yang berbeda, tapi satu
hal yang berfungsi pada dua ruang. Ciri agama yang berfungsi di
dua ruang ini tidak saja berlaku di negara-negara yang menerapkan
pemisahan agama dan negara, melainkan juga pada negara-negara
yang menyatukannya keduanya. Secara doktrinal-subjektif mungkin
bagi penganut agama sulit menerima pemisahan tersebut, namun
secara historis-objektif, hal ini tidak dapat dihindari. Pada dasarnya,
seorang individu yang berusaha menganut agamanya secara ketat
sekalipun tidak dapat menjalankan dan mengekspresikan imannya
secara monolitik. Bukan saja karena keniscayaan keragaman agamaagama, budaya, suku, ras dan kelas-kelas sosial di masyarakat,
namun juga selalu saja terbuka kemungkinan interpretasi dan
ekspresi berbeda antar individu yang menganut satu agama. Artinya,
kenyataan pluralitas antar agama dan inter agama serta kondisi
historis-objektif masyarakat yang dihidupinya selalu mempengaruhi
umat beragama untuk menerjemahkan iman yang diyakininya secara
kontekstual.
Kehadiran seorang individu dari agama tertentu di ruang publik,
secara sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar membawa,
apakah simbol, ajaran atau perilaku yang dianggap dikehendaki
oleh agamanya. Dalam hal ajaran misalnya, agama-agama bahkan
selalu merasa berkepentingan dengan publik untuk tugas misi dan
dakwahnya dalam merespon setiap fenomena kemasyarakatan.
Singkatnya, agama-agama, dalam konteks Indonesia dan terutama
di Sulawesi Utara bukanlah fenomen yang terpisah dari kehidupan
publik masyarakat. Di daerah ini, peristiwa keagamaan mewarnai
hampir setiap hari kehidupan keluarga, komunitas dan masyarakat.
Simbol-simbol atau bahasa-bahasa keagamaan, menyatu mulai
dari kehidupan sosial, budaya serta politik bahkan hingga politikbirokrasi.
Terintegrasinya agama-agama dalam kehidupan publik adalah
48 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
kenyataan objektif di masyarakat kita. Sehingga, ketika berbicara
peran agama-agama dalam pembangunan, sesungguhnya bukan lagi
suatu proyeksi. Cuma saja, adalah kenyataan objektif bahwa peran
agama-agama dalam pembangunan yang adil, terjadi dalam tingkatan
dan bentuk serta sifat yang berbeda-beda. Demikian, refleksi peran
agama-agama yang mengacu hakekat sendiri dan tujuan luhur
pembangunan perlu terus didiskusikan. Pada hal ini, kita berbicara
tentang fungsi etis-kritis-teologis agama-agama bagi pembangunan.
Secara global, peran agama-agama untuk perdamaian, keadilan dan kesetaraan umat manusia telah dirumuskan pada pertemuan pemimpin agama-agama sedunia dalam suatu pertemuan
yang disebut Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago pada
tahun 1993. Pertemuan tersebut berhasil merumuskan suatu etika
bersama yang disebut Etika Global (Global Ethic). Dalam konteks
Indonesia, diskursus dialog antar agama atau lebih tepatnya antar
umat beragama, dan terutama di Sulawesi Utara dimaksudkan untuk
mencapai tujuan komitmen hidup bersama dalam masyarakat dan
negara, selain akhir-akhir ini untuk merespon isu radikalisme dan
terorisme.
Dalam hal peran agama-agama terhadap pembangunan, tentu
bukan terutama dalam bentuk dukungan politik untuk partai politik
atau calon tertentu secara praktis dalam setiap pemilu, melainkan
yang terutama adalah fungsi kritis agama terhadap jalannya
pemerintahan dan pembangunan. Terhadap pembangunan yang
lebih mengutamakan investasi dan berdampak pada peminggiran
rakyat kebanyakan, agama-agama perlu berperan menyampaikan
suara profetisnya. Terhadap pemerintahan yang korup dan tidak
menjalankan pembangunan yang adil dan emansipatif, agama-agama
diharapkan menyampaikan kritiknya. Pada hal ini, dialog antar umat
beragama, tokoh-tokoh atau pemimpin-pemimpin agama menjadi
kekuatan untuk mencapai pembangunan yang berkeadilan.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 49
Peran dan fungsi keterlibatan agama-agama dalam pembagunan
secara etis-kritis-teologis dibutuhkan oleh karena pembangunan
dalam paradigma modernisme selalu berkecenderungan pada
satu pihak ‘merusak’ dan pada pihak lain ‘mencipta’. Ambil
contohnya misalnya, demi pembangunan bendungan modern di
Desa Kuwil, Kab. Minahasa Utara, maka seolah-olah adalah suatu
konsekuensi logis jika harus berdampak pada rusaknya artefakartefak waruga di sekitarnya yang secara umum dianggap warisan
dari era primitif yang tidak lagi memiliki fungsi untuk menunjang
kebutuhan-kebutuhan modern. Sementara pembangunan dalam
paradigma posmodernisme lebih menekankan harmoni antara
kebutuhan-kebutuhan batiniah-spiritual dengan material-teknologis
(Griffin, 2005). Artinya, pembangunan holistik menerima adanya
kesinambungan dan keterjalinan banyak unsur dan faktor serta
perspektif. Pada dasarnya, apapun paradigma yang melandasinya,
secara etis pembangunan mestilah memastikan bahwa kemanusiaan,
spiritual, ekologis, dan cita-cita keadilan dan kesejahteraan tidak
tercecer atau diabaikan dalam keseluruhan proses.
Uraian di bawah ini menawarkan beberapa gagasan yang
dapat direkonstruksi menjadi agenda bersama agama-agama di
Sulawesi Utara dalam menyatakan peran atau fungsi etisnya untuk
pembangunan. Gagasan-gagasan ini saya sadar bukanlah baru dalam
diskursus dialog antar agama-agama atau peran agama-agama secara
umum dalam pembangunan.
Pembangunan yang Memanusiakan
Pembangunan yang memanusiakan bukanlah gagasan di luar
dari hakekat pembangunan itu sendiri, juga pada agama-agama.
Pembangunan yang berorientasi pada materi, pertumbuhan dan
kemajuan ekonomi sekalipun berbicara tentang hal ini. Persoalannya
adalah cara pandang terhadap hubungan antara ekonomi dengan
50 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
tujuan memanusiakan pembangunan itu. Kapitalisme berkeyakinan
bahwa tujuan dari pembangunan itu adalah kemajuan dan peningkatan ekonomi yang dengannya dapat mensejahterakan manusia atau
masyarakat. Tapi, sejarah telah menunjukkan bahwa, ‘kekayaan’ atau
‘kelimpahan materi’ tidak memiliki korelasi langsung dengan makin
menjadi ‘manusianya’ seorang ‘manusia’ atau suatu masyarakat.
Dalam konteks Sulawesi Utara perlu dievaluasi secara kritis,
apakah investasi, kehadiran pusat-pusat perbelanjaan, perusahaanperusahaan tambang, bisnis pariwisata yang oleh pemerintah
periode ini agung-agungkan, dan kesemuanya itu disebut sebagai
pembangunan memiliki korelasi dengan semakin meningkatnya
kualitas kemanusiaan. Di era globalisasi ini, kesemuanya itu tentu
tidak terjadi secara lokal saja, namun ia adalah bagian pembangunan
tata ekonomi global, yang pada banyak kasus rakyat lokal selalu
menjadi korban.
Agama-agama di Sulawesi Utara, pada satu pihak diberkahi
oleh sikap toleran antar pemeluknya, namun pada lain pihak
agaknya lemah dalam kritik terhadap model pembangunan yang
tidak menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pembangunan
yang memanusiakan perlu menjadi agenda agama-agama di Sulawesi
Utara dalam dialog formal maupun informalnya. Kesibukan
seremonial agaknya terlalu menguras energi agama-agama sehingga
abai terhadap permasalahan ini. Kekuatan agama sebagai lembaga
moral-spiritual dengan jaringan umatnya sampai ke akar rumput
adalah modal yang perlu ditransformasi untuk mendorong dan
menginspirasi pembangunan yang memanusiakan.
Pembangunan yang Emansipatif
Pembangunan yang emansipatif berjalan bersama dengan
pembangunan yang partisipatif. Selain bahwa pembangunan
bertujuan untuk emansipasi untuk setiap individu dan antar
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 51
kelompok, namun juga proses pembangunan yang dijalankan mesti
terjadi secara emansipatif dan partisipatif. Sayangnya, pemahaman
yang ditanamkan selama ini, dan juga mungkin warisan kolonial dan
orde baru, seolah-olah subjek dari pembangunan adalah negara yang
diwakilkan oleh pemerintah, sementara rakyat adalah objek.
Kita dapat menilai apakah pembangunan yang dijalankan di
daerah ini telah berlangsung secara emansipatif dan partisipatif
dan bertujuan untuk itu dengan mempelajari lahirnya dokumendokumen semisalnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik
provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam kenyataanya, penataan
dan penggunaan ruang dan wilayah untuk pembangunan dilakukan
secara sepihak oleh pemerintah dan investor, sementara rakyat
nanti berurusan ketika misalnya tanahnya hendak dibebaskan secara
paksa.
Hasilnya, seperti ungkapan lama, “yang kaya makin kaya,
yang miskin makin miskin”. Kesenjangan terjadi atau berlanjut.
Para korban peminggiran oleh pembangunan tersebut adalah warga
negara, sekaligus mereka adalah umat beragama dari agama-agama
di daerah ini. Di mana agama-agama?
Dalam konteks ini, perlu selalu dingatkan agar agama-agama
tidak menjadi ‘candu’ atas penderitaan rakyat. Dengan demikian,
oleh karena setiap agama-agama memiliki visi soteriologis atau
keselamatan yang holistik, maka alienasi atau keterasingan rakyat dari
pembangunan yang berorientasi pada kelas-kelas sosial tertentu mesti
disadari juga sebagai ‘dosa’. Agama-agama juga memiliki tanggung
jawab etis-teologis untuk selalu memberi inspirasi bagi pembangunan
yang adil bagi keragaman gender dan orientasi seksual serta bagi
mereka yang memiliki kemampuan-kemapuan berbeda (kelompok
masyarakat difabel). Agama-agama mendorong perempuan dan
laki-laki, warga yang memiliki orientasi seksual yang unik, mereka
yang difabel untuk menjadi subjek dalam pembangunan.
52 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Pembangunan yang Berwawasan Ekologis
Tidak lama berselang setelah runtuhnya rezim orde baru yang
berkuasa di Indonesia selama kurang lebih 32 tahun, masyarakat
Sulut heboh dengan isu pencemaran teluk Buyat di Ratatotok, Kab.
Minahasa (sekarang masuk wilayah Minahasa Tenggara). Tahun
2004, sejumlah Non-governmental Organization (NGO) melakukan
penyelidikan terhadap warga Buyat Pante, Ratatotok terkait dengan
limbah PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) yang dibuang
ke Teluk Buyat. Ditemukan bahwa, sejak dua tahun PT. NMR
membuang limbahnya ke Teluk Buyat, tempat warga kampung
Buyat menangkap ikan, warga mengalami sejumlah persoalan
yang beragam. Mulai dari menurunnya jumlah ikan yang ditangkap
oleh para nelayan, pecahnya pipa penyalur tailing, kualitas hidup
menurun hingga gangguan kesehatan serius. Menurut mereka,
hingga penutupannya pada tanggal 31 Agustus 2004, PT. NMR
telah meninggalkan 4 juta ton lebih tailing di dasar laut Teluk Buyat
(Maimunah & Kirom, 2004; 5-9).
Banjir bandang yang terjadi di Kota Manado pada Januari
tahun 2014 lalu telah meluluhlantakan kota itu. Kerugian material
mencapai miliaran rupiah. Longsor di jalan raya TomohonManado telah menyebabkan korban jiwa. Banjir ini adalah terbesar
sepanjang sejarah modern kota Manado yang terjadi di saat gencargencarnya pembangunan kawasan pemukiman elit, reklamasi pantai,
pembangunan jalan tol sedang dalam rencana, dlsb.
Memang tidak secara langsung dapat dikatakan bahwa
deforestasi hutan memiliki hubungan dengan banjir tersebut.
Namun, adalah fakta, bahwa kerusakan hutan di Sulut terjadi secara
drastis sejak beberapa puluh tahun lalu. Data dari Dinas Kehutanan
Provinsi Sulawesi Utara menyebutkan, penyusutan drastis luas
hutan di provinsi ini terjadi pasca orde baru. Sebelumnya luas
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 53
hutan Provinsi Sulawesi Utara adalah 1.877.220 ha, sementara luas
hutan berdasarkan data terakhir tahun 2014 tinggal 764.739 ha atau
berkurang sekitar 1.112.481 ha. Besarnya penyusutan ini antara lain
karena kebutuhan terhadap lahan perkotaan, pertanian, perkebunan,
pertambangan, infrastruktur dan juga karena pemekaran wilayah.
Masalah lain adalah tumpang tindihnya pemanfaatan maupun
penggunaan lahan kawasan hutan negara oleh kepentingan sektor
lain. Disebutkan bahwa, pada beberapa lokasi terdapat jual beli
lahan kawasan hutan dan sertifikat tanah, munculnya klaim-klaim
masyarakat yang mengatasnamakan tanah leluhur dan lain sebagainya.
Penyebab lain adalah pemberian ijin yang banyak dilakukan oleh
pemerintah provinsi, kabupaten/kota di era desentralisasi (Abidin
& Tasirin, 2014; 39).
Situasi lingkungan hidup yang memprihatinkan ini menuntut
tanggung jawab ekoteologis agama-agama dalam dialog-dialog aksi
teologisnya. Setiap agama membaca kitab suci yang menuliskan
tentang Allah yang menciptakan tanah, sungai, laut, gunung, flora,
fauna dan semesta. Artinya, lingkungan hidup atau kosmos mesti
dipahami sebagai ciptaan Yang Sakral untuk manusia kelola secara
bertanggung jawab. Dengan demikian, baik secara teologis maupun
secara politis, agama-agama dalam dialog dan kerjasamanya perlu
merumuskan refleksi-kritis teologis terhadap pembangunan yang
tidak berwawasan ekologis. Hans Kung dan Parlemen Agama-agama
se-Dunia menyebut hal itu sebagai tanggung jawab etis agamaagama untuk lingkungan hidup.
Pembangunan yang Berwawasan Multikultural
Pembangunan sudah tentu juga berurusan dengan relasi antar
yang berbeda secara kultural dan sub kultural. Lebih dari sekadar
pluralisme yang berorientasi pada penghormatan dan penghargaan
terhadap perbedaan, multikulturalisme justru berorientasi pada
54 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
upaya memastikan bahwa warga negara yang berbeda-beda secara
kultural dan subkultural atau warga negara yang memiliki identitas
yang sangat beragam, kompleks dan bahkan rumit yang rawan
tersubordinasi di bawah identitas-identitas dominan dan tunggal
memiliki jaminan hak-hak yang sama. Multikulturalisme berorientasi
pada kepastian terjaminnya hak-hak asasi, pengakuan, kesetaraan
dan keadilan di ranah sosial, politik dan ekonomi. Atau dengan kata
lain multikulturalisme berurusan dengan pembangunan yang adil
untuk semua warga negara yang memiliki identitas beragam, unik
dan khas.
Pembangunan yang berwawasan multikultural paling tidak
menyoal tiga hal: Pertama rekognisi atau pengakuan yaitu saling
mengakui dan menerima yang di dalamnya terdapat dialog aktif
merespon persoalan-persoalan yang mengganggu kepentingan
dan kebutuhan bersama. Kedua, representasi atau keterwakilan di
ruang publik. Ketiga, redistribusi atau pemerataan, yaitu keadilan
dalam penguasaan dan pengelolaan ruang-ruang ekonomi (Bagir
& Dwipayana, 2011;41-44). Semua proses pembangunan, dalam
perspektif multikulturalisme, mulai dari perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi semuanya mesti berorientasi pada terjaminnya hakhak warga negara yang memiliki identitas yang beragam. Artinya,
pembangunan yang berwawasan multikultural mesti memastikan
bahwa semua upaya dalam mencapai kesejahteraan bersama
mencakup terjaminnya hak-hak warga negara apapun latar belakang
agama, suku, ras atau golongan sosialnya.
Fungsi etis-kritis-teologis agama-agama untuk memastikan
bahwa pembangunan berproses secara adil bagi semua warga
negara terjadi dalam dialog antar umat beragama melalui tokohtokoh atau pemimpin agamanya. Dialog adalah komunikasi dan
terutama kerjasama konstruktif untuk merencanakan, merumuskan
dan melaksanakan aksi-aksi bersama untuk tujuan bersama. Dengan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 55
dialog, maka inisiatif dan peran agama-agama tidak hanya untuk
menguntungkan satu kelompok, tetapi untuk tujuan bersama sebagai
warga negara. Adalah sebuah ironi, jika misalnya seorang pemimpin
agama tertentu secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan
menjalin kedekatan dengan pemimpin daerah dalam rangka untuk
mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu bagi agamanya
sendiri. Apakah dapat dibenarkan secara teologis, jika misalnya
seorang imam, ulama, pemimpin agama tanpa kekritisan lalu demi
keuntungan tertentu mendoakan sebuah peresmian pembangunan
jalan tol, sementara sekelompok orang, mungkin di antara mereka
adalah umatnya atau umat agama-agama lain sedang merasa
diperlakukan tidak adil karena pembebasan lahan yang dilakukan
secara paksa? Apa sikap agama-agama terhadap situasi ini?
Beberapa pokok pikiran di atas adalah sebuah tawaran untuk
diskursus dalam dialog antar umat beragama atau antar orangorang yang melekat padanya ajaran, simbol dan tradisi dari agamaagama yang mereka anut masing-masing dalam upaya memberikan
konstribusi etis-kritis-teologis terhadap pembangunan daerah dan
negara. Pada dasarnya, fungsi etis-kritis-teologis agama-agama
untuk pembangunan demi keadilan dan kesejahteraan bukanlah
fungsi atau tugas di luar dari hakekat agama-agama itu. Keselamatan
secara batiniah atau rohani yang eskatologis pada agama-agama,
tentu terintengrasi dengan kedilan dan kesejahteraan sebagai tujuan
pembangunan.
Penutup
Agama-agama di Sulawesi Utara telah menjadi bagian integral
dari kebudayaan: sosial, politik, ekonomi, pendidikan, birokrasi dan
lain sebagainya masyarakat yang terus berkembang. Sedikit banyak,
agama-agama ini, baik yang universal maupun yang lokal telah
memberi pengaruh bagi perkembangan masyarakat, cita-cita dan
56 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
harapannya untuk kehidupan yang terus berlangsung.
Suatu keharusan untuk mempertanyakan secara kritis dan
bersama dengan itu memberikan motivasi dan dorongan secara
reflektif konstruktif, baik secara akademik sebagai peran intelektual,
maupun secara informal-populer sebagai peran semua warga negara
bagi proses-proses pembangunan yang sedang berlangsung. Agamaagama dalam dialog konstruktif adalah modal penting pembangunan
yang berkeadilan. Menjalani era digital sekarang ini, bahkan peran
dan fungsi etis-kritis-teologis agama-agama makin dibutuhkan untuk
memberi arah bagi pembangunan yang manusiawi, emansipatif,
berwawasan ekologis dan multikultural. Agama-agama mesti terus
didorong untuk memainkan peran aktif dalam mencapai tujuan
pembangunan yang berkeadilan.
Daftar Pustaka
Abidin Muh dan J S Tasirin (ed.). 2014. Kiprah Kehutanan 50
Tahun Sulawesi Utara 1964 – 2014. Manado: Balai Penelitian
Kehutanan.
Arsip keluarga Samratulangi yang telah dipublikasikan pada http://
matulandawordpress.com/2011/11/07/pidato-perdana-samratulangie-di-depan-volksraad-15-juni-1927/.
Bagir Abidin Zainal dan Dwipayana AA GN Ari. 2011. Keragaman,
Kesetaraan dan Keadilan: Pluralisme Kewargaan dalam Masyarakat
Demokratis”. Bandung: Mizan.
Dahler Franz dan Budianta Eka. 2000. Pijar Peradaban Manusia:
Denyut Harapan Evolusi. Yogyakarta: Kanisius.
Dokumen “Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat,
Mandiri dan Berkepribadian” Visi, Misi dan Program Aksi”,
Jokowi-Jusuf Kalla. Jakarta, Mei 2014.
Edward Said. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 57
Griffin Ray David (ed.). 2000. Visi-visi Posmodern: Spiritualitas dan
Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius.
Kaunang Ivan R.B,. 2010. Bulan Sabit di Nusa Utara: Perjumpaan Islam
dan Agama Suku di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Yogyakarta:
Intan Cendekia.
Maimunah Situ, Kirom Aminuddin (ed.), Teluk Buyat Tercemar dan
Berisiko bagi Masyarakat: Lembar Fakta Kasus Buyat, (diterbitkan
bersama oleh Jatam, Walhi,
Icel, Kelola, YSN, BKMKT, FORJAPB, Elsam, Tapal, 2004.
Makkelo, Daeng Ilham. 2010. Kota Seribu Kota Gereja: Dinamika
Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado. Yogyakarta:
Ombak.
Siwu A.D, Richard. 2005. Masalah Negara-Bangsa, Hak Azasi Manusia
dan Kemerdekaan Beragama di Asia”, dalam Exouds No. 16,
Tahun XII, 2005. Tomohon: Fakultas Teologi UKIT.
Siwu A.D. Richard. 2000. Kebenaran Memerdekakan: Etika
Bermasyarakat, Berbudaya, dan Beragama di Era Globalisasi.
Tomohon: Letak.
Sumawinata Sarbini. 2004. Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sastrapedja. 1986. Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan
Kritis. Jakarta: Gramedia.
Van den End. 1999. Ragi carita: 1860-Sekarang. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
58 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
MANADO KOTA DOA:
Sebuah Refleksi-Kritis Warga Kota
Oleh: Muhammad Iqbal Suma
A
gama menempati posisi penting di tengah-tengah warga
masyarakat kita hari ini, baik masyarakat pedesaan yang hidup
dalam cara-cara sederhana dan tradisional maupun masyarakat
perkotaan yang lebih kompleks dan modern. Aspek-aspek agama
telah hidup dalam denyut dan derap langkah setiap manusia, baik
sebagai individu yang tinggal di tengah-tengah komunitas yang
beragam maupun sebagai individu yang memiliki tanggung jawab
sosial bagi orang-orang dan lingkungan sekitarnya.
Kita tahu, bahwa agama tidak sekedar ritual fisik; berangkat
ke rumah ibadah atau membaca kitab suci. kita semua percaya pada
agama yang lebih personal, yang hidup dalam kepribadian seharihari, menjadi orang yang berbuat baik bagi sesama manusia. Agama
tidak sekedar institusi yang kita tulis dalam kolom KTP atau dalam
lembaran tes ujian masuk. Lebih dari segalanya, agama adalah
bagaimana kita menjalani hidup sebagai manusia yang bermanfaat
bagi manusia lain.
Bagi masyarakat Manado, agama bahkan tidak sekedar urusan
personal bagi pemeluknya, tapi juga menjadi bagian dari dimensi
59
yang menopang pembangunan berkelanjutan dari kota itu sendiri.
Usia Manado yang hampir mencapai 400 tahun, bukanlah waktu
yang singkat untuk sebuah kota yang memiliki pengalaman sebagai
sebuah komunitas masyarakat yang tersusun dari lapisan-lapisan
berwarna, dengan corak serta karakteristik yang unik. Manado
ditinggali oleh orang-orang dengan identitas-identitas yang plural,
membawa tradisi dari beragam agama dan suku masing-masing, tapi
mampu melebur dalam harmoni yang indah.
Meski demikian, kita juga harus memahami bahwa agama
juga merupakan sekumpulan simbol-simbol dan tanda. Di kota
Manado, kita bisa melihat agama dalam berbagai wujud; bangunan
rumah ibadah yang besar dengan Menara yang menjulang tinggi,
lonceng raksasa yang berbunyi setiap pagi dari gereja, kubah masjid
yang tampak dari kejauhan, salib di hampir setiap bangunan publik,
ikonografi yang menghiasai dinding gereja atau kaligrafi yang
tergambar indah layaknya mosaik pada setiap masjid yang ada di
penjuru kota.
Simbol-simbol keragaman juga muncul dalam berbagai slogan
yang pernah dicetuskan oleh para pemimpinya. Bertahun-tahun
yang lampau, Manado terkenal dengan slogan “BOHUSAMI”, yang
merupakan akronim dari nama-nama etnis yang ada didalamnya;
Boalaangmongondow, Hulandalo, Sangir dan Minahasa. Slogan
ini meski sederhana, tetapi memiliki makna filosofis yang kuat.
Bohusami tidak sekedar akronim, tapi juga menjadi semacam modal
sosial bagi orang Manado. Bohusami menjadi identasi baru, penanda
bahwa ketika berbicara tentang Manado, kita berbicara tentang
keragaman dan kerukunan.
Keragaman dan kerukunan di Manado juga lahir dalam bentuk
semboyan yang hingga hari ini menjadi kebanggan warga Sulawesi
Utara secara umum. Kita mengenal Semboyan yang mungkin menjadi
paling ikonik dari kota Manado; “Torang Samua Basudara”, atau dalam
60 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Bahasa Indonesia berarti “Kita Semua Bersaudara”. Semboyan ini
terdengar begitu sederhana dan simpel. Tetapi semboyan ini telah
menjadi penuntun kehidupan orang Sulawesi Utara dan Manado
secara khusus, dalam melewati berbagai potensi-potensi gesekan
dan konflik.
Pada sekitar tahun 2000-an, kita tahu telah terjadi konflik
agama dan etnis di beberapa wilayah Indonesia, terutama Ambon
dan Poso, yang terletak tidak begitu jauh dari Sulawesi Utara.
Mengingat komposisi dan karakteristik demografi yang memiliki
kesamaan, bukan tidak mungkin konflik itu juga akan terjadi di
Manado. Tetapi seperti yang terjadi, Manado berhasil melewati
saat-saat paling rawan tersebut. Ketika beberapa daerah tersulut
dan pecah dalam perang saudara, Sulut ataupun Manado secara
umum, tetap mempertahankan kebersamaan dan kerukunan sosial
yang sudah terbina sejak lama. Semboyan Torang Samua Basudara,
menjadi penegasan bahwa, tak boleh ada pertikaian, peperangan
dan kebencian diantara sesama saudara.
Bukankah semua agama mengajarkan agar kita saling
mengasihi? Bukankah kitab suci semua agama juga merupakan
sumber kebaikan? Dan bukankah setiap tradisi dan kebudayaan
mengajarkan moral dalam kehidupan kita sebagai masyarakat?
Torang Samua Basudara, adalah nilai-nilai yang disepakati oleh setiap
pemeluk agama dan etnis di Manado. “Torang Samua Basudara” telah
membiasakan kita untuk hidup berdampingan sebagai saudara,
meskipun berbeda agama dan etnis.
Bagi orang Manado, yang telah hidup berdampingan dalam
perbedaan selama ratusan tahun, tak ada yang aneh atau tabu. Simbol
dari agama yang berbeda sering berdampingan satu sama lain. di
beberapa tempat, seperti di wilayah Perkamil, kita bisa menyaksikan
bangunan gereja Katolik yang berdiri disamping Masjid yang sudah
berusia lebih dari 20 tahun. Bahkan di pusat perkotaan Manado,
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 61
sebuah komplek yang dikenal sebagai kampung Arab dan Kampung
Cina pun, telah hidup rukun selama puluhan tahun.
Inilah yang menjadi perekat sosial yang telah menjaga
kehidupan kota ini dari berbagai konflik besar yang melibatkan
sentimen agama dan kelompok meskipun beberapa kali Manado
sedikit terusik dengan peristiwa-peristiwa yang mengganggu harmoni
kehidupan, tapi itu membawa kota ini hancur dalam pertikaian antar
sesama. Dalam setiap peristiwa, kita perlu mengingat Bersama,
bahwa konflik tidak menyisakan apa-apa, selain duka. Maka, setiap
orang Manado percaya bahwa mereka dapat mengatasi setiap
perbedaan dalam cara-cara yang bijaksana, dan membawa kebaikan
bagi semua warga kota Manado.
Menjadi Manado
Relasi Islam-Kristen memainkan peran penting bagi
kemajemukan dan pembangunan sosial kota Manado. Sebagai
penduduk mayoritas di Manado, hubungan Islam-Kristen, baik
secara sosial, politis maupun keagamaan, telah mendorong terciptanyan hubungan-hubungan kreatif dan produktif. Relasi antar
agama tidak bangun di atas perbedaan teologi keagamaan yang
memang tak pernah menemukan titik temu, dialog dan kerjasama
justru diarahkan ke arah kerja-kerja yang melibatkan segenap elemen
sosial-keagamaan demi tujuan sosial bersama, terutama dibidangbidang yang berkaitan dengan aspek kesejahteraan, seperti ekonomi,
kesehatan dan pendidikan. Isu pemberdayaan ekonomi masyarakat,
akses pendidikan dan kesehatan yang lebih layak, penegakkan
hukum, lebih penting didiskusikan antara tokoh-tokoh agama
dibandingkan mencari titik perbedaan secara teologis pada agama
masing-masing. Isu-isu sektarian tidak begitu laku bagi warga kota
Manado; hukum haram mengucapkan natal atau syariat Islam tidak
begitu populer di sini. Fondasi toleransi yang telah terbangun cukup
62 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
lama tidak mudah runtuh oleh isu-isu sektoral yang berpotensi
konflik dan melahirkan perpecahan serta ketegangan sosial.
Manado memang menjadi tempat yang subur bagi
perkembangan tradisi-tradisi yang berbeda. secara sosial, kondisi
masyarakat yang beragama sesungguhnya menyimpan potensi
konflik yang setiap saat bisa pecah ketika perbedaan dan keragaman
masyarakat tidak dikelola secara dewasa. Tapi di Manado, perbedaan
agama, keragaman tradisi dan ritual justru menjadi jalan bagi
terbentuknya relasi-relasi sosial yang lebih toleran, dinamis dan
berkembang. Beberapa bangunan tempat ibadah bahkan terletak
berseberangan, dan tidak menjadi alasan untuk menciptakan konflik.
Manado adalah kota kecil, eksotis tapi tak pernah kesepian.
Di tempat ini, siapa saja dapat hidup dengan layak. Sama ketika
yang duniawi memperoleh tempat yang layak, tradisi dan ritual yang
bersifat spiritual pun tetap terus dijaga. Di tengah arus kemajuan dan
modernisasi, di kota ini, tradisi-tradisi berjumpa, hidup, berkembang
dan terus dipelihara. Rumah Tuhan terus dibangun seolah-olah ingin
berlomba dengan maraknya pembangunan apartemen bertingkat.
Suara-suara musik yang terdengar dari tempat hiburan tak dapat
mengalahkan lantuntan doa suci dan kidung-kidung yang terdengan
dari penganut agama yang taat, dari dinding Gereja, Menara Masjid
atau altar-altar suci Klenteng dan Pura.
Agama dan perilaku spiritual masyarakat perkotaan seperti di
Manado, memang murni urusan pribadi. Orang tak pernah mempermasalahkan cara orang beragama, bagaiamana dia memahami
ajaran agamanya. Itu pula sebabnya, jarang sekali saya melihat ada
konflik atau pertentangan-pertentangan akibat ajaran agama yang
berbeda, semisal isu sunni-Syi’ah yang di Manado terasa aman-aman
saja. Begitu juga halnya dengan banyaknya aliran gereja yang ada
di Manado, tak pernah memicu konflik. Kalau pun ada gesekan,
itu terjadi dalam kelompok kecil yang secara internal bisa diredam.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 63
Manado menjadi tempat yang baik untuk perkembangan pemikiran
agama, karena watak dasar orang Manado yang terbuka dan toleran,
terutama untuk hal-hal yang baru dan sesuatu yang berbeda dari apa
yang dianut oleh warga Manado secara umum.
Hal penting lainnya adalah beragama di kota Manado
terasa begitu unik. Saya adalah orang Islam, dan di Manado kaum
muslim adalah minoritas diantara dominasi penganut Kristen. Tapi
kami umat Islam tidak pernah merasa bahwa muslim di Manado
adalah minoritas. Kehidupan beragama di Manado tidak pernah
membedakan antara pemeluk agama, sehingga tidak ada kesan
bahwa yang mayoritas memiliki kedudukan lebih baik di masyarkat
dari pada yang minoritas. Setiap umat beragama di kota Manado
saling menghargai satu sama lain, memberikan ruang gerak yang
pantas bagi siapa saja sesuai dengan kemampuan dan kompetensi
orang tersebut, terlepas dari latar belakang agama. Di Manado,
meskipun minoritas, tidak pernah ada kasus pembakaran tempat
ibadah (masjid), pengusiran kelompok Islam tertentu, atau bahkan
konflik dengan pemeluk agama lain. setiap orang menganggap
bahwa setiap orang adalah bersaudara, sebagaimana Slogan “Torang
Samua Basudara” yang sejak lama dijadikan motto hidup orang
Manado. itu pula mungkin sebabnya di beberapa penelitian tingkat
nasional yang pernah saya baca, Manado masuk dalam kategori
kota-kota paling toleran di Indonesia. Dan saya pikir, kota-kota
lain harus belajar tentang bagaimana kehidupan di kota dijalankan
oleh penduduknya seperti di Manado. Menjadi warga Manado yang
beragama Islam, hidup berdampingan dengan berbagai macam
penganut agama, berkawan dengan mereka yang berbeda agama,
berbeda tata cara ibadah, berbeda kitab suci, saya belajar tentang
bagaimana sesungguhnya “menjalankan” ajaran agama dalam
kehidupan sebagai warga kota. Menjadi minoritas di kota ini tidak
lantas menjadikan kita sebagai warga kota kelas dua yang rawan
64 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
penindasan. Menjadi minoritas di Manado mengajarkan tentang
bagaimana sesungguhnya kita menghargai pillihan-pilihan orang
lain, serta bagaimana sesungguhnya menerjemahkan ajaran agama
dalam konteks kehidupan kota Manado yang modern dan kompleks.
Ajaran agama yang universal, menebarkan kebaikan, mencintai serta
menghargai sesama. Dan tentu saja, hal terakhir yang saya syukuri
adalah bahwa saya terlahir, dibesarkan sebagai muslim di kota
Manado yang telah mengajarkan banyak hal tentang menghargai.
Doa: Ada Harapan, ada Ketegangan
Sebagai orang yang percaya pada Tuhan, kita selalu memanjatkan harapan, keinginan dan cita-cita. Kita menyebutnya
sebagai do’a; permintaan dari hamba kepada sang pencipta. Manusia
menginginkan banyak hal dalam keterbatasannya, untuk itulah
mereka perlu berdoa. sebagai kota yang dihuni oleh ratusan ribu
orang dari berbagai agama dan etnis, doa menjadi bagian dari nafas
kehidupan orang Manado. Mereka berdoa setiap setiap saat; memulai
pekerjaan, menyantap hidangan, sebelum tidur bahkan dalam acaraacara resmi yang diadakan oleh instansi pemerintah. Jika kita berada
di kota Manado, anda akan mendengarkan do’a hampir sepanjang
kehidupan anda. Kita bisa mendengarkan kidung pujian dari gerejagereja yang dinyanyikan pagi dan malam, atau doa yang dipanjatkan
dari klenteng dan pura. Bahkan setiap jum’at dan lima kali dalam
sehari, kita bisa mendengarkan panggilan azan dari ratusan masjid
yang ada di kota Manado, memenuhi langit kota. di Manado, doadoa dipanjatkan dari berbagai penjuru, dari siapa saja yang menaruh
harap pada Tuhan. Di Manado, ribuan doa dipanjatkan di bawah
satu langit yang sama.
Berbicara tentang doa, di beberapa tempat yang terletak di luar
kota Manado telah dibangun beberapa monument dengan simbolsimbol agama. Di kota Tomohon, yang bisa dicapai dalam waktu 30
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 65
menit dari Manado, terdapat sebuah tempat yang disebut sebagai
bukit doa. tempat ini terletak di wilayah pegunungan yang sejuk,
dipenuhi pepohonan yang sejuk dengan pemandangan menghadap
gunung Lokon. di bukit doa terdapat sebuah kapel dan sebuah rute
perjalanan Panjang yang disetiap perjalanannya dibangun patung
yang menggambarkan perjalanan Yesus menuju tiang salib. Di ujung
jalan, terdapat sebuah miniatur gua yang dibangun menyerupai
makam Yesus. Sementara di ujung tempat perjalanan berakhir,
terdapat sebuah kolam kecil dengan jembatan batu kecil. Dari
tempat ini, kita bisa melihat patung Bunda Maria yang diletakkan
dalam sebuah ceruk dinding.
Kita keliru jika mengira bahwa bukit doa adalah tempat yang
dibangun khusus untuk penganut Katolik. Di tempat ini, semua
orang dari berbagai agama datang, mengunjungi kapel, meski tak
semuanya berdoa. Bahkan banyak yang datang Bersama pasangan,
keluarga maupun teman ke tempat ini. Bukit do’a, mungkin tidak
sekedar tempat berdoa. ini mungkin juga menjadi tempat kita
menaruh harapan, tempat dimana perbedaan-perbedaan melebur di
bawah langit yang teduh serta udara yang dingin dan basah.
Jauh dari kota Tomohon, berjarak kurang lebih 1,5 jam,
terdapat sebuah monument yang disebut Bukit Kasih Kanonang.
Terletak di desa Kanonang, tempat kelahiran A.J Sondakh, Mantan
Gubernur Sulut yang wafat dengan damai pada tahun 2007, yang
dimakamkan di sebuah bukit kecil yang terletak di pintu masuk
Kawasan ini. Sondakh menjadi pencetus dibangunnya Bukit kasih
sebagai sebuah bentuk komitmen terhadap kerukunan beragama di
Sulawesi Utara. Di tempat ini dibangun tugu toleransi setinggi 22
meter yang terpahat kutipan dan simbol dari masing-masing agama.
Sementara di puncak bukit, terdapat 5 rumah ibadah untuk semua
penganut agama.
Di kedua tempat ini, bukit doa dan bukit kasih, rumah ibadah
66 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
bukanlah sesuatu yang hanya menjadi milik satu penganut agama.
Seorang muslim bisa mengunjungi kapel, dan seorang Kristen
bisa mengunjungi masjid. Ditempat ini, keimanan menemukan
bentuknya yang paling polos; Tuhan bisa ditemukan dimana saja,
dan doa bisa dari mana saja.
Doa selalu menjadi bagian paling intim dari beragama. Bahkan
dalam kehidupan sehari-hari, doa menjadi ritual wajib sebelum
memulai aktifitas. Di Manado, ritual “doa Bersama” bahkan menjadi
salah satu agenda dalam beberapa kegiatan keagamaan. Biasanya
setiap pemuka agama yang mewakili setiap agama akan diminta
untuk berdoa bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan
berdoa pun sering diadakan ditempat umum dan terbuka, dengan
mengundang banyak Jemaah, oleh setiap agama. kita akan sering
menjumpai pelaksanaan ibadah umat Kristiani atau pun zikir dan
tabligh akbar umat Islam yang diselenggarakan di lapangan, bahkan
sering mengundang perwakilan pemerintah. Ini pemandangan yang
sudah umum di Manado. Doa memiliki dimensinya; ada ikatan
dengan pencipta juga harapan. Seperti kata Goenawan Muhammad,
tiap doa mengandung ketegangan. Doa selalu bergerak, antara
ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara Hasrat ingin
mengerti dan rasa takjub yang juga takzim. Di hadapan Tuhan, lidah
tak bisa bertingkah.
Itu pula sebabnya, maka pemerintah Manado mencetuskan
bahwa Manado harus menjadi kota doa. dalam doa, ada pengharapan,
metafora dan keterbatasan Bahasa manusia. Dalam doa manusia
menyusu bait-bait perumpamaan juga kiasan. Dalam doa, manusia
bahkan juga pemerintah merasa perlu meminta bantuan Tuhan. Kota
ini terlalu kompleks, juga paradoks. Manado, tempat berkumpulnya
kemaksiatan dan juga kesalehan. Kita merasa perlu menambah baris
doa atau mungkin lama waktu ibadah. Tak soal. Tapi mengapa kita
perlu Manado sebagai “kota do’a”? Tentu saja, kita ingin hidup yang
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 67
tak terputus dengan Tuhan. Doa adalah cara paling memungkinkan
mencapai Tuhan. Tapi mengapa Manado harus dijadikan kota do’a?
Apa maknanya?
Kita bisa menganggap frasa “kota doa”, sebagai kota tempat
berdoa, tempat umat dari berbagai agama memanjatkan harapan
dan keinginan kepada Tuhan. Manado adalah rumah bagi banyak
agama, hidup dalam damai dan berdo’a bagi Tuhan masing-masing
di bawah satu langit yang sama. Manado kota doa bisa berarti
sebuah kota yang identitas sosial dan kulturnya dibangun diatas doa
berbagai umat beragama.
Doa memiliki dimensi sosial dan spiritual. Namun, dengan
menjadikan slogan Manado kota doa, maka doa juga memiliki
dimensi sosialnya sendiri. Jika kita sebagai umat beragama selalu
memanjatkan doa di rumah ibadah masing-masing, pada setiap
ibadah yang kita laksanakan, maka dimensi sosial dari doa di Manado
berarti kita memanjatkan cita-cita dan harapan Bersama masyarakat
Manado, kepada sang pencipta untuk pembangunan dan masa depan
kota Manado yang lebih baik.
Pemerintah tahu, bahwa membangun Manado tidak sekedar
fisik seperti Gedung besar, jalanan atau trotoar. Ada hal-hal yang
bersifat spirit, keyakinan yang dianut oleh seluruh warga Manado.
Menjadikan Manado sebagai kota do’a, mengandung harapan
terhadap nilai-nilai yang bermanfaat bagi semua.
Tapi konsep ini pun sama abstraknya dengan do’a itu sendiri.
Apakah kota doa sekedar slogan, agar kota ini tetap dianggap
toleransi? Ataukah sekedar mempertahankan angka-angka dalam
survei indeks kerukunan yang diadakan oleh Lembaga-lemabaga
riset? Bukankah, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kita juga
pernah bermasalah terkait rumah ibadah?
Masjid Texas, yang sudah berdiri puluhan tahun di tengahtengah kota Manado, pernah menjadi polemik yang hampir memicu
68 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
konflik horizontal. Beberapa kelompok adat melakukan demo di
depan masjid, berteriak sambil membawa senjata tajam, beberapa
saat menjelang maghrib. Jika belum selesai dengan persoalan rumah
ibadah atau ibadah orang lain, maka slogan apapun hanya sekedar
formalitas untuk menyembunyikan wajah buruk kehidupan sosial
kita saat ini. Jangan sampai, kota Manado hanya dibangun diatas
kata-kata dan semboyan yang bersifat seremonial belaka, tapi dibalik
itu semua sebenarnya kita memendam benci satu sama lain.
Menjadikan Manado sebagai kota doa berarti menjadikan
kota ini tempat yang layak huni bagi semua agama. Berdoa tidak
sekedar komunikasi dengan Tuhan, berdoa berarti kita menaruh
harap, bahwa di tengah-tengah ketegangan dan kecemasan, bahwa
kita selalu punya jalan dan cara menyatukan setiap perbedaan.
Kota doa tidak boleh hanya sekedar berhenti pada formalitas
dan seremonial yang diadakan oleh pemerintah. Melekatkan doa
pada identitas masyarakat kota meniscayakan satu hal; setiap orang
punya harapan terhadap kota ini. Kota yang akan memastikan bahwa
di bawah satu langit yang sama, ada ribuan doa yang mengalir untuk
harmoni, perdamaian dan kesetaraan sebagai warga kota. diatas
semua itu, kita selalu berdoa agar Manado menjadi kota yang selalu
lebih baik di masa-masa mendatang.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 69
PEMBANGUNAN YANG BERPRESPEKTIF
GENDER
Oleh: Riane Elean
S
ebagai mahluk yang bernafas, manusia memiliki naluri untuk
bertahan hidup. Sedari awal peradaban manusia berjuang untuk
survive, memecahkan masalah, melawan kemiskinan, termasuk
meningkatkan kesejahteraan dirinya. Perjuangan ini menggiring
manusia untuk menemukan cara yang efektif dan paling efisien
sebagai jawaban dari setiap masalah dan tantangan hidup yang
dialami dalam upaya membuat hidupnya menjadi lebih baik.
Berbeda dengan mahluk hidup lain, manusia memiliki akal dan
pikiran untuk mengakses lebih banyak informasi dalam kehidupan,
belajar dari pengalaman dan memproduksi kiat-kiat yang berhasil
guna bagi dirinya maupun bagi komunitasnya sebagai mahluk
hidup dan mahluk sosial. Upaya manusia ini kemudian berkembang
menjadi tindakan sadar untuk merancang strategi kerja dengan
tujuan tertentu dengan lebih terencana, teratur dan terarah. Usaha
manusia menjadikan hidupnya lebih baik secara terencana inilah
yang kemudian disebut dengan istilah “pembangunan”.
Pembangunan sering menjadi jargon ampuh di negara
mana pun, terutama negara berkembang dan belum berkembang.
70
Negara melakukan proses pembangunan untuk mencapai target
tertentu, baik untuk kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan
negara itu sendiri. Banyak model-model pembangunan berbasis
ideologi diterapkan di banyak negara secara variatif, seberagam
kepentingan apa yang dibawa pembangunan tersebut bagi negara
yang menerimanya. Melihat realitas yang tengah terjadi, muncul
kekuatiran akan hakikat pembangunan yang cenderung semakin
memudar. Pembangunan semata hanya berwajah infrastruktur,
perindustrian, dan fasilitas fisik wilayah untuk mendukung roda
ekonomi global. Kalangan birokrasi tidak lagi melayani masyarakat
melainkan membuka jalan masuk dan mempermulus akumulasi
kapital. Lebih parahnya lagi, arahan dan kebijakan yang berorientasi
pada kepentingan akumulasi kapital ini berhasil dilegitimasi dalam
program nasional, baik jangka pendek maupun Panjang. Berbagai
program pembangunan banyak dimanfaatkan para pemangku
kekuasaan sebagai jalan untuk menjaring laba dan menancapkan
prospek yang mumpuni untuk tujuan bisnis. Instrumen pemerintahan yang dibangun sengaja membuka ruang terhadap lancarnya
peredaran kapital, sehingga tubuh pembangunan itu sesungguhnya
didedikasikan untuk kaum kapital. Kebijakan dan regulasi yang dibuat
mengatasnamakan pembangunan sering sangat relasional dengan
kepentingan penguasaan atas ruang sebagai syarat dari produksi
dan akumulasi laba. Konflik serta tercerabutnya hak masyarakat
atas ruang hidupnya merupakan implikasi yang memiriskan dari
kebijakan dan regulasi atas nama pembangunan.
Mayoritas agenda pembangunan di Indonesia juga masih
mendiskriminasi kelompok rentan sehingga terjadinya ketimpangan
struktur di dalamnya. Kelompok rentan yang dimaksud antara lain
adalah kelompok difabel, LGBT, pengidap HIV/AIDS, perempuan,
dan kelompok kepercayaan yang minoritas (INFID; 2014). Praktek
diskriminasi ini terjadi di berbagai ruang. Diskriminasi dalam
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 71
ruang ekonomi misalnya dapat dilihat sisi produksi pengetahuan
dan minimnya investasi publik dan meningkatnya kesenjangan
pendapatan, serta agenda pembangunan yang belum melibatkan
secara signifikan beberapa identitas sosial, seperti kelompok gender
tertentu, kelompok difabel, masyarakat adat, dan kelompok minoritas.
Dalam ruang hukum, saling berkaitan dengan ruang sosial yang
timpang, diskriminasi terjadi karena konstruksi oposisi biner, yang
merupakan konstruksi sosial dan umumnya satu di antara dua unit
memainkan peran dominan sehingga unit yang lain menjadi inferior,
contohnya laki-perempuan, normal-abnormal, mayoritas-minoritas.
Dalam ruang politik terlihat dari kondisi dimana eksistensi peraturan
masih tidak membawa perbaikan bagi kelompok-kelompok rentan
tersebut.
Pembangunan yang diupayakan manusia dalam perkembangannya telah bertemu dan berdialog dengan berbagai tata nilai
dan konstruksi-konstruksi sosial yang terbentuk dalam masyarakat
pada masing-masing tempat dan waktu, termasuk di dalamnya
keyakinan, agama dan pemahaman yang dibentuk atasnya. Dalam
dialektika ini kemudian muncul berbagai persoalan terkait dengan
perencanaan dan tahapan pelaksanaan pembangunan, pun setelah pembangunan dijadikan agenda sebuah negara. Mengapa
pembangunan dilakukan? mengapa skemanya ditentukan, bahkan
oleh perancang pembangunannya bukan oleh negara penerima
rencana pembangunan? dan apa kepentingan di balik pelaksanaan
pembangunan? Apakah pembangunan telah tepat sasaran? Apakah
pembangunan telah menjangkau semua lapisan masyarakat? Apakah
pembangunan telah bebas stigma, diskriminasi dan kekerasan?
Apakah pembangunan telah dilakukan dengan memperhatikan
keutuhan ciptaan? jika pembangunan berarti kemajuan, bagaimana
kemajuan itu diukur? Bentuk masyarakat seperti apa yang dituju
oleh pembangunan? Pertanyaan kemudian: meskipun masyarakat
72 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
senantiasa berubah dan dinamis, perubahan yang terjadi apakah
selalu mengarah pada kemajuan? Pertanyaan-pertanyaan inilah antara
lain yang kerap muncul dalam upaya mengkritisi dan mengevaluasi
pembangunan yang telah berjalan dan rancangan pembangunan
yang akan dikerjakan.
Berkaca dari kenyataan masih banyaknya kelompok rentan yang
terdiskriminasi dalam agenda pembangunan, maka isu diskriminasi
dan ketimpangan struktural sudah seharusnya menjadi kunci konsep
dalam studi perencanaan agenda pembangunan. Perspektif ini yang
akan memperdalam pelaksanaan pembangunan dengan mengingat
bahwa kebijakan-kebijakan pendukung pembangunan saja tidak
akan cukup, namun lebih jauh lagi bagaimana kebijakan-kebijakan
tersebut harus dapat bersifat inklusif, menjangkau seluruh elemen
masyarakat secara keseluruhan serta mengarusutamakan suarasuara kelompok rentan dalam agenda pembangunan sehingga dapat
meminimalisir terjadinya praktek-praktek diskriminasi secara lebih
komprehensif.
Dari sekian banyak dan luasnya aspek kajian terhadap
pembangunan, maka tulisan ini akan memberikan batasan pada
analisis terhadap pembangunan terutama secara khusus dalam
kaitan dengan isu gender, yang diharapkan bisa memberi kontribusi
bagi pembangunan di Sulawesi Utara. Tak ada gading yang tak retak,
demikian juga tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
berbagai masukan sangat diharapkan untuk peningkatan kualitasnya.
Teori-Teori Pembangunan
Dalam pemahaman sederhana, pembangunan diartikan
sebagai proses perubahan ke arah yang lebih baik, dengan upaya yang dilakukan secara terencana. Kata “pembangunan”,
sebagaimana menjadi tafsiran umum, sering diartikan pula sebagai
usaha memajukan kehidupan masyarakat dan warganya (Budiman,
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 73
1995; 65). Sejalan dengan itu pemahaman yang sama tentang
definisi pembangunan dikemukakan oleh Heru Nugroho bahwa
pembangunan adalah perubahan sosial dari kondisi tertentu ke arah
kondisi yang lebih baik (Nugroho, 2001;73). Pembangunan adalah
sebagai proses perubahan yang terencana dari suatu situasi nasional
yang satu ke situasi nasional yang lain yang dinilai lebih tinggi
(Tjokrowinoto, 1987;23).
Secara lebih spesifik Soerjono Soekanto mendefinisikan
pembangunan sebagai suatu proses perubahan di segala bidang
kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu, dimana proses pembangunan itu sendiri harus
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara
spritual maupun material (Soekanto, 1999;70). Pembangunan
sebagai sebuah proses perubahan sudah seharusnya menciptakan
kesejahteraan masyarakat, seperti yang diutarakan oleh Agus Salim,
bahwa pembangunan adalah sebuah proses perencanaan sosial yang
dilakukan oleh birokrat perencanaan pembangunan, untuk membuat
perubahan sosial yang akhirnya dapat mendatangkan peningkatan
kesejahteraan bagi masyarakatnya (Salim, 2002;64).
Secara terminologis, di Indonesia pembangunan sering
diidentikkan dengan istilah development, modernization, westernization,
empowering, industrialization, economic growth, europanization. Identifikasi
pembangunan dengan beberapa terminologi tersebut lahir karena
pembangunan memiliki makna yang multitafsir, sehingga kerap
kali istilah tersebut disamakan dengan beberapa istilah lain yang
berlainan arti (Tjokrowinoto, 1996;7). Pembangunan dalam
sebuah negara sering dikaitkan dengan pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan
total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya
peningkatan jumlah dan produktifitas sumber daya, termasuk
pertambahan penduduk, disertai dengan perubahan fundamental
74 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
dalam struktur ekonomi suatu negara serta pemerataan pendapatan
bagi penduduk suatu negara. Terkait dengan ini Sumitro (Deliarnov,
2006;89). memberikan catatan kritis. menurutnya proses pembangunan ekonomi harus merupakan proses pembebasan, yaitu
pembebasan rakyat banyak dari belenggu kekuatan-kekuatan
ekonomi, dan pembebasan negara-negara berkembang dari belenggu
tata kekuatan ekonomi dunia.
Teori pembangunan merupakan salah satu teori besar yang
juga dikenal dengan istilah ideologi developmentalisme. Sesuai
namanya, teori ini berporos pada aspek pembangunan, lebih
khususnya pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi.
Gagasan inti teori pembangunan adalah asumsi bahwa pertumbuhan
ekonomi merupakan motor penggerak terciptanya kesejahteraan
sosial dan progres politik. Kesejahteraan sosial dicapai di bawah
naungan sistem kapitalisme. Sedangkan progres politik dicapai
dengan diterapkannya sistem demokrasi. Pembangunan melalui
kapitalisme akan membawa masyarakat dari tradisional, terbelakang,
dan tribal menuju masyarakat yang modern, maju, dan progress.
Apabila masyarakat mengalami transformasi menjadi masyarakat
yang modern, aspek politik akan bergerak ke arah demokrasi. Dua
konsep ini: kapitalisme dan demokrasi adalah poros utama teori
pembangunan.
Arif Budiman membagi dunia ini dalam tiga Kawasan dalam
melaksanakan pembangunannya. Pertama, kawasan negara-negara
yang melaksanakan pembangunannya dengan sistem kapitalisme
berkombinasi dengan pelaksanaan sistem welfare state. Negara
ini adalah negara-negara industri maju, yang pamornya sedang
naik sekarang. Kedua, kawasan negara-negara yang melaksanakan
sistem sosialis dengan berbagai variasinya. Negara-negara sedang
mengalami krisis sekarang. Ketiga, kawasan negara-negara di
Dunia Ketiga yang menggunakan berbagai model campuran dalam
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 75
melaksanakan pembangunan.
Banyak faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
pembangunan. Salah satunya adalah agama. Seperti halnya yang
disimpulkan Max Weber, sosiolog dan ekonom ternama Jerman,
dalam bukunya yang termashur, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism (Weber, 1992), agama merupakan faktor penyebab
kemunculan kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Weber
mengungkapkan kemajuan ekonomi beberapa negara di Eropa dan
Amerika Serikat di bawah kapitalisme disebabkan terutama oleh
Etika Protestan yang dikembangkan Calvin.
Mukti Ali mengemukakan bahwa agama dalam pembangunan
berperan sebagai etos pembangunan. Agama menjadi anutan
seseorang atau masyarakat jika diyakini atau dihayati mampu
memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap. Selanjutnya, nilai
moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoman tingkah laku
seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Segala
bentuk perbuatan yang dilarang agama dijauhinya dan sebaliknya,
selalu giat dalam menerapkan perintah agama, baik dalam kehidupan
pribadi maupun demi kepentingan orang banyak. Dari tingkah laku
dan sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang etis.
Penerapan agama lebih menjurus keperbuatan yang bernilai akhlak
mulia dan bukan untuk kepentingan lain (Jalaluddin, 2004;255-257).
Agama juga menjadi motivator dalam pembangunan. Ajaran
agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong
seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan
yang lebih baik. Pengamalan ajaran agama tercermin dari pribadi
yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa
mengharapkan imbalan yang berlebihan. Keyakinan akan balasan
Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran
batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk beebuat tanpa
imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan
76 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
akhirat lebih didambakan oleh penganut agama yang taat. Melalui
motivasi keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik
dalam bentuk materi maupun tenaga atau pikiran. Pengorbanan
seperti ini merupakan aset yang potensial dalam pembangunan.
Gender dan Pembangunan
Secara umum gender sering diterjemahkan sebagai “jenis
kelamin sosial” yaitu merupakan suatu istilah atau konsep yang
menurut pemahaman tradisional masyarakat kebanyakan menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial
budaya. Gender mempunyai makna sosial, budaya dan psikologis.
Gender merupakan konsep pembeda antara perempuan dan laki-laki
yang merujuk pada relasi sosial dan membedakan fungsi serta peran
antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara
laki-laki dan perempuan tidak hanya ditentukan karena perbedaan
biologis atau kodrat, tetapi dibedakan menurut kedudukan, fungsi
dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat dan dinamikanya (Sukesi, 2017;17).
Tak dapat dipungkiri bahwa dua identitas gender yang paling
umum dipahami masyarakat adalah laki-laki dan perempuan (atau
pria dan wanita), dan seringkali orang berpikir bahwa hanya dua
inilah identitas gender itu. Gagasan bahwa hanya ada dua jenis
kelamin disebut “biner gender.” Jika seseorang memiliki identitas
gender biner, itu berarti dia telah mengidentifikasi diri baik sebagai
anak laki-laki atau perempuan, terlepas dari jenis kelamin yang
disematkan padanya saat lahir. Tetapi gender adalah spektrum,
dan tidak terbatas hanya pada dua kemungkinan. Seseorang
mungkin memiliki identitas gender Non-biner, yang berarti dia
tidak mengidentifikasikan diri secara tegas sebagai anak laki-laki
atau perempuan. Dia dapat mengidentifikasi baik jenis kelamin lain
sepenuhnya atau bahkan tidak mengidentifikasi diri dengan jenis
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 77
kelamin apa pun.
Jenis kelamin seseorang merupakan kaitan yang sangat
kompleks antara tiga dimensi: dimensi pertama ialah tubuh,
pengalaman kita tentang tubuh kita sendiri, bagaimana masyarakat
membentuk tubuh gender, dan bagaimana orang lain berinteraksi
dengan kita berdasarkan tubuh kita. Dimensi kedua ialah identitas,
yakni rasa internal diri kita yang dalam, sebagai laki-laki, perempuan,
campuran keduanya, atau tidak keduanya, yang secara internal
dipahami oleh diri kita sendiri. Dimensi yang ketiga ialah ekspresi,
yakni bagaimana kita mengekspresikan diri kita di dunia, dan
bagaimana masyarakat, budaya, komunitas, dan keluarga memahami,
berinteraksi dengan, dan mencoba untuk membentuk gender kita.
Ekspresi gender juga terkait dengan peran gender dan bagaimana
masyarakat menggunakan peran tersebut untuk berkonformasi
dengan norma-norma gender saat ini. Masing-masing dimensi ini
dapat sangat bervariasi di berbagai kemungkinan. Kenyamanan
seseorang dalam gender mereka terkait dengan sejauh mana tiga
dimensi ini terasa selaras.
Ada berapa istilah lainnya yang perlu dipahami ketika berbicara
tentang kompleksitas gender, di antaranya identitas gender, ekspresi
gender, dan orientasi seksual. Identitas gender adalah keadaan
perasaan dan pikiran seseorang tentang dirinya sendiri, terkait jenis
kelamin yang dimilikinya dan ekspresi gender yang ditampilkannya.
Identitas gender dapat digolongkan menjadi: pria (men) dan
perempuan (women), dengan kondisi variasi di antaranya (genderqueer).
Genderqueer meliputi pula seseorang yang mengidentifkasikan dirinya
sebagai pria maupun perempuan secara bersamaan, bergantian,
berubah-ubah, atau tidak sebagai pria maupun sebagai perempuan,
atau sebagai bentuk identitas gender lain yang sulit didefinisikan. Itu
berarti ketika berbicara tentang gender bukan hanya bicara tentang
perempuan atau laki-laki saja, tetapi juga bicara genderqueer atau
78 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
bahkan beragam spektrum gender lainnya.
Seseorang yang identitas gendernya tidak bersesuaian dengan
jenis kelaminnya sehingga cenderung menampilkan pola ekspresi
gender sesuai cara pandang dirinya disebut sebagai transgender.
Di Indonesia, waria adalah istilah untuk seorang yang dilahirkan
dalam jenis kelamin laki-laki yang identitas gendernya perempuan.
Sedangkan priawan adalah istilah untuk seorang yang dilahirkan
dalam jenis kelamin perempuan, namun identitas gendernya pria.
Seorang individu yang mengubah keadaan fisik alat kelaminnya dari
laki-laki menjadi perempuan, atau sebaliknya, baik seluruh ataupun
sebagian, disebut dengan transseksual. Pada kondisi tertentu, dapat
dijumpai transgender yang juga transseksual; meski di sisi lain, tidak
semua transgender ingin melakukan perubahan pada alat kelaminnya.
Orientasi seksual adalah pola ketertarikan seksual, romantis
atau emosional seseorang kepada orang lain. Orientasi seksual dapat
ditujukan kepada orang dengan jenis kelamin yang berlawanan
(laki-laki kepada perempuan, atau sebaliknya), sehingga disebut
heteroseksual atau dapat pula ditujukan kepada orang dengan jenis
kelamin yang sama (laki-laki kepada laki-laki lain, atau perempuan
kepada perempuan lain), sehingga disebut homoseksual. Lesbian
adalah istilah informal untuk homoseksual perempuan, dan gay
adalah istilah informal untuk heteroseksual laki-laki. Sebagaimana
jenis kelamin, orientasi seksual dapat bervariasi dalam berbagai
tingkatan antara heteroseksual dan homoseksual.
Ternyata perbedaan antara seks dan gender mempunyai
implikasi yang sangat penting, karena manusia berkembang sebagai
hasil konstruksi sosial. Dalam memperbaiki kehidupan, masyarakat
perlu memahami perbedaan seks dan gender. Perbedaan seks
tidak otomatis sejalan dengan perbedaan gender, karena gender
merupakan hasil sosialisasi masyarakat yang dapat berbeda karena
waktu, tempat, dan kemauan masyarakat untuk mengubah.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 79
Sedangkan perbedaan seks sifatnya biologis dan universal (Sukkesi,
2017;97). Perbedaan gender menghasilkan pemberian peran gender
pada laki-laki, perempuan, maupun kepada identitas gender lainnya
oleh masyarakat sesuai kehendaknya.
Ketidakadilan gender dalam pembangunan masih terus terjadi.
Murniati mencatat bahwa ketidakadilan gender dalam hubungan
dengan kerja terjadi ketika perempuan dan laki-laki sama-sama
mempunyai peran dalam produksi benda atau jasa, di sektor publik
dari tingkat lingkungan sampai tingkat pemerintahan. Tetapi, tugastugas yang berhubungan fungsi reproduksi masyarakat , pekerjaanpekerjaan domestik, hampir selalu menjadi tanggung jawab
perempuan. Akibatnya, jam kerja perempuan jauh lebih panjang
dibanding laki-laki. Pekerjaan reproduksi dianggap rendah dan
tidak dinilai ekonomis, padahal pekerjaan domestik ini merupakan
pekerjaan mempersiapkan tenaga kerja dalam masyarakat (Murniati,
2004;99).
Ketidakadilan gender dalam hubungan dengan sumber alam
dan manfaatnya dalam beberapa kelompok masyarakat, perempuan
tidak boleh memiliki tanah akibatnya untuk menanam bahan pangan,
mereka harus tergantung kepada bapak, suami, atau saudara laki-laki.
Dalam masyarakat lainnya, perempuan tidak boleh mengikuti kursus
pemberantasan buta aksara, dengan alasan bahwa perempuan sudah
banyak pekerjaannya. Setiap harinya, jumlah jam kerja perempuan
lebih banyak dari jumlah kerja laki-laki, tetapi tidak diperhitungkan
secara ekonomi.
Ketidakadilan gender dalam kaitannya dengan hak asasi terjadi
ketika hak asasi perempuan tidak diakui di dunia. Dalam pembicaraan
hak asasi, tidak otomatis hak asasi perempuan termasuk di dalamnya.
Kenyataan ini membuktikan bahwa perempuan tidak mempunyai
hak pribadi, meskipun untuk menentukan fungsi reproduksi sendiri.
Perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri,
80 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
karena dipaksa kawin misalnya. Perempuan tidak dapat menentukan
jenis pekerjaan, karena mereka sudah ditentukan dengan pekerjaan
domestiknya. Dalam banyak kebudayaan yang mempunyai ritus
pemotongan kelamin perempuan atau perusakan badan, perempuan
secara terus-menerus teraniaya atau bahkan dibunuh sebagai bagian
dari upacara adat.
Ketidakadilan gender dalam kaitannya dengan kebudayaan dan
agama terjadi ketika perempuan mengalami diskriminasi di segala
lingkungan. Pelaksanaan dan praktek beragama maupun kebudayaan
merupakan sumber ketidakadilan gender dan diskriminasi hak asasi
perempuan. Agama mengajarkan persamaan hak untuk semua umat
manusia, tetapi dalam praktiknya tidak. Perempuan diberi kedudukan
subordinat dan tidak mempunyai kuasa untuk menentukan ajaran
agama. Kitab suci dari berbagai agama ditafsirkan sesuai dengan
perbedaan posisi antara perempuan dan laki-laki. Kebudayaan
juga memberikan banyak aturan kepada perempuan, dan memberi
keistimewaan makan pada laki-laki sendiri.
Ketidaksetaraan terlihat juga dari masih rendahnya partisipasi
perempuan dalam pengambilan keputusan, hal tersebut dapat
dilihat dari menurunnya keterwakilan perempuan pada parlemen
dari 18,2% pada 2009 menjadi 17,3% pada 2014. Padahal, kandidat
perempuan yang masuk daftar pemilih meningkat dari 33,6%
menjadi 37%. Ketidaksetaraan gender juga terlihat di bidang
Kesehatan sehingga target kesehatan ibu tidak tercapai. Selain itu
dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012,
terdapat kenaikan angka kematian ibu dari 228 per 100 ribu kelahiran
menjadi 359 per 100 ribu kelahiran. Ketidaksetaraan gender juga
terlihat dengan banyaknya kasus kekerasan dan kejahatan terhadap
perempuan dan anak di Indonesia. Tidak hanya kekerasan fisik,
tapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual dan ekonomi (Media
Indonesia).
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 81
Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender bukan hanya
terjadi dalam relasi biner perempuan dan laki-laki. Fakta miris ini
juga terjadi pada variasi gender lainnya. Hasil penelitian “Menguak
Stigma, Diskriminasi, dan Kekerasan pada LGBT di Indonesia” yang
dilakukan Arus Pelangi, Komunitas Sehati Makassar dan PLUSH
tahun 2013 lalu menguak fakta bahwa: 89.3% LGBT di Indonesia
mengalami kekerasan berbasis SOGIE (Seks orientation, gender identity,
and expression). Pada umumnya kelompok LGBT mengalami banyak
kekerasan dan diskriminasi dalam kesempatan kerja dan tempat
tinggal, Pendidikan, kesehatan, kesejahteraan (UNDP&USAID),
LGBT sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor
formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena
lingkungan yang tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara
mereka yang berhasil mendapat pekerjaan juga kerap mengalami
perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, diancam dan bahkan
mengalami kekerasan secara fisik (Pride Project; 2014).
Dalam dunia kerja, kelompok LGBT yang masih merahasiakan
statusnya dalam situasi tertentu masih dapat masuk ke dunia kerja
tanpa diskriminasi berarti, sementara LGBT yang terbuka lebih
banyak mengembangkan diri pada situasi pekerjaan yang tidak
begitu terikat dengan norma-norma, seperti menjadi wirausaha
mandiri. Sedangkan kelompok transgender (waria) merupakan
kelompok yang paling banyak mendapatkan diskriminasi karena
penampilan mereka yang berbeda. Sehingga kelompok ini banyak
mengembangkan diri pada sektor-sektor informal seperti salon,
industri kreatif, hiburan dan beberapa di antaranya masuk dalam
dunia prostitusi.
Upaya pemecahan masalah berkaitan dengan adanya
ketimpangan atau kesenjangan gender adalah melalui pembangunan
dengan pendekatan gender. Cara yang dapat dilakukan antara
lain adalah dikembangkannya wawasan keadilan dan kesetaraan
82 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
gender serta teknik analisis gender dengan berbagai metode untuk
menemu-kenali masalah gender. Hal tersebut dilakukan untuk
menghilangkan, mengurangi, memperbaiki kesenjangan gender.
Pembangunan dengan pendekatan ini dalam penyusunan rencananya
telah mengakomodasi aspirasi, kepentingan dan peranan individu di
dalamnya serta memperhatikan dampaknya terhadap semua lapisan
masyarakat.
Di Indonesia, pembangunan dengan pendekatan gender telah
dicanangkan program pemerintah yaitu pengarusutamaan gender
(PUG) yang sejak tahun 2000 digalakkan untuk disosialisasikan
pada seluruh pemerintah daerah agar kebijakan dan program
pembangunan yang dilaksanakan tidak bias gender, tidak timpang
gender, dan selalu mengintegrasikan aspek gender dalam proses
pembangunan. Namun pengarusutamaan gender ini lebih kepada
program pemberdayaan terhadap identitas gender yang biner, tanpa
menyinggung-nyinggung bahkan memberi tempat pada keragaman/
spektrum identitas gender seperti yang dipaparkan di atas.
Perempuan Indonesia memegang peranan penting dalam
pembangunan, jumlahnya yang mencapai 118.048.783 (49%) orang
dari 237.556.363 orang penduduk Indonesia (sensus pendudukan
2010), merupakan jumlah yang potensial untuk pembangunan
nasional. Dengan jumlah yang demikian banyak, pantas bila
perempuan dijadikan salah satu komponen pembangun bangsa.
Peran perempuan dalam pembangunan bangsa Indonesia sangat
besar dan merupakan aset bangsa yang potensial dan kontributor
yang signifikan dalam pembangunan bangsa baik sebagai agen
perubahan maupun subyek pembangunan (academia.edu; 2018).
Namun saat ini perempuan Indonesia dinilai masih jauh
tertinggal, dibandingkan dengan perempuan negara-negara maju
lainnya. Indikator hal tersebut dapat dilihat dari tiga hal. Pertama,
aspek ekonomi. Kaum perempuan Indonesia masih banyak
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 83
yang berada dalam garis kemiskinan. Rendahnya pendapatan dan
kurangnya akses dalam perekonomian membuat kaum perempuan
Indonesia semakin terpuruk. Saat ini 4,7 juta perempuan di
Indonesia masih menganggur. Masih kuatnya budaya patriarki juga
menyebabkan ketimpangan sosial. Sehingga, kaum perempuan
sulit mengakses pekerjaan, pendidikan dan aktualisasi diri. Kedua,
aspek pendidikan. Dari jumlah perempuan pekerja di Indonesia
sekitar 81,15 juta orang dan 56 persen atau 45,4 juta orang di
antaranya hanya berpendidikan SD. Hanya 4,7 persen atau 3,8 juta
yang berpendidikan akademi atau sarjana, data BPS tersebut juga
menunjukkan bahwa banyak kasus anak perempuan terpaksa tidak
bersekolah untuk mengurangi biaya pendidikan yang ditanggung
keluarganya dan terpaksa masuk ke angkatan kerja mencari nafkah
bagi keluarganya, dan lebih banyak anak perempuan usia sekolah
yang bekerja dibandingkan anak laki-laki. Jumlah buta aksara
perempuan masih 2 kali lipat dari laki-laki (perempuan 12,28%, lakilaki 5,48%) dan rata-rata lama bersekolah perempuan (7,1 tahun)
lebih rendah daripada laki-laki (8,0 tahun). Jumlah sarjana perempuan
yang masih di bawah 5% Ketiga, aspek kesehatan. Derajat kesehatan
kaum perempuan juga sangat memprihatinkan. Walaupun Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sudah menurun, namun ternyata
masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.
AKI di Indonesia terakhir erada di angka 228/100.000 kelahiran
hidup setelah sebelumnya sebesar 307/100.000 kelahiran hidup.
Pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 9/2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, sebagai
acuan memaksimalkan potensi perempuan dalam pembangunan.
Dalam keluarga, kaum perempuan merupakan tiang keluarga, kaum
perempuan akan melahirkan dan mendidik generasi penerus. Kualitas
generasi penerus bangsa ditentukan oleh kualitas kaum perempuan
sehingga mau tidak mau kaum perempuan harus meningkatkan
84 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
kualitas pribadi masing-masing. Tidak mungkin akan terbentuk
keluarga yang berkualitas tanpa meningkatkan kualitas perempuan.
Kualitas pendidikan perempuan juga merupakan aspek yang sangat
penting bagi pembangunan bangsa. Kaum perempuan harus
berusaha meraih jenjang pendidikan setinggi mungkin. Peningkatan
derajat kesehatan perempuan juga seiring dengan upaya peningkatan
akses pendidikan, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
dan pelayanan kesehatan. Terlepas dari semua kekurangan dan
keterbatasan perempuan Indonesia, saat ini perempuan Indonesia
berbeda dengan perempuan Indonesia masa lalu. Bila dulu
perempuan Indonesia beraktivitas hanya di sekitaran keluarga dan
rumah tangga, kini bisa disaksikan bagaimana perempuan Indonesia
berperan hampir dalam setiap bidang pekerjaan dan profesi.
Bahkan, salah seorang presiden Indonesia adalah perempuan. Tidak
sedikit pula yang berprofesi sebagai pimpinan dalam perusahaan
atau lembaga. Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas perempuan
Indonesia, sesungguhnya tidak kalah dari kaum laki-laki. Oleh
karena itu, optimisme akan pembangunan nasional dan daerah
yang bertumpu pada semua pihak akan terselenggara dengan baik.
Dukungan semua pihak tetap diperlukan, agar keseimbangan yang
telah terjadi selama ini, dapat terus disempurnakan, saling mengisi
dan memberikan kontribusi pada pembangunan daerah dan nasional.
Indonesia diperkirakan pada 2020-2030 akan mendapatkan
bonus demografi. Saat itu jumlah usia produktif (1564 tahun) akan
mencapai 70% dan sisanya 30% ialah penduduk yang tidak produktif
(di bawah usia 15 tahun dan di atas 65 tahun). Bonus demografi
itu tentunya akan membawa berkah lantaran melimpahnya jumlah
penduduk usia kerja dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Demografi jika dikelola dengan baik akan menjadi modal sumber
daya dalam pembangunan. Imbasnya kesejahteraan masyarakat pun
bisa meningkat. Agar berkah itu tak sia-sia, Indonesia sejak dini
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 85
dituntut melakukan beberapa hal, antara lain penguatan di bidang
pendidikan, kesehatan, dan politik untuk membangun daya saing.
Bagaimana dengan kondisi di Sulawesi Utara? Menurut
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut Moh. Edi Mahmud
(Tribun News; 5 Juli 2018), penduduk usia kerja di Sulawesi Utara
pada Februari 2018 kian meningkat, yaitu sebanyak 1,86 juta atau
naik 1,34% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Dari
sejumlah tenaga kerja tersebut, sekitar dua pertiganya merupakan
pekerja dan pencari kerja, sedangkan sisanya masih bersekolah,
mengurus rumah tangga, atau melakukan kegiatan aktif lainnya.
Meskipun secara kuantitas tenaga kerja meningkat, namun Angka
Partisipasi Angkatan Kerja (APAK) pada Februari 2018 turun
1,05 poin dibandingkan Februari 2017. Hal ini dikarenakan jumlah
pekerja dan pencari kerja berkurang, sebaliknya jumlah kelompok
bukan angkatan kerja bertambah, terutama mereka yang mengurus
rumah tangga. Pada Februari 2018, APAK di Provinsi Sulawesi Utara
tercatat sebesar 67,73 persen, artinya dari 100 penduduk usia kerja
terdapat 68 orang yang aktif secara ekonomi. Dilihat menurut jenis
kelamin, APAK laki-laki pada Februari 2018 hampir dua kali lipat
lebih tinggi dibandingkan APAK perempuan. Dari 100 penduduk
usia kerja laki-laki, sekitar 83 orang berpartisipasi aktif secara
ekonomi, sedangkan dari 100 penduduk usia kerja perempuan,
hanya sekitar 51 orang berpartisipasi aktif secara ekonomi. Selain
itu, meskipun lebih dari separuh penduduk usia kerja perempuan
telah tergabung dalam angkatan kerja, namun hanya 47,71 persen
yang masuk pasar kerja. Jika dibandingkan dengan bulan yang sama
tahun sebelumnya, persentase pekerja perempuan turun 0,92 poin.
Hal ini dikarenakan semakin banyak penduduk perempuan yang
mengurus rumah tangga. Sementara Data BPS 2016 jumlah PNS
perempuan di Sulawesi Utara 44626. Laki-laki 31913, dari jumlah
total 76539 atau 58,3 persen (bps.go.id; 2016).
86 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Pada beberapa periode, di provinsi Sulut ada tujuh kabupaten/
kota dipimpin perempuan. Kabupaten Minahasa Utara oleh
Vonnie Panambunan, Walikota Kotamobagu Tatong Bara, Bupati
Kabupaten Talaud Sri Wahyumi Manalip, Bupati Minahasa Selatan
Christiany Eugenia Paruntu, dan Bupati Bolaang Mongondow
Yasti Soepredjo Mokoagouw. Untuk posisi wakil bupati ada di
Kepulauan Sitaro Sisca Salindeho dan Kota Tomohon Syerli Adelin
Sompotan. Disamping itu, Provinsi Sulawesi Utara pernah memiliki
Marlina Moha-Siahaan (mantan Bupati Bolmong), Telly Tjanggung
(mantan Bupati Minahasa Tenggara), Yulisa Baramuli (Mantan
Wakil Bupati Minahasa Utara), Syenie Watulangkow (mantan Wakil
Walikota Tomohon). Belum lagi anggota DPR di kabupaten/ kota
dan provinsi yang banyak dijabat perempuan. Semakin banyaknya
perempuan memegang peranan di ruang publik sebagai penentu
kebijakan, diharapkan berbanding lurus dengan lahirnya kebijakankebijakan publik yang mengakomodir berbagai dimensi peran
perempuan dalam kehidupan dan menyediakan pelayanan dan
perlindungan yang diperlukan. Representasi perempuan di ruang
publik diharapkan mampu menelurkan produk-produk legal yang
bukan saja menyentuh dimensi pengaturannya saja, tetapi juga
mengatur penyediaan anggaran yang diperlukan, sehingga ini pada
akhirnya diharapkan mampu meminimalisir diskriminasi terhadap
perempuan.
Sedikitnya keterlibatan perempuan dalam pembuatan keputusan di tingkat lokal, baik untuk peraturan maupun alokasi anggaran,
menyumbang fakta bahwa peraturan daerah yang dihasilkan pada
masa otonomi daerah kurang responsif terhadap isu gender.
Keterbatasan akses membuat perempuan mengalami kesulitan untuk
menunjukkan bahwa kepentingannya tidak terwadahi dalam sistem
politik yang. Keterbatasan keterlibatan perempuan di ruang publik
juga menjadi kendala untuk mengembangkan organisasi perempuan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 87
yang bisa memformulasi kepentingan perempuan. Oleh karena itu
harus ada ruang untuk kemungkinan berkembangnya kesempatan
bagi perempuan untuk mendefinisikan sistem partisipasinya yang
memungkinkan kebutuhan-kebutuhannya bisa diperhatikan. Sebuah
aksi afirmatif dibutuhkan untuk memberi ruang bagi diskursus
perempuan dalam pembuatan kebijakan. Aksi afirmatif bukanlah
sekedar penambahan jumlah perempuan dalam pembuatan
kebijakan, tetapi juga bagaimana mencerminkan keragaman peran
perempuan yang ada pada tiap daerah. Peningkatan kapasitas lebih
mendalam bagi para pembuat keputusan -baik perempuan maupun
laki-laki- untuk membuat isu gender sebagai hal yang penting dan
wajib ada dalam peraturan daerah.
Penutup
Sebuah pembangunan hendaknya juga dimaknai secara holistik
atau menyeluruh, tidak hanya mencakup pembangunan ekonomi,
tapi juga sosial dengan mempertimbangkan juga kelestarian alam.
Apabila paradigma pembangunan diintegralkan kepada aspek
lingkungan maka tidak tampak prinsip pengutamaan pembangunan.
Artinya pembangunan tidak dipandang sebagai segala-galanya dan
dalam berhadapan dengan lingkungan tidak terdapat alasan untuk
mengorbankan atau menelantarkan lingkungan demi pembangunan.
Guna mengubah orientasi dari penekanan pembangunan, maka
konsep pembangunan berkelanjutan terdapat penekanan yang sama
terhadap aspek pembangunan ekonomi dan aspek lingkungan.
Lebih dari itu, karena tujuan pembangunan berkelanjutan adalah
kesejahteraan masyarakat, maka perlu diintegralkanlah aspek sosial
budaya, sehingga pembangunan berkelanjutan mengandung tiga
aspek, yakni ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.
Dalam pelaksanaan pembangunan, agama-agama mempunyai
tugas yang besar dan berat, yaitu meletakkan landasan spiritual,
88 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
moral dan etik yang kokoh bagi pembangunan nasional serta
memotivasi umat sebagai bagian dari bangsa untuk mengukir karya
pembangunan terbaik. Umat beragama juga merupakan sumber
daya pembangunan, sebagai sumber daya manusia. Dalam teori
ekonomi pembangunan, sumber daya manusia merupakan faktor
penting dalam pencapaian tujuan pembangunan. Oleh karena itulah
banyak negara, termasuk Indonesia melakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tanpa sumber
daya manusia yang handal maka pelaksanaan pembangunan tidak
dapat berjalan secara optimal.
Daftar Pustaka
Ringkasan seminar publik mengenai Praktik Diskriminasi dan Suara
Kelompok Renta dalam Pembangunan oleh INFID, Bandung
12 Juni 2014.
Budiman Arif. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Nogroho Heru. 2001. Negara, Pasar Dan Keadilan Sosial. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar.
Tjokrowinoto Moeljarto. 1987. Politik Pembangunan Sebuah Analisis
Konsep, Arah Dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soekanto Soerjono. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit
Grafindo Persada.
Salim Agus. 2002. Perubahan Sosial Sketsa Teori Dan Refleksi Metodologi
Kasus Indonesia Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana.
Tjokrowinoto Moeljarto. 1996. Pembangunan: Dilema dan Tantangan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
Max Weber. 1992. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
London: Routledge Classics.
H. Jalaluddin. 2004. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 89
Persada.
Sukesi Keppi dkk. 2017. Migrasi Perempuan, Remitansi dan Perubahan
Sosial Ekonomi Pedesaan. Malang: UB Press, 2017.
Murniati A. Nunuk P. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesia
Tera.
http://mediaindonesia.com/read/detail/46390-mewujudkankiprah-perempuan-dalam-pembangunan, diakses 6 Juli 2018.
UNDP_USAID. 2014. Laporan LGBT Nasional Indonesia – Hidup
sebagai LGBT di Asia. UNDP & USAID.
ILO. 2014. Gender Identity and Sexual Orientation in Thailand. PRIDE
PROJECT.
http://www.academia.edu/6567631/Peran_Perempuan_dalam_
Pembangunan, diakses 6 Juli 2018.
http://manado.tribunnews.com/2018/05/11/penduduk-usiakerja-sulut-naik-134-persen, diakses 5 Juli 2018.
https://www.bps.g o.id/statictable/2013/12/31/1163/
jumlah-pegawai-negeri-sipil-menurut-provinsi-dan-jeniskelamin-2007-2016.html, diakses 6 Juli 2016.
90 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH
MAYORITAS KRISTEN MANADO
Oleh: Ismail Suardi Wekke
P
endirian lembaga pendidikan dalam perjalanan kebangsaan
Indonesia tidak melepaskan diri dari tujuan untuk turut
berkontribusi bagi kemajuan masyarakat. Termasuk juga bagaimana
kesempatan ini digunakan untuk menegakkan spirit keberagamaan.
Bukan juga berarti bahwa kehadiran pesantren tidak tanpa masalah,
justru tetap saja ada dinamika yang berbeda antara pesantren dengan
dunia luar. Hanya saja, pesantren terus berusaha untuk senantiasa
relevan dengan memberikan dampak bagi dukungan sosial untuk
kelangsungan masyarakat yang mengitarinya (Madjid, 1997; 87).
Pada aspek inilah selalu pesantren menjadi perhatian, dimana
hubungan antara pesantren dengan lingkungan menjadi sebuah
interaksi sekaligus merupakan wahana tumbuh dan berkembangnya
proses pengembangan. Tidak saja dalam bentuk aksi internal tetapi
juga dalam hal peran di luar wilayah. Bahkan ini dilakukan dalam
skala nasional dan juga mencakup wilayah yang lebih luas. Kehadiran
pesantren, bahkan jauh sebelum Indonesia diproklamasikan.
91
Sehingga pesantren juga menjadi pilar bagi keberadaan Indonesia.
Kajian keislaman Indonesia mendapat perhatian dan menjadi
kecenderungan yang dikaji secara intensif. Hanya saja, kajian
keislaman lebih pada kawasan mayoritas muslim. Sementara itu,
penelitian masyarat muslim di wilayah minoritas mencakup beberapa
negara tetapi kajian minoritas muslim di Indonesia belum menjadi
perhatian sebagai wacana di arus utama. Beberapa penelitian
berkenaan dengan minoritas antara lain dijalankan Erin Jenne
yang mengkaji Yugoslavia dalam melihat sikap atas minoritas yang
diberlakukan pemerintah pusat (Jenne, 2004; 729-754). Pergolakan
yang lain juga terjadi dalam kasus Bangsamoro di Filipina dengan
pemerintahan pusat di Manila. Ada pemahaman dan kehendak yang
berbeda antara Mindanao dengan Manila sehingga kemudian wujud
keinginan yang tidak terakomodasi. Penyeragaman identitas yang
berlaku antara minoritas dan mayoritas kemudian mendapatkan
perlawanan. Sehingga menjadi konflik yang berkepanjangan (Che
Man, 1990; 19-32). Begitu juga dengan pertentangan internal umat
Islam dimana kalangan mayoritas-minoritas pemahaman senantiasa
berseteru karena perbedaan pandangan (B. Martinovic & M.
Verkuyten, 2016; 1–12.
Dalam konteks pendidikan Islam Indonesia beberapa wilayah
menunjukkan karakteristik sebagai bentuk respon lingkungan.
Pesantren di Bali meneguhkan fungsi dan peran pengembangan
masyarakat Islam. Sebagai pencetak ulama, pesantren juga
mewariskan khazanah pemikiran tradisional ulama dari masa
lalu ke masa sekarang. Tetap saja, karakteristik utama pesantren
senantiasa menunjukkan respon dan adaptasi sesuai lingkungan
masing-masing. Pendidikan agama di Bali mengadaptasikan diri
dengan menerima dan berdialog untuk mengiplementasikan pendidikan kewarganegaraan yang diolah sebagaimana kebutuhan.
Tantangan ini, sekaligus memberikan peluang untuk memperkuat
92 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
kecenderungan pendidikan sebagai wahana transformatif. Dalam
hal respon di komunitas minoritas, lembaga pendidikan keagamaan
tetap saja relevan sehingga dapat mendorong minat masyarakat
untuk menuntut ilmu (Jamhari, 2006; 171-201).
Demikian pula di Manado, pesantren menjadi bagian dari
pengembangan masyarakat untuk kemajuan dakwah (Wekke, 2013;
93-118). Dalam kontekstualisasi Indonesia adalah dimana dalam
penyebaran geososial penduduk tidak semata-mata sama postur yang
ada antara wilayah yang satu dengan yang lain. Sebagaimana umat
Islam di Jawa dalam kondisi mayoritas. Sementara di Papua, Sulawesi
Utara dan Sumatera Utara, kondisi yang berbeda justru dialami oleh
komunitas muslim. Ada dua kondisi yang berjalan seiring, dengan
skala nasional umat Islam mengalami posisi secara mayoritas. Tetapi
dalam skala regional regional sebagaimana di daerah-daerah tersebut,
umat Islam menjadi minoritas jika dibandingkan dengan umat lain.
Tradisi yang mengakar dan reputasi yang menjadi rujukan
pelbagai lembaga pendidikan terkini menjadikan madrasah memiliki
karakter yang unik dan khas. Keistimewaan ini, jika memperhatikan
aspek pesantren sebagai lembaga keagamaan, memberikan sebuah
pertanyaan yang perlu dilakukan sebuah pembahasan. Dimana
peran yang dijalankan madrasah berkaitan dengan keagamaan
tidak saja dalam konteks keberadaan secara luas tetapi dalam skala
terbatas pendidikan Islam merupakan kebutuhan setiap keluarga
muslim. Untuk itu, artikel ini akan mengidentifikasi bagaimana
pengembangan lembaga pendidikan di masyarakat muslim Manado.
Pendidikan dan Dakwah
Pendidikan agama menjadi pilihan utama bagi pembentukan
kapasitas pribadi seorang muslim. Dalam penelitian Ahmad Suaedy,
muslim minoritas di Thailand Selatan menjadikan ini sebagai pilihan
utama. Walaupun itu dengan resiko politik dimana ada larangan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 93
dari pemerintah pusat untuk tidak mengajarkan pendidikan agama.
Namun, tokoh-tokoh muslim tetap mempertahankan itu dengan
segala resiko. Dengan perjuangan bersama, akhirnya awal 1980
pendidikan agama sudah dapat diajarkan di sekolah-sekolah formal.
Sementara pendidikan agama dalam bentuk non-formal di masjid
atau mushollah dan pesantren yang didirikan dengan gotong royong
tetap berlangsung terus menerus (Suaedy, 2012; 130).
Kajian Bruinessen dalam melihat pergerakan dakwah di
Nusantara bahwa penyebaran ajaran Islam menggunakan amalan
sufi. Ajaran tersebut juga memasukkan tasawuf sebagai sebagai
pendekatan dalam memahami Islam. Diantaranya medium untuk
memahami ajaran tersebut dengan menggunakan kitab kuning
sebagai rujukan. Maka, penyebaran dakwah dalam pendidikan
menggunakan tradisi keilmuan. Ini menjadi sebuah pendekatan
dakwah yang efektif dalam mendidik sekaligus perkembangan ilmu.
Pengajian dan taklim dilaksanakan selain dari kitab tauhid, fiqh, tafsir,
dan bahasa Arab, juga membahas kitab tasawuf seperti Bidayah
al-Mujtahid. Karya Imam al-Ghazali yang lain seperti Ihya Ulum
al-Din, Hidayah al-Salikin juga menjadi pembahasan (Bruinessen,
1995).
Perjalanan sejarah ini menunjukkan bahwa salah satu pilar
utama dalam dakwah sesungguhnya melalui proses pendidikan.
Guru, kiyai, dan ulama berusaha menyebarkan Islam dalam wahana
pendidikan. Ini juga mengacu kepada pelaksanaan dakwah yang
dilaksanakan Rasulullah. Beberapa bentuk seperti kajian keilmuan
secara rasional dan ilmiah, menggunakan media tulisan, dan
melengkapi dengan amalan, diantara prinsip-prinsip dakwah yang
beliau laksanakan. Baik ketika masih di Mekkah maupun setelah
hijrah ke Madinah. Kesemuanya mengarah kepada pendidikan.
Bahkan ketika tawanan perang sekalipun tidak mampu menebus
dirinya, maka mereka diminta mengajar anak-anak kaum muslimin
94 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
untuk mengenal huruf dan membaca (Galigo, 1997). Maka, dakwah
dalam konteks ini selalu saja berkaitan dengan pendidikan.
Institusi pendidikan menjadi pilihan utama, dimana ketika
menjalankan syariat tentu harus disertai dengan pengetahuan
akan asas keislaman sebagai acuan utama. Sistem pendidikan
merupakan salah satu alternatif untuk mengukuhkan penghayatan
keagamaan. Langkah awal yang sangat penting dipahami sejak awal
adalah pegangan akidah yang akan menjadi dasar dari keseluruhan
ajaran Islam. Ini tidak bisa dikuasai jikalau tidak melalui proses
belajar, memahami, dan nalar. Untuk itu al-Qardhawiy menyatakan
bahwa mental akan dididik untuk berpikir dan memahami agama
secara sempurna akan dapat dilaksanakan melalui dua hal yaitu
pendidikan baik secara formal maupun nonformal dan keterlibatan
di masyarakat (Qardhawiy, 1986, 38-40). Lingkungan akan menjadi
pendukung utama juga dalam memberikan pendidikan berupa
pengasuhan. Melibatkan masyarakat secara bersama-sama terlibat
dalam pertumbuhan individu. Kecerdasan mental dan kematangan
perilaku dapat dibentuk dengan melibatkan kerukunan di masyarakat
(Nahlawiy, 1987).
Salah satu alat untuk mencapai kematangan mental dan
moril hanyalah melalui rumah ibadah dengan menyediakan
lembaga pendidikan (Ahmad, 2010; 89). Seperti inilah yang dipilih
oleh Ikatan Masjid Mushallah Muttahidah (IMMIM) Makassar
dalam mencapai tujuan pembangunan umat. Setelah sekian lama
hanya mengurusi masjid dan mengupayakan kemakmuran, maka
dipilih jalan untuk memakmurkan masjid dengan menyediakan
jamaah yang akan mengisi shaf masjid. Pilihan itu dilakukan
dengan mendirikan pesantren. Keberadaaan lembaga pendidikan
akan menunjang kelangsungan masjid. Sekaligus memberikan
sumbangsih bagi jamaah yang berkualitas. Dengan demikian, yang
hadir berjamaah tidak hanya akan menjalankan ibadah semata, tetapi
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 95
mereka adalah orang-orang yang memiliki kapasitas untuk turut
memikirkan bagaimana masjid dapat memberi manfaat duniawi
kepada lingkungan sekitarnya. Sehingga dengan mengurusi perihal
akhirat mereka kemudian tetap saja dalam relevan dalam kehidupan
duniawi mereka.
Paparan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendidikan
menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan dakwah. Adanya
lembaga pendidikan secara formal, akan menjadi sarana dalam
menopang peningkatan kapasitas individual secara bertanggung
jawab. Sekaligus ini akan menjadi sebuah langkah dalam melakukan
transformasi keilmuan dengan pola dan struktur yang mengikat.
Perencanaan, proses, evaluasi, dan keberlanjutan merupakan bagian
yang mengikuti sebuah lembaga pendidikan. Sehingga akan menjadi
langkah penting dalam membangun sebuah gerakan. Dengan
demikian, pendidikan dipilih untuk menjadi usaha memartabatkan
kajian keislaman. Dampaknya, akan memberikan citra positif bagi
pribadi yang memeluk Islam dengan pemahaman yang paripurna
terhadap ajaran agama yang dianutnya. Itu semua, salah satunya
dapat diperoleh melalui lembaga pendidikan.
Pilihan pendidikan sebagai wadah berdakwah jamak dilakukan
pesantren sebagai misi dalam tradisi keagamaan. Ketika seorang
santri datang, masing-masing punya alasan individual. Tetapi dengan
keberagaman latar belakang itu semua, tetap saja ada kesamaan yaitu
semata-mata individu yang akan belajar agama. Di samping itu,
ada tujuan lain yaitu membangun kebaikan diri, kesalehan hidup,
serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini menunjukkan bahwa itu
semua adalah alas an yang sangat individual. Tidak banyak diantara
mereka yang berkeinginan menjadi ulama, kiyai, juru dakwah, atau
hal-hal yang bersifat altruistik. Dengan gambaran seperti itu, maka
Mamfred Ziemek berkesimpulan bahwa sesungguhnya tidak ada
alasan missionary yang dikandung pesantren, bahkan dalam titik
96 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
semangat dan dorongan sekalipun. Bukan karena ingin mewartakan
Islam kepada lingkungan (Ziemek, 1986). Kalaupun ada, maka itu
dalam praktik yang berlangsung tidak menjadi tujuan tetapi sematamata hanyalah dampak dari pengelolaan pendidikan Islam.
Penyebaran keagamaan justru dilangsungkan dalam kerangka
internal umat Islam sendiri. Ini tidak dimaksudkan untuk menjadi
sebuah sarana untuk melakukan islamisasi bagi orang yang
berada di luar faham Islam. Secara mikro ada pergulatan antara
mempertahankan dan mengintegrasikan tradisi dengan tuntutan
terhadap perubahan sosial yang senantiasa berlangsung dari waktu ke
waktu (Ghafur, 2010; 3). Adapun keberadaan pesantren juga menjadi
sarana dakwah dengan senantiasa berusaha untuk memaknai strategi
yang untuk menunjukkan Islam sebagai agama yang juga menjadikan
intelektualisme sebagai alur pemikiran yang utama. Peneguhan
teologis ini kemudian teraplikasi dalam bentuk penyelenggaraan
kelembagaan baik untuk kepentingan pendidikan semata maupun
juga berkenaan dengan perjuangan untuk meneguhkan identitas
keislaman seorang muslim yang juga sudah mengikrarkan syahadat.
Dalam pandangan Halim Tamuri, lembaga pendidikan Islam
justru berusaha untuk menghadirkan keadilan. Jikalau pendidikan
sudah memulai mempraktikkan keadilan dalam lembaga pendidikan,
maka akan lebih mudah untuk menujukkan bagaimana kata keadilan
dapat terimplementasi dalam masyarakat yang lebih luas (Tamuri,
2013; 257-274). Perjuangan seperti inilah yang menjadi dasar dalam
kelangsungan lembaga pendidikan Islam dalam bentuk salah satunya
adalah pesantren. Akar-akar yang disemai di pesantren kemudian
memunculkan intelektualitas, pemahaman agama yang sempurna,
praktik yang disertai dengan panduan amal, dan rujukan pada
kitab-kitab karangan ulama yang berintegritas menjadi daya dukung
bagi hadirnya seorang individu muslim. Kiranya dakwah dalam
pendidikan, menjadi sebuah keterlibatan masyarakat muslim untuk
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 97
menjawab kebutuhan umat. Ini menjadi pilihan strategis untuk
senantiasa menumbuhkembangkan Islam dalam arti yang lebih luas,
tidak sebatas ritual semata. Lulusan madrasah, dipandang mampu
menjawab tantangan ini.
Potret Kota Manado
Kehidupan masyarakat kota Manado dan Provinsi Sulawesi
Utara terdiri atas pelbagai bangsa dan kaum. Etnik pendatang dan
juga penduduk asli tanah Minahasa berbaur dan saling mendukung.
Keberagaman ini tidak saja dalam latar belakang suku tetapi
juga pada agama. Dengan perbedaan ini justru menjadi sebuah
daya dukung bagi pengembangan wilayah. Kerusuhan tidak
pernah terjadi, gesekan antar kepentingan, pertikaian bernuansa
agama, semuanya tidak terjadi. Kehidupan yang bersama menjadi
kepentingan untuk mewujudkan kerukunan. Ini didasari atas prinsip
persaudaraan. Memandang bahwa agama hanyalah semata-mata
pada pilihan komunikasi dengan Pencipta, tetapi sesama manusia
tetap berkewajiban untuk saling mendukung dan menolong untuk
sebuah kehidupan wawancara1.
Justru dengan perbedaan etnisitas itu menunjukkan bahwa
mereka dapat hidup berdampingan secara damai. Masing-masing
suku dan agama secara bebas mengekspresikan identitas dan
tuntutan agama masing-masing tanpa mendapatkan pengekangan
dan halangan dari agama lain. Seiring dengan itu, kehidupan diantara
warga kemudian berjalan secara harmonis. Sementara masyarakat
muslim juga secara sadar memperkuat kapasitas keilmuan dalam hal
keperluan aktivitas ibadah untuk kalangan internal. Ini juga dilakukan
sebagai upaya untuk memberikan pemahaman keagamaan agar
sesama komunitas muslim memiliki keteguhan dalam memegang
prinsip-prinsip keislaman.
Ini menunjukkan hubungan antar umat beragama yang
98 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
saling mengakui, dimana masyarakat yang heterogen dengan
agama, etnisitas, dan prinsip yang berbeda-beda, dapat rukun secara
bersama-sama. Posisi yang ada ini tentunya menjadi daya dukung
tersendiri, pada saat yang sama selalu saja klaim kebenaran di satu
pihak selalu mewarnai perjumpaan setiap ide yang ada. Tidak
menjadi sebuah pemandangan umum, dimana pihak-pihak yang
berbeda, dapat saling menerima perbedaan itu, sehingga pluralistik
yang hadir sejak kelahiran manusia itu sendiri, tidak dapat dinafikan
tetapi justru dijadikan sebagai kekuatan. Seperti inilah gambaran
Kota Manado sehingga setiap keyakinan dapat saja berbeda,
kemudian tumbuh secara bersama-sama secara internal. Tanpa
berusaha untuk menggugat keyakinan yang sudah diant kelompok
lain. Tetapi dalam hubungannya dengan sesama manusia yang berada
dalam kewargaan yang sama, maka ini menjadi sebuah hubungan
yang saling menguntungkan untuk selalu dirawat bagi kepentingan
bersama.
Minoritas muslim berkembang dalam suasana kota seperti
ini, dukungan, kerjasama, salingpengertian, dan kebersamaan
menjadi suasana yang melingkupi. Untuk itu, organisasi yang berbasis
pada semangat keagamaan tidak dipandang sebagai pembeda tetapi
justru hanya elemen kecil yang justru dinaungi oleh kemanusiaan.
Keberadaan organisasi-organisasi itu tidak menjadi pembeda tetapi
justru menjadi penguat jalinan masyarakat. Ada kesadaran untuk
saling menguatkan antarlembaga. Khutbah dan majelis keagamaan
diarahkan untuk mencerahkan dengan tetap mengakui keberadaan
pihak lain, pada saat yang sama harus mengukuhkan identitas,
prinsip, semangat, dan kesadaran beragama sendiri. Kesamaan
pandangan seperti ini justru menjadi landasan bagi perkembangan
dan kelangsungan agama apapun. Kukuh secara internal, kemudian
tetap juga mengembangkan sikap penghargaan dan pengakuan
kepada pihak lain yang berbeda. Kekuatan ini membentengi
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 99
kelangsungan kehidupan di Kota Manado, memberikan keleluasaan
untuk mengembangkan paham keagamaan, menyelenggarakan
lembaga pendidikan, dan transmisi pengetahuan secara formal
untuk tetap hidup bersama yang dilandasi oleh sebuah pemahaman.
Pendidikan Islam di Masyarakat Muslim Manado
Kota Manado menjadi laboratorium hidup dimana perjumpaan
antara berbagai umat beragama hidup dalam satu lingkungan. Ini
menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk menikmati anugrah
hidup. Namun di sisi lain, mempertahankan identitas beragama dan
mengukuhkan jati diri sesuai dengan tuntutan agama merupakan
tantangan yang harus dihadapi dalam keseharian. Sehingga dakwah
dalam konteks ini tidak semata-mata bagaimana menyiarkan pesanpesan dakwah kepada khalayak ramai tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana mempertahankan spirit beragama umat Islam.
Sekaligus ini untuk menjadi wahana penguatan kapasitas umat Islam
dalam memahami agama. Maka, salah satu pilihan yang digunakan
dalam menjalankan amanah ini dengan mengusung pesan-pesan
agama melalui lembaga pendidikan. Bentuk pelembagaan bukan saja
mempertahankan sistem pendidikan informal yang sudah terbentuk
di lingkungan masjid tetapi juga mendirikan bentuk lembaga formal
yang menjalankan sistem pendidikan yang menyatu dengan sistem
pendidikan nasional.
Lapangan Tikala yang terletak di depan kantor Walikota
Manado menjadi simbol keberagaman warga. Lapangan ini secara
bersama-sama digunakan oleh warga dari pelbagai golongan, status,
dan juga agama. Semuanya akan merasa bebas mengekspresikan
identitas, akan tetapi pada saat yang sama memiliki kewajiban
untuk menjaga harmoni beragama. Umat Islam sebagai bagian
dari masyarakat beragam, juga berusaha memenuhi kewajiban
untuk turut menjaga komunitas muslim dan menguatkan soliditas
100 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
keilmuan. Namun dalam hubungannya dengan umat beragama
lainnya berusaha untuk tidak menggugat apa yang sudah diyakini
oleh mereka sebelumnya. Dua hal yang menjadi dapatan kajian ini
yaitu Pondok Karya Pembangunan dan Masjid dan Madrasah.
Pondok Karya Pembangunan
Ketika akan dilangsungkan Musabaqah Tilawatil Quran
(MTQ) tingkat nasional di Manado tahun 1977, maka beberapa
tokoh umat Islam mengusulkan pembentukan lembaga yang akan
meneruskan semangat belajar al-Quran. Maka, dipilihlah dua
bentuk yaitu Pusat Islam (Islamic Centre) dan pesantren. Bentuk
pendidikan madrasah yang dipilih dalam kelembagaan pesantren
yang kemudian diberi nama Pondok Karya Pembangunan. Seiring
dengan peresmian MTQ tersebut, diresmikan pula Pusat Islam dan
Pondok Karya Pembangunan oleh Presiden Republik Indonesia,
Soeharto. Pemberian nama Pondok Karya Pembangunan (PKP)
lebih mementingkan pesan universal Islam, ini juga untuk tidak
menimbulkan stigma tertentu bahwa Islam bisa saja hadir untuk
semua kalangan dengan tidak membeda-bedakan antara Arab dan
bukan Arab.
Walaupun pendirian PKP berada di wilayah Kombos
Timur, kota Manado merupakan wilayah yang sebagian besar
didiami penganut agama Protestan dan Katolik tetapi tidak pernah
mendapatkan halangan yang berarti dari masyarakat. “Ini karena
semata-mata pengembangan pondok untuk kepentingan umat
Islam, tidak dimaksudkan untuk yang lain”. Demikian kalimat
yang disampaikan pengasuh PKP dalam wawancara saat meninjau
pesantren. “Jikalau saja ini untuk kepentingan sesaat, apakah
politik atau menunjukkan citra Islam, tentu sudah lama mengalami
kejenuhan. Tetapi dukungan umat Islam dan warga sekitar pondok,
bisa bertahan sampai sekarang” begitu penjelasan tambahan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 101
pengasuh pondok. Keberadaan pesantren di wilayah ini justru
semakin menguatkan bahwa pesantren sesungguhnya adalah tempat
penggemblengan insan-insan untuk memahami agama secara
internal. Bukan untuk kepentingan yang lain. Sehingga kecurigaan
ini akan hilang dengan sendirinya, dengan disaksikan lingkungan
sekitar. Bahkan pondok ini menjadi juga asset lingkungan, dimana
fasilitas yang dimiliki pondok digunakan pula oleh warga secara
bersama-sama. Latihan olahraga santri selalu dilaksanakan bersama
dengan pemuda gereja yang mendiami lingkungan sekitar pondok.
Santri sejak awal selalu dilibatkan dalam kegiatan yang
dilaksanakan pihak kelurahan dan warga yang ada di lingkungan.
Bersama-sama dengan warga, santri turut menjaga lingkungan
berupa keterlibatan dalam siskamling, pos yandu, dan kegiatan kerja
bakti yang dilaksanakan secara rutin. Begitu juga ketika pesantren
menggelar acara, warga akan turut membantu keperluan warga
pondok. Di saat terjadi banjir yang juga merendam beberapa bangunan
pondok, warga tanpa dimintai bantuan memberikan bantuan untuk
menyelamatkan barang-barang yang ada dalam lingkungan pondok
dari rendaman air. Tolong-menolong yang terjadi ini merupakan
hasil dari terbinanya hubungan dan komunikasi antara santri, guru,
dan pengasuh dengan warga yang mendiami tempat sekitar pondok.
Dukungan umat Islam bersama dengan masyarakat lain yang
berbeda agama justru menjadi sebuah kekuatan bagi terselenggaranya
pendidikan sampai sekarang. Harmonisasi ini timbul secara alami
dimana sudah menjadi kebiasaan di masyarakat Sulawesi Utara untuk
senantiasa bersama-sama saling mendukung. Mereka menjadikan
persaudaraan sebagai unsur utama dalam kehidupan. Dimana
perbedaan agama bukan menjadi halangan untuk senantiasa bekerja
sama dalam membangun kemanusiaan, termasuk pendidikan di
dalamnya sebagai bagian kehidupan masyarakat. Saling mendukung,
kerjasama, harmoni masyarakat, dan menomorsatukan kemanusiaan
102 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
menjadi dampak bagi kesatuan masyarakat ini. Termasuk dalam
mendukung keberlangsungan lembaga pendidikan yang ada. Ini
dapat dilihat, keberadaan pondok sudah merenetasi waktu yang
tidak bisa dinyatakan sebagai masa yang pendek. Ini menjadi bukti
bagaimana hubungan antar individu dalam masyarakat menyediakan
proses pembelajaran yang tidak mungkin didapatkan di dalam kelas
ketika secara formal belajar mengajar berlangsung dalam suasana
yang dipandu kurikulum.
Keterampilan yang diperoleh santri saat berinteraksi dengan
komunitas yang berbeda dalam lingkungan pendidikan pesantren,
menjadi sebuah latihan sekaligus merupakan proses pembelajaran
untuk menerima perbedaan kepercayaan dan keyakinan. Pada saat
selanjutnya, ketika santri sudah menyelesaikan pendidikan dan
menjadi anggota masyarakat secara penuh, keterampilan ini akan
menjadi daya dukung dalam melihat keragaman yang merupakan
keniscayaan dalam lingkungan masing-masing. Walaupun tidak
secara khusus pondok tidak menyediakan pembelajaran seperti ini
dalam kurikulum tertentu tetapi dengan adanya pola yang sudah
berlangsung secara natural, maka akan memberikan kesempatan
bagi santri untuk senantiasa melihat bahwa ada perbedaan antara
individu dalam penerimaan terhadap sebuah keyakinan dengan
hubungan terhadap ketuhanan. Ini tidak bermakna bahwa mereka
akan membenarkan kepercayaan tersebut tetapi dalam derajat
tertentu tidak memaksakan kesamaan pandangan. Kehidupan
dengan keadaan seperti senantiasa memberikan toleransi untuk
berbeda pemahaman.
Madrasah ini dalam dua tingkatan yaitu Madrasah
Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Periodesasi peserta didik di
pesantren dikembangkan secara berkelanjutan, sehingga tidak
saja menerima kurikulum pendidikan formal yang berasal dari
Kementerian Agama tetapi senantiasa juga menambahkan muatan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 103
kurikulum sesuai dengan kondisi di Kota Manado dan Provinsi
Sulawesi Utara. Termasuk juga bagaimana adanya forum antar umat
beragama yang menjadikan madrasah sebagai proyek bersama untuk
mengembangkan kesalingpengertian sekaligus mewariskan sebuah
lembaga yang tetap toleran dengan paham yang berbeda2. Dalam
perkembangan terkini, lembaga pendidikan seperti ini diharapkan
dapat mereproduksi warga masyarakat yang mengkombinasikan
antara status sebagai muslim yang kukuh dalam kewajiban dan tradisi
beragama, demikian juga pada saat yang sama mentransformasikan
diri sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk. Komunikasi
secara eksternal seperti ini dipertahankan dan dijadikans ebagai
instrument utama. Bukan saja karena pesantren memerlukan
dukungan eksternal tetapi pada keperluan tertentu untuk membuka
diri sehingga menghindari adanya kecurigaan dari pihak yang
potensial untuk memunculkan stigma. Dengan demikian, ini sebagai
sarana dalam memperjuangkan subtansi kelangsungan lembaga.
Adaptasi seperti ini menjadi sebuah metode juga untuk tetap
menguji kehandalan kemampuan warga pesantren untuk tetap relevan
dengan lingkungan sekitar. Hadirnya pesantren untuk melengkapi
apa yang sudah ada sebelumnya yang diselenggarakan pemerintah
provinsi, menjadi sebuah usaha berkontribusi. Kesinambungan
sejarah masa lalu yang dibangun juga merupakan hasil dari adanya
kerjasama pelbagai pihak sehingga bisa wujud pondok ini seiring
dengan kegiatan keagamaan dalam skala nasional.
Pesantren menjadi wadah untuk belajar agama. Ini sudah
menjadi ciri khas yang diemban pesantren sejak awal pendiriannya.
Namun dalam praktik Kota Manado, justru pesantren hadir dalam
bentuk yang lain. Menjadi pendukung perdamaian, kerjasama secara
luas, dan usaha membangun solidaritas yang tidak dalam lingkup satu
agama saja. Membuka diri untuk secara bersama-sama mengupayakan
keluasan dan kesempatan yang sama menjadi semangat yang
104 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
melandasi perjalanan pesantren. Termasuk kesediaan menerima
pemimpin non muslim untuk turut memberikan sumbangsih bagi
pengembangan lembaga. Ini dijadikan sebagai penghargaan kepada
tokoh-tokoh tersebut sekaligus juga untuk menjadi bagian dari
jalinan kebangsaan. Dimana kulur dan atmosfer masyarakat Manado
yang senantiasa mau menerima perbedaan. Termasuk pada persoalan
pilihan beragama. Sekalipun itu berbeda tetapi tetap saja mempunyai
kesempatan yang sama dalam memikirkan kelangsungan lembaga
pendidikan. Sekalipun itu berbasis pada pengajaran agama tertentu.
Kesadaran ini tumbuh, di samping karena spirit Islam, juga
karena lingkungan kota Manado yang memiliki pengalaman sejak
pembentukan awal pesantren. Hubungan antar sesame tetap saja
mendapat perhatian masing-masing agama, tetapi secara normatif
juga ada tradisi yang sudah berlangsung turun temurun untuk
tidak mempersoalkan perbedaan identitas beragama. Tetapi justru
menggunakan agama sebagai urusan individual. Pada lingkungan
komunal, agama diusahakan untuk menjadi perekat, bukannya
pembeda di antara anggota masyarakat. Secara eksternal semangat
inilah yang selalu digunakan kalangan guru dan pengasuh Pondok
Karya Pembangunan. Sebagai salah satu usaha untuk tetap
menunjukkan relevansi dengan lingkungan sekitarnya.
Melihat ini, maka lingkungan pondok memberikan dukungan.
Turut dalam menjaga pengembangan pondok, dan terlibat dalam
menjaga kesinambungan pendidikan. Hubungan yag terjalin selama
ini tidak pernah mengalami persoalan. Pengasuh pondok juag
berusaha melibatkan kepemimpinan di tingkatan Lurah untuk
menjadi bagian dari manajemen pondok. Sekalipun itu hanya bersifat
seremonial. Tetapi sesungguhnya perlakuan seperti ini menjadi sarana
komunikasi untuk senantiasa menyadari akan keberadaan pondok.
Sekaligus ini menjadi penunjang untuk memberikan kesempatan
bagi santri untuk berkiprah bersama dengan pemuda lainnya
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 105
yang bermukim di sekitar wilayah pesantren, dalam membangun
komunikasi dengan setiap rumah tangga yang ada. Mereka bersamasama belajar dan berlatih, terutama dalam kegiatan ekstra kurikuler
dan perayaan acara-acara kebangsaan lainnya. Interaksi, ekspresi, dan
jalinan seperti ini menjadi wahana belajar yang tidak terbatas pada
teori belaka. Ada kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan
mengkristalkannya menjadi pengetahuan dari proses pengalaman
itu.
Melalui pendidikan dengan cultural-historis seperti ini,
memberikan kesempatan kepada santri untuk mengasah kesadaran
untuk hidup dengan beragama kepercayaan. Tidak hanya memahami
pemaknaan tunggal, tetapi memiliki hubungan dan interaksi dengan
penganut agama lain. Secara evolusitf, akan melihat gambaran
keseluruhan kehidupan yang senantiasa tidak tunggal. Pesantren
dan lingkungannya menjadi laboratorium hidup untuk belajar dan
memahami isyarat kehidupan. Sekaligus mulai memahami sekaligus
mengaplikasikan nilai hubungan ketergantungan antar kelompok.
Struktur sosial seperti ini akan memberikan penghargaan, kesadaran
untuk tidak memberikan penilaian negatif, universalitas pengetahuan
yang diperoleh melalui praktik, dan menumbuhkan keinginantahuan
dengan dialog actual dengan kondisi yang ada. Santri tidak diberikan
hafalan untuk memahami, tetapi pengetahuan lahir dari penemuan
(discovery) dengan belajar di lapangan. Identitas yang tumbuh dalam
kodisi seperti ini adalah mengetahui peran dirinya secara maksimal.
Ada titik temu yang disadari, akan ada sampai pada langkah yang
dapat mendorong dirinya untuk menguatkan apa yang melekat pada
dirinya. Sekaligus akan mengkomunikasikan kepada pihak lain, atas
apa yang dipilihnya sebagai sebuah bentuk tersendiri.
Masjid dan Madrasah
Masjid juga mengelola lembaga pendidikan. Seperti masjid
106 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
di Jembatan Mahakam, mengelola Sekolah Menengah al-Khairat.
Begitu juga dengan Masjid Muttaqin yang ada di bilangan Jalan
Ratulangi, juga menyelenggarakan pendidikan diniyah di masjid.
Setiap usai shalat maghrib anak-anak usia sekolah dari warga sekitar
masjid belajar agama. Tidak saja berupa kemampuan membaca
al-Quran tetapi juga kemampuan pemahaman agama yang lain.
Bahkan di masjid dilengkapi dengan perpustakaan. Menyiapkan
bahan bacaan untuk jamaah. Ini menunjukkan bahwa dalam
penyelenggaraan masjid juga menjadi kelengkapan utama adalah
bagaimana adanya institusi pendidikan untuk melayani kebutuhan
pendidikan komunitas muslim.
Masjid menjadi sarana dalam mengukuhkan pemahaman
keagamaan. Masjid-masjid kemudian mengelola kegiatan yang tidak
terbatas pada anak usia sekolah. Tetapi para pengurus senantiasa
menjalankan kegiatan pada jamaah muslimat. Seperti di Kampung
Kodok, saat adanya anggota jamaah yang akan menunaikan ibadah
haji, mereka justru mengadakan acara di masjid yang dihadiri oleh
jamaah. Ini menjadi tradisi pamitan kepada warga dan jamaah, semua
itu dilangsungkan di masjid. Penggunaan masjid ini didasarkan
untuk sosialisasi masjid, sekaligus sebagai tempat beribadah dan juga
belajar. Pengajian rutin, ceramah dengan mengundang muballigh,
pembacaan kitab, dan pelatihan singkat menjadi ragama kegiatan
yang dilaksanakan berkala. Ada juga kegiatan yang dilaksanakan
dengan tingkat intensitas yang mencapai empat kali setahun seperti
penyelenggaraan jenazah. Ini menjadi tuntutan kebutuhan jamaah
dan tidak beraninya anggota keluarga terdekat untuk memandikan
dan urusan lainnya dalam menyelenggarakan jenazah.
Keberadaan masjid yang dilengkapi dengan madrasah
diniyah, majelis taklim, pengurusan jenazah, dan juga aktivitas lain
yang tetap berbasis pendidikan sesungguhnya dijadikan sebagai
penopang bagi semakin menguatnya pemahaman keagamaan.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 107
Demikian pula masjid selalu mendorong kepada jamaah untuk secara
sendiri-sendiri maupun berkelompok untuk selalu terlibat dalam
aktivitas pendidikan. Sehingga acara-acara yang dikemas dalam
lingkungan diusahakan untuk diselenggarakan dalam lingkungan
masjid. Ini sebagai salah satu upaya untuk melakukan kegiatan yang
mempunyai nilai tambah dalam pendidikan secara internal. Adapun
secara eksternal akan bernilai syiar dan juga dakwah. Sekaligus
menunjukkan citra bahwa sesungguhnya keberislaman lebih
cenderung mengarah pada aktivitas keilmuan dan tidak akan pernah
berpaling hanya untuk politik dan kepentingan pragmatis sematamata.
Walaupun berkantor pusat di Kota Palu, Sulawesi Tengah tetapi
pengembangan al-Khairat dalam bidang dakwah dan pendidikan
juga mencapai Kota Manado. Pengurus organisasi al-Khairat secara
bersama-sama dengan jamaah masjid senantiasa berusaha untuk
menggandengkan pengelolaan masjid dengan pengembangan
madrasah. Ini sebagai usaha untuk selalu menjadikan masjid tidak
semata-mata untuk shalat saja tetapi juga membuka peluang selebarlebarnya untuk tetap memperoleh pendidikan. Model yang dipilih
untuk dikembangkan berupa pendidikan formal. Organisasi ini
menggiatkan kegiatan dengan mengintegrasikan pengelolaan masjid
sekaligus dengan lembaga pendidikan.
Pola pengembangan dakwah yang dilakukan al-Khairat
dijalankan dengan menekankan sinergitas masjid dengan lembaga
pendidikan. Ada perubahan pola piker yang senantiasa dilakukan
yaitu dengan menjadikan masjid sebagai basis gerakan. Dimana
ketika keinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan formal selalu
terkendala dengan kondisi minoritas dan akses lahan yang tidak
memadai. Sementara untuk membangun masjid tidak mendapatkan
halangan yang berarti. Bahkan gairah umat Islam untuk membangun
masjid selalu direspon secara emosional, sehingga mampu
108 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
terbangun dengan cepat. Hanya saja setelah berdiri sebuah masjid,
tugas selanjutnya berada pada wilayah bagaimana menghadirkan
jamaah untuk mengisi bangunan yang megah itu. Maka, jawaban
yang dijadikan acuan adalah pendidikan. Kegiatan yang awalnya
hanya dalam bentuk jamaah taklim kemudian berusaha ditingkatkan
dan dikembangkan dalam bentuk Taman Pengajian al-Quran.
Disesuaikan dengan kesiapan sarana, ada pula yang kemudian
dikembangkan menjadi sebuah sekolah formal.
Strategi dan Pengembangan Lembaga Pendidikan
Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan
kelembagaan pendidikan Islam, maka faktor lingkungan menjadi daya
dukung utama. Termasuk di dalamnya perbedaan agama sekalipun,
tetap saja mampu mendukung perkembangan lembaga pendidikan
Islam. Ini dapat disimpulkan dengan tetap berlangsungnya proses
pendidikan Pondok Karya Pembangunan, walaupun berada di
lingkungan minoritas muslim dan juga secara khusus berada dalam
wilayah penganut agama lain, tidak menjadi penghalang. Justru jika
ini dianggap sebagai kekurangan, tetapi pengasuh pondok pesantren
dapat menjadikan masyarakat yang ada dalam lingkungan pondok
sebagai faktor utama untuk turut memberikan kontribusi bagi
kelangsungan pondok. Sejak pendirian pesantren, selama itu pulalah
masyarakat non muslim yang berada di lingkungan pondok selalu
memberikan dukungan dan keterlibatan secara aktif.
Model pengembangan kelembagaan pendidikan Islam di
minoritas muslim mengadaptasi keadaan lingkungan. Pendidikan
Islam di wilayah lain seperti Sumatera dan Jawa yang lebih banyak
menjadikan pesantren dengan misi utama mengemban pendidikan
agama, tetapi dalam konteks minoritas muslim pesantren tetap
saja mengusung spirit pendidikan. Hanya saja, tidak cukup dengan
itu. Ada keinginan untuk mengembangkan dakwah Islamiyah
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 109
secara internal dengan melakukan gerakan ekstensifikasi dengan
juga menggerakan lembaga pendidikan sebagai sarana dakwah.
Bahkan lembaga seperti pesantren tidak membatasi diri dalam soal
keagamaan semata. Beberapa pesantren secar aktif terlibat dalam
isu kesehatan reproduksi. Dalam penelitian Rosalia Sciortino, Lies
Marcoes Natsir, dan Masdar F Mas’udi, menunjukkan kolaborasi
kelembagaan beberapa pesantren dan lembaga swadaya masyarakat
mengorganisasikan masyarakat pesantren dan sekitarnya untuk
mulai peduli dan mengerti bagaimana aplikasi secara teknis konsep
kesehatan untuk menjaga kelangsungan reproduksi (Sciortino,
Natsir, dan Mas’udi, 1996, 86-96).
Pembelajaran yang memberikan tumpuan perhatian dalam
keragaman peserta didik, akan memberikan kesempatan setiap
individu untuk memperoleh hasil maksimal dari proses belajar yang
berlangsung (Wekke dan Lubis, 2008; 295-310). Dalam penelitian
ini, lingkungan, institusi masyarakat menjadi kekayaan cultural yang
mampu memberikan nuansa belajar kepada santri. Keterkaitan erat
antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya walaupun berbeda
pilihan keyakinan beragama justru menyumbang kepada sinergitas
yang membentuk karakter dan perilaku keseimbangan. Kesadaran
sosial yang terbentuk ini, dalam lingkugan Kota Manado menjadikan
keberlanjutan dengan memainkan peran dan kontribusi untuk turut
menjaga kelangsungan pendidikan. Walaupun di satu sisi, perbedaan
agama kadang menjadi faktor penghambat. Tetapi dalam konteks
penelitian ini, justru menjadi daya dukung secara ekstensif dan
melahirkan hubungan sisal di luar batas-batas beragama secara sempit.
Lingkungan menjadi mitra bagi keluarga untuk turut berperan dalam
proses pendidikan. Begitu juga dengan pengasuh dan manajemen
pondok yang senantiasa membuka diri untuk melakukan dialog dan
kerjasama. Kesemuanya kemudian berhimpun dan bersinergi untuk
mengusung pendidikan yang menumbuhkan semanat kemanusiaan.
110 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Penelitian menunjukkan adanya pesantren yang berada di
lingkungan nonmuslim tetap saja menjaga kelangsungan lembaga.
Sekalipun itu masyarakat yang ada berbeda agama, tetapi mereka
mampu menjadikan masyarakat sebagai penopang bagi keberlanjutan
lembaga. Kehadiran pondok pesantren justru diarahkan untuk
menjadi sarana bagi pendidikan muslim tetapi dengan tidak
menafikan keberadaan kelompok-kelompok pemuda gereja. Dengan
menjalin kerjasama dengan mereka, memungkinkan lembaga dapat
tetap menjadi wahana untuk kemajuan umat Islam dan masyarakat
luas. Moos mengemukakan bagaimana lingkungan pendidikan
membentuk perilaku pembelajaran di sekolah (Moos). Pesantren
dengan lingkungannya dapat menjadi sebuah model pembelajaran.
Salah satunya ini ditunjukkan dalam hal pendidikan dan pengajaran
bahasa. Dengan lingkungan dan modifikasi pembelajaran, maka
keberhasilan pendidikan bahasa dapat diperoleh secara maksimal
dalam empat kemampuan berbahasa (Wekke, 2012).
Jamaah yang memakmurkan masjid, ditopang oleh intelektualitas level tinggi, dan itu hanya akan dihasilkan dari lembaga
pendidikan agama semacam pesantren. Sekaligus adanya rumah
ibadah yang representatif menjadi sinergitas yang memadai. Gagasan
ini hanya akan diwujudkan jika ada usaha untuk memberikan bekal
dengan integritas dan komitmen yang tinggi. Olehnya, lembagalembaga pendidikan Islam sangat potensial untuk membentuk
kader-kader bangsa. Sekaligus akan berkontribusi bagi agama
(Ahmad, 2013; 132-134). Harapan seperti ini juga diwujudkan oleh
tokoh-tokoh agama di Manado sehingga melahirkan lembaga seperti
Pondok Karya Pembangunan. Walaupun awalnya berkeinginan untuk
dirangkaian dalam seremonial dari pelaksanaan kegiatan keagamaan
skala nasional yang saat itu berlangsung di Manado, penelitian ini
justru menunjukkan harapan itu sudah terlampaui. Sejak pertama
kali diselenggarakan, pondok tersebut terus melakukan aktivitas
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 111
seiring dengan pergulatan sosial. Ini juga merupakan adanya daya
dukung dari relasi antara agama dan negara dalam skala wilayah
Sulawesi Utara. Sebagaimana dikemukakan Sofyan Hadi, agama
dan Negara dalam hal ini politik dilihat sebagai bagian fundamental
kehidupan yang juga turut menopang perjalanan sejarah umat
manusia. Sinergitas keduanya dapat berjalan dengan hubungan
yang saling memengaruhi. Justru kesepaduan antara justru akan
mendukung kelangsungan kehidupan itu sendiri. Memisahkan
keduanya, cenderung mengurangi daya gerak kemanusiaan (Hadi,
2011; 227-248).
Pesantren menunjukkan respon terhadap dinamika sosial
yang berlangsung di lingkungannya masing-masing. Adaptasi dan
penggunaan teknologi diantaranya menjadi praktik yang diwujudkan (Wekke dan Hamid, 2013; 585-589). Termasuk dalam wilayah
minoritas muslim, mereka kemudian melakukan ekspansi untuk
menjadikan keterkaitan erat pesantren dengan komunitas yang
menjadi sarananya untuk tetap berkembang. Pengembangan pendidikan Islam merupakan bagian awal dalam memberi kontribusi bagi
masyarakat (Wekke, 2016). Madrasah menggunakan masjid sebagai
sarana untuk senantiasa hadir dalam bentuk aktivitas keseharian,
sehingga tuntutan komunitas muslim yang berada dalam lingkungan
masjid dapat senantiasa dijawab untuk kemudian diiplementasikan
dalam bentuk program. Temuan ini diperkuat pembahasan Ana Ines
Heras Monner Sans dan Maria del Socorro Foio yang menjelaskan
keberadaan partisipasi politik yang dihubungkan dengan wacana
dan pengertian. Nilai strategis sebuah lembaga akan memiliki
reputasi jikalau kehadiran mereka sejalan dengan kebutuhan
masyarakat. Bahkan dalam skala lokal sekalipun, sebuah kelompok
akan tetap wujud jikalau mampu menunjukkan peran sesuai dengan
kepentingan masing-masing kelompok (Sans dan Foio, 2009; 297312).
112 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Pengembangan pendidikan Islam juga memperhatikan keberadaan teknologi. Sehingga ini digunakan secara khusus sebagai
media pembelajaran (Lubis, Ariffin, Muhamad, Ibrahim, dan
Wekke, 2009; 189-197). Dalam contoh kasus di Brunai Darussalam,
pengembangan pendidikan menjadikan keperluan terhadap akselerasi
terhadap kemajuan teknologi. Untuk itu, teknologi komunikasi
dijadikan sebagai sarana untuk memberikan pengalaman belajar lebih
komprehensif kepada para siswa. Pada wilayah muslim minoritas
terdapat pengalaman yang sama dimana penerimaan terhadap
teknologi merupakan bagian dari pengembangan pendidikan.
Sehingga pemanfaatan teknologi dilakukan untuk menjadi bagian
integral dari sistem pendidikan yang sementara berjalan. Hanya
saja, kajian ini tidak secara khusus memberikan perhatian terhadap
penggunaan dan implelemntasi teknologi komunikasi dalam konteks
dakwah dan pendidikan tetapi semata-mata mengidentifikasi tentang
kelembagaan pendidikan dan dakwah.
Temuan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan
Pam Nilan, dimana dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
ada tekanan terhadap kelompok pria untuk senantiasa menunjukkan
identitas laki-laki dengan senantiasa melakukan tekanan. Maskulinitas
kelompok laki-laki menurut Nilan justru menjadi sebuah dilemma,
antara kepemimpinan dan ego yang saling kontras (Nilan, 2009;
327-344). Padahal dalam penelitian ini justru menunjukkan lakilaki sebagai kelompok dapat saja menjadi warga yang baik untuk
menyeimbangkan antara tuntutan lingkungan dengan pesanpesan pendidikan yang didapatkannya di sekolah. Sebagaimana
ditunjukkan dalam pesantren di Manado bahwa santri tetap berusaha
memberikan upaya terbaik dalam berpartisipasi untuk acara-acara
yang diprogramkan organisasi ketetanggaan dalam skala terbatas.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 113
Penutup
Pesantren terbentuk dari hubungan antar individu di
masyarakat sehingga menghasilkan kesepakatan untuk membangun
sebuah lembaga pendidikan. Bermula dari keberadaan lembaga
inilah yang kemudian menjadi wahana dalam memberikan
penguatan kapasitas bagi individu muslim dalam skala yang lebih
luas. Tidak saja memberikan pendidikan formal yang menjadi
bagian utama proses ini, tetapi pendidikan justru menyediakan
sebuah kesempatan bagi adanya interaksi dengan masyarakat yang
ada dalam lingkungan pendidikan. Tidak dijadikan sebagai pembeda
antar komunitas lembaga pendidikan dengan masyarakat sekitar.
Kurikulum tidak men-jadikan proses pendidikan ini sebagai tujuan
tetapi dampak dari adanya pola hubungan yang terbangun secara
berkelanjutan.
Dalam proses yang sama ini juga kesempatan bagi lembaga pendidikan Islam untuk menjadi media dakwah untuk
mencerminkan Islam sebagai agama yang memiliki kesediaan
untuk berada dalam masyarakat yang berbeda. Walaupun itu adalah
keyakinan yang merupakan pilihan fundamental sebagai pilihan
individu. Dengan perbedaan ini tidak mendi halangan bagi umat
Islam dalam mengusahakan kemajuan kemanusiaan. Sekaligus
berkontribusi bagi kelangsungan lingkungan dan membagi daya
spirit dengan komunitas yang berbeda sekalipun. Justru ini menjadi
dukungan bagi kelembagaan pendidikan sehingga tetap berlangsung
dengan kondisi masyarakat yang plural. Bukannya menjadi halangan
dalam pengembangan, sebaliknya justru hadir sebagai pendukung.
Sehingga kerjasama seperti ini dapat menjadi sebuah model dakwah
di minoritas muslim.
Masjid sebagai pusat ibadah umat Islam dilengkapi juga
dengan aktivitas dan sarana pendidikan. Sehingga masjid semata-
114 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
mata tidak difungsikan sebagai tempat ibadah secara ritual, tetapi juga
untuk mengukuhkan pemahaman keagamaan akan menggerakkan
amalan agama. Tanpa pemahaman yang paripurna, maka akan
sulit untuk mengharapkan wujudnya amalan yang dilaksanaka
seseorang. Penggunaan masjid sebagai lembaga menunjukkan
adanya keinginan dan usaha untuk menjadikan pendidikan untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah. Dimana dakwah tersebut
sekaligus memperkuat kapasitas jamaah.
Daftar Pustaka
Ahmad, Misbahuddin. 2013. Haji Fadeli Luran Sang Pemersatu.
Yogyakarta: Andi Offset.
Ahmad, Misbahuddin. 2010. Kiprah IMMIM Membangun Umat.
Yogyakarta: Andi Offset, 2010.
Al-Nahlawiy, Abd Rahman. 1987. Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Asalibiha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama. Dimasq: Dar
al-Fikr, 1987.
Al-Qardhawiy, Yusuf. 1986. Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa madrasah
Hassan al-Banna. Johor: Thinker’s Library Sdn. Bhd., 1986.
Baba, Sidek. (peny.). 2008. Pemikiran Hamka. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tasawuf.
Bandung: Penerbit Mizan.
Galigo, Syamsul Bahri Andi. 1997. Persoalan Masyarakat Islam Masa
Kini: Hubungannya dengan Dakwah dan Pendidikan, dalam Abdullah
Muhammad
Zin, Che Yusoff Che Mamat dan Ideris Endot (peny.). Prinsip dan Kaedah
Dakwah dalam Arus Pembangunan Malaysia. Bangi: Penerbit UKM.
Ghafur, Hanief Saha. Integrasi Tradisi dan Perubahan Sosial. The
SEBUMI
International Conference on Cultural Relationship Indonesia and
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 115
Malaysia, diselenggarakan Universiti Kebangsaan Malaysia,
Kuala Lumpur 11-14 Oktober 2010.
Hadi, Sofyan. 2011. Relasi dan Reposisi Agama dan Negara.
Jurnal Studi Islam Millah, Vol. X, No. 2, Februari.
Jamhari. 2006. Pesantren di Bali: Pendidikan Islam di Daerah Minoritas.
dalam Jajat Burhanuddin dan Dina Afrianty, Mencetak Muslim
Modern, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jenne, Erin. 2004. A Bargaining Theory of Minority Demands: Explaining
the Dog that Din not Bite 1990s. Yugoslavia. International Studies
Quarterly, 48.
Lubis, Maimun Aqsha., Ariffin, Siti Rahayah., Muhamad, Tajul
Arifin., Ibrahim, Mohammed Sani., dan Wekke, Ismail Suardi.
2009. The integration of ICT in the teaching and learning processes:
A study on Smart School of Malaysia. Proceedings of the 5th
WSEAS/IASME International Conference on Education
Technology.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Penerbit
Paramadina.
Man, W. K. Che. 1990. Muslim Separatism the Moros of Southern
Philipines and the Malays of Southern Thailand. Manila: Ateneo de
Manila University Press.
Martinovic, B. & Verkuyten, M.. 2016. International Journal of
Intercultural Relations Interreligious feelings of Sunni and Alevi
Muslim minorities : The role of religious commitment and host national
identification. International Journal of Intercultural Relations,
52.
Moos, R. H. 1979. Evaluating Educational Environments. San Fransisco:
Josey-Bass Publishers.
Nilan, Pam. 2009. Contemporary Masculinities and Young Men in Indonesia.
Indonesia and the Malay World, Vol. 37, No. 109, November.
Sans, Ana Ines Heras Monner, dan Foio, Maria del Socorro.
116 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
2009. Discourse, Meaning and Political Participation. Journal of
Multicultural Discourse, Vol. 4, No. 3, November.
Sciortino, Rosalia; Natsir, Lies Marcoes; dan Mas’udi, Masdar F.
1996
Learning from Islam: Advocacy of Reproductive Right in Indonesian Pesantren.
Reproductive Health Matters, No. 8, November.
Suaedy, Ahmad. 2012. Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan
Damai. Jakarta: The Wahid Institute.
Tamuri, A. Halim, et al.. 2013. Religious education and ethical attitude
of Muslim adolescents in Malaysia. Multicultural Education &
Technology Journal, 7(4).
Wekke, Ismail Suardi. 2012. Amalan Pengajaran dan Pembelajaran
Bahasa Arab di Pesantren Immim Makassar, Indonesia, Disertasi,
Bangi: Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Wekke, Ismail Suardi, dan Hamid, Sanusi. 2013. Technology on Language
Teaching and Learning: A Research on Indonesian Pesantren. Procedia
- Social and Behavioral Sciences, Vol. 83.
Wekke, Ismail Suardi. 2013. Lembaga Pendidikan Sebagai Pilar Dakwah
di Wilayah Minoritas Muslim. Jurnal Dakwah Al-Hikmah, Vol. 4
(2), 2013.
Wekke, Ismail Suardi; dan Lubis, Maimun Aqsha. 2008. A
Multicultural Approach in Arabic Language Teaching: Creating
Equality at Indonesian Pesantren Classrroom Life. Sosiohumanika,
Vol. 1, No. 2.
Ziemek, Mamfred. 1986. Pesantren dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 117
AKTIVISME AGAMA, KETIDAKADILAN,
DAN KEMISKINAN:
Sebuah Upaya Komunitas Lintas Iman
di Tanah Bendar Manado
Oleh: Samsi Pomalingo
A
gama saat ini merupakan realitas yang berada di sekitaran
aktifitas sosio-religius manusia. Manusia sebagai abdi/hamba
memiliki kepercayaan transendental yang berbeda-beda yang
diyakini sebagai sebuah keyakinan yang memiliki kebenaran. Agama
telah menjadi kebutuhan dasar manusia (basic needs of human) tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan sosial-keagamaan manusia. Agama
diyakini tidak hanya membicarakan ibadah mahdhah/ritual (relasi
vertikal) semata melainkan juga berbicara tentang ibadah gairu
mahdhah atau nilai-nilai yang harus dikonkretkan dalam kehidupan
sosial (relasi horizontal).
Agama bukan hanya mengatur tata cara beribadah kepada
Tuhan Yang Maha Esa, tapi agama pula memainkan peran dalam
konteks pembangunan kehidupan umat manusia di dunia (bumi).
Jika agama hanya dimainkan dalam wilayah ritual keagamaan maka
yang muncul adalah egoisme kelompok dengan klaim kebenaran
(truth claim) atas kelompoknya yang justru melahirkan wajah garang
118
agama sebagai sumber konflik. Kalaupun lebel ini (sumber konflik)
tetap melekat pada agama, maka tidak menutup kemungkinan,
pandangan-pandangan miring dan kritik atas agama akan selalu
dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang tidak begitu percaya
terhadap agama. Misalnya seorang novelis dan wartawan dari
Inggris A. N. Wilson menulis sebuah buku yang berjudul Against
Religion: Why We Should Try to Live without It? Dilihat dari judul buku
dan isinya, sangatlah provokativ dan mengandung kontroversi,
tapi dilihat dari percobaannya sebagai orang luar yang memandang
agama, dan untuk bahan perbandingan dengan mereka yang yakin
kepada kebaikan agama, ada satu pernyataan yang patut kita telaah
dan kaji bersama. Misalnya saja pernyataan keras yang Ia sampaikan
dalam permulaan buku, adalah sebagai penghujatan keras terhadap
agama, seperti:
“Its said in the Bible that the love of money is the root of all evil. It might be
truer to say that the love of god is the root of the all evil. Religion is tragedy of
humankind. It appeals that is noblest, purest, loftiest in the human spirit,
and yet there scarcely exists a religion which has not been responsible for
wars, tyrannies and suppression of the truth” (A.N. Wilson, 1992; 1).
Selain Wilson, dua orang futurolog, John Naisbitt dan
Patricia Aburdene, berkenaan dengan masalah kehidupan agama,
mereka berkata: Spirituality Yes, Organized Religion No” (Naisbitt dan
Aburdence, 1991; 295). Pernyataan-pernyataan ini menurut penulis
dilontarkan sebagai otokritik terhadap eksistensi dan peran agama
yang cenderung tidak lagi respon dengan pelbagai masalah yang
dihadapi oleh manusia. Sehingga agama dianggap sebagai sesuatu
yang telah kehilangan “spirit of orientation” dan “way of life” bagi
para penganutnya. Dengan latar belakang seperti ini memunculkan
pernyataan dan “jargon” di atas. Demikian pula Thomas Jefferson
mengandung pandangan serupa. Jefferson mengaku sebagai percaya
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 119
pada Tuhan (Deisme) kepada kemaha-Esa-an Tuhan (Unitarianisme)
dan kepada kebenaran universal (Universalisme), tanpa merasa perlu
mengikatkan diri kepada salah satu agama-agama formal yang ada.
Jefferson bahka meramalkan, bahwa pandangannya ini akan menjadi
agama seluruh umat manusia, dalam jangka waktu dan ratus tahun
akan menggeser posisi agama-agama formal.
Sepertinya agama kalau didasarkan pada pernyataan-pernyataan di atas, tak lagi dibutuhkan, kalau agama itu sendiri tak
mampu menjawab teka teki kehidupan yang sangat rumit. Tapi
biarlah pernyataan itu hadir sebagai wacana yang perlu didiskusikan
lebih lanjut. Dan penulis punya keyakinan agama akan tetap menjadi
‘Pemeran’ atau ‘Aktor’ dalam memainkan perannya sebagai way of
life atau way of world yang dianut oleh orang-orang yang percaya
terhadap kekuatan agama. Karena agama diturunkan bukan untuk
merusak kehidupan manusia, justru agama menjadi laksana lampu
sorot yang mampu menerangi jalan bagi setiap penganutnya.
Agama dan Masalah Kemiskinan
Membicarakan kemiskinan selalu tidak lepas dari struktur
sosial-ekonomi yang eksploitatif. Struktur ini justru telah mempertajam adanya penguasaan ekonomi yang dilakukan oleh para
‘penghisap’ yang secara ekonomi telah mapan. Bagi mereka pekerjaan
menghisap adalah pekerjaan yang halal alias sah-sah saja di dunia ini.
Akses ekonomi yang luas dan dikuasai secara penuh membuat para
pemilik modal untuk semena-mena melakukan penghisapan dan
penguasaan aset-aset milik rakyat. Akibatnya, rakyat mengalami nasib
ekonomi yang sangat memprihatinkan yaitu ‘kemiskinan’ (poverty).
Cara-cara seperti inilah kemiskinan yang dialami oleh rakyat yang
terampas haknya disebut kemiskinan struktural. Suatu kemiskinan
yang diciptakan secara sadar oleh para penguasa modal dan negara
dialami oleh manusia di mana-mana, baik di negara-negara maju
120 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
maupun di negara-negara berkembang. Masalah kemiskinan dapat
dilihat dari dua ideologi yaitu ideologi konservatif dan liberal.
Menurut kaum Ideologi konservatif kemiskinan merupakan
kesalahan manusia itu sendiri. tidak ada hubungannya dengan negara
maupun para pemilik modal. Ideologi ini berakar pada kapitalisme
dan liberalisme abad ke 19. bagi kaum ideologi konservatif pasaran
bebas dianggap sebagai fundamen bagi kebebasan ekonomi dan
politik. Di mana pasar bebas dianggap akan menjamin adanya
desentralisasi kekuasaan politik.
Bagi kaum konservatif, struktur sosial adalah segala-galanya
dan merupakan suatu keharusan. Mereka sangat menjunjung tinggi
struktur sosial yang ada. Karena demi tegaknya struktur sosial
tersebut, maka otoritas dinilai sangat hakiki. Adanya Stratifikasi
sosial atau tingkat sosial yang termasuk struktur sosial karena
adanya perbedaan antara individu-individu dengan bakat-bakat
yang berbeda. Di mana setiap orang akan berkembang dan tumbuh
karena menurut bakat-bakat yang mereka miliki. Dari perspektif
kaum konservatif, maka wajar ada perbedaan dalam tingkat prestasi
yang menuntut masyarakat untuk memberi imbalan atauapun balas
jasa sesuai dengan bakat mereka yang berbeda-beda.
Jadi sekali lagi, menurut kaum konservatif masalah kemiskinan sebagai kesalahan orang-orang miskin sendiri. Masalah
kemiskinan tidak bisa dimpakan kepada negara maupun kepada
para kapitalis. Sebab keduanya dinilai tidak bertanggungjawab
atas munculnya kemiskinan yang dialami oleh rakyat jelata. Tidak
hanya itu, kemiskinan terjadi karena pada umumnya orang miskin
dinilai sebagai orang-orang bodoh dan malas. Maka mereka harus
menyelesaikan masalah mereka sendiri, tanpa harus meminta negara
untuk memikirkan nasib mereka. Bagi kaum konservatif kemiskinan
bukanlah masalah yang serius. Sehingga negara (pemerintah) tidak
diminta untuk campur tangan mengurus kemiskinan. Artinya,
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 121
orang-orang miskinlah yang harus bertanggungjawab dan berusaha
untuk memecahkan promlem kemiskinan.
Kata ‘liberal’ bagi orang-orang miskin maupun kaum buruh
Amerika dipahami lebih ‘progresif ’ dari pada dibandingkan dengan
‘konservatif ’ atau bahkan dinggap lawan dari ‘sayap kanan’.
Perjuangan kaum liberal menurut Adam Smith (1776) adalah untuk
mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas.
Kalau bagi kaum konservatif kemiskinan merupakan kesalahan sendiri orang-orang miskin karena bodoh dan malas. Lain halnya
bagi kaum liberal. Menurut kaum liberal, kemiskinan bukan sematamata kesalahan dan kebodohan orang-orang miskin. Kemiskinan
merupakan masalah yang serius dan menuntut pemecahan agar
orang-orang miskin terbebaskan dari penderitaan yang mereka
hadapi. Bagi kaum liberal masalah kemiskinan dapat diselesaikan
dalam struktur politik dan ekonomi yang sudah ada. Karena
kemiskinan yang terjadi diakibatkan oleh adanya diskriminasi
antara orang kaya dan orang miskin. Untuk itu, bagi kaum liberal
yang terpenting adalah memberikan kesemptan yang sama tanpa
ada diskriminasi antara orang kaya dan orang miskin. Dengan cara
seperti ini, maka orang miskin diyakini dapat menyelesaiakan dan
mengatasi masalah mereka. Untuk mengatasi kemiskinan, kaum
liberal menawarkan perlunya perbaikan pelayanan-pelayanan bagi
kaum miskin, membuka peluang dan kesempatan kerja bagi mereka
dan menyebarluaskan pendidikan. Kesempatan dan peluang ini akan
merubah orang miskin dari lingkunan dan situasi hidup mereka.
Kalau kondisi-kondisi sosial dan ekonomi telah diperbaiki, maka
orang-orang miskin bagi kaum liberal akan siap menyesuaikan diri
dengan kultur dominan dalam masyarakat dan meninggalkan kultur
mereka.
Dari dua pandangan baik itu kaum liberal maupun kaum
konservatif sama-sama mempertahankan struktur sosial yang sudah
122 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
ada, dan struktur sosial ini ditandai dengan perbedaan tingkat sosial,
sistem ekonomi kapitalis dan demokrasi politik. Bagi kaum liberal
bagaimana memungkinkan orang miskin hidup dalam struktur
sosial yang sudah ada, sedangkan bagi kaum konservatif cenderung
membiarkan mereka.
Kemiskinan adalah kenyataan yang ada ditengah-tengah
kehidupan masyarakat kita. Munculnya masalah kemiskinan tafsirkan secara berbeda oleh dua ideologi yaitu ideologi konservatif dan
ideologi liberal. Bagai kaum konservatif kemiskinan disebabkan
karena kesalahan orang-orang miskin sendiri yang bodoh dan malas
bekerja, sementara bagi kaum liberal kemiskinan disebabkan oleh
struktur sosial dan ekonomi yang diskriminatif.
Untuk memahami dan menganalisis sebab-sebab munculnya
masalah kemiskinan diperlukan suatu pisau analisis yaitu analisis
sosial (social analysis). Kenapa harsus menggunakan analisis sosial
dan apa kelebihannya serta dapatkah analisis sosial mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab masalah kemiskinan? Analisis sosial
dapat menghasilakan pengetahuan tentang adanya kemiskinan,
menyangkut arti dari kemiskinan, dan faktor-faktor penyebab
munculnya kemiskinan. Dengan demikian analisis sosial dapat
mencegah dua pendekatan yang tidak bertanggung jawab: (1)
asumsi-asumsi dangkal dan, (2) apriorisme ideologis.
Perlu diingat bahwa kenyataan sosial merupakan kenyataan
yang begitu kompleks, sehingga tidak ada satu cabang ilmu pun yang
dapat membuat analisa secara tuntas tanpa ada bantuan ilmu-ilmu
lain (Holland dan Henriot, 1986:25). sangat menekankan pentingnya
pengalaman dalam proses analisis. Dalam hal ini dikemukakan suati
lingkaran praksis yang menekankan hubungan terus-menerus antara
refleksi dan aksi. Lingkaran praksis ini seperti dalam gambar berikut
ini:
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 123
Jika kita deskripsikan alur gambar di atas, maka sesungguhnya
lingkaran praksis atau lingkaran pastoral ini lebih berupa gerak
spiral dari pada sebuah lingkaran. Situasi yang dialami bersama
oleh lingkaran praksis ini merupakan titik tolak dari sebuah proses
analisis. Analisis sosial ingin melihat kelompok-kelompok sosial,
struktur krkuasaan, siapa yang menentukan dalam keseluruhan
proses sosial, yang mengambil keuntungan dan siapa yang dirugikan.
Dengan demikian tujuan analisis sosial merupakan usaha untuk
mempelajari struktur sosial yang ada, mendalami institusi politik,
ekonomi, budaya agama dan keluarga. Hal ini dimaksudkan agar kita
dapat mengetahui sejauhmana dan bagaiamana institusi-institusi itu
menyebabkan ketidakadilan sosial. Dengan mempelajari institusiinstitusi yang ada, maka kita akan mampu melihat satu masalah
sosial yang ada dalam konteksnya yang lebih luas. Demikian menjadi
jelas, analisis sosial adalah suatu usaha nyata yang merupakan bagian
penting usaha untuk menegakan keadilan sosial.
Dialog Liberatif Lintas Agama
Sejak manusia lahir, kehidupan ini bermula telah melahirkan
berbagai masalahKrisis ekologi dan kemanusiaan menyangkut
perdamaian, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, hak-hak asasi
manusia dan penindasan telah melengkapi krisis yang dialami oleh
umat manusia saat ini. Problem-problem yang membutuhkan solusi
mendesak ini menuntut kontribusi dan kerjasama seluruh komunitas
agama-agama. Di mana agama-agama, seperti yang dikemukakan
oleh Hans Küng memiliki tanggungjawab global (Hans Kung, 1990),
yaitu tanggungjawab untuk berbuat sesuatu terhadap derita yang
dialami oleh umat manusia. Tanggungjawab global menyediakan
suatu konteks hermeneutika baru, di mana seluruh penganut agama-
124 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
agama dituntut lebih arif memahami perbedaan dan menciptakan
sesuatu yang positif di luar perbedaan itu. Jadi, sekarang ini para
pemimpin agama-agama perlu bertemu dalam satu wadah dan
membicarakan tanggungjawab global, di mana tanggungjawab global
ini harus diatur dan didominasi oleh keragaman agama-agama.
Masalah-masalah krusial yang dihadapi oleh umat beragama
saat ini bukan hanya masalah moral dan etika, tapi masalah
ketidakadilan, perampasan hak-hak milik rakyat, penggusuran
Pedagang Kaki Lima (PKL) dan kemiskinan. Munculnya masalahmasalah teresbut bermuara dari ketidakadilan. Keadaan ini
membutuhkan peran dari dari organisasi maupun pimpinan agama
untuk berjuang melawan ketidakadilan dan mencari solusi praksis
dalam penyelesaian masalah-masalah tersebut. Hanya saja, langkah
pertama yang dapat dilakukan adalah memahami dan mencari
sebab-sebab munculnya ketidakadilan. Misalnya ketidakadilan
dalam bidang ekonomi. Selama ini distribusi ekonomi lebih diarahkan kepada para pemilik modal (kaum kapitalis) daripada rakyat
kecil yang membangun usahaya pada usaha-usaha industri kecil.
Sehingga modal (capital) lebih terkonsentrasi pada mereka yang
dapat memberikan kompensasi bagi para penguasa. Akibatnya
mereka yang ada di sektor ekonomi menengah ke bawah terpaksa
berusaha mencari modal sendiri untuk menopang usaha mereka.
Ketidakadilan dalam proses produksi kapitalis telah menciptakan
struktur kemiskinan yang cukup kuat, rakyat yang miskin menjadi
lemah dan mereka yang memiliki modal menjadi sangat kuat.
Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi
kapitalis telah membawa masyarakat pada suatu kondisi yang kita
kenal dengan istilah “kemiskinan struktural”, suatu kemiskinan
yang diciptakan oleh struktur ekonomi yang menindas dan hanya
memihak pada para pengambil kebijakan dan pemilik modal.
Demikian pula dengan krisis ekologi, seperti; masalah sampah, krisis
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 125
pangan dan pengrusakan ekosistem laut (terumbu karang) sebagai
akibat dari reklamasi pantai.
Kenyataan ini membutuhkan peran serta dari organisasi
ataupun dari pimpinan agama untuk memulai tugas-tugas praksis
yang membebaskan dan bertanggung jawab secara global atas
penderitaan yang di alami oleh umat beragama dan ekologi. Dialog
diarahkan untuk membicarakan penderitaan yang dialami oleh para
korban, dengan cara menghadirkan para korban yang menderita
dan tertindas ke meja dialog. Artinya, bahwa suara mereka tidak
hanya didengar tapi juga dipahami. Kalau realitas penderitaan dan
keprihatinan etis mereka mau dirasakan dan bukan hanya dicatat,
maka semua peserta dialog harus terlibat aktif dalam praksis
melawan ketidakadilan terhadap manusia dan lingkungan.
Selama ini wacana yang ada lebih terkonsentrasi pada
agama sebagai kekuatan konflik. Sehingga kesan yang kuat dalam
masyarakat bahwa keberadaan organisasi maupun forum hanya
di saat-saat ketika terjadi konflik agama. Gerakan dalam bentuk
protes terhadap kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan tidak
berpihak pada rakyat kecil, selama ini lebih banyak disuarakan
oleh kelompok atau organisasi kemahasiswaan yang concern dalam
memerengi ketidakadilan dan penindasan. Mungkin hal ini bisa
dipahami dari motif pembentukkan organisasi yang ada sangat kuat
perannya untuk memelihara kesatuan dan persatuan umat beragama
serta mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan di bidang
keagamaan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban
daerah-daerah yang berpotensi konflik (Sudjangi, 2004; 436).
Dalam upaya menjelaskan tanggungjawab global atau keprihatinan untuk mewujudkan kesejahteraan (soteria), keadilan dan
pembebasan manusia serta lingkungan sebagai suatu kriteria dari
dialog liberatif multireligius, maka penulis menawarkan suatu
pandangan yang perlu dikembangkan oleh organisasi ataupun
126 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
forum-forum yang ada yaitu reorientasi peran-peran organisasi ini
sebagai organisasi yang mengedepankan praksis pembebasan dan
tanggungjawab global untuk mensejahterakan umat yang menjadi
korban dari ketidakadilan dan penindasan. Pentingnya reorientasi itu
dimaksudkan agar eksistensi dan peran organisasi menjadi fungsional.
Karena yang harus dipahami bahwa konflik agama tidak hanya
dipicu oleh agama itu sendiri melainkan juga dipicu oleh kemelaratan
dan kemiskinan. Disamping itu, visi mensejahterakan (soteriosentris)
pemeluk agama yang diemban oleh komunitas dialog termasuk
relatif belum tersentuh. Karena selama ini kita merasa masalah
pengentasan kemelaratan dan kemiskinan hanyalah tugas negara
(pemerintah), ternyata disamping tidak menyelesaikan tugasnya
dengan baik, aparat pemerintah sering terlibat dalam kasus KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), bahkan kerapkali terlibat dalam
praktik-praktik politik temporal yang tidak jelas kepemihakannya
pada rakyat banyak. Hal ini dapat dibuktikan dengan 80 persen dari
rakyat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan secara ekonomi,
dan ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi yang yang dirasakan
oleh rakyat Indonesia semenjak akhir 1997 (Susetyo, 2004; 149).
Oleh karena itu, dengan tetap membiarkan negara menjalankan
tugasnya, agama tidak hanya menjalankan fungsi kontrolnya saja,
melainkan juga sebagai pelaksana dari pemberdayaan itu sendiri.
Dari uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa
dialog liberatif menjadi jawaban dan pilihan untuk menjawab
dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
beragama. Dalam dialog liberatif, partisipan dialog dari lintas
agama tidak memulai dengan percakapan tentang doktrin atau
ritual, bukan dengan doa atau meditasi, tapi perjumpaan itu dimulai
pada level praksis yaitu pembebasan. Para partisipan dituntut
untuk menunjukan contoh-contoh dari penderitaan yang dialami
oleh manusia. Secara bersama mereka melakukan sesuatu untuk
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 127
menekan realitas kemiskinan, kelaparan, eksploitasi, atau kebinasaan
lingkungan. Memerangi ketidakadilan adalah tugas suci agama
lewat para pimpinan dari berbagai agama-agama, seperti yang telah
dilakukan oleh para Nabi dalam agama-agama semitik. Karena para
pimpinan agama adalah pewaris dari perjuangan para Nabi yang
telah berhasil menumbangkan tembok-tembok ketidakadilan dari
realitas kehidupan manusia pada zaman dulu. Masalah-masalah yang
dihadapi oleh umat terdahulu tidak jauh berbeda dengan masalah
yang dihadapi oleh umat beragama saat ini. Peran pimpinan agama
adalah menentang struktur kekuasaan yang menindas, sistem
ekonomi yang eksploitatif, dan memerangi kemiskinan. Sebab semua
agama mengajarkan bagaimana umatnya harus mempertahankan
eksistensinya. Misalnya filsafat agama Buddha yang menekankan
pada peniadaan tanggung jawab, sedangkan teologi Kristen dan
Islam, pada fase non-spekulatif, mengidentifikasi dirinya sebagai
pembela kaum tertindas.
Dalam dialog liberatif, praksis pembebasan dan tanggung
jawab global sangat ditekankan. Maka agenda-agenda pemberdayaan
dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat
yang masih berada dalam lingkaran kemiskinan. Artinya, bahwa
kemiskinan bukanlah suatu taqdir yang tidak boleh dirubah. Di mana
kemiskinan bukanlah kesalahan orang miskin sendiri, melainkan
akibat dari kondisi-kondisi objektif kehidupan mereka. Kemiskinan
untuk sebagian besar merupakan akibat dari ketidakadilan struktural
atau kemiskinan struktural. Maksudnya bahwa kemiskinan itu
bukanlah akibat dari keinginan sendiri orang miskin, misalnya karena
ia malas atau ia suka main judi dan lain sebagaianya. Melainkan
akibat strukturasi proses-proses ekonomi dan politik, di mana hanya
kelompok kecil saja yang menguasai sarana-sarana produksi dan
pengambilan keputusan mengenai kehidupan masyarakat. Untuk
itu, para pimpinan agama berkewajiban menghilangkan sebab-sebab
128 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
kemiskinan, dengan jalan membongkar struktur proses-proses
ekonomis dan ketidakadilan sosial. Karena kemiskinan adalah
ungkapan yang paling kasar bagi ketidakadilan sosial.
Jadi inti dari dialog yang bertanggung jawab secara global
ini mengandung banyak persamaan dengan inti metode yang
dikembangkan oleh Paul F. Knitter, yang digunakan untuk teologi ini.
Knitter yakin metodenya bisa diterima bukan hanya oleh para teolog
Kristen, tapi juga oleh para teolog agama-agama lainnya. Dengan
demikian, dialog liberatif lebih pada tanggung jawab global, yang
menekankan bahwa umat beragama bukan hanya bersedia mengakui
hak hidup agama lain tanpa mau peduli bagaimana kehidupan umat
beragama itu sendiri di tengah-tengah mereka. Sikap saling tidak
mau tau, tidak saling mengusik di antara para pemeluk agama dan
hanya menginginkan hidup bersama dalam perbedaan secara damai
(ko-eksistensi), disebut oleh Paul F. Knitter sebagai toleransi yang
malas (lazy tolerance) (Knitter, 1985; 9). Seyogyanya para pemeluk
agama yang berbeda itu saling menghidupi dan memberdayakan
(pro-eksistensi) antar sesama. Pemberdayaan dimaksudkan sebagai
usaha untuk membebaskan umat manusia dari krisis yang dihadapi
selama ini.
Jadi selama ini, bentuk-bentuk dialog yang ada belum
sepenuhnya menyentuh dan memiliki orientasi yang membebaskan
umatnya. Dialog tidak harus dimulai dengan membicarakan
perbedaan-perbedaan teologi, sebaliknya dialog diarahkan bagaimana umat beragama yang menjadi korban dari penderitaan
dan kebijakan-kebijakan rejim pemerintah yang selama ini justru
menjadi penyebab kemiskinan dan penderitaan. Di sinilah peran
aktif pimpinan agama untuk mengatakan “tidak” atau “lawan”
terhadap segala bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak
berpihak pada rakyat kecil. Begitu pula terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah yang terlalu memberi kesempatan kepada para pemilik
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 129
modal untuk menanamkan investasi dengan jalan menguasai hakhah rakyat. Hanya saja, apabila agenda ini kurang mendaptkan
respon maka tingkat kemiskinan, ketidakadilan, struktur sosiobudaya yang terang-terangan sangat menindas akan meningkat dan
terus menggorogoti kehidupan rakyat kecil. Dalam kasus ini, ada
jalan keluar yang cukup membantu meskipun sulit untuk mengatasi
benturan keadilan melawan ketidakadilan. Bila dialog liberatif tentang
kesejahteraan dan keadilan ekologis-kemanusiaan hanya dilihat
dalam istilah “penindasan melawan pembebasan”, maka kita semua
terlalu mudah dapat saling mengakhiri kehidupan satu sama lain.
Jadi, kesejahteraan dan kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya
melalui pembebasan dan menyediakan hak-hak sipil dan ekonomi.
Kesejahteraan hanya akan tercapai bagaimana sikap kita mengajak
dan merangkul orang lain sebagai upaya untuk menciptakan ruang
bagi mereka yang berseberangan dan bertentangan dengan kita.
Sikap kritis dan melawan tetap menjadi bagian dari sikap yang
harus dimiliki oleh siapa saja termasuk oleh organisasi keagamaan.
Hanya saja perlawanan tidak harus menimbulkan bentrokan dan
tindak kekerasan, karena cara seperti itu tidak akan menyelesaikan
masalah. Misalnya sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah yang diskriminatif dan menindas rakyat kecil. Sebagai
contoh, apa yang dialami oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL) di
berbagai tempat termasuk di pusat kota yang menjadi korban dari
kebijakan-kebijakan pemerintah Kota. Begitu pula dengan keadaan
ekonomi masyarakat pedesaan yang cukup sulit untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari karena harus kehilangan
pekerjaan dan hak-hak mereka. Perlawanan dan keadaan tanpa
kekerasan memang merupakan suatu wahana praksis, satu ekspresi
dari terlaksananya komitmen relatif-absolut kita di dalam tanggung
jawab global. Dalam kasus seperti ini Krieger mengatakan:
130 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
The ability to stand for the truth as one sees it in the realm of experience
and action in such way, hewever, that one’s own view is always open to
correction and thus to place one’s own existence at stake is possible only
as nonviolent praxis (Krieger, 1990; 58).
Jadi dalam dialog liberatif, kita memiliki komitmen penuh
terhadap kebenaran yang kita pahami. Melawan dengan keras
bukan berarti melawan dengan kekerasan secara fisik, psikologis
atau kultural. Sehingga dari orang lain yang menjadi mitra yang
bernilai dan darinya kita dapat belajar walaupun dia sebagai seorang
penentang.
Membangun Aksi Solidaritras Lintas Agama
Akhir-akhir ini krisis yang dihadapi oleh manusia cukup
beragam dan kompleks. Rangkaian kompleksitas masalah yang ada,
membutuhkan penyelesaian mendesak agar manusia tidak larut
dalam masalah tersebut. Organisasi yang terlibat dalam mewujudkan
pembangunan moral masyarakat, sangat signifikan keberadaanya
sebagai organisasi yang dapat diharapkan mampu berbuat sesuatu
untuk melakukan transformasi dan pembebasan bagi umat beragama
yang menjadi korban dari struktur sosio-ekonomi yang menindas
dan eksploitatif serta krisis ekologi yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.
Dari rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi
semacam BKSAUA seperti yang telah penulis uraikan pada bab
terdahulu, merupakan bentuk partisipasi aktif dalam kegiatan
pembangunan masyarakat dan bangsa. Peran pimpinan agama
dalam pembangunan bukan saja lantaran mereka merupakan salah
satu komponen itu sendiri, melainkan karena pada umumnya
pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang
bersifat utuh dan serasi antara kemajuan aspek lahiriah dan kepuasan
batiniah. Corak pembangunan seperti ini didasarkan pada pemikiran
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 131
bahwa keberadaan manusia yang akan dibangun pada dasarnya
terdiri dari unsur jasmaniah dan unsur rohaniah. Kedua unsur ini
harus terisi dalam proses pembangunan.
Peran pimpinan agama dalam menanamkan prinsip-prinsip
etik dan moral masyarakat adalah penting adanya. Karena dalam
kenyataannya, kegiatan berupa kerjasama pada umumnya selalu
menuntut peran aktif para pemimpin agama dalam meletakan
landasan moral, etis dan spiritual baik dalam kehidupan pribadi
maupun sosial. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan dalam bentuk
kerjasama memperoleh kesejatiannya dengan cara berpijak pada
landasan kebersamaan (solidaritas), etis dan moral. Pentingnya
keterlibatan pimpinan agama dalam kegiatan-kegiatan pembangunan
dalam aspek pembangunan unsur rohaniah, tidak hanya bersifat
suplementer tetapi benar-benar menjadi salah satu komponen inti
dalam seluruh proses pembangunan. Di sini nilai-nilai religius yang
ditanamkan oleh pimpinan agama memainkan peranan penting
dalam kegiatan pembangunan (Wirosardjono, 1989; 8).
Mengamati dan menganalisis apa yang telah dilakukan oleh
pimpinan agama dalam kegiatan-kegiatan pembangunan secara
lintas agama merupakan bentuk aksi “solidaritas lintas agama”
(interreligious solidarity) seperti yang dikemukakan oleh Farid Esack
(Esack: 1997). Kenyataan ini patut diberikan penghargaan, karena
kegiatan-kegiatan yang ada didasarkan pada pembangunan moral
umat beragama dan pembinaan pentingnya kerjasama lintas agama
dalam memberikan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh umat
beragama.
Aksi solidaritas dalam bentuk kerjasama antarumat beragama
tetap penting untuk dikembangkan di masa-masa mendatang. Hanya
saja, kedepan kegiatan ini tidak hanya terbatas pada pembangunan
moral umat beragama, namun juga dilanjutkan pada kerjasama
dalam rangka memerangi kemiskinan dan ketidakadilan. Hal
132 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
ini perlu, mengingat masalah kemiskinan dan ketidakdilan telah
menjadi isu nasional bahkan internasioanal. Kemiskinan menjadi
tanda zaman par excellence bagi bangsa kita. Kemiskinan memanggil
kita untuk membebaskan orang-orang miskin dari penderitaan
mereka. Masalahnya, kita cenderung mengabaikan, atau “purapura” tidak tahu bahwa kita berhadapan dengan realitas primer ini.
Akibatnya, kebenaran tentang realitas orang miskin tidak menjadi
kesadaran personal atau kolektif kita. Bangsa kita masih melihat
realitas kemiskinan sekadar sebagai “catatan kaki” dan sesuatu yang
dianggap wajar dalam masyarakat yang malas atau tidak memilki
etos kerja. Disamping itu, kemiskinan dianggap kotoran masyarakat
yang sedang menderita sakit, kasus-kasus penggusuran paksa di
daerah-daerah kumuh memperlihatkan secara terang bagaimana
hidup orang miskin semakin digeser ke periferi dan secara sengaja
ditinggalkan melalui tindakan kekerasan. Singkatnya, selama ini kita
gagal mengalamatkan masalah penderitaan orang lain (problem the
suffering other).
Masalah kemiskinan melampaui batas-batas kemanusiaan dan
agama. Sebab kemiskinan merupakan skandal humanisasi-religius.
Jika menolak pengalaman ini dan menolak tantangan darinya,
kita akan menjadi tidak humanis-religius. Agama bahkan dapat
kehilangan relevansinya, jika bukan validitasnya. Dalam masalah
kemiskinan diharapkan respon dalam bentuk protes para pimpinan
agama untuk menekan realitas ini. Protes dilakukan di hadapan elite
negara dan pelaku ekonomi global yang self-seeking dalam mengelola
negara. Protes itu mengambil bentuk aksi solidaritas lintas agama
bersama mereka yang miskin atau yang menjadi korban dari struktur
yang tidak adil. Kita tidak hanya menunjuk fakta orang miskin dari
luar, tapi harus mengekspresikannya dalam diri kita, karena kita
menjadi simbol riil bagi orang-orang miskin.
Penyingkapan ini dilakukan atas realitas orang miskin maupun
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 133
solidaritas lintas agama yang berorientasi pada praksis liberatif. Aksi
solidaritas lintas agama bersama orang-orang miskin memediasikan
pembebasan orang miskin. Oleh karena itu, solidaritas dengan
orang miskin melahirkan suatu komunitas praksis liberatif. Kalau
kenyataan ini mulai disadari oleh para pimpinan agama, maka
urusan agama tidak hanya mengurus masalah-masalah batiniyah
(moral, etika dan spiritual) tapi juga masalah lahiriyah (kemiskinan,
ketidakdilan, krisis ekologi dan lain-lain). Di sinilah fungsi agama
sebagai kekuatan pembebas.
Aksi solidaritas agama mempunyai peranan penting dalam
hubungan antarumat beragama ke depan. Dengan membiasakan
umat beragama bekerjasama dalam kegiatan-kegiatan keagamaan
akan menumbuhkan perasaan bahwa betapa pentingnya hidup dalam
kebersamaan. Di mana partikularitas dalam keragaman berada di
atas singularitas tanggung jawab. Disamping itu, aksi solidaritas ini
merupakan upaya untuk menghilangkan sekat-sekat teologis yang
dianggap mampu memghalangi terwujudnya kerjasama.
Dari perspektif ini, masalah teologis jangan menjadi bahan
pembicaraan ketika umat dari berbagai agama hendak melakukan
kerjasama. Karena hal ini akan mempengaruhi hubungan dan
agenda-agenda kerjasama antarumat beragama. Artinya, bahwa
yang perlu ditekankan adalah pembicaraan mengenai moral, etika,
kemiskinan, ketidakadilan dan krisis ekologi. Dengan cara seperti ini
akan memantapkan agenda dari aksi solidaritas lintas agama.
Merubah Teologi Langit Menjadi Teologi Bumi
Gemuruh zikir dan suara-suara pengajian yang terdengar dari
majeli-majelis ta’lim adalah pembelaan terhadap Tuhan sebagai bukti
kesetiaan hanya kepada-Nya dengan menegasikan mission prophetic
pembelaan bagi mustad’afien. Penciptaan ruang-ruang perdebatan
gaduh dengan upaya pembuktian kekuasaan dan kebesaran Tuhan.
134 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Sikap-sikap Inilah yang menjadi dasar pertanyaan dan kegusaran
sejumlah pemikir muslim progresif dalam membaca tren sejarah
pemikiran keagamaan. Sehingga memunculkan sejumlah pertanyaan;
Mengapa persoalan kemanusiaan cenderung sepi dari haru biru
perbincangan teologis? Energi dikerahkan sedemikian rupa untuk
memproteksi singgasana Tuhan agar tidak ternodai oleh tangantangan jahil manusia yang berdosa. Padahal dalam kitab suci sudah
dikatakan bahwa kebesaran Tuhan tidak akan surut sedikit pun
dengan dosa-dosa yang diperbuat manusia.
Dalam pemahaman penulis, sebenarnya sikap mentransendenkan agama ke atas langit hanya akan menjauhkan agama
dari realitas social kemanusiaan dan berbagai problematikanya.
Ketika agama dipahami dalam bingkai teologis, maka sebetulnya
agama akan mengalami disfungsional, agama tersubordinat
oleh pemahaman-pemahaman keagamaan yang eksklusif dan
secara sosiologis agama akan kehilangan élan profetiknya untuk
mewujudkan pembebasan umat manusia. Dalam aksioma teori
fungsional, agama harus berfungsi dalam realitas social. Sekarang,
saatnya untuk mengkonversikan teologi ketuhanan menjadi teologi
kemanusiaan, sejenis teologi yang memberikan perhatian lebih besar
terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Dengan bahasa yang
berbeda, Hassan Hanafi dalam karya monumentalnya manusia harus
selalu menjadi pijakan kita dalam beragama. Sebab, Allah bukan
hanya raja di langit melainkan juga di bumi. Allah bukan hanya
Tuhan para malaikat yang ada di sana, melainkan juga Tuhan umat
manusia yang ada di sini, di bumi ini. Min al-Aqidah ila al-Tsawrah
menginstruksikan untuk mengubah ‘teologi langit’ menjadi ‘teologi
bumi’. Abd Moqsith Ghazali berpendapat bahwa bumi sebagai
ruang hunian umat
Dengan mengubah teologi langit menuju teologi bumi, sebuah
cita-cita untuk menjadikan agama sebagai alat pembebas bagi kaum
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 135
mustad’afien. Lebih jauh lagi berbagai macam bentuk teologi yang
diperkenalkan untuk membebaskan kaum tertindas seperti ‘teologi
pembebasan’ yang tumbuh subur di Amerika Latin yang bertolak
dari Socio-critical Interpretation, yang ditekankan dalam Teori Sosial
Neo-Marxist karya J. Habermas (1929), yang kemudian diadopsi
oleh teolog Asia. Thieselton mengemukakan bahwa: “Banyak
teolog penganut teologi pembebasan Amerika Latin mengambil
Alkitab hanya sebagai bacaan kedua yang dilakukan dalam konteks
perjuangan sosial masa kini, atau praksis masa kini.” (A. C. Thiselton,
1999).
Beragama secara praksis menuntut keseriusan, sehingga idealideal agama yang bungkam dapat menjadi kenyataan yang hidup dan
bersuara. Di sini agama bukan diapahami yang hanya bermuatan
simbol-simbol ritus yang beku, melainkan konstruksi perihal kerja
perubahan dan pembebasan masyarakat (The construction of social
transformation). Terutama bagi mereka yang tertindas secara politik,
sosial, budaya, apalagi ekonomi. Agama tidak boleh lagi berfungsi
sebagai alat pemberi legitimasi pada struktur masyarakat yang tidak
adil. Beragama secara praksis berarti pendaratan ruh agama pada
‘pangkalan-pangkalan’ masyarakat hingga level bawah. Pendaratan
itu bukan saja mewujud dalam bentuknya yang trivial dan banal,
melainkan juga terejawantah dalam bentuk yang lebih substantif
berupa terlepasnya umat dari belenggu represi, hegemoni, serta
derita ketertindasan. Agama seharusnya ditampilkan dalam sosoknya
yang humanis, pluralis, progresif, liberatif dan transformatif. Dalam
kisahnya yang awal, agama selalu hadir dengan makna-makna praksis
tersebut.
Mambangun Perdamaian Sejati Umat Manusia
Perdamaian merupakan dambaan bagi segenap lapisan
masyarakat yang hidup dalam kondisi sosial yang mejemuk.
136 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Suasana damai memungkinkan terciptnya suatu hubungan sosial
yang harmonis, rukun, dan saling menghargai satu sama lain, tanpa
harus mengalami situasi insecurity yang mengancam misi perdamaian
di muka bumi. Menurut A. Mukti Ali bahwa perdamaian bukan
hanya “tidak ada perang” tetapi perang adalah bentuk ekstrim dari
tidak adanya perdamaian. Sejak permulaan sejarah, perdamaian
telah dianggap sebagai karunia dan rahmat, dan sebaliknya perang
dianggap sebagai malapetaka dan azab, namun baru sejak akhir
abad pertengahan ahli-ahli filsafat dan negarawan dengan sistematis
merenungkan masalah perdamaian (Ali, 1987; 353-354). Tidak
sedikit organisasi-organisasi sosial keagamaan terus berupaya untuk
mewujudkan masyarakat yang “bebas konflik” lewat programprogram pembinaan, pendidikan, penegakan HAM dan demokrasi
serta prevensi konflik. Program perdamain tidak hanya dilakukan
oleh LSM-LSM lokal seperti DIAN/Interfidey, MADIA, FKUB tapi
juga oleh LSM-LSM dunia seperti yang dilakukan oleh komunitas
Yahudi, Kristen dan Islam yang tergabung dalam ICPME yang
dibentuk pada tahun 1987 di Amerika (Smock, 2002; 63).
Menjelang memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia diguncang
oleh konflik yang bernuansa SARA yang terjadi dibeberapa daerah,
seperti Situbondo (konlik agama dan politik), Pontianak (konflik etnis
dan agama), Ambon (konflik agama), Poso (konflik agama), Timika
(konflik antar suku), Medan (konflik etnis dan agama), Palembang
(konflik etnis), Lampung (konflik etnis dan agama), Sanggau (konflik
etnis dan agama), Ketapang (konflik etnis dan agama), Sampit (konflik
etnis dan agama), Tasikmalaya (konflik politik, etnis dan agama),
Kebumen, Solo, Kudus (konlik etnis dan agama), Mataram (konflik
agama), Sikka (konlik agama), Kupang (konflik agama) dan Ternate
Halamahera (konflik agama) (Ohoitimur, 2002; 34-35). Konflik yang
terjadi di beberapa daerah tidak hanya merusak bangunan-bangunan
fisik, lebih dari itu, konflik di atas telah memakan korban harta dan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 137
jiwa manusia dalam segala lapisan masyarakat. Akibat dari konflik
tersebut, telah menjadikan hubungan antar manusia tidak harmonis
dan saling curiga satu sama lain.
Persepsi bahwa agama menjadi pemicu konflik telah tercatat
dalam setiap lembaran sejarah umat manusia. Perang salib adalah
bukti sejarah di mana agama menjadi pemicu antara bangsa Eropa
yang beragama Katolik melawan bangsa Arab yang beragama
Islam. Bagi umat Islam, Perang Salib (Crusades) merupakan contoh
Kristen militan dan pertanada awal agresi imperialisme Barat
Kristen. Implikasi dari Perang Salib ini, telah menjadi kenangan
hidup tentang permusuhan antara pihak Islam dan pihak Kristen
(Pomalingo, 2003; 139). Perang Salib sendiri bukan hal yang sangat
penting dalam sejarah Muslim, namun krusial dalam menetapkan
pola dan jiwa sejarah panjang yang penuh konflik dan saling curiga
antar Muslim dan Kristen (Ayoub, 1993; 198).
Demikian pula, yang terjadi di Irlandia Utara antar pemeluk
agama Katolik dengan pemeluk agama Protestan. Dari dua kasus
tersebut agama menjadi faktor dominan dalam mendorong lahirnya
konflik di tengah-tengah pemeluknya. Agama yang diyakini sebagai
pembawa perdamaian atau dalam istilah al Qur’an sebagi rahmatan lil
alamin (kedamaian bagi alam semesta), namun dalam tataran historis,
misi agama tidak selalu artikulatif. Dari perspektif ini, seperti yang
telah penulis uraikan terdahulu agama di satu sisi memproklamasikan
dirinya sebagai alat pemersatu sosial (integrative factor), sebaliknya di
sisi lain, agama pula memerankan dirinya sebagai faktor pemicu
konflik (desintegrative factor). Faktor disintegratif muncul karena agama
itu sendiri memiliki potensi yang melahirkan intoleransi, baik karena
faktor internal ajaran agama maupun karena faktor eksternalnya
yang secara sengaja dimainkan oleh pihak-pihak tertentu dengan
mengatasnamakan agama untuk meraih kepentingan. Faktor-faktor
internal agama yang dimaksudkan adalah teks-teks agama, sementara
138 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
faktor eksternalnya adalah cara penafsiran terhadap teks-teks agama.
Pesan-pesan kasih dan perdamaian dapat ditemukan dalam
kitab-kitab Suci agama-agama sebagai berikut:
Inilah kasih itu; bukan kita yang telah mengasihi Alla, tetap
Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus
Anak-Nya sebagai pendamai bagi dosa-dosa kita,…jikalau
Allah sedemikian mengasihi kita, maka kita haruslah saling
mengasihi mengasihi. (Surat I Yohanes 4.7.12)
Tidak seorang pun di antara kamu yang beriman sepanjang
tidak mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya
sendiri”. (Hadis Rasulullah SAW). (Islam).
Bila dalam keluarga saling mengasihi niscay seluruh negara
akan di dalam cinta kasih. Bila di dalam keluarga saling
mengalah, niscaya seluruh negara akan di dalam suasana
saling mengalah. (Kitab Thay Hak, Ajaran Besar Bab IX :3).
(Konghucu)
Keadaan yang tidak menyenangkan atau menyenangkan
bagiku, akan demikian juga bagi dia. (Buddha).
Aku (Tuhan) adalah kekuatan dari yang perkasa, bebas dari
keinginan dan nafsu birahi, Aku adalah cintanya semua
manusia, yang tidak bertentangan dengan dharma (kebenaran)
oh Arjuna (Brata Sabha). (Bhagvadgita: VII.1) (Hindu)
Pesan-pesan perdamaian dan cinta kasih di atas menegaskan
bahwa sesungguhnya agama tidak pernah mengajarkan dan
memerintahkan kepada setiap pemeluknya untuk melakukan
kekerasan. Sebaliknya agama menganjurkan kepada setiap
pemeluknya untuk menebarkan cinta kasih dan perdamaian bagi
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 139
terwujudnya suatu masyarakat yang aman, damai dan hidup dalam
kerukunan.
Beberapa Prasyarat Mewujudkan Perdamaian
Untuk mewujudkan kerukunan dan misi perdamain lewat
Tahun Kasih, dibutuhkan prasyarat-prasyarat yang mendukung
terciptanya kerukunan dan perdamaian di Kota Manado, antara lain:
Pertama, memahami makna kasih dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan masyarakat yang plural. Sehingga kasih tidak
hanya sekedar slogan dan simbol kerukunan antarumat beragama.
Kedua, membangun kembali rule of law (supremasi hukum).
Sekarang ini banyak masyarakat yang melaksanakan hukum dengan
tangan mereka sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat
tidak percaya terhadap kemampuan pemerintah untuk menegakkan
hukum. Dengan demikian diperlukan keseriusan pemerintah dalam
hal ini aparat penegak hukum dalam mewujudkan supremasi hukum
tanpa melihat status seseorang, apakah ia seorang pejabat maupun
rakyat kecil yang melanggar hukum.
Ketiga, distribusi ekonomi yang merata dan penciptaan iklim
politik yang sehat. dalam bidang ekonomi, realitas kesenjangan yang
mencolok antar yang kaya dan miskin, atau penguasa dan rakyat telah
menyuburkan kebencian dan dendam sosial yang sewaktu-waktu
merebak menjadi amuk massa yang sulit dihindarkan. Oleh karena
itu, pembangunan ekonomi tidak boleh terpusat pada kelompok
dan golongan tertentu, tapi harus menyebar dan merata berdasarkan
prinsip ekonomi yang berkeadilan, sehingga tidak memunculkan
kesenjangan sosial ekonomi yang makin menajam yang hanya akan
mengganggu keseimbangan hidup masyarakat.
Dalam bidang politik, sakralisasi kekuasaan hingga kini masih
sangat kuat, seperti terlihat pada pandangan sebagian rakyat kecil
terhadap pemimpinnya sebagai personifikasi “orang suci” yang
140 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
dipandang tidak pernah salah (Asy`arie, 2002; 36). Oleh karena
itu perlu ada upaya desakralisasi kekuasaan, maka kepemimpinan
politik akan berjalan melalui proses seleksi yang terbuka, wajar,
alamiah dan tidak direkayasa. Kepemimpinan politik berjalan sesuai
proses interaksi dan komunikasi sosial yang jujur, beradab dan lugas.
Proses rasionalisasi kekuasaan diperlukan agar kekuasaan dapat
diperebutkan dan dikelola secara terbuka dan rasional, dan rakyat
sebagai pegang kekuasaan tertinggi dapat mengontrolnya secara
terbuka dan rasional pula.
Keempat, membangun masyarakat yang demokratis dengan
budaya yang demokratis (Suseno, 2003; 126). Otoriterianisme
yang identik dengan sikap represifnya telah merusak hubungan
masyarakat selama ini. Bahkan hal tersebut telah mendorong
tumbuh suburnya budaya kekerasan dalam masyarakat. Membangun
masyarakat yang demokratis adalah membangun masyarakat tanpa
diskriminasi. Karena diskriminasi menjadi lahan yang sangat subur
untuk menciptakan eskalasi konflik dalam masyarakat.
Kelima, Kesalehan sosial. Diharapkan para tokoh agama, elit
pemerintah dan elit politik harus menjadi teladan bagi masyarakat
luas dengan berperan aktif dalam meletakan landasan moral, etis,
dan spiritual serta peningkatan pengalaman agama, baik dalam
kehidupan pribadi maupun sosial.
Keenam, Intercultural Communication (Komunikasi antar budaya)
(Samovar dan Porter, 1976; 25). Komunikasi antar budaya meliputi
interaksi antar orang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Misalnya antar suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial (Liliweri,
2003; 12). Komunikasi dalam bentuk ini menjadi prasyarat untuk
menekan munculnya konflik etnik dan ras yang berbeda. Sebab dalam
masyarakat yang majemuk konflik dalam bentuk-bentuk seperti
ini bukan tidak mungkin tidak terjadi, oleh karena itu dibutuhkan
Intercultural communication (Komunikasi antar budaya).
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 141
Daftar Pustaka
Ali Engineer, Asghar. 2000. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ali, A. Mukti, 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta:
Rajawali Press,
Asy’arie, Musa. 2002. Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan.
Yogyakarta: LESFI.
Esack, Farid, 1997. Qur’an, Liberation and pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious solidarity against Oppression. Oxford:
One world publication.
Haniah, 2001. Agama Pragmatis: Telaah atas Konsepsi Agama John Dewey.
Magelang: Indonesia tera.
Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Knitter, Paul F. 1985. No Other Name? A Critical Survey of Christian
Attitudes toward the World Religions. Maryknoll, New York: Orbis
Books.
Krieger, David. 1990. “Conversation: On the Possibility of Global Thinking
in an Age of Particularalism” dalam Journal of the American Academy
of Religion.
Kung, Hans. 1990. Global Responsibility In Search of a New World Ethic.
New York: Crossroad.
Küng, Hans. 2003. Sigmund Freud Vis-a-Vis Tuhan, terjemahan Edi
Mulyono. Yogyakarta: IRCiSoD.
L. Pals, Daniel. 1996. Seven Theories of Religion. New York: Oxford
University Press.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya.
Yokyakarta: LkiS.
M. Ayoub, Mahmoud. 1993. “Akar Konflik Muslim-Kristen: Perspektif
Muslim Timur Tengah”, dalam Andito (Editor), Atas Nama
142 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik. Pustaka
Hidayah.
Magnis-Suseno, Franz. 2003. “Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya
Konflik antar Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia”, dalam
Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS dan Pusat
Bahasa dan Budaya.
Naisbitt, John dan Patricia Aburdence. 1991. Megatrend 2000, Ten
New Direction of the 1990’s. New York: Avon Books.
O.C., D. Hendropuspito. 1998. Sosiologi Agama, Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
O’Dea, Thomas F. 1997. The Sociology of Religon, Terjemahan Tim
Penerjamah Yasogama, CV Rajawali, Jakarta.
Ohoitimur, Yong. 2002. “Kasih Perekat Persaudaraan dan Pendorong
Kemajuan bagi Sulawesi Utara: Beberapa Gagasan dari Perspektif
Filsafat Moral”,
dalam Kasih Mengubah Dunia, Manado: JAJAK Sulut. Pomalingo,
Samsi. 2003. “Benturan Peradaban: Islam dan Kristen Barat”, dalam
Jurnal Potret Pemikiran. Vol. 3 No. 2 Oktober 2003, P3M STAIN
Manado.
R. Smock, David. 2002. (Editor), Interfaith Dialogue and Peacebuilding.
Washington: United State Institute of Peace Press.
Rakhmat, Jalaluddin, 2003. Psikologi Agama, Sebuah Pengantar.
Bandung: Mizan.
Samovar, Lary dan Richard E. Porter, 1976. Intercultural Communication:
A Reader Belmont. CA: Wadsworth Publishing Company.
Soekanto, Sorjono. 1993. Kamus Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Sosial Analysis: 1980. Linking Faith and Justice. Washington, Center
of Concern.
Sudjangi, 2004. “Peta Kerukunan di Propinsi Sulawesi Utara”, dalam
Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia,
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 143
Seri I, Jakarta:
Departemen Agama RI. Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan.
Susetyo, Benny. 2004. Vox Populi Vox Dei. Malang: Averroes Press.
Talcot Parsons, 1951. The Social System. New York: Free Press.
Wilson, A.N. 1992. Against Religion, Why We Should Try to Live without
It. London: Chatto and Windus.
Wirosardjono, Soetjipto 1989. “Agama dan pembangunan”, dalam M.
Masyhur Amin (Ed.), Moralitas Pembangunan Perspektif Agamaagama di Indonesia. Yogyakarta: LKPSM-NU.
144 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
MENJAGA KERUKUNAN, MERAYAKAN
KERAGAMAN DI ‘NEGERI SERIBU GEREJA’
Harapan dan Tantangan
Oleh: Taufani
S
emakin kaya keragaman yang dimiliki oleh suatu negara, maka
semakin tinggi pula potensi konflik yang dapat muncul ketika
keragaman itu tidak dapat dikelola dengan baik. Keragaman yang
dimiliki Indonesia pada dasarnya adalah sebuah berkah yang patut
disyukuri karena ia dapat menjelma menjadi kekuatan apabila setiap
elemen yang hidup di dalamnyadapat mengakuinya sebagai ‘ibu
kandung’. Tetapi ketika kita memungkirinya, maka tunggu saja,
kutukan demi kutukan akan datang menimpa negeri ini.
Berbagai chaos yang terjadi di negeri kita belakangan ini merupakan pertanda kutukan karena selama ini kita kerap berperilaku
bak malin kundang yang cenderung ‘setengah hati’ menerima dan
mengakui keragaman yang notabene adalah ‘ibu kandung’ kita
sendiri. Kita gagal mengambil pelajaran dari konflik agama/ sektarian
yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia seperti Afghanistan,
Bosnia, Pakistan, Sudan, dan beberapa negara lainnya yang telah
menghancurkan sendi-sendi sosial-politik di negara tersebut dan
juga telah merenggut nyawa orang yang tidak berdosa. Akibatnya,
negara-negara tersebut sampai sekarang masih terjebak dalam iklim
145
ketidakpastian.
Hati siapa yang tidak tersayat menyaksikan berbagai tragedi
kemanusiaan yang mengorbankan banyak nyawa akibat keserakahan
manusia yang sering saling jalin berkelindan dengan persoalan
ekonomi, sosial, dan politik yang dibumbui oleh warna identitas,
seperti agama, suku, ras, etnis, aliran, dan ideologi. Identitas sendiri
tidaklah salah karena ia hanyalah sebuah konstruksi sosial yang
selalu dinamis dan tidak statis yang kerap dimanfaatkan oleh pihakpihak tertentu. Yang salah adalah nafsu serakah manusia itu sendiriyang usianya sama tuanya dengan dunia ini- yang cenderung selalu
menghalalkan segala cara demi meraih tujuan.
Ingatkah kita, bahwa gebyar peradaban yang kita nikmati
saat ini adalah hasil peluh keringat, air mata, dan tetesan darah
para pahlawan kita yang tak mengenal kata lelah. Mereka telah
menghabiskan hampir sebagian hidupnya semata-mata untuk
membangun mercusuar peradaban yang kelak dapat dinikmati dan
dibanggakan oleh anak cucu. Namun sayangnya, peradaban yang
dibangun dengan susah payah tersebut saat ini terancam ambruk
akibat ‘ahli warisnya’ tak mampu mengendalikan nafsu syahwat
kekuasaannya.
Kota Manado dengan segala keindahan, keelokan, dan keperawanan alamnya kelak hanya akan tinggal sebagai sebuah cerita bila
keragaman yang dimilikinya tak mampu dikelola dengan baik dan
bijak. Manado adalah sebuah miniatur Indonesia yang di dalamnya
ditopang oleh keragaman suku, agama, ras, etnis sebagai pilarnya.
Keragaman ini telah lama menjadi kekuatan yang dapat merekatkan
masyarakat Manado. Itulah sebabnya, Manado (baca: Sulut)
cenderung sulit untuk disulut.
Dulu kita selalu bangga bahwa Indonesia adalah contoh negara
toleran di mana Ambon (Maluku), Sambas (Kalimantan Barat),
Poso, dan Manado dianggap sebagai role model kota kerukunan.
146 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Namun sekarang, citra Ambon, Sambas, dan Poso sebagai role model
kerukunan hanya tinggal nama. Kota-kota tersebut harus merasakan
getirnya perjuangan untuk membangun kembali seluruh sendi-sendi
yang telah hancur akibat adanya konflik horizontal yang dibumbui
oleh isu agama dan etnisyang terjadi beberapa tahun lalu. Satusatunya harapan yang masih bisa kita banggakan saat ini adalah
‘negeri seribu gereja’ Manado.
Secara geografis, Manado diapit langsung oleh segitiga konflik
(Mantu, 2015: 40-410), yakni Poso di sebelah Selatan, Ketapang,
Sambas, dan Sampit di sebelah Barat, dan Maluku dan Maluku Utara
di sebelah Timur, sehingga posisi Manado sangat rentan terkena
dampak dari konflik tersebut. Untungnya, keberadaan kearifan lokal
yang masih mengakar dengan kuat di tengah masyarakat, ikatan
kekerabatan yang masih terjaga,dialog lintas agama yang masih terjalin
dengan baik, ditambah dengan adanya figur kepemimpinan daerah
yang kuat dan mau mengayomi, dapat membantu Kota Manado
keluar dari efek domino yang ditimbulkan oleh wilayah-wilayah
konflik yang berbatasan langsung dengan wilayah Kota Manado.
Citra Manado sebagai kota damai dan toleran beruntungmasih dapat
dipertahankan.
Adanya citra damai yang melekat pada Kota Manado telah
membuat para korban dari daerah bertikai memilih menyelamatkan
diri di kota ini (Mantu, 2015: 40-41). Awalnya masyarakat Manado
khususnyayang beragama Kristen sempatsedikit dihantui oleh
kekhawatiran munculnya konflik baru di ‘kota seribu gereja’ ini
karena kebanyakan dari pengungsitersebut adalah beragama
Islam. Mereka khawatir umat Muslim yang datang dari daerah
bertikai tersebut masih menyimpan dendam kepada para penganut
Kristiani. Namun, apa yang dikhawatirkan cenderung tidak terjadi.
Malahan kebanyakan pengungsi yang datang dari daerah bertikai
tersebutmampu membaur dengan masyarakat, sehingga keberadaan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 147
mereka dapat diterima hingga saat ini. Sebagian dari mereka bahkan
telah menjadi sukses di kota ini.
Tulisan ini adalah suatu tulisan reflektif yang lahir dari apa
yang saya amati selama bermukim di Kota Manado dan untuk
membuatnya lebih kaya, saya mencoba memadukan refleksi pengalaman saya dengan beberapa studi yang spesifik membahas tentang
Manado. Saya berharap tulisan ini dapat mewarnai dan memperkaya
studi tentang kerukunan dan keragaman khususnya dalam konteks
Manado dan Sulawesi Utara.
Kearifan Lokal Sebagai Alat Pemersatu
Setiap kebudayaan selalu memiliki kearifan lokal yang khas
dan unik yang berfungsi sebagai mekanisme untuk mempertebal
kohesi sosial. Kearifan lokal sendiri dalam pandangan John Haba
mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang hidup, tumbuh, dan
berkembang di suatu wilayah yang diakui, dijalankan, dan dipercayai
sebagai aspek penting untuk memperkuat dan mempertebal kohesi
sosial di antara warga (Abdullah dkk, 2008: 7). Ada enam signifikansi
dan fungsi kearifan lokal bila ingin dimanfaatkan sebagai pendekatan
dalam penyelesaian sebuah konflik. Pertama, sebagai penanda
identitas suatu komunitas. Kedua, aspek perekat lintas warga, agama,
dan kepercayaan. Ketiga, kerifan lokal tidak bersifat memaksa, tetapi
ia hidup dan membumi di tengah masyarakat. Kempat, kearifan
lokal memberi warna kebersamaan dalam sebuah komunitas.
Kelima, kearifan lokal menekankan pada adanya common ground (nilai
bersama). Keenam, kearifan lokal dapat mendorong terbangunnya
kebersamaan, penghormatan, dan juga sebagai mekanisme bersama
untuk mengurangi potensi yang dapat merusak dan menghancurkan
solidaritas komunal karena ia dibangun di atas kesadaran bersama
(Haba dalam Abdullah dkk, 2008: 7-8).
Dalam konteks masyarakat Manado, kearifan lokal dewasa
148 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
ini masih memainkan peranan penting sebagai panduan nilai dan
pegangan hidup yang masih mengakar di tengah masyarakat. Di
Manado, kita mengenal kearifan lokal dan berbagai ungkapan yang
sangat familiar yang telah menjadi nilai khas (local value), seperti
mapalus (gotong royong dan tolong menolong), torang samua basudara
(kita semua bersaudara), sito timou tumou tou (manusia hidup untuk
menghidupkan orang lain), baku-baku bae dan baku-baku ingat (saling
berbaik-baikan dan saling mengingat), moto tabian, moto tampiaan
dan moto tanoban (saling mengasihi, saling memperbaiki, dan saling
merindukan). Kekayaan lokal tersebut harus selalu dijaga dan
dipelihara karena semuanya memiliki potensi untuk menjaga dan
memelihara kerukunan di Kota Manado (Badan Litbang dan Diklat
Kemenag RI, 2014).
Mapalus adalah sebuah tradisi yang hidup di tengah masyarakat
Manado dan hingga kini tradisi tersebut masih tetap dijalankan
dan dipertahankan. Mapalus menurut J. Turang adalah suatu sistem
yang hidup di tengah masyarakat yang meliputi berbagai bidang
kehidupan, sebagai bentuk aktualisasi atas adanya kesadaran akan
hakikat manusia sebagai makhluk yang ber-Ketuhan-an dan juga
makhluk sosial yang tunduk dan patuh pada sistem nilai masyarakat
(Gonibala, 2014: 50). Lanjut Turang, mapalus memiliki lima asas,
yakni asas religius, asas kekeluargaan, asas musyawarah dan mufakat,
asas bersama, dan juga asas persatuan dan kesatuan (Gonibala, 2014:
50).
Di beberapa wilayah di Manado,tradisi mapalus dapat dijumpai
dalam bentuk gotong royong dan tolong-menolong yang melibatkan
warga -tanpa memandang suku, agama, etnis, dan ras- dalam
pembangunan fasilitas publik seperti rumah ibadah, pos ronda, balai
desa, dsb. Budaya mapalus juga masih dapat dijumpai khususnya
pada momentertentu, seperti acara nikahan dan kematian, di mana
para warga saling membantu dan bekerjasama mendirikan tenda dan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 149
segala hal yang terkait dengan itu.
Satu hal yang unik di Manado dalam hubungannya dengan
tradisi mapalus adalah ketika terjadi hari raya besar keagamaan semisal
Idul Fitri, warga Kristiani yang tinggal di sekitar masjid membantu
menjaga keamanan masjid dengan penuh kerelaan dan kesadaran.
Begitu pun, ketika warga Kristiani merayakan Natal, para pemuda
remaja Masjid juga membantu menjaga keamanan gereja. Di gerejagereja vital yang berada di pusat Kota Manado, penjagaan gereja
sering dikawal langsung oleh GP Ansor yang merupakan sayap
organisasi NU.
Hanya saja, belakangan ini tradisi mapalus cenderung tidak
lagi sekuat dulu karena masyarakat Manado dewasa ini telah banyak
dipengaruhi oleh kultur urban yang cenderung individualistis dan
pragmatis, sehingga suatuhal yang tidak memberikan keuntungan
secara langsung cenderung akan diabaikan dan ditinggalkan. Inilah
yang menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan
yang ada di Manado, baikpemerintah daerah maupun tokoh adat,
agama, dan masyarakat. Janganlah energi mereka hanya dihabiskan
untuk mengurusi politik praktis yang sifatnya jangka pendek,
sehingga merekalupa akan perannya sebagai pengawal nilai. Demikan
halnya dengan dunia pendidikan, ia tak boleh terus-menerus berada
di menara gading. Para pemangku kepentingan di dunia pendidikan
harus turut aktif mensosialisasikan dan merevitalisasi kearifan
lokal khususnya mapalus sebagai modal sosial untuk meningkatkan
pembangunan Sulawesi Utara di berbagai bidang.
Dalam posisinya yang strategis sebagai gerbang Indonesia
Timur sekaligus berbatasan langsung dengan Lautan Pasifik dan
juga negara Filipina, Manado memiliki peluang untuk memainkan
peran penting dalam percaturan ekonomi dan politik dunia. Untuk
itu, agar proses akselerasi pembangunan di Manado dapat tercapai
dengan efektif dan efisien, Hal ini meniscayakan pentingnya
150 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
penguatan prinsip dan nilai kerjasama melalui mapalus.
Selain tradisi mapalus, masyarakat Manado juga tidak dapat
dipisahkan dari local value, yakni torang samua basudara. Slogan torang
samua basudara selama ini telah menjadi nilai bersama bagi masyarakat
Manado dan hingga sekarang ia dapat meredam meluasnya konflik
di tengah masyarakat. Harus diakui bahwa slogan torang samua
basudara memang menjadi sangat popular dan menasional pada
masa kepemimpinan Gubernur E.E. Mangindaan. Namun, nilai
torang samua basudara sebenarnya telah hidup dan mengakar dengan
kuat pada masyarakat Manado, yang dibuktikan dengan fakta bahwa
umat Islam dan Kristen telah tinggal dan hidup berdampingan sejak
abad ke-19 (Salim, 2015).
Salah satu bukti kuatnya nilai persaudaraan di Kota Manado
adalah ketika dihelat kegiatan yang bernuansa keagamaan, seperti
maulid, isra mi’raj, lebaran ketupat, halal bi halal, orang-orang nonMuslim sering terlibat mengambil bagian dalam penyelenggaraan
kegiatan tersebut, baik sebagai tamu undangan maupun sebagai
penggagas. Dalam pembangunan rumah ibadah semisal masjid,
para penganut agama lain yang tinggal di sekitar masjid sering ikut
membantu dalam bentuk uang dan tenaga. Hal ini sama sekali tidak
melahirkan kecurigaan karena komunikasi dan silaturahmi antar
tetangga sangat terjalin dengan baik.
Yang menarik di Kota Manado adalah ketika daerah lain masih
sibuk berdebat tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal,
ormas-ormas Islam mainstream yang ada di kota ini, seperti NU,
Muhammadiyah, dan Sarekat Islam, ramai-ramai membuat baliho
berukuran besar untuk mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru
bagi umat Kristiani dan baliho itu lalu dipajang dengan baik di depan
gereja-gereja besar yang ada di Kota Manado (Mantu, 2015: 71).Di
kalangan masyarakat Kristiani sendiri, untuk menjaga keharmonisan
dan persaudaraan antar mereka, berdasarkan penuturan Pastor
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 151
Johannes Lengkong, dikembangkan sikap hidup oikumene dalam
wujud perayaan Natal bersama dan juga menjaga keakraban antara
mahasiswa UKIT yang berafiliasi pada Kristen Protestan dan STF
Seminari yang berafiliasi pada Katolik (M. Nuh, 2005).
Lebih lanjut, untuk lebih memperkuat keakraban dan
komunikasi antara UKIT dan STF, sejak tahun 90-anpara mahasiswa
yang ada di kedua kampus tersebut berinisiatif melaksanakan kegiatan
pertukaran mahasiswa lintas agama untuk saling belajar tentang
sejarah dan tradisi keagamaan masing-masing. Dalam kegiatan ini,
para mahasiswa UKIT tinggal dan mengamati (live in and observe) dan
juga mengikuti proses pembelajaran selama beberapa hari di dalam
kampus STF dan begitu punsebaliknya. Kegiatan pertukaran ini
sampai sekarang masih tetap berjalan. Beberapa kampus yang ada
di Manado, seperti IAIN Manado dan STAKN Manado belakangan
ini juga turut mengambil bagian dalam kegiatan pertukaran ini untuk
membangun tradisi dialog dan sikap saling pengertian lintas agama
dan keyakinan.
Ikatan Kekerabatan Yang Kuat
Masyarakat Manado adalah masyarakat yang sangat terbuka
dan mudah beradaptasi dengan suatu hal yang sifatnya baru. Sejak
dulu, Kota Manado sudah sering didatangi dan diduduki oleh
beberapa bangsa Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Dizaman Kolonial Belanda, Manado khususnya tanah Minahasa
menjadi daerah favorit para penjajah Belanda karena ia memiliki hasil
pertanian dan perkebunan yang sangat kaya, dengan berkah tanah yang
subur dan sumber air yang melimpahdari Danau Tondano. Ketika
Belanda menancapkan pengaruhnya di tanah Minahasa, banyak dari
mereka melakukan hubungan kawin-mawin dengan penduduk asli,
sehingga terjadi proses asimilasi dan persilangan budaya. Di Manado,
kita masih mudah menemukan berbagai perbendaharaan kata yang
152 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
diserap dari bahasa asing (Eropa), tetapi yang paling banyak adalah
yang berasal dari bahasa Belanda (manadobaswara.com, diakses pada
tanggal 11 September 2016), seperti garpu: vorok (diambil dari kata
vork), kacang merah: brenebon (bruineboon), lemah/lesu: suak (zwak),
penuh: vol (vol), ranjang: koi (kooi), selesai: klar (klaar), sendok: leper
(lepel), tapi: mar (maar), teropong: keker (kijker), untuk: vor (voor), dll.
Sampai sekarang kata-kata tersebut masih familiar digunakan dalam
percakapan sehari-hari.
Selain dikenal sebagai daerah pertanian dan perkebunan,
Tanah Minahasa juga dikenal sebagai daerah pembuangan para
penentang kolonial, seperti Tuanku Imam Bonjol, Kiai Modjo,
Pangeran Ronggo Danupoyo, K.H. Ahmad Rifai, Sayid Abdullah
Assagaf, Gusti (Pangeran), Perbatasari dan masih banyak lagi.
Konon, banyak pengikut Kiai Modjo -yang telah bermukim di
daerah kampung Jawa Tondano- melakukan hubungan kawin
mawin dengan penduduk asli Minahasa yang memiliki latar belakang
keagamaan yang berbeda. Fakta historis ini menunjukkan bahwa
masyarakat Manado sejak dulu telah terbiasa bersentuhan dengan
perbedaan, sehingga ketika mereka dihadapkan pada perbedaan,
mereka cenderung tidak lagi mengalami kekagetan.
Menikah beda agama sudah menjadi suatu hal yang biasa dan
lumrah di Manado. Memilih untuk konversi agama demi mencapai
kesamaan visi spiritual dalam kehidupan berumah tangga juga telah
menjadi suatu hal yang biasa dijumpai di kota ini. Tak dipungkiri
bahwa terkadang ada sedikit riak dalam soal ini, tetapi seiring waktu,
keluarga dari kedua mempelai terkadang tidak ingin terlalu larut
memikirkan hal tersebut karena bagi mereka menjaga harmoni jauh
lebih penting daripada memelihara permusuhan. Dengan kata lain,
pernikahan harusnya dimaknai sebagai sebuah usaha mempererat
dan mendekatkan dua buah keluarga, bukan malah memisahkannya.
Memang salah satu sifat khas yang dimiliki oleh warga Manado
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 153
adalah sangat terbuka, egaliter, mudah bergaul, tidak pendendam,
dan tidak suka memperumit masalah. Mereka cenderung berprinsip,
bahwa yang terjadi biarlah terjadi. Suatu hal yang telah terjadi tak
usah lagi diperpanjang karena hanya akan menambah masalah baru.
Ketika suatu masalah telah menjadi pelik, maka masalah tersebut
harus dicarikan solusinya di meja makan. Dengan kata lain, masyarakat
Manado meyakini bahwa diplomasi meja makan adalahsuatu jalan
keluar yang kreatif untuk mengatasi suatu ketegangan.
Terlepas dari pandangan yang bersifat teologis, pernikahan
beda agama dan juga konversi agama, memiliki peran positif dalam
mencegah dan meredam konflik yang mengatasnamakan agama di
kota ini. Ketika banyak pihak sibuk memanfaatkan isu dan simbol
agama untuk memecah belah, warga Manado (baca: Sulut) cenderung
sulit untuk disulut karena mereka telah terbiasa bersentuhan dengan
perbedaan yang diikat oleh hubungan kekerabatan yang sangat kuat.
Paling tidak, ketika terjadi ketegangan antar umat beragama
di Kota Manado, masyarakat akan berpikir beribu-ribu kali untuk
melakukan aksi anarkis terhadap penganut agama lain. Mereka
kurang lebih akan berpikir bahwa menyakiti penganut agama lain
sama artinya dengan menyakiti hati saudaranya sendiri. Kalau
ia seorang penganut Kristiani, iatidak akan tega menyerang dan
membunuh kaum Muslim karena ia juga memiki sanak saudara yang
memeluk agama Islam. Jadi, membunuh kaum Muslim sama saja
dengan membunuh saudara dan keluarga sendiri. Karena itulah,
berbagai kelompok keagamaan yang mengusung ajaran dan ideologi
yang radikal dan fundamentalis cenderung ‘kurang laku’ di Manado
karena masyarakatnya sangat menjunjung tinggi perbedaan yang
diikat olehnilai kekerabatan yang sangat kuat.
Salah satu strategi untuk memperkuat nilai kekerabatan di
Manado adalah masih dipertahakannya penggunaan nama tersebut
tidak di belakang nama seseorang, yang diambil dari garis keturunan
154 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
bapak. Di Manado, ada beberapa nama fam yang kerap diidentikkan
dengan identitas ke-Kristen-an seperti Waworuntu, Sondakh,
Mangindaan, Sarundajang, Kandou, Pangemanan dll, tetapi fam
tersebut tidak menutup kemungkinan juga digunakan oleh orang
yang beragama lain karena adanya praktik nikah lintas agama. Jadi
walaupun berbeda agama, hubungan persaudaraan antara mereka
yang memiliki fam yang sama masih terjalin dengan baik. Tradisi
silaturahmi baik di hari besar keagamaan maupun di hari biasa
masih tetap dipertahankan. Perbedaan agama bukanlah menjadi
penghalang untuk saling mengunjungi dan saling bersilaturahmi.
Yang terpenting adalah walaupun berbeda, tetapi mereka harus
tetap bersatu karena diikat oleh kesamaan garis keturunan yang
berasal dari pihak bapak. Kesamaan fam ini dalam batas tertentu
telah memainkan peranan penting dalam upaya pencegahan konflik
yang mengatasnamakan agama.
Selain menjunjung tinggi nilai kekerabatan, masyarakat Manado
juga dikenal sangat menjunjung tinggi nilai hidup bertetangga. Di
lingkungan tempat di mana saya bermukim di Manado tepatnya
di Malendeng yang memiliki populasi Muslim dan Kristiani yang
relatif seimbang, hubungan baik antar tetangga yang berbeda agama
terjalin dengan baik. Setiap ada warga yang meninggal -apapun
itu agamanya-, para tetangga selalu hadir melayat dan memberi
dukungan morilkepada keluarga yang berduka. Mereka juga
seringkali ikut mengantarkan jenazah hingga ke tempat pemakaman.
Tradisi undang-mengundang di acara pernikahan juga masih
berlangsung hingga saat ini. Ketika yang Muslim melaksanakan
pesta pernikahan, para tetangga yang Kristiani selalu menyempatkan
hadir untuk meramaikan hajatan. Hanya saja yang menjadi sedikit
masalah adalah ketika yang mengadakan pesta adalah tetangga yang
Kristiani. Para tetangga Muslim cenderung merasa kurang nyaman,
untuk tidak mengatakan enggan,hadir di pesta tersebut karena
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 155
menyangkut persoalan makanan, walaupunsang pemilik hajatan
sendiri telah menyediakan makanan nasional (makanan yang tidak
mengandung babi dan sejenisnya) sebagai bentuk apresiasi terhadap
tamu khususnya yang beragama Islam. Hal ini tidak serta merta
berarti bahwa para tetangga Muslim tidak menghargai sang pemilik
hajatan.Mereka hanya merasa kurang nyaman karena khawatir
masakan seperti ayam dan daging sapi yang disajikan di pesta
tersebut tidak dipotong dengan cara yang halal dan islami. Mereka
juga khawatir bahwa panci (belanga), piring dan sendok yang dipakai
dan disediakan oleh sang pemilik hajatan pernah digunakan untuk
memasak dan mengkonsumsi daging babi dan sejenisnya. Adanya
keengganan tersebut terkadang menimbulkan sedikit kesan di
kalangan Kristiani bahwa umat Muslim cenderung sedikit kaku.
Melihat realitas tersebut, umat Islam hendaknya perlu
menyikapi hal ini dengan bijak. Para pemuka agama Islam dituntut
untuk mendidik umat Islam agar lebih rasional, bijaksana dan
mengedepankan kesantunan dalam beragama. Jangan sampai,
keengganan untuk menghadiri hajatan yang dilakukan oleh warga
Kristiani dapat menjadi stigma buruk bagi kaum Muslim itu sendiri.
Karena itu, para pemuka agama Islam harus konsisten mendidik
umatnya pada pentingnya menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan
juga mengajarkan aspek-aspek keagamaan yang lebih berorientasi
pada ajaran akhlak dibandingkan fikih di tengah realitas masyarakat
yang multikultural.
Dialog Lintas Agama Yang Terjalin Dengan Baik
Manado adalah sebuah kota yang sangat aktif mengadakan
dialog antar agamadan keyakinan baik formal maupun informal.
Dialog yang sifatnya formal yang lebih menekankan pada pertemuan
antar elit atau pemuka agama telah menjadi kebiasaan rutin di kota
ini. Pertemuan rutin tersebut sering diinisiasi oleh BKSAUA (Badan
156 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Kerjasama Antar Umat Beragama) dan juga oleh Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB). Selain kedua kelompok tersebut, lembagalembaga lain yang berafiliasi pada agama tertentu juga sering
melaksanakan kegiatan dialog, seperti NU, Muhammadiyah, MUI,
Pemuda Katolik, GMIM, dsb.Masalah yang sering dibahas dalam
dialog tersebut adalah seputar isu-isu keagamaan terhangat, seperti
persoalan Syiah, Ahmadiyah, terorisme atas nama agama hingga
mengenai persoalan pendirian rumah ibadah yang sering mengalami
penolakan dari warga sekitar.
Banyak pihak telah mengakui kualitas dialog antar umat
beragama dan berkeyakinan yang ada di Kota Manado. Itulah
sebabnya, banyak pihak yang konsen pada isu kerukunan antar umat
beragama dan berkeyakinan mulai NGO, institusi akademik, ormas
keagamaan, FKUB dari provinsi atau kabupaten/kota lain hingga
jajaran pemerintah daerah di provinsi lainsering mengunjungi Kota
Manado dengan niat untuk belajar tentang mekanisme pengelolaan
kerukunan di kota ini.
Memang belakangan ini terjadi sedikit kemunduran pada
toleransi umat beragamadi Kota Manado. Dulunya umat Islam dan
Kristen dapat hidup rukun dan harmonis dengan penuh kesadaran
tanpa saling mempermasalahkan identitas keagamaan satu sama
lain. Namun pasca terjadinya desentralisasi kekuasaan di mana
setiap daerah diberi hak dan wewenang untuk mengatur dirinya
sendiri melalui kebijakan otonomi daerah, hubungan antar umat
beragama cenderung mengalami sedikit ketegangan karena agama
kerap dijadikan sebagai jualan politik.
Penguatan identitas keagamaan sering menjadi mengemuka
tatkala terjadi kontestasi pemilihan kepala daerah. Dalam situasi
ini, berbagai kampanye hitam dan juga ujaran kebencian yang
mengatasnamakan agama menjadi tidak terelakkan. Ironisnya,
lembaga semacam BKSAUA dan FKUB yang seharusnya menjadi
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 157
garda terdepan untuk mencegah dan mendeteksi potensi konflik
sejak dini, tak dapat memainkan fungsi dan perannya karena aktoraktor yang berada di dalamnya terkadang ikut larut dalam pusaran
kontestasi politik lokal demi meraih kepentingan pribadi dan
kelompok. Ironisnya, BKSAUA dan FKUB baru ingin‘bergerak’
untuk bekerja ketika konflik sudah menjadi runyam. Dengan kata
lain, BKSAUA dan FKUB selama ini masih banyak terjebak pada
paradigma pemadam kebakaran dibandingkan menjadi alarm
pencegah kebakaran, padahal yang seharusnya dilakukan adalah
sebaliknya.
Untuk mengefektifkan fungsi dan peran pencegahan dan
pendeteksian potensi konflik sejak dini, BKSAUA dan FKUB perlu
membangun kemitraan dengan berbagai pihak. Menjalin kemitraan
dengan kepolisian perlu dibangun oleh BKSAUA dan FKUB agar
dapatbersama-sama melakukan sosialisasi kebijakan pemerintah
khususnya yang terkait dengan tema kerukunan. Lembaga-lembaga
tersebut perlu mengadakan pertemuan secara rutin guna saling
berdiskusi dan berbagi informasi terbaru terkait masalah-masalah
keagamaan di Kota Manado. Di samping itu, pertemuan tersebut
juga dapat mencari solusi bersama agar suatu ketegangan dapat
dicegah dan diatasi sejak dini (Mubarok, 2014).
BKSAUA dan FKUB juga perlu membangun jejaring dengan
NGO dan institusi akademik yang konsen pada isu-isu keragaman,
seperti The Wahid Instititute, Maarif Institute, Indonesian
Conference on Religious and Peace (ICRP), Setara Institute, Center
for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM. Kerjasama
ini penting karena dapat menjadi sebuah sinergi yang baik untuk
mengedukasidan memberikan pencerahan padamasyarakat terkait
isu-isu keragaman (Mubarok, 2014).
Untuk membentuk lembaga BKSAUA dan FKUB yang kuat
dan kredibel, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah daerah,
158 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
dan seluruh pemangku kepentingan harus memastikan bahwa
aktor-aktor yang mengambil bagian di dalamnya adalah mereka
yang profesional, independen, dan berintegritas. Para aktornya juga
perlumemiliki pengetahuan yang baik tentang HAM, pola konflik
keagamaan, dan demokrasi (Mubarok, 2014). Dan yang tak bisa
diabaikan adalah para aktor di BKSAUA dan FKUB wajib memiliki
literasi media digital yang baik. Ini penting karena isu penodaan
agama dan ujaran kebencian dewasa ini tumbuh dengan liar di media
sosial. Dalam posisi inilah, pengurus BKSAUA dan FKUB ¬-yang
memiliki modal sosial yang kuat di tengah masyarakat- perlu proaktif memainkan perannya untuk menetralisir konflik di tengah
masyarakat sekaligus menyebarkan ajaran keagamaan yang sehat dan
menyejukkan.
Tradisi dialog sebenarnya telah berurat akar pada masyarakat
Manado jauh sebelum adanya dialog yang sifatnya elitis sebagaimana
yang sering diadakan oleh lembaga-lembaga keagamaan semacam
BKSAUA dan FKUB.Dialog antar warga telah terbangun dan
terjalin dengan baik melalui tradisi saling kunjung mengunjungi
di hari raya, musyawarah antar warga, dan juga acara kumpul dan
makan bersama.
Satu hal yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya yang
memuat nilai dialog di dalamnya adalah tradisi bakdo ketupat
(lebaran ketupat). Menurut sejarah, tradisi ini berawal dari Kampung
Jawa Tondano dan telah menjelma menjadi tradisi bersama yang
dirayakan umat Muslimdi Kota Manado hingga sekarang. Lebaran
ketupat selalu dilaksanakan setiap tahun tepatnyaseminggu pasca
perayaan hari raya Idul Fitri (hari ketujuh di bulan Syawal) sebagai
bentuk syukur setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan dan
puasa Syawal selama enam hari berturut-turut di bulan Syawal (Otta,
2010).
Lanjut Otta, tujuan dilaksanakannya lebaran ketupat adalah
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 159
pertama, sebagai media untuk melakukan evaluasi internal. Kedua,
sebagai media silaturahmi dengan keluarga pasangan. Menurut
sejarahnya, istri para pengikut Kiai Modjo yang merupakan leluhur
warga Kampung Jawa Tondano berasal dari gadis lokal yang berbeda
agama dengan mereka. Lebaran ketupat menjadi media untuk
bersilaturahmi dengan keluarga istri mereka yang notabene memiliki
agama yang berbeda. Ketiga, sebagai media silaturahmi bagi warga
Kampung Jawa yang telah berdomisili di luar Kampung Jawa.
Keempat, sebagai media untuk bersilaturahmi dengan warga yang
berada di sekitar Kampung Jawa yang umumnya beragama Kristen.
Puncak kegiatan lebaran ketupat setiap tahunnya selalu
terpusat di Kampung Jawa Tondano.Akan tetapi, warga di daerah
Tuminting, Wonasa dan beberapa daerah lain yang menjadi kantongkantong umat Muslim di Kota Manado, juga kerap melaksanakan
lebaran ketupat yang tak kalah ramai dengan Kampung Jawa
Tondano. Para pimpinan daerah seperti gubernur, walikota, dan
bupati selalu mengambil bagian dalam kegiatan ini. Dalam kegiatan
ini, para pimpinan daerah dan warga saling membaur tanpa ada
sekat. Kegiatan lebaran ketupat biasanya diisi dengan berbagai acara
hiburan seperti qasidah, hadrah, samrah, band Islam, fashion show hingga
stand up comedy. Yang menjadi keunikan dari acara lebaran ketupat ini
adalah setiap warga yang melakukan open house menyambut siapa saja
yang berkunjung ke rumahnya baik yang sudah kenal maupun yang
tidak. Para pemilik rumah akan menyajikan berbagai menu, seperti
nasi, ketupat, buras, ayam, ikan, sop, es buah,dan daging sapi. Momen
ini menjadi momen membaur dan berkumpulnya setiap warga
tanpa memandang identitas. Semuanya sibuk saling berdialog dan
bercengkrama tanpa ada tendensi. Setiap orang bebas berkunjung
dari satu rumah ke rumah lainnya dan juga bebas mencicipi berbagai
jenis makanan yang telah disajikan oleh sang pemilik rumah.
Meskipun lebaran ketupat identik dengan tradisi Islam, tetapi
160 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
masyarakat Manado yang umumnya sangat plural dari segi identitas
menganggap tradisi ini sebagai tradisi bersama yang sifatnya positif
untuk dijaga dan dilestarikan karena ia dapat menjadi mekanisme
untuk menjaga dan memperkuat kohesi sosial. Pada intinya, lebaran
ketupat tidak hanya melulu tentang makan dan pesta, tetapi juga
tentang dialog, perjumpaan, dan silaturahmi.
Kepemimpinan Daerah Yang Kuat dan Mau Mengayomi
Kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin
mempengaruhi orang dipimpinnya agar yang dipimpinnya tersebut
dapat mengikuti apa yang diinginkan oleh si pemimpin (Soekanto
dan Sulistyowati, 2014). Kepemimpinan yang baik mensyaratkan
adanya kemampuan untuk mengayomi, menggerakkan, dan
menginspirasi. Kerukunan umat beragama yang kita saksikan di
Kota Manado sesungguhnya tak dapat dipisahkan dari adanya
estafet kepemimpinan yang kuat dan visioneryang telah menciptakan
kebijakan yang pro-kerukunan dan memberi ruang bagi keragaman.
Meskipun dikenal sebagai ‘negeri seribu gereja’ dan citra
bahwa Ke-Minahasa-an adalah identik dengan Ke-Kristen-an, hal
itu tidak mengurungkan niat baikGubernur H.V. Worang untuk
merangkul para tokoh yang berasal dari agama di luar Kristen. Sebagai
bentuk apresiasinya terhadap perbedaan, H.V. Worang membentuk
BKSAUA (Badan Kerjasama Antar Umat Beragama) di tahun 1969,
jauh sebelum didirikannya Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) pada tahun 2007, sebagai wadah untuk menjaga silaturahmi
dan persaudaraan di antara umat beragama. Memang kehadiran
FKUB di Manado cenderung sedikit terlambat bila dibandingkan
dengan daerah lainnya,karena menghargai eksistensi BKSAUA yang
telah jauh hadir sebelumnya (Idris, dkk, 2013). Bisa dikatakan bahwa
H.V. Worang dalam konteks ini adalah seorang pemimpinyang
otentik dan visioner yang mampu berpikir melampaui zamannya.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 161
Boleh jadi, salah satu hal yang melatarbelakangi pendirian BKSAUA
oleh Worang adalah karena ia belajar pada adanya ketegangan
yang cukup tajam antara kelompok Islam dan Kristen dalam skala
nasional setelah terjadinya konversi besar-besaran umat Islam
menjadi Kristen pada tahun 1965 dan setelahnya. Sebagai buntut dari
peristiwa tersebut, menurut Boland, kalangan Islam memberi stigma
bahwa keimanan Kristen adalah tidak logis dan takhayul, sebaliknya
umat Kristen menganggap bahwa keimanan kaum Muslim sebagai
terbelakang dan fanatik (Azra, 2002: 213).
Ketegangan tersebut tak hanya berhenti di situ saja, kedua
kelompok agama tersebut juga terlibat dalam konflik yang lebih
masif pada akhir tahun 1967 di mana beberapa kelompok pemuda
Muslim membakar sejumlah gereja di beberapa kota, seperti Ujung
Pandang, Jawa Tengah, dan Aceh. Umat Kristen pun tak mau kalah,
mereka lalu melakukan aksi balasan dengan membakar sejumlah
masjid di Sulawesi Utara dan Ambon (Azra, 2002: 213).Adanya
ketegangan tersebut akhirnya membuat Dewan Gereja se-Dunia
pada tahun 1974 membatalkan pertemuan sidang majelis umumnya
di Indonesia dan memindahkannnya ke Afrika pada tahun 1975
(Azra, 2002: 213).
Sebagai ujian terhadap BKSAUA, maka ketika diadakan
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di Manado pada tahun 1977,
dipilihlah susunan kepanitiaan yang terdiri dari berbagai unsur
agama dan ternyata kegiatan MTQ tersebut dapat berjalan dengan
sukses dan lancar. Hal yang sama kemudian dilakukan lagi pada
Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada tahun
1980 dan ternyata kegiatan ini juga dapat berjalan dengan sukses
dan lancar (Nuh, 2005; Idris, dkk, 2013). Hal ini menunjukkan
bahwa kehadiran BKSAUA dapat berhasil meredam ketegangan
yang terjadi antara penganut Islam dan Kristen yang pada saat itu
berada titik nadir. Kehadiran BKSAUA yang dirintis oleh Worang
162 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
pada waktu itu inginmemberi signal bahwa Kota Manado adalah
kota yang aman, damai, dan toleran.
Untuk menunjukkan keberpihakannya pada agama lain
sekaligus untuk meyakinkan publik bahwa Manado adalah kota
yang aman dari konflik antar agama khususnya Islam dan Kristen,
Worang menginisiasi dan mendukung pendirian Pesantren PKP
(Pondok Karya Pembangunan) Kombos pasca perhelatan acara
MTQ di Manado. Dibangunnya pesantren ini juga sebagai bukti
bahwa Manado adalah sebuah kota yang dapat memberi perhatian
pada keberadaan kaum Muslim yang notabene adalah minoritas
(Mantu, 2015: 45-46).
Ketika konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antar Golongan) mendera Indonesia pasca Orde Baru, masyarakat
Manado menjadi khawatir karena letak geografis Manado diapit
langsung oleh dua daerah konflik yakni Maluku dan Poso.
Kekhawatiran itu semakin menjadi setelah membanjirnya para
pengungsi dari Maluku ke Manado dan Bitung. Untuk itulah, E.E
Mangindaan selaku gubernur pada waktu itu berusaha meyakinkan
semua pihak bahwa Manado adalah kota yang aman dan damai
untuk dihuni. Karena itu di masa kepemimpinannya, Mangindaan
membuat slogan torang samua basudara sebagai local value bagi seluruh
masyarakat Manado untuk meredam terjadinya konflik. Harus
diakui bahwa slogan torang samua basudara memang menjadi sangat
popular dan menasional pada masa Mangindaan. Namun, nilai
torang samua basudara sebenarnya telah hidup dan mengakar dengan
kuat pada masyarakat Manado,yang dibuktikan dengan fakta bahwa
umat Islam dan Kristen telah tinggal dan hidup berdampingan sejak
abad ke-19 (Salim, 2015). Setelah masa kepemimpinan Mangindaan
berakhir, penciptaan Kota Manado sebagai kota yang aman dan
damai kembali dilanjutkan oleh Gubernur A.J. Sondakh. Di masa
kepemimpinannya, Gubernur Sondakh berhasil membangun
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 163
Bukit Kasih pada tahun 2002 di Kanonang di mana terdapat
miniatur rumah-rumah ibadah masing-masing agama di dalamnya.
Untuk memperkuat upaya penciptaan Kota Manado sebagai kota
kerukunan, Pemerintah daerah menetapkan tahun 2003 sebagai
tahun kasih, tahun 2004 sebagai tahun tanpa kekerasan, dan tahun
2005 sebagai tahun kasih dan rahmat (Badan Litbang dan Diklat
Kemenag RI, 2014). Agenda ini disambut dan didukung dengan
baik oleh seluruh kelompok agama.
Di era S.H Sarundajang, Kota Manado juga cenderung
relatif rukun dan aman dari konflik keagamaan. Iklim investasi
dan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat meningkat di era
Sarundajang. Dengan pengalamannya sebagai akademisi dan birokrat
yang pernah menjadi caretaker gubernur di wilayah konflik yakni
Maluku, Sarundajang memiliki kemampuan manajemen konflik
yang baik. Salah satu kehebatannya adalah ia mampu ‘mengontrol’
media massa dalam proses narasi pemberitaan khususnya pada isuisu keragaman, sehingga isi pemberitaan di media tidak menjadi
tendensius. Tak dipungkiri bahwa media belakangan ini memang
kerap memicu konflik yang lebih besar di tengah masyarakat karena
narasi pemberitaannya kerap provokatif dan tendensius, ditambah
dengan fakta bahwa sebagian besar masyarakat kita belum memiliki
literasi yang baik tentang media, sehingga mereka cenderung
menelan mentah-mentah apa yang diwartakan oleh media. Apa
yang dilakukan oleh Sarundajang adalah sebuah langkah yang cerdas
pada zamannya untuk membangun citra Manado sebagai kota yang
aman dan damai demi mengamankan visi untuk mewujudkan Kota
Manado sebagai kota pariwisata dunia.
Hanya sayangnya pasca kepemimpinan Gubernur Sarundajang,
masyarakat Manado mengalami polemik terkait pernyataan Wakil
Gubernur Steven Kandou, yang mengubah slogan torang samua
basudara menjadi torang samua ciptaan Tuhan. Memang sekilas tidak
164 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
ada yang salah dengan slogan baru ini, namun paling tidak kita dapat
bertanya, kira-kira apa yang menjadi motif dan kepentingan dibalik
perubahan slogan torang samua basudara yang telah sukses teruji dan
mengakar dengan kuat di kalangan masyarakat Manado. Menurut
saya perubahan slogan torang samua basudara menjadi torang samua
ciptaan Tuhan hanya akan makin menambah masalah baru di tingkat
akar rumput karena pemilihan kata ‘Tuhan’ itu sangat problematik
dan tidak bebas nilai. Penggunaan kata ‘Tuhan’ juga sangat rentan
akan pertarungan kekuasaan. Saya khawatir umat non-Kristen
khususnya umat Islam yang memegang prinsip monoteisme yang
sangat ketat akan menuduh pemerintah daerah memiliki niat buruk
untuk melemahkan akidah umat Islam sekaligus ingin melakukan
proses Kristenisasi secara halus dan terselubung. Maka hemat saya,
lebih baik mempertahankan slogan torang samua basudara karena ia
lebih universal dan bisa diterima oleh segala kalangan. Memilih dan
mempertahankan sebuah slogan yang belum mengakar dan belum
terujioleh sejarah adalah sebuah tindakan yang sia-sia. Paling tidak
apa yang harus menjadi konsen pemerintah daerah saat ini adalah
tetap menjaga netralitas dan komitmen untuk menjaga kerukunan
dan merayakan keragaman di Manado.
Pemerintah daerah perlu membangun semangat kewirausahaan khususnya pada anak muda sebagai strategi untuk mengurangi jumlah pengangguran sekaligus untuk meningkatkan
produktifitas warga. Mereka perlu diberi modal usaha dengan bunga
yang minim, bila perlu nol persen. Dewasa ini, warga asli Manado
yang umumnya beragama Kristen cenderung menjadi ‘pembantu’ di
rumahnya sendiri di mana para tuannya adalah orang-orang Islam
yang datang dari Makassar, Gorontalo, Jawa, Minang, dan juga para
pengungsi dari Maluku yang telah bermukim dan telah sukses secara
finansial di Manado. Mereka hampir menguasai seluruh sektor
ekonomi, sehingga hal ini dapat menciptakan kecemburuan sosial
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 165
di kemudian hari bagipenduduk asli Manado yang mayoritasnya
beragama Kristen. Bila dibiarkan, cepat atau lambat, hal ini dapat
menjadi bom waktu yang dapat memicu meletusnya konflik antar
agama. Kita bisa mengambil pelajaran dari konflikdi Malukuyang secara demografis menyerupai Manado-yang bermula dari
masalah individu kemudian meluas menjadi konflik komunal yang
melibatkan dua kelompok agama yang berbeda. Salah satu akar
permasalahannya adalah adanya kecemburuan sosial para penduduk
asli Ambon Kristen terhadap pendatang Buton, Bugis, dan Makassar
(BBM) yang beragama Islam, yang menguasai hampir seluruh sektor
perekonomian (Suparlan, 2005).
Pemerintah daerah juga perlu memikirkan untuk memberikan
beasiswa studi lanjut S2 dan S3 kepada anak-anak muda Manado
pada bidang studi HAM, studi agama dan resolusi konflik, studi
multikultural, studi perdamaian dan transformasi konflik,dan
sejenisnya, agar mereka kelak dapat berkontribusi mencegah dan
mendeteksi potensi konflik sejak dini sekaligus mampu mengelola
dan mengawal isu kerukunan dan keragaman yang selama ini
menjadi ‘jualan khas’ Kota Manado baik di tingkat lokal, nasional
maupun internasional.
Pemerintah daerah juga dirasa perlu untuk bekerjasama
dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti NGO, institusi
akademik, ormas keagamaan, kalangan media dan juga dunia usaha
untuk memberikan pendidikan pada publik terkait isu keragaman,
meliputi kesetaraan hak, saling pengertian lintas iman (interfaith
understanding), literasi media digital, dan anti terorisme. Kegiatan
ini dapat dilakukan di sekolah, kampus, maupun pada komunitas
kepemudaan. Hal ini penting agar dapat memberi pencerahan
pada anak muda sehingga mereka tidak mudah terjebak oleh bujuk
rayu ajaran dan ideologi radikal yang berseliweran di dunia riil dan
virtual. Kegiatan ini juga penting untuk membendung meluasnya
166 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
pengaruh ajaran dan ideologi radikal di Kota Manado mengingat
posisi geografis Sulawesi Utara berbatasan langsung dengan wilayah
Mindanao, Filipina, yang selama ini menjadi basis pergerakan
kelompok Islam radikal Abu Sayyaf.
Penutup
Manado adalah sebuah daerah yang kaya akan keragaman.
Masyarakat Manado sejak dahulu telah terbiasa bersentuhan dengan
perbedaan dan mereka mampu membuktikan bahwa perbedaan
adalah sebuah aset yang harus dikelola dan dirayakan bersama.
Itulah sebabnya, Manado sering dijadikan role model kota kerukunan
di Indonesia.
Manado beruntung karena dapat keluar dari efek konflik yang
ditimbulkan oleh konflik Maluku dan Poso, yang secara geografis
letaknya sangat berdekatan dengan Manado. Manado dapat
terselamatkan karena ia ditopang oleh keberadaan kearifan lokal
yang masih mengakar dengan kuat di tengah masyarakat, ikatan
kekerabatan yang masih terjaga, dialog lintas agama yang masih
terjalin dengan baik, ditambah dengan adanya figur kepemimpinan
daerah yang kuat dan mau mengayomi.
Kerukunan dan perdamaian adalah sebuah barang yang
mahal, oleh karena itu kita harus senantiasa menjaga kerukunan
di Kota Manado dengan menjadikan keragaman sebagai pilarnya.
Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa dibutuhkan waktu yang
lama untuk membangun peradaban ditengah masyarakat yang
memiliki trauma kolektif pada suatu tragedi berdarah.Semoga kita
tidak menjadi bagian dari itu.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, dkk (ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam
Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM -
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 167
Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut
Kerukunan antar Umat. Jakarta: Kompas.
Badan Litbang Diklat Keagamaan RI. 2014. Menggali Kearifan,
Memupuk Kerukunan: Peta Kerukunan dan Konflik Keagamaan di
Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Bahasa Manado Serapan dari Bahasa Asing. https://www.
manadobaswara.com
bahasa-manado-serapan-dari-bahasaasing/. Diakses pada tanggal 11 September 2016.
Gonibala, Rukmina. 2014. Rekayasa Sosial Masyarakat Muslim Minoritas:
Strategi Dakwah di Perkotaan. Manado: STAIN Manado Press.
Idris, Muhammad, dkk. 2013. Peran FKUB Provinsi Sulawesi Utara
dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama di Manado. Hasil
Penelitian Dosen Bersama STAIN Manado.
M. Nuh, Nuhrison. 2005. “Catatan Perjalanan Dialog Pengembangan
Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah di
Sulawesi Utara”, dalam Ridwan Lubis (ed.). Menelusuri Kearifan
Lokal di Bumi Nusantara: Catatan Perjalanan dan Hasil Dialog
Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama
Pusat dan Daerah Tahun 2005. Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Beragama.
Mantu, Rahman. 2015. “Memaknai ‘Torang Samua Basudara’ (Manajemen
Dakwah Berbasis Kearifan Lokal di Kota Manado)”, dalam Jurnal
Potret Pemikiran Vol.19, No.2, Juli - Desember 2015, hal. 47-75.
Mantu, Rahman. 2015. “Pesantren PKP Kombos: Aktivitas Pesantren
di Tengah Mayoritas Masyarakat Kristen”, dalam Muhammad
Murtadlo, dkk.
Pesantren dan Reproduksi Ulama. Jakarta: Pustaka Cendekia Muda
Mubarok, Husni. “Memperkuat Forum Kerukunan Umat Beragama”,
dalam Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Desember 2014, hal. 195205.
168 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Otta, Yusno Abdullah. 2010. “Dinamisasi Tradisi Keagamaan Kampung
Jawa Tondano di Era Modern”, dalam Jurnal Penelitian Keislaman
Vol.6, No.2, Juni 2010, hal. 387-418.
Salim, Delmus Puneri. 2015. Power Sharing dan Kerukunan Umat
Beragama (Studi tentang Keterwakilan Proporsional antar Umat
Beragama di Lembaga Pemerintahan di Kota Manado). Laporan
Penelitian Individual Dosen IAIN Manado.
Soekanto, Soerjono, Budi Sulistyowati. 2014. Sosiologi: Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali Press.
Suparlan, Parsudi. 2005. Sukubangsa dan Hubungan antar Sukubangsa.
Jakarta: Penerbit YPKIK.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 169
BERDAMPINGAN SATU DALAM BEDA
Rawat-Bangun Infrastruktur Sosial
Masyarakat Sulawesi Utara
Oleh: Taufik Bilfagih
Y
. Van Paassen, M. Sc. Sosiolog Agama, menyebut Sulawesi
Utara sebagai “tempat pertemuan agama-agama” di Indonesia.
Meskipun di sini seluruh agama-agama besar ada atau tumbuh
pesat, namun penduduknya sering bertemu satu sama lain dalam
bentuk kerjasama di bidang agama, dan masing-masing membangun
pengalaman bersama dan bekerjasama bagaimana persaudaraan itu
diselenggarakan karena semata dorongan dan keinsafan internalnya
bahwa “semua agama sama” dalam kedudukannya sebagai ajaran
kedamaian dan persaudaraan. Secara psikologis dan kultural
masyarakat Sulawesi Utara mempunyai mentalitas yang menghargai
lebih tinggi pada kehangatan hubungan kongkrit antar manusia
daripada ekspresi nilai-nilai abstrak dari agama. Inilah apresiasi
mendasar masyarakat Sulawesi Utara terhadap agama dalam dimensi
kehidupan keseharian mereka. (Basri Amin; 2010)
Siapapun tidak bisa menghindari atas keniscayaan multikultural dan pluralnya masyarakat di Sulawesi Utara. Mulai dari perbedaan suku bangsa, agama hingga identitas lainnya. Keadaan ini
170
juga buah dari eksistensi Indonesia yang secara nasional beragam
penduduknya. Bahkan kompleksitas keragaman di negeri ini tidak
saja multi-etnis (Jawa, Bugis, Kutai, Makkasar, Sunda, Aceh, Bali,
Banjar, Flores, Batak, Bajo, dst), namun juga eksistensi ideologi dan
mental seperti (Islam, Kristen, Hinduisme, Budhisme, Kapitalisme,
Konfusianisme, Cina, India, Belanda dst).
Ditengah beragamanya agama, keyakinan, suku bangsa
dan budaya Indonesia sedang diperhadapkan dengan munculnya
kelompok-kelompok ekslusif, yang kehadiran mereka dibarengi
dengan tindakan-tindakan anarkis. Kondisi ini diperparah dengan
seringnya negara tidak tegas ketika menghadapi konflik yang melibatkan kelompok radikal tersebut. Padahal, negara (dalam hal ini
pemerintah), seharusnya mampu menjadi wasit yang dapat berperan
aktif dan konstruktif untuk bertindak.
Tidak bisa dipungkiri, pascareformasi, gerakan keagamaan
yang cenderung radikal sepertinya memperoleh momentum yang
sangat kuat untuk berkembang. Faktanya, kebanyakan dari mereka
adalah penganut agama Islam yang cenderung memahami agama secara tekstual. Gerakan keagamaan seperti ini ditandai dengan sekurang-kurangnya tiga hal, yaitu; kembali kepada Islam sebagaimana
dilakukan oleh ulama salaf yang saleh, penerapan syariat dan khalifah
Islamiyah, dan kecenderungan menolak produk Barat.
Sepakat atau tidak, gerakan tersebut memperoleh momentum
yang sangat tepat di pascareformasi karena masyarakat dan negara
sedang dalam euforia demokratisasi dan keterbukaan. Jauh berbeda
ketika Orde Baru yang sangat tegas terhadap gerakan-gerakan
keagamaan radikal. Sementara di era reformasi ini, negara tidak lagi
mampu untuk melakukan tindakan represif yang disebabkan oleh
meningkatnya isu hak asasi manusia (HAM). Negara akan dihinggapi
ketakutan melanggar HAM jika kemudian melakukan tindakan
represif terhadap gerakan keagamaan radikal. Jika dibandingkan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 171
dengan masa Orde Baru, orang memasang spanduk “tegakkan
khilafah Islamiyah di Indonesia” tentunya menuai masalah, karena
dianggap akan mendirikan negara Islam. Pemandangan hari ini,
spanduk-spanduk bernuansa makar kini bertebaran. Secara lantang
penganut agama mayoritas menolak kepemimpinan dari pemeluk
agama yang berbeda dengan dalih ajaran dan ketentuan agama yang
mereka yakini.
Kembali ke Sulawesi Utara
Sulawesi Utara, bisa disebut sebagai miniatur Indonesia
dalam hal pengelolaan pluralitas kewargaannya. Hingga kini, daerah
yang sering disebut nyiur melambai ini terus mempertontonkan
sistem kehidupan sosial dengan prestasi kerukunan terbaik.
Belum ada konflik horisontal yang berimbas pada stabilitas
kehidupan masyarakatnya. Jika kemudian terdapat riak-riak yang
mengarah ke konflik SARA, tetap saja dengan sendirinya mampu
diselesaikan dengan cepat. Hal ini, tidak luput dari kesadaran atas
hidup berdampingan, kendati berada dalam perbedaan identitas
kewargaan. Bahkan, masyarakat Sulawesi Utara menempatkan
agama sebagai pelengkap untuk memperkuat sisi kemanusiaanya.
Sehingga agama, bekerja dengan tepat sesuai keniscayaan multikultur
daerah ini. Hampir tak ditemukan adanya kelompok tertentu yang
mengkampanyekan bunyi-bunyi tendensi atas nama agama.
Fenomena kampanye penerapan khilafah Islamiyah, penolakan pemimpin kafir, serta sikap-sikap anti pluralis nampaknya
tidak mendapat ruang.
Kesadaran ini tidak hanya muncul akibat Islam sebagai agama
mayoritas di Indonesia, menjadi minoritas (33%) dibanding penganut
agama Kristen di Sulawesi Utara. Baik Muslim dan Kristiani,
bahkan seluruh komponen masyarakat, saling bergandengan untuk
mengelola kehidupan sosial dalam keseharian mereka. Dominasi
172 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Kristen diruang-ruang publik, tidak membungkam eksistensi
pemeluk agama lain. Apalagi, tokoh-tokoh Sulawesi Utara sejak awal
mengkampanyekan istilah-istilah yang bermakna filosofis kearah
saling menghargai satu sama lain. Seperti ungkapan “Si Tou Timou
Tumou Tou” yang dipopulerkan oleh Samratulangi, Torang Samua
Basudara oleh E.E Mangindaan dan belakangan oleh pemerintah
propinsi saat ini dimunculkan istilah Torang Samua Ciptaan Tuhan.
Fenomena kampanye hidup berdampingan sebagaimana
yang disebutkan diatas, nampaknya sangat berperan dalam keseharian masyarakat Sulawesi Utara. Semua kalangan diingatkan
kembali tentang ajaran kemanusiaan yang lebih utama daripada
mempersoalkan identitas agama. Lebih sempurna, ketika penganut
agama di daerah ini mampu mengambil hikmah dari anjuran
agama yang berkaitan dengan hidup rukun berdampingan kendati
berbeda. Ketidak-samaan identitas agama telah dipersatukan melalui
kesamaan ideologi kemanusiaan. Bahkan dalam ungkapan salah
seorang tokoh agama Sulawesi Utara menyatakan, “Agama itu adik
dari Manusia. Jauh sebelum agama dilahirkan, manusia telah lebih
awal diciptakan. Maka sepantasnya penganut agama mengutamakan
kemanusiaan” (Habib Muhsin Bilfagih).
Beberapa Masalah Keragaman
Sewaktu menulis catatan ini, saya sedang mengikuti kegiatan
Interfaith New Generation Initiative and Engagement (INGAGE)
sebuah program yang memberi ruang bagi kaum muda melibatkan
diri dalam keragaman iman dan tradisi keagamaan, serta bersikap
kritis terhadap hubungan antarkomunitas. Dalam program ini kaum
muda membekali diri dengan pemahaman tentang perbedaan iman
dan kesetaraan, mengeksplorasinya melalui teknologi digital secara
kreatif dan inovatif untuk bersama-sama membangun Indonesia
yang lebih baik.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 173
Ketika membuka kegiatan ini, sambutan dari Kementerian
Agama Sulawesi Utara, oleh Mochtar Bonde meyatakan, bahwa
indeks kerukunan antar beragama di daerah ini pernah menjadi yang
teratas. Ia merefleksikan ketika daerah-daerah sekitar; Poso, Maluku,
Ambon dan lainnya sedang memanas dengan peristiwa konflik
SARA, Sulawesi Utara justru melanjutkan tradisi dialog antar agama.
Namun, dalam keluhnya, Mochtar mengkhawatirkan ketika indeks
kerukunan tersebut menurun akhir-akhir ini.
Kendatipun Sulawesi Utara relatif aman, tidak bisa dinafikan
keluhan Mochtar diatas, ditambah dengan adanya peristiwa-peristiwa
diskriminatif yang diterima oleh kelompok minoritas, seperti
masyarakat muslim. Menurut sebagian ummat Islam, dibeberapa
waktu lalu, sering terjadi peristiwa tendensius yang menyudutkan
mereka. Beberapa peristiwa tersebut diantara lain, adanya pelarangan
azan dilakukan oleh pemuda Kristen yang sedang mabuk, penolakan
pembangunan Musholla oleh ormas Minahasa (Baca Kristen), tidak
diberi izin untuk menggelar shalat Iedul Fitri di lapangan Tikala,
serta kejadian-kejadian lainnya.
Jika ditelusuri melalui pemberitaan media, baik cetak maupun
elektronik, sedikit sekali peliputan menyangkut peristiwa-peristiwa
di atas. Pemerintah dan juga media, nampaknya kompak dalam
mengelola setiap isu yang berkaitan dengan sentimen keagamaan.
Peristiwa larangan azan misalnya, benar-benar sepi dari desas
desus media. Masalah ini justru muncul ketika Imam masjid
menceritakannya kepada sebagian masyarakat muslim. Sementara
untuk penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah merupakan
peristiwa yang cukup mengambil perhatian publik Sulawesi Utara.
Kejadian ini berada di Kota Bitung pada tahun 2015 lalu. Walau
demikian, terlepas dari motif penolakan ormas Kristen tersebut tetap
saja media dan pemerintah piawai membungkam informasi yang
sangat sensitif itu. Sedangkan masalah tidak diberi izinnya ummat
174 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Islam menggelar shalat Ied di lapangan Tikala Manado, padahal
ditahun-tahun sebelumnya kegiatan tersebut sering dilakukan, juga
diributkan pada desas desus sebagian masyarakat muslim. Hingga
saat ini, tidak dapat dibuktikan, apakah pemerintah yang notabene
Kristen, benar-benar memasung agenda ibadah umat Islam tersebut.
Sekali lagi, apapun motif peristiwa di atas, tetap saja kondusifitas
Sulawesi Utara terjaga dengan baik. Bisa dibayangkan jika masalahmasalah ini terjadi di daerah lain. Sebagaimana pengalaman, selalu
terjadi ketegangan dan merambah pada stabilitas kehidupan sosial
masyarakat setempat. Media dengan sangat cepat menyebarkan
pemberitaan, baik ditingkat lokal, regional hingga menjadi berita
nasional dan internasional. Akhirnya, keadaan seperti ini kemudian
menjadi penyulut bagi peristiwa-peristiwa serupa di daerah lainnya.
Contoh saja, ketika pelarangan azan yang dilakukan oleh etnis
Tionghoa di Tanjung Balai sehingga menyebabkan kerusuhan dan
perusakan rumah ibadah oleh masyarakat muslim yang tersinggung.
Selain menjadi efek negatif bagi warga sekitar, pemberitaan yang
berlebihan oleh media pun turut menebar penilaian dari masyarakat
lain.
Peristiwa lain yang cukup menyita perhatian masyarakat
Sulawesi Utara adalah pertikaian antar kampung di Basaan, Minahasa
Tenggara. Tawuran hingga terjadinya pembakaran rumah warga ini
disebabkan oleh adanya ketersinggungan kelompok pemuda Kristen
dengan pemuda Muslim. Ironinya, ketersinggungan yang dimaksud
bukan dalam hal perbedaan identitas agama, melainkan hanya
masalah sepele dan dibubuhi dengan pemabukan. Namun, konflik
ini menjadi sensitif karena aktornya dilakukan oleh 2 kelompok
masyarakat yang berbeda secara identitas. Di lapangan, mereka yang
berseteru adalah antara penduduk yang tinggal di pantai versus
orang ‘gunung’.
Masyarakat pantai biasanya direpresentasikan oleh penganut
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 175
agama Islam, bekerja sebagai nelayan dan disebut orang laut.
Sementara mereka yang tinggal di ‘gunung’, beridentitas sebagai
pemeluk agama Kristen, bekerja sebagai petani dan disebut sebagai
orang darat. Perbedaan latar belakang ini, pastinya punya pengaruh
penting ketika terjadi gesekan horisontal. Oleh karenanya, hal ini
sangat sensitif dan butuh penanganan serius.
Akhirnya, tetap saja konflik Basaan berakhir dengan keadaan
yang sejuk tanpa kemudian terjadi tendensi SARA berlebihan. Inilah
fakta, bahwa Sulawesi Utara tidak selatah daerah lain yang begitu
reaksioner merespon isu-isu keragaman. Dengan demikian, dapat
digambarkan bahwa pemerintah dan masyarakatnya seolah sejalan
dalam menjaga stabilitas sosial di propinsi Sulawesi Utara.
Pada konteks inilah, pengalaman Sulawesi Utara membangun
keragaman bisa mengingatkan kita untuk tidak semata melihat
pluralisme sebagaimana adanya. Namun harus dicermati bahwa
kemajemukan itu juga menyimpan bencana kalau infrastruktur
internal masyarakat tidak berkembang dengan baik. Polarisasi
struktural di daerah dan adanya konfigurasi sosial ekonomi yang
timpang dan kondisi kota-kota yang ekspansif antara golongangolongan ekonomi warganya selalu akan menjadi dasar pemicu
terjadinya konflik. Dan ketika itulah faktor-faktor agama, suku dan
golongan tampil sebagai label penyebabnya.
Perbedaan latar sosial memang telah disadari menjadi variabel
konflik. Namun pada tingkat masyarakat lokal identitas-identitas
sosial itu masih merupakan basis primer dari bangunan relasi
ekonomi dan akses kehidupan masyarakat. Pada satu saat perbedaan
itu adalah identitas yang sifatnya individual, tetapi pada saat lain
ia dengan mudah berubah menjadi alasan timbulnya tindakan
komunalistik dalam ekonomi dan hal lainnya yang bersifat friktif
dalam masyarakat. Relasi-relasi lokal inilah yang kurang dianalisis
selama ini, dan ditempatkan secermat mungkin bagi penguatan
176 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
pendekatan kebijakan kemasyarakatan pemerintah di daerah.
Pengalaman Hidup Berdampingan
Masyarakat Sulawesi Utara sesungguhnya tidak lagi asing
dengan hidup bermpingan dalam perbedaan. Mulai dari daerah
pesisir hingga perkotaan, cermin kerukunan antar golongan terwujud
nyatakan. Dari semua lapisan masyarakat, tidak lagi terjebak pada
prasangka-prasangka tendensius. Setiap orang bekerja-sama dalam
semua aktivitas. Toleransi dan saling menghargai tidak lagi menjadi
bacaan teoritis, namun selangkah menuju secara praksis. Sehingga,
mengajarkan teori-teori sosial tentang hidup rukun kepada rakyat
Sulawesi Utara, bukanlah sesuatu yang istimewa.
Banyak cerita-cerita konstruktif yang menjadi potret betapa
masyarakat Sulawesi Utara begitu larut dalam bingkai keragaman.
Di Desa Tumbak misalnya. Kampung yang terletak di Kecamatan
Pusomaen Kabupaten Minahasa Tenggara ini, merupakan daerah
yang dihuni 100% penduduk Muslim. Sementara itu, desa-desa
tetangga justru mayoritas Kristen. Di era 70-an, anak-anak Tumbak
harus berangkat ke desa tetangga untuk mengenyam Sekolah
Tingkat Pertama (SMP). Mereka berada di kampung ummat
Kristen. Sekolah yang ada pun milik Yayasan Kristen, SMP Kristen
Tatengesan namanya. Sekolah ini tidak memiliki bangunan sendiri.
Sehingga kegiatan belajar mengajar berada di dalam gedung Gereja.
Bisa dibayangkan anak-anak Muslim Tumbak sekolah di
kampung Kristen, “mengikuti” ibadah Kristen, bahkan setiap hari
melihat dan mendengar tradisi Kristen. Keadaan ini berlangsung
lama. Para orang tua Tumbak tidak pernah mempersoalkan anakanaknya harus bergumul bersama pemeluk agama lain. Justru,
mereka mengajarkan arti hidup bersama, saling menghargai agar di
sekolah tidak terjadi permusuhan. Begitu pula anak-anak Kristen
yang menjadi penduduk dominan, tidak sama sekali mereka
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 177
memposisikan rekan-rekan seperjuangan yang berbeda keyakinan
sebagai the other bahkan dimusuhi. Kebersamaan mereka semakin
lama, semakin akrab dan harmonis hingga sekarang.
Suatu ketika, Muhsin, siswa muslim SMP Kristen Tatengesan
asal Tumbak mengikuti kejuaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an
(MTQ) tingkat kecamatan. Muhsin memang memiliki suara merdu.
Ketika melantunkan ayat-ayat suci, bacaannya fasih dan iramanya
pun syahdu. Ia pun keluar sebagai juara 1 pada pertandingan
membaca al Qur’an tersebut. Akhirnya, panitia mengumunkan hasil
keputusan dewan juri dengan ungkapan sebagai berikut; “Hadirin
sekalian, pemenang MTQ tahun ini, adalah saudara Muhsin, utusan
SMP Kristen Tatengesan…” Sontak, tamu dan undangan berdiri
memberikan tepuk tangan meriah. Pemandangan yang unik.
Pembaca al Qur’an terbaik justru utusan SMP Kristen. Semua orang
merasa bangga, betapa sekolah Kristen itu mampu mencetak siswa
berbakat dan berprestasi dalam membaca ayat suci ummat Islam.
Modal Sosial Masyarakat Sulawesi Utara
Hal mendasar yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Utara
dalam pengalaman kehidupan sehari-hari adalah modal sosial
mereka. Beberapa kisah pengalaman yang telah ditulis sebelumnya
merupakan bagian dari kebesaran modal sosial masyarakat setempat.
Modal sosial bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama,
ia juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan
orang lain.
Modal sosial tidak akan pernah habis jika dipergunakan,
melainkan semakin meningkat. Justru rusaknya modal sosial bukan
karena seringnya ia dipakai, namun karena ia tidak dipergunakan.
Untuk mengetahui parameter modal sosial, setidaknya ada 3 (tiga)
hal yang perlu dilihat. Pertama; Kepercayaan, yakni sebuah harapan
yang tumbuh, sehingga berprilaku jujur, teratur dan kerjasama.
178 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Kedua; Norma, nilai-nilai, harapan dan tujuan. Sedangkan yang
ketiga; Jaringan, kerjasama antar manusia, membangun interelasi
formal dan informal. Hal inilah yang menjadi hiasan kehidupan
masyarakat Sulawesi Utara dalam membangun peradaban.
Fakta masyarakat Sulawesi Utara berada pada kehidupan
rukun, damai dan harmonis tak luput dari akar sosial yang telah
berjalan sepanjang sejarah. Selanjutnya, sebagai daerah yang memiliki
masyarakat heterogen, Sulawesi Utara memiliki struktur unik dengan
kekuatan modal sosial. Struktur masyarakatnya memiliki pandangan
yang demokratis dan egaliter. Prinsip inilah yang akhirnya membentuk
tatanan masyarakat dengan penuh kedamaian.
Melalui struktur masyarakat seperti yang disebutkan di atas,
kemudian melahirkan kultur saling menghargai, menghormati,
gotong royong, persaudaraan, toleransi serta mampu mengatasi
perbedaan. Modal sosial seperti ini, terimplementasikan melalui
gerakan sosial dengan sebutan-sebutan lokal yang membumi.
Semisal Mapalus di Minahasa, Mapaluse di Sangihe dan Moposad di
Bolaang Mongondow. Akhirnya, lahirlah istilah, Sulut Sulit di Sulut.
Demikianlah masyarakat Sulawesi Utara membangun
peradabannya. Kondisi yang relatif aman akhirnya pun berimplikasi
pada pengembangan ekonomi daerah. Tidak sedikit investor
memantapkan programnya di Tanah Toar ini. Maka pembangunan
infrastruktur sosial dan fisik Nampak jelas terwujud nyatanya. Salam
Bae. Wallahu’alam bi shawab.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 179
MERETAS JALAN PENDIDIKAN KRISTIANI
BERWAWASAN KELAUTAN
Oleh:
Jeane Marie Tulung
Yan Okhtavianus Kalampung
D
iskusi mengenai Pendidikan Kristiani berwawasan Ekologis
sudah merupakan perbincangan yang hangat belasan tahun
terakhir. Kebanyakan pemikir Pendidikan Kristiani mulai peduli
dengan persoalan ekologis karena memang dasar-dasar Kekristenan
menaruh perhatian besar pada persoalan yang terjadi di dunia
ciptaan Tuhan ini. Gary L. Chamberlain misalnya mengusulkan
agar pendidikan keagamaan memang seharusnya bertitik tolak
pandangan atas ciptaan Tuhan selain manusia karena memang Kitab
Suci dan Ajaran (Dogma) Kekristenan memiliki sumber berlimpah
untuk mendukung hal tersebut. (Chamberlain, 2000) Beberapa
memang melihat ini sebagai persoalan inti dari Kekristenan tanpa
perlu bicara tentang konteks tertentu. (Bowe, 2012; Chamberlain,
2000) Tapi peneliti Pendidikan Kristiani lain berbicara mengenai
Pendidikan Kristiani Ekologis berdasarkan konteks kerusakan alam
180
yang sangat parah kini. (Ayres, 2017; Hitzhusen, 2006)
Dalam konteks Indonesia, Yanice Janis misalnya mengatakan
Pendidikan Kristiani merupakan kelanjutan dari upaya Transformasi
Sosial yang merespon persoalan Ekologis yang nyata di hadapan kita
sekarang. (Janis, 2013). Hal penting untuk dicatat dari penelusuran
literatur singkat ini memperlihatkan bahwa laut tidak mendapat
tempat khusus dalam perbincangan Pendidikan Kristiani. Padahal
seperti yang akan diperlihatkan dalam artikel ini bahwa Alkitab
banyak memberi ruang berbicara tentang laut secara spesifik.
Lagipula Laut dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya termasuk
masyarakat pesisir memiliki persoalan yang unik dan memerlukan
pandangan khusus. Karena itu berangkat dari upaya para peneliti
Pendidikan Kristiani yang bertumpu pada persoalan konteks nyata
kini terlebih dahulu, artikel ini akan berbicara panjang lebar terkait
itu untuk memperlihatkan bahwa Laut memerlukan penanganan
khusus karena memiliki persoalan yang khas serta sumber-sumber
ajaran Kristiani yang spesifik. Untuk melakukan hal itu kami
pertama-tama akan menguraikan bertubi-tubi persoalan Laut yang
mengemuka untuk memperlihatkan bagaimana laut mendesak
untuk jadi topik pembicaraan kini. Lalu kami akan berbicara panjang
lebar soal bagaimana kekristenan menempatkan Laut dalam diskusi
ajarannya selama ini. Itu semua nanti akan menjadi alasan-alasan
mengapa Pendidikan Kristiani perlu memiliki wawasan kelautan.
Perlunya Bicara Tentang Laut
Belum lama ini Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi
Pudjiastuti, mengeluarkan berita gembira bahwa reklamasi di teluk
Benoa akhirnya dibatalkan. Berita ini juga mengabarkan kalau
akhirnya kawasan teluk Benoa akhirnya dijadikan kawasan yang
dilindungi. Masalah reklamasi ini sebenarnya bukan hal yang baru,
sebab sudah sejak 6 tahun lalu masyarakat Bali berjuang untuk
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 181
membebaskan teluk Benoa dari ancaman reklamasi. Di beberapa
daerah lain juga demikian.
Laut semakin terancam karena perbuatan manusia. Sudah
begitu banyak persoalan di Laut yang muncul karena benda-benda
sekali pakai namun membutuhkan waktu sangat lama untuk hancul.
Manusia yang menikmati, Laut dan segala isinya yang menderita.
Di media sosial, banyak dipertontonkan foto-foto hewan laut yang
tanpa sengaja mengonsumsi benda-benda plastik. Belum lagi kalau
bicara soal limbah-limbah pabrik yang dibuang begitu saja ke laut.
Ini sekelumit persoalan yang belum bisa diselesaikan.
Belakangan ini juga masyarakat mulai disadarkan dengan
problem kerusakan laut yang sudah semakin menggila. Banyak terkait
laut yang muncul seperti desertifikasi, atau perubahan yang muncul
atas Laut yang muncul seperti berubah menjadi gurun, air banyak
yang mengering. Ini merupakan peristiwa yang terjadi karena ulah
dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. (Zonn, 2004).
Dalam bukunya, Yan O. Kalampung sudah menjelaskan bahwa
Laut Indonesia sementara bergejolak secara politik karena sumber
dayanya justru dinikmati oleh peaut dari Negara lain. (Kalampung,
2017)
Kompleksitas persoalan yang terkait dengan Laut memang
kalau didaftar bisa memiliki daftar yang cukup panjang. Tapi ini
hanya menjadi pancingan untuk memperlihatkan bahwa Laut dan
persoalan yang mengitari mempunyai persoalan yang rumit dan
memerlukan perhatian khusus.
Pentingnya Laut di dalam Alkitab
Setelah melihat sekilas persoalan Laut yang mendesak untuk
ditengok dengan serius, rupanya dari sumber ajaran Kekristenan
yaitu Alkitab, Laut ternyata mendapat perhatian yang special. Dari
seluruh kitab-kitab dalam ada dalam corpus Kitab Suci Kristen,
182 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
kata “Laut” muncul dalam 314 ayat. Ini jumlah yang cukup banyak
memperingatkan kita bahwa memang hal ini punya peranan penting
dalam kisah, syair maupun uraian dalam Alkitab. Memang disadari
bahwa Alkitab yang memuat Laut dalam berbagai percakapannya,
menyertai berbagai makna terhadap hal itu. Ruang diskusi ini bukan
untuk mencurahkan semua makna dari teks-teks itu, tapi untuk
memperlihatkan bahwa Laut punya porsi besar dalam Alkitab dan
analisis saintifik atasnya. Mulai dari kisah-kisah awal mula dunia
dalam Kitab Kejadian. Dalam drama perjalanan Bangsa Israel
keluar dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan. Kisah kehidupan
bangsa Israel dalam upayanya masuk ke tanah perjanjian. Laut selalu
mendapat tempat karena memang konteks kehidupan bangsa Israel
selalu dikelilingi oleh Laut.
Penelitian tentang Laut dalam Alkitab juga bukanlah hal yang
baru. Sudah ada sepasukan peneliti yang menggali posisi konsep
Laut dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru. Ada Thomas
Soltis yang meneliti tentang Laut Teberau yang dibelah oleh Musa
dari sudut pandang Sains.(Soltis, 1974) Lalu pandangan tentang Laut
dalam Kitab Ayub yang diteliti oleh Collin R. Cornell. (Cornell, 2012).
Bahkan ada Alastair J. Roberts yang meneliti bagaimana hubungan
antara peristiwa penyeberangan di Laut Merah dengan liturgi dalam
ibadah Kristen. (Roberts, 2014) Sementara ada juga Paul Kang-kul
Cho yang meneliti tentang lintasan gambaran mengenai Laut dalam
seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Ia coba memperluas makna
gambaran mengenai Laut itu dari sekedar ungkapan peristiwa masa
lalu tapi Laut menjadi cara untuk menyampaikan pandangan Alkitab
mengenai realitas historis juga.(Cho, 2014) Semua penelitian ini
memperlihatkan bagaimana Laut selalu menempati posisi penting
dalam sebagian kisah-kisah dalam Alkitab.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 183
Ambiguitas Suara Gereja Tentang Laut
Sebagai orang Kristen Indonesia, rasanya kami bisa meringkas
bagaimana pandangan Gereja-gereja Indonesia terkait Laut ke dalam
tiga momen. Pertama, momen ketika terjadi Tsunami di Jepang
pada tahun 2011. Ketika itu, salah satu jemaat di Gereja Masehi
Injili di Sangihe Talaud, melakukan Ibadah di Laut sebagai bentuk
ritual agar daerahnya tidak terkena dampak dari tsunami tersebut.
Nampaknya ada ritual-ritual serupa di beberapa daerah lain di
Indonesia, mengingat ini adalah negara kepulauan. Ritual-ritual ini
memperlihatkan bahwa Laut dianggap sebagai bagian penting oleh
Gereja-gereja di Indonesia. Tentu ini dipengaruhi oleh budaya lokal
yang memang melihat alam sebagai bagian penting dari komunitas.
Momen kedua, Lagu Sekolah Minggu “buang ke laut”. Salah
satu Lagu Sekolah Minggu klasik yang jamak dikenal anak-anak
Kristen Indonesia yaitu “Yesus angkat bebanku dan buang ke Laut.”
Liriknya lengkapnya seperti ini,
“Aku bahagia, bahagia
Karena Tuhan Yesus angkat bebanku.
Yesus angkat bebanku dan buang ke Laut.
Byuuurrr.
Buang ke Laut.
Byurrr (2x)”
Lagu ini bermaksud untuk memberi efek kelegaan bagi anakanak seperti termaktub dalam ungkapan “angkat bebanku.” Tapi
yang jadi fokus menarik untuk tema yang dibicarakan dalam artikel
ini adalah bagaimana Laut dimaknai dalam lagu itu. Laut dilihat
sebagai tempat penampungan, spesifiknya tempat penampungan
beban. Beberapa versi lain dari lagu ini mengganti kata “beban”
dengan “dosa”. Jadi Laut bukan hanya penampungan beban tapi
juga penampungan dosa. Singkatnya Laut merupakan tempat untuk
184 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
hal-hal yang berbau negatif.
Dalam Tema Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
yang diangkat sejak tahun 2014, “Tuhan mengangkat kita dari
Samudera Raya”, pandangan yang serupa dengan lagu sekolah
minggu sebelumnya nampak. Laut yang dikatakan sebagai Samudera
Raya, merupakan tempat yang perlu dihindari. Laut dianggap sebagai
sebuah tempat yang gelap dan menyeramkan, sehingga pembebasan
Tuhan dari Samudera Raya adalah sesuatu yang didamba-dambakan.
Yang dilakukan oleh PGI ini adalah salah satu sisi pemaknaan
simbolik Lau sebagai makna negatif. Rainy Hutabarat misalnya
mengartikan Samudera Raya sebagai simbol dari kekerasan. Kata
itu diambil dari Maz 71 : 20b yang berasal dari bahasa Ibrani tehom
yang berarti “samudera raya bumi.” Dalam teks itu, Samudera Raya
memang maknanya dihubungkan dengan “pengalaman banyak
kesusahan dan malapetaka.” (Hutabarat, 2014) Pandangan Hutabarat
ini mewakili maksud dari PGI ketika mengangkat tema ini.
Sejauh ini belum ada riset mengenai pandangan Gereja-gereja
Indonesia tentang Laut, tapi dari tiga momen yang dibahas tersebut.
Kita bisa melihat ambiguitas pandangan Gereja tentang Laut. Ada
yang melihat Laut sebagai simbol ke-ngeri-an dan malapetaka
sehingga sebisa mungkin dihindari, lalu ada juga pandangan yang
melihat Laut sebagai bagian penting dari kehidupannya.
Rekomendasi untuk Pendidikan Kristiani
Menurut John Shortt, Pendidikan Kristiani seharusnya
memang ditujukan untuk menghadirkan Shalom. Di dalam kata itu
termaktub keutuhan, integritas, komunitas, keterhubungan, keadilan
dan kesejahteraan. Tapi di atas semua itu menurut Shortt, Pendidikan
Kristiani adalah soal relasional. Soal bagaimana Pendidikan Kristiani
membangun hubungan yang membawa shalom dalam lingkungan
sekitarnya. (Shortt, 2018) Sejalan dengan itu, Pendidikan Kristiani
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 185
memang dirancang sebagai upaya untuk menghadirkan Shalom
(Perdamaian). Dengan demikian baik motivasi awal sampai pada
eksekusinya, Pendidikan Kristiani memang berupaya menghadirkan
jalan menuju Shalom. Semua ini bertujuan agar Pendidikan Kristian
bukan sekedar menjadi upaya indoktrinasi tapi lebih merupakan
upaya Transformasi Sosial. (Benson, 2018)
Dengan memperhatikan konteks persoalan yang terkait
dengan Laut, maka Pendidikan Kristiani harus terlibat di dalamnya.
Walaupun memang Gereja-gereja pada umumnya sudah memiliki
pandangan tertentu mengenai Laut tapi sudah kita lihat sebelumnya
kalau masih terdapat ambiguitas di dalamnya. Pandangan yang
demikian memperlihatkan bahwa Gereja masih belum melihat Laut
sebagai rekan yang perlu diajak untuk berkembang demi kepentingan
bersama. Laut harus dilihat sebagai rekan sesama ciptaan yang perlu
dilestarikan.
Pandangan tentang laut memang bukan hal yang baru,
tapi kompleksitas persoalan tentang Laut selalu baru sehingga
membutuhkan manuver analisis yang baru. Bukan serta merta
mengulang tradisi lama di dalam Alkitab. Tapi menjadikan polifoni
makna Alkitab di dalam Alkitab sebagai rekan diskusi yang
berkelanjutan. Perlu juga pandangan yang baru tentang Alkitab
dengan mengikuti perkembangan keilmuan atasnya. Kita melihat
bagaimana para peneliti Alkitab terus menggali makna dengan
berfokus pada Laut. Pendidikan Kristiani sebagai ujung tombak
Kekristenan perlu melakukan hal yang demikian.
Berbicara dan mengupayakan Shalom memang bukan hal yang
sederhana. Sebab shalom sesungguhnya menyangkut keseluruhan
hidup ciptaan. Shalom tidak pernah hanya menjadi sapaan, seperti
yang dilakukan oleh warga Gereja Masehi Injili di Minahasa sekarang.
Shalom bukan semata persoalan internal batiniah namun menyangkut
juga persoalan politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Singkatnya jika
186 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
situasi belum mencapai perdamaian yang utuh, Shalom tidak hadir
di situ.
Jika Pendidikan Kristiani adalah upaya untuk menghadirkan
Shalom maka Laut harus mendapat perhatian yang khusus.
Mengingat persoalan yang kompleks sementara mengitarinya,
Laut harus menjadi satu kajian Pendidikan Kristiani. Sebab Shalom
selalu bersifat relasional. Jika laut bermasalah, maka hidup orang
Kristenpun bermasalah. Tanpa ada kesadaran ini, laut seringkali
diabaikan.
Untuk mengakomodir persoalan ini, Pendidikan Kristiani
menjadi pasukan garis depan dengan upaya untuk berdialog dengan
persoalan Laut. Kurikulum yang mumpuni dengan pengetahuanpengetahuan mengenai Laut. Kurikulum yang hadir bukan hanya
sekedar untuk meneruskan tradisi-tradisi lama. Apalagi sudah kita
lihat kalau ternyata Alkitab punya suara yang beragam mengenai
laut. Apalagi dalam hal ajaran Gereja, Laut seringkali dipandang
dari sudut pandang yang ambigu. Dalam ruang Pendidikan Kristiani
berwawasan kelautan, selalu ada tempat untuk sikap kritis terhadap
persoalan yang ada. Pendidikan Kristiani yang mumpuni adalah
Pendidikan Kristiani yang membuka ruang yang luas untuk diskusi
mendalam dengan persoalan riil terkait kelautan.
Satu hal yang perlu disadari bahwa dengan kompleksitas
persoalan Laut yang dihadapi sekarang ini, tidak ada satu jawaban
untuk semua persoalan. Yang bisa dilakukan adalah menyediakan
ruang yang luas dalam kurikulum untuk Pendidikan Kristiani bagi
dialog antara Teks Alkitab, Ajaran Gereja dan Konteks Permasalahan
Laut yang dihadapi. Dengan memberi satu jawaban untuk persoalan
yang sangat rumit ini, Pendidikan Kristiani akan mengulang
kesalahan yang sama dengan hanya membuat suatu konsep abstrak
tanpa menyentuh persoalan yang nyata.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 187
Penutup
Persoalan Laut nyatanya memang perlu untuk mendapat
perhatian khusus dari Pendidikan Kristiani. Dibutuhkan Pendidikan
Kristiani berwawasan kelautan. Bukan berarti menyepelekan ciptaan
yang lainnya, tapi Laut tidak bisa hanya menjadi salah satu cabang
dari analisis ekologis, Laut perlu mendapat perhatian khusus dari
Pendidikan Kristiani agar nantinya bisa dihadirkan Pendidikan
Kristiani yang menghadirkan Shalom. Persoalan Laut mendesak
untuk ditangani dengan serius, dan Pendidikan Kristiani sebagai
garda depan kekristenan untuk terus mendialogkan persoalan
ini dengan sumber-sumber ajaran kekristenan. Tidak perlu ada
satu konsep besar yang menjawab segala persoalan. Hanya butuh
kesediaan untuk terus dengan kritis menilik persoalan Laut yang
terus terjadi sekarang.
Daftar Pustaka
Ayres, J. R. 2017. Cultivating the “unquiet heart”: Ecology, education and Christian faith. Theology Today. doi: https://doi.
org/10.1177/0040573616689836
Benson, D. M. 2018. God’s Curriculum: Reimagining Education as a Journey
Towards Shalom. In J. M. Luetz, T. Dowden & B. Norsworthy
(Eds.), Reimagining Christian Education : Cultivating Transformative
Approaches (pp. 17-38). Singapore: Springer. doi: 10.1007/978981-130851-2_1.
Bowe, A. 2012. The Nature of Ecology, Christianity and Transformative
Education. (Master of Arts), Athabasca University, Alberta.
Chamberlain, G. L. 2000. Ecology and Religious Education.
Religious Education: The official journal of the Religious
Education Association, 95(2), 134-150. doi: https://doi.
org/10.1080/0034408000950203.
Cho, P. K.-K. 2014. The Sea in the Hebrew Bible : Myth, Metaphor, and
188 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Muthos. (Ph.D.), Harvard University, Boston, Massachussets.
Cornell, C. R. 2012. God and the Sea in Job 38. Journal of Hebrew
Scriptures, 12(18). doi: DOI:10.5508/JHS.2012.V122.1a18.
Hitzhusen, G. E. 2006. Religion and Environmental Education : Building
on Common Ground. Canadian Journal of Enviromental
Education, 11, 9-25.
Hutabarat, R. M. P. 2014. Menyambut SR XVI PGI : Samudera Raya
Sebagai Pengalaman Kekerasan. Retrieved from https://pgi.or.id/
menyambut-sr-xvi-pgi-samudera-raya-sebagai-pengalaman-kekerasan/ website.
Janis, Y. 2013. Teologi Ekologi dalam Kurikulum Anak GMIM. (Magister
Sains Teologi), Duta Wacana Christian University, Yogyakarta.
Kalampung, Y. O. 2017. Melompat Pagar: Sketsa-sketsa upaya Berteologi
Lintas Teks. Sleman: Komojoyo Press.
Roberts, A. J. 2014. The Red Sea Crossing and Christian Baptism : A
Study in Typology and Liturgy. (Ph.D.), University of Durham,
Durham, United Kingdom.
Shortt, J. 2018. Is Talk of ‘Christian Education’ Meaningful? In R.
Stuart-Burtle & J. Shortt (Eds.), Christian Faith, Formation and
Education (pp. 29-44). Switzerland: Palgrave Macmillian. doi:
10.1007/98-3-319-62803-5_1.
Soltis, T. 1974. Scintific Theology and the Miracle at the Red Sea. The
Springfielder, 38(1).
Zonn, I. S. 2004. The Impact of political ideology on creeeping environmental
of changes in the Aral Sea basin. In M. H. Glantz (Ed.), Creeping
Environmental Problems and Sustainable Development in the Aral Sea
Basin (pp. 157-190). Cambridge, United Kingdom: Cambridge
University Press.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 189
BENARKAH TOLERAN?
Beberapa Catatan Mengenai Politik
Kewargaan dan Pembangunan di Kota
Manado
Oleh:
Nono S.A. Sumampouw
Haryanto
S
ewaktu ajakan memberi kontribusi terhadap bunga rampai ini
sampai, ada beberapa catatan yang sebenarnya ingin digarisbawahi sehingga membuat kami tertarik memberi sumbangan
artikel, utamanya yaitu: Pertama soal tema yang ditawarkan: judul
Agama dan Pembangunan Yang Berpihak: Sebuah Refleksi Kritis
di Manado, merupakan tema yang memberi kami peluang untuk;
anggap saja seperti ini, suatu refleksi ‘lebih jujur dan terbuka’
daripada suatu tulisan yang biasanya sejak awal telah di ‘framing’.
Ambil contoh soal kerukunan antar umat beragama, torang samua
basudara atau multikulturalisme di Kota Manado dan sebagainya.
Hal tersebut, bukannya tidak baik, tetapi kami nilai seringkali hanya
menonjolkan hal-hal romantik yang selalu direpetisi dari kondisi
komunitas kota ini. Hal tersebut dilakukan tanpa secara langsung
mendobrak serta menyatakan dengan jujur dan terbuka permasalahan
190
hubungan antar-umat beragama dikaitkan dengan pembangunan
sosial serta infrastruktur kota yang terjadi dan terus berdinamika.
Kedua, memang telah disarankan untuk memberi naskah yang juga
membuat kutipan-kutipan pustaka terkait, tetapi tidak sebagaimana
jurnal, syarat ini lebih longgar. Sehingga, kami justru memutuskan
untuk tidak memberikan kutipan dari berbagai buku-buku dan artikel,
bukan karena ini tidak penting sebagai academic positioning, namun
justru untuk menghindari repetisi berlebihan, karena sesungguhnya
karya-karya mengenai hubungan antar komunitas di Manado atau
anggaplah Sulawesi Utara sudah demikian berlimpah, ditulis serta
dikutip sana-sini dalam berbagai buku, artikel serta monograf, namun
dalam kenyataannya justru terlihat ‘memperhalus’ atau ‘menghindar’
untuk menjelaskan masalah komunitas yang sebenarnya terjadi serta
‘malu-malu menukik’ menyentuh persoalan tematik yang diangkat.
Poin kedua di atas, merupakan sesuatu yang sangat sering
dilakukan, karena dalam wacana-wacana umum, Manado kami nilai
terlalu berlebihan ditempatkan wacananya sebagai: Kota Paling
Toleran di Indonesia dan Torang Samua Basudara. Bukan berarti hal
ini tidak memiliki unsur kebenaran, tetapi wacana-wacana yang terus
dijaga ini bisa jadi kurang baik dan bergerak lebih ke arah ‘mitos’
atau romantika masa lalu. Akibatnya sebagai suatu komunitas kota
dan dalam arti kebijakan, kita menjadi ‘kurang awas’ menghadapi
kemungkinan-kemungkinan konflik yang dapat saja terjadi karena
kondisi-kondisi internal. Coba ingat ini dalam catatan sejarah dunia:
setiap imperium, peradaban dan perusahaan yang terlampau kuat
selalu hancur terutama bukan akibat kekuatan eksternal tetapi karena
kurang peka dirong-rong kondisi internal. Kita bisa menyebutnya
satu-persatu dari Romawi, Ottoman, VOC dan bahkan Lehmann
Brothers. Pada kasus Indonesia, analogi yang mungkin bisa digunakan
adalah apa yang terjadi pada rezim Soeharto yang begitu berkuasa
selama puluhan tahun tetap tokh bisa jatuh; pela-gandong yang begitu
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 191
romantik dengan sigap terlupa ketika konflik Maluku pecah; konsep
sintuwu-maroso di Sulawesi Tengah seolah tidak bertuah ketika konflik
Poso membara, dan; orang Jawa yang terkenal kalem bisa beringas
ketika hak-hak atau aksesibilitasnya atas perkebunan diambil begitu
saja. Sementara, kebanyakan orang Manado kalau ditanya komentar
mengenai kondisi-kondisi tersebut masih sibuk dengan jawaban
yang ‘kurang awas’ dan ‘terlalu membuai’: itu kan disana, di sini torang
beda atau jangang se sama di Jawa sana deng di sini [terj.: disana tetaplah
disana, kami berbeda disini (lebih baik) keadaannya; jangan samakan
keadaan di pulau Jawa dengan di Manado]. Ya, memang tidak sama
keadaannya, tetapi kalau kita tidak awas, selalu saja jadi lebih besar
peluang yang bahkan mungkin saja jadi lebih buruk keadaannya.
Selain itu, ada pertimbangan metodologis dan diskursif juga
yang diambil ketika menulis naskah ini dalam kondisi sebagaimana
sampai di tangan penulis. Karena daripada membenturkan data, baik
primer dan sekunder dalam asumsi-asumsi teoritis membingungkan,
justru kami ingin memperlihatkan kejadian-kejadian yang diperoleh
dalam wacana dan praktek publik sebagaimana adanya hanya dengan
interpretasi minimal sambil sebisa mungkin mengurangi asumsiasumsi teoritis. Dengan begini, kami berharap; justru semakin luas
wacana ini dapat direfleksi oleh lebih luas khalayak daripada hanya
‘dimengerti’ oleh kelas menengah yang menikmati pendidikan
dalam derajat tertentu. Hal-hal utama yang ingin kami perlihatkan
dalam tulisan ini, sebenarnya merupakan data-data serta keteranganketerangan sederhana yang kami rajut lewat dua hal utama berikut,
yaitu: penelusuran-penelusuran lapangan, pengalaman-pengalaman
personal-empiris dan pengolahan data-data statistik sederhana.
Justru karena itulah, kami ingin wacana ini sesederhana mungkin,
‘membumi’ serta ketika ia dibaca oleh subjek penduduk Kota
Manado itu sendiri, kita bisa bercermin bahwa: inilah wajah kita
sebagai sebuah komunitas yang malu-malu kita tunjukkan.
192 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Secara lebih spesifik, ada dua hal sederhana yang ingin kami
sampaikan angkat disini terutama yaitu: (1) soal posisi politik
kewargaan masyarakat Kota Manado yang dapat ditafsir lewat
data-data statistik pemilu yang baru lewat, serta; (2) pembangunan
kota Manado baik dari aspek landscape atau bentang darat dan
pembangunan sosial-ekonomi secara lebih luas.
Politik Kewargaan Berdasar Statistik Pemilu 2019 dan Kemungkinan di Pilwako 2020
Data statistik Pemilu 2019 yang kemudian disandingkan
dengan kemungkinan-kemungkinan yang mulai terlihat untuk
Pilwako Manado 2020 pada dasarnya secara langsung menjelaskan
permasalahan atau segregasi politik kewargaan serta disparitas antar
komunitas yang ada. Lewat data ini kita justru melihat secara langsung
faksi-faksi yang terbentuk di masyarakat. Data statistik yang telah
diolah juga dapat merefleksikan gambaran ‘ketegangan-ketegangan’,
‘perpecahan-perpecahan’, ‘kekuatan’, ‘ketimpangan’, ekspresi serta
‘benturan-benturan’ pembangunan sosial-politik di masyarakat
secara umum sebagai kondisi dasar. Sehingga dalam tulisan ini,
memaparkan data statistikal sederhana ini menjadi penting untuk
refleksi hubungan antar umat beragama dan pembangunan sosial
serta dinamikanya di masyarakat.
Dari bakal-bakal calon yang telah terlihat di media massa dan
baliho-baliho, nuansa yang muncul dengan membawa sentimen,
segmentasi atau katakanlah semangat keagamaan jelas muncul,
sekalipun sering tidak disampaikan secara terbuka dan hanya lebih
sering terbaca secara interinsik. Namun, sebagai kesimpulan umum
sementara, berdasarkan komposisi demografis, pertarungan ini
sangat mungkin memunculkan tokoh dari dua kalangan agama
terbesar di Manado, yaitu Kristen (atau lazimnya disebut non-muslim
dalam kategori politik aliran di Indonesia) dan Islam. Jika menilik
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 193
data demografis paling umum, ini wajar saja dan malah masuk akal
serta mengerucut sebagai kekuatan politik paling dominan dalam
pencalonan, ini karena berdasarkan jumlah keseluruhan penduduk,
persentase umat Kristen di Manado mencapai 54% dan umat Muslim
mencapai 45%, serta agama lainnya 1%. Hal ini juga terjadi jika kita
membagi keseluruhan DPT kedalam kategori ini, yaitu penduduk
Kristen 59% dan Muslim 40%, Lainnya 1%, itupun dengan asumsi jika
kita menggabungkan segmentasi Katolik ke dalam pemilih Kristen.
Sehingga, data DPT tersebut dapat menggambarkan seberapa besar
potensi suara konstituen yang bisa diraup berdasarkan faktor agama.
Namun, bila Katolik dihitung sebagai suatu kekuatan politik yang
mandiri, maka data ini menjadi lebih fragmentatif lagi, yang tentu
saja kembali membagi masyarakat ke dalam kategori-kategori lebih
kecil. Artinya, sekalipun mengerucut dalam kategori politik yang
kuat dalam wajah Kristen dan Islam, namun fragmentasi agama
ataupun denominasinya dalam politik yang semakin banyak akan juga
membelah masyarakat ke lebih beragam kategori religi/denominasi
dengan semakin beragam kekuatan-kekuatan sipil yang berbenturan
secara politis, kadangka ini bisa merembes pada kebijakan-kebijakan
tertentu bahkan seringkali menghasilkan ketegangan-ketegangan
sosial yang bisa berakhir pada benturan fisik, baik secara komunal
maupun personal.
Akibat dari mengerucutnya kekuatan politik pada komunitas
Muslim dan Kristen, maka bakal calon dari kalangan Kristen telah
mencuat pada beberapa nama, seperti: Jimmy Rimba Rogi, Roy Roring,
Telly Tjanggulung, James Sumendap, Rio Permana Mandagi, Mor
Bastiaan, Harley Mangindaan. Sementara wajar pula jika komunitas
muslim juga memiliki calonnya, seperti: Abid Takalamingan, Taufik
Pasiaq, Ulias Taha, Bobby Daud, Mahmud Turuis, Djafar Madiu dan
Rum Usulu. Namun tidak menutup kemungkinan dari data-data ini,
dengan asumsi bahwa pasangan calon yang maju lebih dari satu,
194 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
maka penggabungan kekuatan Kristen atau non-muslim dan Islam
akan dilakukan, karena DPT Kristen dominan secara demografis,
tetapi angkanya dapat dikatakan relatif seimbang dengan DPT
Muslim. Inipun belum dihitung dengan calon yang terdengar akan
maju dari kelompok agama diluar kategori dominan tersebut, seperti
Ketua DPRD Provinsi Andrei Angouw. Sekalipun, sebagaimana
yang telah kami katakan bahwa kekuatan-kekuatan ini akan membagi
masyarakat dalam kategori-kategori berdasarkan agama terutama
Kristen dan Islam, serta denominasi dan kelompok-kelompok sosial
berbasis keagamaan semacam NU-Muhammadiyah-Syarikat Islamdan sebagainya, bahkan kelompok milisi-milisi adat, namun prinsip
sederhananya adalah: karena pencalonan membutuhkan dukungan,
maka semakin banyak bakal calon dalam kategori-kategori religi
semacam ini, maka akan semakin terpecah pula masyarakat, dalam
hal ini pendukungnya yaitu masyarakat kota itu sendiri. Jadi, dalam
kondisi seperti ini, perlu diingat betul bahwa kondisi atau dinamika
dan bisa juga stratifikasi sosial religi dalam kondisi politik tidak dapat
ditafsir hanya satu atau dua layer saja seperti Kristen atau Islam,
tetapi dapat lebih jernih untuk ditafsir bahwa agama juga merupakan
variabel, faktor ataupun fenomena yang multi layer, berlapis-lapis.
Tetapi, masalah peta politik dan fragmentasi masyarakat
berbasis data agama tidak sesederhana data statistik dasar di atas.
Masih banyak yang perlu dilihat, seperti disparitas, persebaran dan
fragmentasi kekuatan politik bahkan alasan-alasan kualitatif yang
mendasari munculnya angka-angka dan persentase-persentase yang
telah dihasilkan berdasar hasil pemilu baru lewat dan ini dapat
memperlihatkan bagaimana kekuatan politik berdasarkan agama
bukan berarti seimbang dengan komposisi demografis masyarakat
secara umum.
Hal pertama paling sederhana yang dapat kita lihat adalah
keterwakilan calon anggota DPRD Kota Manado terpilih
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 195
berdasarkan agama. Secara prinsipil, karena ini merupakan
representasi paling sederhana dari dari kekuatan politik dan dari
panggung inilah maka mungkin untuk mencalonkan pasangan
calon berbasis partai, dan karenanya mewakili agama tertentu.
DPRD Kota Manado menempatkan 78% (31 orang) calon anggota
DPRD kalangan non-muslim dan 22% (9 orang) dari kalangan
Muslim. Persentase ini menjadi agak timpang jika dibandingkan
dengan dengan persentase suara DPT yang terlihat sebelumnya.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana ini bisa terjadi, karena
dengan begitu kita akan bisa merefleksikan dengan lebih terang
kekuatan politik berdasarkan agama di Kota ini, baik dalam arti
keseimbangan ataupun ketimpangannya.
Jika melihat lebih jauh lagi, celah yang terjadi di atas menjadi
masuk akal karena partai nasionalis secara asumtif akan cenderung
secara alamiah dipilih penduduk non-muslim dan secara bersamaan
juga tetap memungkinkan dipilih oleh konstituen muslim. Sementara,
partai berbasis massa Islam, hampir kurang dilirik oleh pemilih nonmuslim. Sehingga, dalam sudut pandang ini, sebenarnya cenderung
menguntungkan caleg non-muslim yang tersebar di partai nasionalis.
Berdasarkan data, keseluruhan partai nasionalis mendapat
77% dari suara sah, yang juga disumbangkan dari migrasi pemilih
muslim ke partai nasionalis sejumlah 17%. Sementara, yang tetap
memilih partai berbasis massa Islam atau caleg muslim di partai
nasionalis sejumlah + 22% dari suara sah. Dengan menggunakan
data ini, maka menjadi masuk akal dan berbanding lurus jika
perwakilan umat muslim berjumlah 9 orang atau sekitar 22% dari
jumlah kursi DPRD yang tersedia. Padahal, jika kita hanya sematamata menggunakan data statistik jumlah penduduk atau DPT, maka
setidaknya caleg muslim yang terpilih berpotensi mencapai sekitar
40an% dari keseluruhan kursi di DPRD Kota Manado, atau kurang
lebih ada 16 kursi, sehingga dengan demikian non-muslim mencapai
196 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
24 kursi. Dalam perspektif ini, ada reduksi sekitar 17,5% dari suara
umat muslim pada keseluruhan suara sah menurut DPT atau ada
penurunan sekitar + 43% dari jumlah suara sah umat muslim sesuai
DPT. Pada sisi lain, secara bersamaan persentase tersebut dapat
dimaksimalkan oleh caleg atau partai berbasis massa nasionalis,
sehingga meningkatkan jumlah perwakilan mereka sebanyak 7
kursi (+ 17,5% dari suara DPT dan jumlah kursi) di DPRD Kota
Manado. Angka ini jelas cukup tinggi dan signifikan. Komposisi ini
sebenarnya dapat ditafsir dalam beberapa hal sekaligus, tetapi yang
ingin kami ajak untuk kita berpikir bersama adalah hal sederhana:
kalau posisi statistikalnya seperti itu, kota yang (katanya) toleran
dan multikultural ini apakah kekuatan sosial-politiknya berimbang,
timpang, tidak seimbang atau sesederhana perbedaan kekuatan
kompetisi sosial-politik yang telah terjadi dalam soal ‘menang-kalah’,
atau ini terjadi karena kompetisi politik dalam keadaan by design dan
‘terkendali’?.
Pertanyaan yang timbul dari paragraf di atas dapat kita lihat
secara sekilas, tapi perlu juga direnungkan dari data berikut ini. Pada
saat bersamaan, soal politik yang memecah fragmentasi agama ini
menjadi penting untuk memperhatikan partisipasi pemilih. Secara
umum, dalam Pemilu baru lewat ini, keseluruhan tingkat partisipasi
pemilih mencapai 73 % dari jumlah DPT, ini berarti ada 27% yang
tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai alasan ataupun
hambatan. Ini merupakan angka yang cukup besar. Namun,
bagaimana variabel yang sama berdasarkan agama pemilih?. Di
Kota Manado, tingkat partisipasi pemilih dari kalangan non-muslim
mencapai 68%, sementara dari kalangan muslim mencapai 32%.
Berdasar data tersebut, logisnya kita dapat melihat, bahwa secara
statistikal, kekuatan suara non-muslim memperoleh keuntungan
karena setidaknya dua hal yang telah disinggung, yaitu: (1) suara
pemilih muslim dapat diterima oleh partai non-muslim, dimana
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 197
para caleg utamanya dari non-muslim, sementara partai muslim
hampir tidak mungkin menerima suara dari pemilih non-muslim,
dan; (2) disparitas kekuatannya menjadi lebih besar karena, tingkat
kesadaran partisipasi pemilih muslim lebih rendah dari pemilih nonmuslim. Sehingga, dalam sudut pandang iniLewat sudut pandang ini,
secara bersamaan, dapat diketahui, bahwa secara statistikal kekuatan
politik umat muslim di Manado terdesak ke arah yang justru lebih
merugikan, menguntungkan calon non-muslim, tapi kurang terbaca
secara statistik, akibat cenderung hanya melihat data-data umum
semata.
Melihat varian-varian data di atas, dalam politik representasi
seperti yang masyarakat kita gunakan hari ini, pemusatan atau
dominasi berlebihan itu berbahaya dalam banyak hal. Ini karena
diplomasi itu juga politik, penentuan-distribusi-eksekusi anggaran
juga politik, bahkan pengawasan dari konstituen, dimana masyarakat
diberi tempat yang lebih terhormat dan accessible untuk ‘memarahi’
atau ‘mengkoreksi’ kebijakan pemerintah juga politik, bahkan
lebih penting daripada sekedar terpilih. Anda bayangkan, dalam
masyarakat yang distribusi kekuatan politiknya timpang dan tidak
sesuai dengan potensi yang ada, sangat mungkin ada ketidaksesuaian distribusi anggaran dalam hal geografis, kelompok sosial,
waktu, tempat dan juga sasaran. Ini bisa berimplikasi pada urusan
kualitas kesehatan, pendidikan, akses jalan, sampah sampai perihal
rekreasional masyarakat, dimana kelompok satu mendapat yang lebih
baik –bukan sama rata- daripada yang lain, dan kelompok dalam
hal ini, bisa lebih luas daripada hanya berbasis agama mainstream
–bisa denominasi, adat, kelompok sosial, berbasis ekonomi atau
pendidikan, dll-. Hal ini, dalam tingkat tertentu mampu mendorong
pada resistensi-resistensi yang merepotkan, memakan biaya finansial
dan biaya sosial, ketidak-seimbangan neraca pemerintahan dalam
sebuah periode, menurunkan kualitas hidup pada aspek-aspek
198 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
tertentu, serta memakan waktu sehingga merugikan, padahal waktu
yang dimaksud dapat dialokasikan dalam eksekusi kebijakan yang
lebih bermanfaat atau lebih kreatif dan bukan sekedar repetisi tidak
perlu.
Implikasi-implikasi: Dinamika Landscape dan Pembangunan
Fisik Kota
Sebagaimana yang telah kami singgung di atas, ketimpangan
dan fragmentasi religi di atas juga dapat dengan mudah kita lihat
atau setidaknya ditafsir oleh masyarakat umum karena berimplikasi
pada pembangunan berdasarkan kesamaan-kesamaan ataupula
perbedaan-perbedaan entitas agama (dan kerenanya juga etnis ikut
pula terbawa) yang telah disebutkan bagian sebelumnya. Terutama
dalam dinamika pembangunan di wilayah Utara dan Selatan Kota.
Pada masa kini, secara garis besar Manado tetaplah merupakan
daerah yang terbagi berdasarkan pembagian wilayah masa kolonial,
Selatan dan Utara. Sekalipun, sejak kemerdekaan hingga kini telah
terjadi penyesuain terutama wilayah administratif kecamatan,
terutama dalam hal pemekaran. Kini, bagian selatan Manado diwakili
enam kecamatan dan utara oleh lima kecamatan. Tak hanya sampai di
situ, wilayah utara atau yang biasa disebut sabla aer, secara sosial telah
melekat sebagai pemukiman penduduk orang Sangihe serta mereka
yang beragama Islam. Sementara bagian selatan didiami penduduk
mayoritas beragama Kristen dan bersuku-bangsa Minahasa. Karena
etnis inilah dianggap sebagai pemilik wilayah Manado secara adat
maka mereka diklaim, kemudian secara luas diterima sebagai orang
“asli”. Dari sudut pandang ini terciptalah bahwa warga lainnya, tentu
saja, pendatang. Dimana wilayah Manado Utara dikenal sebagai
daerah kumuh dan tempat tinggal para pendatang. Termasuk, para
diasporian dari gugusan kepulauan Sangihe-Talaud dan penduduk
beragama Islam.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 199
Prejudice-prejudice sosial semacam ini, sadar tidak sadar telah
memberikan pengaruh besar dalam hal kebijakan, ataupun bisa
juga ditafsir pembiaran penataan ruang dan pembangunan fisik di
wilayah Utara. Hal yang jelas berbeda jika melihat kondisi di Selatan
kota yang dapat dikatakan lebih aktif dalam hal pembangunan
fisik, baik sekolah, pusat perbelanjaan dan hiburan serta penataan
pemukiman yang lebih teratur dan terencana. Hal inilah, salah
satunya yang mendorong anggapan sosial tertentu bahwa, warga
sabla aer, yaitu mereka yang tidak hanya secara fisik tinggal di bagian
utara kota, tetapi juga mereka yang sekaligus beragama Islam atau
warga keturunan Sangihe yang kurang civilized, kurang higienis atau
kurang berpendidikan.
Kesan sosial semacam ini nampak sebagaimana kenyataan
lapangan melalui penataan wilayah tepatnya berhubungan dengan
visualisasi penataan pemukiman. Pada bagian Selatan kota, tidak
ditemukan Masjid selain Masjid Raya yang disponsori pemerintah
berada di sisi jalan protokol. Hal berbeda dengan di Utara. Ketika
baru memasuki wilayah ini yaitu di Jembatan Megawati (Jembatan
Singkil), dari arah pusat kota (selatan) menuju utara, tepat di ujung
kanan jembatan, berdiri Masjid Al-Misbah yang secara simbolis
seolah mengatakan “selamat datang di pusat pemukiman Muslim
di kota Kristen”. Ini belum termasuk masjid-masjid lain yang ada di
sisi jalan protokol wilayah utara kota. Sementara itu, di samping kiri
dan kanan jembatan, langsung nampak jejeran rumah di bantaran
sungai yang kelihatan berhimpitan dan kumuh.
Sebagaimana telah disinggung, bahwa telah timbul kesan
pengorganisasian pemukiman wilayah selatan lebih baik secara visual
dan “kesehatan” dibandingkan di utara kota. Foto di bawah ini dapat
memperlihatan hal tersebut, dimana wilayah utara, tempat tinggal
para warga muslim kota dan mereka yang berlatar-belakang etnis
Sangihe (dibiarkan) tumbuh secara tidak teratur dan nampak kumuh.
200 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Sementara, daerah Selatan kota yang dihuni kebanyakan orang
Minahasa dan Kristen terbangun lebih simetris pemukimannya.
Kenyataan bahwa penataan dan pembangunan fisik kota
telah mengabaikan “keseimbangan” kualitas pelayanan publik
antara wilayah Selatan dan Utara kota tak dapat disangkal. Lokasi
pusat perbelanjaan dan hiburan terbesar atau mall di kota ini ada di
wilayah Selatan terbentang dari daerah Wenang ke Sario-Titiwungen
hingga daerah Malalayang, yaitu Mega Mall, ruko-ruko dan Manado
Town Square hingga Bahu Mall. Dimana wilayah ini, secara simbolik
bagi warga kota juga menunjuk pada pusat hiburan dan belanja
paling high class di kota Manado. Sementara, secara kontras tidak
kita temukan pusat belanja semacam ini di daerah Utara. Bahkan
perbedaan kualitas serta kuantitas fasilitas hiburan dan perbelanjaan
antara wilayah Selatan dan Utara jelas sangat signifikan.
Bahkan dalam hal penataan dan pembangunan fisik dari
fasilitas pelayanan publik utama atau dasar berjalan sangat timpang
antara Selatan dan Utara. Rumah Sakit Umum Pemerintah baik milik
provinsi maupun kota semuanya ada di wilayah Selatan, termasuk
Rumah Sakit Swasta dengan fasilitas dan kapasitas terbaik. Sementara
di Utara, hanya ada sebuah rumah sakit swasta milik yayasan Islam
bernama RS. Siti Maryam yang kapasitas dan kualitasnya sangat
terbatas.
Bahkan penataan pembangunan fasilitas publik mendasar
seperti pendidikan juga terlihat mencolok perbedaannya. Sekolahsekolah unggulan dalam semua tingkat ditempatkan pada bagian
Selatan Kota. Tidak hanya sekolah negeri, bahkan institusi swasta
termasuk di dalamnya. Sementara, sekolah-sekolah di bagian utara
kota cenderung dianggap sebagai institusi pendidikan “pinggiran”
atau “buangan” oleh warga kota, yang nampak tidak hanya karena
tampilan fisik semata tetapi juga karena kualitas dan kapasitas
fasilitas pendidikan dimaksud.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 201
Selain hal-hal tersebut, bangunan dan fasilitas Hotel executive
berbintang untuk tujuan bisnis juga menjadi contoh baik untuk
memperlihatkan perbedaan perlakuan pembangunan dan penataan
wilayah. Keberadaan hotel executive berbintang yang digunakan
untuk kegiatan MICE hanya ada di wilayah pemukiman selatan.
Sementara, wilayah utara tidak ada hotel semacam ini. Sekalipun
ada beberapa hotel yang dibangun, namun hanya berupa hotel
melati atau yang jauh dari arah pemukiman dengan tujuan wisata
sebagai cottages. Dalam kasus ini, adanya perbedaan perlakuan yang
timpang, menunjukkan indikasi kuat bahwa kebijakan penataan
ruang kota dan pembangunan fisik untuk tujuan ekonomi memang
lebih diarahkan agar wilayah selatan kota menjadi lebih berkembang
dan tertata. Atau, dalam perspektif lain, adanya “pembiaran” dari
kebijakan penataan ruang dan pembangunan fisik untuk daerah
Utara agar fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, hiburan
dan belanja, bahkan demi kebutuhan pembangunan ekonomi
wilayah berkembang hanya secara “status quo”, tanpa ada improvement,
inovasi atau penanganan dan penataan yang lebih terorganisir untuk
perkembangannya.
Kenyataan seperti yang terdeskripsi di atas, tidak hanya
menunjukkan adanya ketimpangan perlakuan dalam penataan dan
pembangunan fisik pada dua wilayah berbeda namun berada pada
satu kota yang sama. Tetapi lebih dari itu, aspek gerak manusia
dalamnya tentu saja memberi kesempatan bersentuhannya aspek
fisik ini dengan tendensi sosial-politik bahkan kultural tertentu. Ini
tidak hanya terbatas pada pembangunan ekonomi atau pendidikan
warga semata misalnya. Tapi lebih jauh dari itu, melalui interpretasiinterpretasi tertentu atas kenyataan pembangunan fisik ini dapat
mendorong terbangunnya tendensi-tendensi sosial-politikkebudayaan yang dalam kasus Manado mampu menyerempet pada
persoalan agama dan suku-bangsa yang sangat simbolis itu bersama
202 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
fragmentasi serta segregasinya dan komposisi demografisnya yang
telah dideskripsi pada bagian sebelumnya. Bahkan tidak hanya
itu, kondisi ini juga bisa memberi stimulan pada gerakan politik
tertentu. Hal-hal relasional antara aspek-aspek fisik penataan dan
pembangunan kota dengan terbangunnya identitas sosial-politik di
tengah-tengah warga, terutama antara bagian Utara dan Selatan.
Sentimen-sentimen Agama di Manado: Apakah Kita Benar
Toleran?
Kita tahu, bahwa dalam bentuk apapun, sentimen-sentimen
primordial merupakan isu yang selalu ada dimanapun, baik itu yang
berbasis agama maupu etnis. Katakanlah di Eropa atau Amerika yang
selalu dirujuk sebagai wilayah-wilayah multikultural dan darimana
kita sering mempelajari konsep-konsep ini. Begitu halnya pula di
Indonesia, dan lebih khusus: Manado. Namun begitu, seringkali
ada kesan bahwa, isu-isu mengenai sentimen keagamaan di Manado
begitu ditutupi dan tersandera oleh nama besar dan imajisasi torang
samua basudara. Dalam hal ini, sentimen keagamaan sering terwakili
oleh makna konotatif dari kata sabla aer.
Secara akademis, yang bisa anda baca dari sekian banyak buku,
jurnal atau monograf tentang kehidupan multikultural di Kota
Manado, sabla aer terkesan tidak menjadi wacana terbuka bagi warga
kota terutama dari kalangan pemerintah dan surat kabar. Besar
kemungkina diskursus ini disadari memiliki potensi disintegrasi yang
selama ini telah sekuat tenaga dihindari. Namun bagaimanapun,
khalayak pun tokh tak bisa menutupi ini hingga benar-benar tak
nampak. Sehingga, percahan peristiwa yang mewakili dinamika
memecah belah berbasis sentimen keagamaan ini tetap dapat kita
temukan, sekalipun seringkali dalam keterangan-keterangan yang
disembunyikan.
Tahun 2009, segera setelah Jimmy Rimba Rogi berhadapan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 203
dengan masalah korupsi dan menjadi terdakwa, Abdi Buchari naik
menjadi Walikota dengan status Pelaksana Tugas (Plt.). Hal ini
segera mengundang reaksi dari banyak warga Kristen-Minahasa
yang merasa tidak sudi dipimpin oleh pemimpin beragama Islam
dan bukan orang Minahasa “asli”. Banyak dari mereka menduga
Islam akan semakin kuat dan pengurusan kegiatan bergereja dalam
skala besar akan menemui kesulitan. Segera timbul banyak desakan
untuk segera melengserkan Abdi. Memang, beliau akhirnya lengser
karena tersandung kasus korupsi yang terlihat murni masalah hukum
tanpa ada intervensi politik. Namun, isu tokh telah berkembang
jauh dan membuat masalah ini tersentuh sentimen politik-etnisagama. Segera setelah Abdi menjadi tersangka, Gubernur menjadi
Penjabat (Pj.) Walikota. Diikuti dengan ditunjuknya Sekretaris
Provinsi Robby Mamuaja sebagai Pelaksana Harian (Plh.) Walikota
yang juga seorang tokoh Gereja GMIM dan dianggap asli berasal
dari Minahasa-Tondano. Dengan begitu, sentimen ini menjadi
kembali mereda. Tetapi, dalam tahun-tahun ketika Abdi Buchari
bebas setelah menjalani masa hukuman, dia mengeluarkan buku
yang dapat dianggap memoar dan secara sentimentil memberikan
judul terhadap buku tersebut: Apakah Karena Saya Muslim?.
Hal yang sama juga terjadi dengan segera setelah kasus Abdi
dimana pada tahun 2010 kesadaran politis akan kekuatan massa
Islam juga timbul pada pemilihan walikota. Hanny Jost Pajouw dari
partai Golkar memilih berpasangan dengan Anwar Panawar, yang
mewakili etnis Sangihe dan sebagai tokoh Muslim sealigus Ketua
Muhammadiyah Sulut. Segera setelah lolos pada putaran kedua
bersama pasangan dari Partai Demokrat Vicky Lumentut dan Harley
Mangindaan, isu agama langsung menjadi wacana publik. Selain
menjadi perbincangan dalam kalangan terbatas, terkait isu agama
calon, banyak SMS yang masuk ke pemilih dan mengajak untuk
tidak memilih PKI (Pasangan Kristen-Islam) tapi memilih PKK
204 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
(Pasangan Kristen-Kristen). Hal ini ditambah juga dengan adanya
kecenderungan mempolitisasi kesan mayoritas warga Kristen kota
bahwa: orang Muhammadiyah tergolong puritan dan Islam kras
(fanatik). Sehingga, ada kemungkinan besar akan membuat umat
Kristen menjadi kesulitan. Tanpa perlu memperhitungkan efektifitas
keberhasilan isu tersebut, tokh akhirnya, pasangan dari partai
Demokrat yang menang.
Dalam nuansa-nuansa politik lebih kontemporer menurut isu
sejenis, kita dapat melihat ekspresi –yang hampir ricuh dan menobrak
sampai ke dalam daerah Bandar Udara- dari organisasi sosial berbasis
adat dan agama misalnya yang menolak kunjungan Fahri Hamzah di
Manado pada tahun 2017 serta Habib Bahar bin Smith pada tahun
2018, karena dianggap intoleran, tetapi secara diskursif dapat pula
dibalikkan bahwa-bahwa cara-cara dan sentimen yang akhirnya
menggeliat di masyarakat, terutama bagi masyarakat Muslim malah
menggunakan cara yang tidak toleran dan ‘mengintimidasi’. Sesuatu
yang sebenarnya bisa dianggap paradoks.
Pada tataran hubungan kewargaan di akar rumput, warga
muslim kota merasa beberapa kali disisihkan pemerintah kota dalam
hal penggunaan fasilitas publik, terutama yang mempertemukan
hajatan dari kelompok agama yang berbeda. Walaupun memang
kadang kala ini tidak beralasan karena kurang atau terlambatnya
komunikasi. Namun isu ini cepat beredar di kalangan warga kota dan
menimbulkan reaksi tak sedap dan meningkatkan sentimen agama
warga kota. Pada Idul Adha tanggal 26 Oktober 2012, lapangan
Sparta Tikala di depan kantor Walikota dikabarkan tidak diijinkan
oleh pemerintah untuk digunakan umat Islam sebagai tempat Sholat
Ied, karena ada acara Kaum Bapa GMIM. Isu ini menimbulkan sakit
hati bagi kalangan Muslim. Kemudian, buru-buru Asisten II -Helmy
Bachdar yang juga tokoh Muslim kota- mengklarifikasi bahwa
ini hanya soal salah paham dan sudah dikomunikasikan dengan
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 205
ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Kota, Ismail Moo. Bahkan
walikota sendiri secara simpatik menglarifikasi dan meminta maaf,
dengan mengatakan: itu tak benar, ini hanya miss komunikasi dan
tidak ada niat untuk melukai hati saudara-saudaraku umat Muslim
di kota Manado. Tetapi, sekalipun masalah ini sudah terselesaikan,
kita melihat adanya sisi sensitif dari umat Muslim kota yang merasa
sering terdiskriminasi.
Beberapa contoh yang juga sering kita temukan adalah adanya
‘ketakutan-ketakutan’ berlebihan, katakanlah Islamophobia yang
sering terjadi dan mendorong pada perasaan-perasaan sentimen.
Salah satunya ketika pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN), seorang
perempuan DP, kerabat dekat kami, sedang naik motor dan ketika
lewat di depan hotel Sintesa Peninsula tempat presiden menginap
mengungkapkan ketakutannya ketika melihat sekelompok ibu-ibu
berkerudung dan berbusana muslim lengkap memasuki barikade
penjagaan petugas. DP berkata dengan ketus: so dorang ini panjangpanjang (menunjuk pada pakaian) ini tu perlu mo periksa. Bahaya dorang
ini, ada presiden lagi di dalam [mereka yang berjilbab dan berbaju
muslim lengkap ini yang perlu diperiksa. Mereka ini yang bahaya,
apalagi di dalam ada presiden]. Begitu juga di kompleks saya, satusatunya laki-laki tua Islam, RS, berasal dari Jawa Barat, secara tak
beralasan dianggap anggota FPI oleh anak-anak kompleks hanya
karena dalam penampilan kesehariannya menggunakan baju koko
(gamis) dan memelihara janggut serta taat beribadah. Saudara
dekat kami, CT juga begitu; ia merasa risih, mengeluh dan nampak
khawatir ketika melihat beberapa perempuan menggunakan cadar.
Ia mempertanyakan dengan nada marah: mengapa jumlah mereka
sudah banyak sekali di Manado!, sudah saatnya mereka diusir dari
kota ini. Kalau melihat hal barusan, visualisasi tampilan-tampilan
fisik, tak terelakkan juga menjadi salah satu cara yang merangsang
khalayak umum terutama non-muslim dalam mempertajam ekspresi
206 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
sentimen-sentimen keagamaan. Sekalipun seringkali alasan-alasan
itu tidak didasarkan pada perimbangan yang jernih serta generalisasi
berlebihan.
Narasi sejenis dapat pula kita temukan pada tingkatan akar
rumput, terekam dalam bentuk-bentuk represi serta intimidasi
terhadap gerak umat Islam, sahabat saya AK, seorang aktivis PMII
yang tinggal di Karombasan (Manado Selatan), memberi informasi
bahwa ia didatangi beberapa anggota milisi yang terlihat seperti
preman dan dimintai sumbangan untuk membuat hiasan salib yang
akan diletakkan sekitar kompleks. Anggota tersebut dengan kasar
meminta: capat jo kase, cuma ngoni le tu Islam di sini! [cepat berikan
sumbangannya, kan hanya kalian yang beragama Islam di kompleks
ini!]. Terakhir yang terbaca dari halaman Facebook, ada resistensi
bernada cemas dari kenalan saya, MS, seorang Minahasa yang
menolak memprotes ajakan seorang Pendeta, BU, pada korban
banjir di Jakarta untuk mengungsi ke Manado. Ia mengatakan:
jangan pak Pendeta, kalau mereka ke Manado, nanti sudah tidak mau
balik Jakarta dan Manado akan BANJIR dengan orang Jawa. Hal
semacam ini dilakukan karena ada ketakutan akan perkembangan
jumlah penganut Islam, baik melalui perkawinan dan migrasi yang
bisa-bisa ‘menguasai’ kota. Seorang Syamas, pelayan di GMIM,
NT mengatakan ketika ada sambutan dari pemerintah saat pesta
perkawinan untuk mengikuti KB sesuai anjuran pemerintah, bahwa
ia tidak setuju dan pasangan Kristen yang membatasi jumlah anak
karena dorang (warga Muslim) sering berpoligami dan cenderung
memiliki banyak anak. Dalam bentuk-bentuk tersebutlah, sentimensentimen berkembang di Manado yang menampilkan diri pada front
stage sebagai kota yang toleran dan multikultural.
Memang, diskriminasi yang dibuat kepada umat Muslim di
kota ini tak mudah ditangkap keberadaannya. Karena bagaimanapun
pemerintah dan masyarakat menjaga imaji kota ini sebagai daerah
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 207
torang samua basudara. Tetapi, pola-pola peminggiran ini dibuat
sedemikian halusnya sehingga sebisa mungkin tidak sampai nampak
ke permukaan. Misalnya, ketika bercakap dengan seorang Pendeta
GMIM, PP, ia mengatakan pernah menjual sebidang tanah kepada
seseorang dan harus membelinya kembali karena khawatir janganjangan di situ akan didirikan Masjid. Diskriminasi halus yang disertai
rasa sungkan ini sepertinya menjadi pola umum untuk menunjukkan
penolakan terhadap kehadiran orang beragama Islam dalam ruangruang publik dan struktur sosial. Bahkan di almamater saya, FISIP
Unsrat, pemilihan pimpinan Fakultas dan Jurusan menunjukkan
adanya ketakutan jika yang menjabat berasal dari kalangan Muslim.
Secara personal, kami yakin dalam imaji-imaji torang samua basudara,
kompetisi ‘yang saling meminggirkan’ disertai ‘sentimen keagamaan’
serta ‘tidak terlihat’ semacam ini terjadi di banyak instansi
pemerintah dan pendidikan di Kota Manado. Salah satu paling
terkini adalah keterangan seorang kawan dosen IAIN Manado
yang menyampaikan adanya kandidat CPNS beragama Kristen
yang lolos seleksi wawancara menjadi pegawai IAIN Manado,
tetapi diwawancara oleh tim dengan pertanyaan-pertanyaan yang
‘tidak sesuai’ dan dengan ‘sengaja dijatuhkan’ karena ada ketakutan
hadirnya dosen ‘non-muslim’ di IAIN Manado.
Penutup: Toleran atau Intoleran? Bukan Itu Soalnya…
Sebenarnya tujuan dari tulisan ini bukanlah memberikan
justfikasi-justifikasi tertentu baik dalam arti teoritis apalagi moral.
Tetapi semata memberikan suatu refleksi empiris mengenai wajah
back stage komunitas masyarakat Manado, yang sayangnya kurang
dieksplorasi dalam suatu kajian-kajian serius dan apalagi dalam
kebijakan-kebijakan strategis. Paling-paling hanya sampai di
seminar-seminar karakter bangsa, pernyataan-pernyataan sana-sini
di media dan menjaga organisasi antar umat seperti FKUB tetapi
208 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
terisi strukturnya dan studi banding sana-sini. Bukannya hal ini tidak
baik, tetapi sebagaimana kita tahu bersama; menghadapi tantangantantangan hubungan antar umat beragama, kuranglah efektif
rasanya jika tetap menggunakan pendekatan-pendekatan elitis yang
memakan anggaran. Soal ini, kita dapat belajar dari pengalaman
Poso yang terbaca dari karya-karya Dave McRae misalnya, serta
kesaksian-kesaksian para pelaku serta dalam banyak studi bahwa
program sintuwu-maroso juga perjanjian Malino, tidaklah seefektif
manfaatnya dengan menyatukan simpul-simpul komunikasi
komunitas masyarakat yang bertikai di tingkat akar-rumput lewat
suatu model ‘saling lapor’.
Selain itu, tulisan ini juga tidak ingin menyimpulkan apakah
sebagai suatu komunitas kota, masyarakat Manado toleran atau
intoleran, karena jelas bukan itu soal utamanya. Jika hal tersebut
terjadi, terlalu simplis tentunya kesimpulan yang diberikan.
Memahami bahwa isu toleransi dan intoleransi bukanlah suatu
justifikasi oposisif serta melibatkan sangat banyak layer sosial,
seperti: politik, ekonomi, kebijakan, tata ruang, psikologi, emosi dan
lain sebagainya akan lebih membuat kita semua lebih hati-hati dalam
melihat masalah ini di kota Manado, yang sekalipun ‘dikaburkan’,
tetapi tetap saja terus berdinamika.
Suatu penilaian yang sering dipakai oleh teman-teman peneliti
di Balai Litbang Agama Makassar, sepertinya memang cukup cocok
digunakan untuk melihat masyarakat multikultur Manado dalam
kaitan hubungan antar agamanya. Kawan-kawan ini berpandangan
bahwa, toleransi yang terbangun di Kota Manado adalah suatu
‘toleransi pasif ’. Hal ini bukan berarti tidak ada toleransi yang
terbangun atau jelek nilainya. Tetapi dalam strata tertentu, toleransi
yang telah ada jangan dibayangkan secara ‘penuh’ terjabarkan
dalam tiap praktek-praktek kehidupan sosial sampai pada tingkat
terdalam. Sebaliknya, juga bukan berarti masyarakat Manado adalah
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 209
masyarakat intoleran atau toleransinya merupakan sebuah hipokrisi,
namun memang cukup sulit rasanya atau utopis membayangkan
bahwa suatu komunitas yang begitu terpecah latar belakang
primordialnya menjadi lekat sebagaimana yang dicita-citakan oleh
mimpi multikulturalisme. Sehingga, dalam perspektif ini, toleransi
justru merupakan konsep yang terus dicita-citakan, konsep yang
tetap sama-sama selalu dikerjakan.
210 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Tentang Penulis
Delmus Puneri Salim meraih gelar sarjana dalam bidang kajian
keislaman dari UIN Jakarta pada tahun 1997 dan menyelesaikan
program magister dalam bidang sosiologi dan sosial antropologi
agama pada Flinders University dan Aberdeen University pada tahun
2003 dan 2007. Dia mendapatkan gelar Ph.D dari University of
Sydney pada tahun 2013 dengan meneliti Politik Islam di Sumatera
Barat. Disertasinya tersebut telah diterbitkan oleh Springer pada
tahun 2016 dengan judul `The Transnational and Local in the Politic of
Islam`. Dia telah menerima beberapa beasiswa bergengsi, antara lain
dari Australia Awards (2001-2003 dan 2008-2012) dan Chevening
Awards (2006-2007). Dia juga telah menyelesaikan program PostDoctor dengan beasiswa peneliti senior Fulbright di Boston
University tahun 2016. Saat ini dia menjabat sebagai Rektor IAIN
Manado.
Ismail Suardi Wekke dilahirkan di Camba, Sulawesi Selatan,
kampung yang berjarak 89 kilometer dari Makassar. Menyelesaikan
pendidikan doktor di Universiti Kebangsaan Malaysia (2009) dengan
dukungan Ford Foundation International Fellowship Program.
Sekarang ini bertugas sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Sorong dengan tugas tambahan sebagai Kepala
Pusat Penjaminan Mutu (2012-2016, 2016-2020) dan Sekretaris
Pasca Sarjana (2016-2020). Menulis beberapa buku antara lain
Model Pembelajaran Bahasa Arab (2014), Pembelajaran Bahasa
Arab di Madrasah (2016). Sejak 2010 meneliti tentang minoritas
muslim dengan beberapa publikasi antara lain Arabic Teaching and
211
Learning : A Model From Indonesian Muslim Minority. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, 191, 2015, 286–290; Antara Tradisionalisme
dan Kemodernan: Pembelajaran Bahasa Arab Madrasah Minoritas
Muslim Papua Barat, Jurnal Peradaban Islam Tsaqafah, 11(2), November
2015, 313-332; From Gontor to Sorong: Muslim Minority Practices
on Arabic Teaching and Learning, SOSIOHUMANIKA: Jurnal
Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 9(1), 2016, 49-64. Menerima
beberapa undangan sebagai dosen tamu, antara lain di Mahidol
University, Thailand (2014), Universiti Sultan Zainal Abidin, Malaysia
(2015), dan Kyoto University, Jepang (2016). Mengikuti konferensi
di beberapa universitas seperti Oxford University, Inggris (2014),
Marmara University, Turki (2015), Kobe University, Jepang (2016).
Jeane Marie Tulung lahir di Tomohon, 15 Januari 1971. Menjalani
pendidikan S1 Teologi di Universitas Kristen Indonesia Tomohon.
Lalu melanjutkan tahap pascasarjana S2 Manajemen Pendidikan di
Universitas Negeri Manado dan kemudian S3 Manajemen Pendidikan
di Universitas Negeri Jakarta. Sekarang menjabat sebagai Rektor di
Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado.
Yan Okhtavianus Kalampung lahir di Bitung, 19 Februari 1991.
Menjalani pendidikan S1 Teologi di Universitas Kristen Indonesia
Tomohon. Lalu melanjutkan tahap pascasarjana S2 Ilmu Teologi
di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Publikasi terakhir
Melompat Pagar: Sketsa-sketsa upaya berteologi lintas teks (2017). Sekarang
menjabat sebagai Plt. Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan IAKN
Manado.
Samsi Pomalingo lahir pada tanggal 20 Mei 1976 di Gorontalo.
Suamii dari Wirna Tangahu, dan ayah dari Zahira Fairuz Athalia
Putri Samsi pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren
Hubulo Tapa Kabupaten Bone Bolango. Pendidikan Strata Satu
(S1) di STAIN Manado pada Tahun 2000. Sementara Strata Dua
212 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
(S2) pada program Religion and Cross Cultural di Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Romo Samsi biasa disapa adalah satu-satunya
peserta dari Indonesia bagian Timur yang mengikuti International
Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat (USA) dan
tercatat sebagai Alumni State of USA pada Tahun 2013. Ketika
mengikuti IVLP di Amerika Serikat penulis belajar dan berinteraksi
dengan masyarakat Amerika di beberapa Negara bagian diantaranya
Washington DC. New York, Kansas, Texas, Virginia, California dan
Seattle. Romo Samsi memiliki pengalaman organisasi baik tingkat
lokal, nasional dan internasional diantaranya Pengurus Cabang
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Manado, Koordinator
Simpul Jaringan Lintas Iman (JLI) Bagian Timur Indonesia, Peneliti di
Gorontalo Survey Institute (GSI) Provinsi Gorontalo, Koordinator
Forum Komunikasi Linta Iman (FORKASI) Provinsi Gorontalo,
Relief Yogyakarta, Anggota organisasi Religious Freedom di New
York, Pengurus Wilayah NU Provinsi Gorontalo 2012, dan saat
ini sebagai Wakil Ketua 1 Nahdhatul Ulama Cabang Kabupaten
Gorontalo 2016-2021. Saat ini sebagai Pembina Forum Ka Samsi
di UNG (Forum Kajian Bersama Mahasiswa Sadar Ilmu). Penulis
aktif sebagai pembicara di seminar, workshop, lokakarya dan diskusi
baik tingkat lokal, nasional dan Internasional. Ketika di New York
tahun 2013, berkesempatan menjadi pembicara di International
Conference of Religious 2013. Disamping aktif diberbagai organisasi
penulis aktif menulis diberbagai media seperti Gorontalo Post,
Manado Post, The Jakarta Post, dan Jurnal. Selain itu penulis telah
menulis beberapa buku, diantaranya buku Dialog Pembebasan (2004)
Energi Perdaban (2010), Sejarah Pendidikan di Gorontalo (2012), 100
orang Indonesia angkat Pena Demi Dialog Papua (2013), Potret Etnografi
Masayarakat Polahi Gorontalo (2015). Saat ini sedang menyelsaikan
buku Ensiklopedi Kebudayaan Goontalo, dan juga buku Assalamu
Alaikum Islam KTP. Selain itu aktif dalam penelitian social budaya
dan agama di Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 213
Taufani lahir di Ujung Pandang tanggal 17 April 1987. Alumni
Program Master Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM ini
sekarang berprofesi sebagai dosen pada IAIN Manado. Selain aktif
di kampus, Taufani juga saat ini aktif sebagai Pengurus Lesbumi
NU Sulut. Di sela kesibukannya, ia sering memanfaatkan waktunya
untuk menulis di beberapa jurnal dan media lokal.Penulis memiliki
hobi membaca, jalan-jalan, bersepeda, dan wisata kuliner. Penulis
dapat dihubungi melalui email: taufani@iain-manado.ac.id.
Taufik Bilfagih adalah Aktivis Muda NU Sulawesi Utara. Kini
menjabat komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota
Manado. Alumni Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) CRCS
UGM Jogja tahun 2012. Menyelesaikan Studi S1 di IAIN Samarinda
dan S2 di UNSRAT Manado. Penulis juga merupakan Koordinator
Gusdurian Sulawesi Utara.
Denni H.R. Pinontoan lahir di Kawangkoan 17 Desember 1976.
Menyelesaikan studi S2 Teologi di Program Pascasarjana Teologi
UKIT tahun 2010. Kini sebagai dosen di Fakultas Teologi UKIT.
Berminat pada isu agama-agama, kajian budaya dan jurnalisme.
Tinggal di Kota Tomohon bersama istri Erny A. Jacob dan dua
orang anak: Karema dan Kamang. Email: dpinontoan6@gmail.com.
Nono S.A Sumampouw Peneliti pada Shaad Research &
Development Antho Pacific Institute, menaruh perhatian pada isu
identitas. Publikasinya antara lain Menjadi Manado yang diterbitkan
UGM Press (2015).
Haryantho Peneliti Shaad Research & Development di Manado.
Tulisan terakhir yang dipublikasi adalah Variabel Religi dalam
Pilkada Manado 2020.
214 ~
Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak
Rahman Mantu adalah pengajar di IAIN Manado. Alumni SPK
CRCS UGM ini selain mengajar ia juga peneliti mitra di berbagai
lembaga riset dan pusat studi di Indonesia, pernah menjadi
kontributor dalam ensiklopedi pemuka agama nusantara kementerian
agama. Beberapa publikasinya telah diterbitkan di jurnal nasional
dan internasional. Sekarang di percayakan sebagai kepala pusat
penelitian dan publikasi ilmiah LP2M IAIN Manado.
Arthur Gerung saat ini menjabat sebagai Dekan Teologi Institut
Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado. ia menyelesaikan studi
S1 nya di Seminari Bethel Jakarta (2004) dan Program Magister di
Universitas Kristen Tomohon (2008). Bersama peneliti UIN Jakarta
ia menulis artikel Kampung Tidore di Kepulauan Sangihe dan Pulau
Lembeh. Di tengah kesibukannya sebagai dekan ia tetap concern pada
bidang akademik dengan menjadi presenter dalam forum konferensi
nasional dan pembicara di berbagai seminar dan diskusi publik.
Esai-esai untuk Sulawesi Utara
~ 215