Academia.eduAcademia.edu
Editor: Rahman Mantu Arhanuddin Salim AKTIVISME AGAMA & PEMBANGUNAN YANG MEMIHAK Esai-esai untuk Sulawesi Utara Sulur Pustaka AKTIVISME AGAMA & PEMBANGUNAN YANG MEMIHAK Esai-esai untuk Sulawesi Utara Editor: Rahman Mantu Arhanuddin Salim Desain sampul: Marsus Tata letak isi: Mirna Safitri Penerbit Sulur Jalan Jogja-Solo, Km 14, Candi Sari, Tirtomartani, Kalasan, Sleman, DI.Yogyakarta, 55571. Email: penerbitsulur@yahoo.com Web: www.sulur.co.id CP: 0852-2929-9377 Cetakan Pertama, 2019 15 x 22 cm., 200 hlm ISBN: 978-602-5803-61-1 UCAPAN TERIMA KASIH M asifnya pembangunan pusat perdagangan dan pelayanan jasa di pesisir Manado belakangan ini memberi gambaran umum proses akselerasi juga ekspansi kemodernan. Kawasan pesisir kota Manado, tepat di bibir teluk, dimaknai sebagai model atau representasi pembangunan kota setelah sebelumnya hanyalah sebuah pesisir pantai yang dihuni nelayan lokal. Sebagai salah satu pusat kota di Indonesia Timur, Manado terus diarahkan menjadi ikon kemajuan kota yang berpusat di kawasan pesisir. Kawasan ini memiliki kecenderungan untuk membentuk identitas ke-Manadoan itu sendiri. Pendek kata kawasan pesisir Boulevard diarahkan menjadi pusat kemajuan dan peradaban kota Sulawesi Utara. (PMII Manado: 2004). Meskipun penolakan dan perlawanan muncul pada tahun 1997-98 banyak orang di Sulawesi Utara menikmati kawasan ini sebagai pusat konsumsi, imaji dan gaya hidup. Di sisi lain brand kota religius begitu melekat pada Sulawesi Utara khususnya Manado, mungkin bisa disebut di antaranya istilah kota doa yang akhir-akhir ini sering di dengungkan. Label religius 3 ini seiring sejalan dengan pesatnya industri bisnis dan jasa, Manado bahkan diprediksi menjadi salah satu wilayah pertumbuhan ekonomi terbaik mencapai kisaran 6,2 persen dengan inflasi di angka stabil 3 persen. Lalu kemudian bagaimana klaim religuisitas itu menjadi bagian dari ide-ide pembangunan. Apa kontribusi Agama sebagai nilai, landasan etis? Secara praksis wujudnya seperti apa dan sejauh mana pengaruh Agama terhadap pembangunan yang ‘berpihak’, tentu berpihak pada kemanusiaan. Buku ini adalah usaha akademik untuk mengurai masalah, mendiskusikan, memberikan alternatif pada kita semua tentang agama dan pembangunan yang berpihak di aras lokal. Untuk menghadirkan buku ini, kami harus mengucapkan terima kasih kepada banyak orang. Pertama tentu Direktur LAPEMA (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Antar Agama) yang saat ini menjabat sebagai Rektor IAIN Manado Delmus Puneri Salim. Beliau sangat berjasa dalam menginisiasi terbitnya buku Antologi ini. Juga kepada Arhanuddin Salim Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Manado yang bekerja keras agar buku ini terbit dan ia juga yang berupaya menyiapkan logistik atas terbitnya buku ini. Ardianto, Rusdiyanto, Aris Soleman, Abdul Muis, Faradila Hasan, Misbahuddin, Rizaldy Pedju, Olha Niode, Almunauwar Rusli, Ali Amin, Faradila Hasan mereka intens menghadiri diskusi-diskusi memberikan sumbangsih ide dan kritik perihal artikel-artikel dalam buku ini. Juga tidak lupa kepada saudara Ghazali yang mengurusi hal-hal administratif berkaitan dengan terbitnya karya ini. Terima kasih khusus kami sampaikan kepada Sulaiman Mappiase yang mau menyempatkan berkontribusi, berbagi informasi, koreksi juga kritik dan mau menyumbangkan idenya dalam prolog buku ini. Akhirnya, Rahman Mantu sudah memainkan banyak peran menghasilkan produk akademik ini. atas inisiatifnyalah segala 4 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak sesuatu bermula, dari konsep tema, menghubungi para kontributor, penyiapan naskah, dan bertindak sebagai editor buku ini. Demikianlah dengan penuh suka cita kami persembahkan buku ini kepada khalayak publik Sulawesi Utara. Semoga Bermanfaat. Penulis, Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 5 DAFTAR ISI 9 PROLOG ~ Oleh: Sulaiman Mappiasse 16 POLITIK DAN PARSIAL AGAMA DI SULAWESI UTARA: Oleh: Delmus Puneri Salim 32 DARI KAMPUNG ISLAM SAMPAI KAMPUNG ISRAEL: Etnosentristik Dalam Pembelahan Ruang di Manado Oleh: Rahman Mantu Fano Arthur Gerung 41 AGAMA-AGAMA DAN PEMBANGUNAN BERKEADILAN DI SULAWESI UTARA: Beberapa Pokok Pikiran Kritis-Reflektif Oleh: Denni H.R. Pinontoan 59 MANADO KOTA DOA: Sebuah Refleksi-Kritis Warga Kota Oleh: Muhammad Iqbal Suma 70 PEMBANGUNAN YANG BERPRESPEKTIF GENDER Oleh: Riane Elean 7 91 PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MAYORITAS KRISTEN MANADO Oleh: Ismail Suardi Wekke 118 AKTIVISME AGAMA, KETIDAKADILAN, DAN KEMISKINAN: Sebuah Upaya Komunitas Lintas Iman di Tanah Bendar Manado Oleh: Samsi Pomalingo 145 MENJAGA KERUKUNAN, MERAYAKAN KERAGAMAN DI ‘NEGERI SERIBU GEREJA’: Harapan dan Tantangan Oleh: Taufani 170 BERDAMPINGAN SATU DALAM BEDA: Rawat-Bangun Infrastruktur Sosial Masyarakat Sulawesi Utara Oleh: Taufik Bilfagih 180 MERETAS JALAN PENDIDIKAN KRISTIANI BERWAWASAN KELAUTAN Oleh: Jeane Marie Tulung Yan Okhtavianus Kalampung 190 BENARKAH TOLERAN?: Beberapa Catatan Mengenai Politik Kewargaan dan Pembangunan di Kota Manado Nono S.A. Sumampouw dan Haryanto 211 TENTANG PENULIS 8 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak PROLOG Oleh: Sulaiman Mappiasse P aradigma hubungan antara pembangunan dan agama kini telah mengalami pergeseran signifikan dibandingkan dengan masa tujuh puluh tahun lalu setelah Perang Dunia II berakhir. Pada masa itu, pembangunan identik dengan narasi utama Proyek Pencerahan Eropa di mana penjelasan kausalistik dipisahkan dari pemaknaan subyektif manusia melalui mekanisme sekuralisasi dan modernisasi. Pembangunan yang digambarkan sebagai gerak maju manusia diimajinasikan secara terpisah dari agama; salah satu sumber utama makna-makna simbolik kehidupan manusia. Agama direduksi dan diisolasi ke dalam dunia spirit gaib; tidak terkait sama sekali dengan realitas sosial dan politik manusia. Seiring dengan penetrasi ideologi pembangunan sekuler ke berbagai penjuru dunia, khususnya di negara-negara pinggiran; biasa disebut dengan negara berkembang atau ketiga, ideologi pembangunan ini mempertontonkan kegagalannya dalam mensejahterakan manusia. Kemiskinan dan kesenjangan terjadi di manamana. Semakin dalam penetrasi dan semakin lebar okupasinya di sebuah wilayah, polarisasi dan ketidakadilan di wilayah tersebut 9 semakin nampak. Di sisi lain, polarisasi ekonomi antara negaranegara metropolitan, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara, dan negara-negara pinggiran1 semakin lebar. Hubungan intim antara negara-negara metropolitan dan negara-negara pinggiran yang pernah diimajinasikan sebagai mekanisme yang akan mensejahterahkan mereka yang miskin dan tertinggal justru melanggengkan bahkan memperparah kesengsaraannya. Transfer dana pembangunan internasional dari berbagai lembaga donor dunia yang dimaksudkan untuk menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di negara-negara pinggiran gagal mencapai tujuan. Kemiskinan dan berbagai persoalan sosial yang ada di negara-negara ini diyakini dapat diselesaikan dengan cara mengadopsi aturan dan melakukan transformasi dan implementasi kelembagaan seperti yang pernah diterapkan di negara-negara metropolitan. Setelah berlangsung kurang lebih enam dekade, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan dan pembangunan tidak sederhana; keduanya merupakan proses yang sangat kompleks. Ketimpangan dan polarisasi sosial yang terjadi akibat pola pembangunan global yang melihat manusia hanya sebagai pencari sesuap nasi saja; setelah kebutuhan ekonominya terpenuhi, semuanya menjadi baik-baik saja - membuat para pengambil kebijakan pembangunan tersadar bahwa pembangunan seharusnya dipahami sebagai sebuah proses yang kompleks. Pembangunan bukan hanya sebatas memenuhi hajat makan saja, tetapi mencakup pemenuhan hajat sosial, politik, keamanan, budaya, psikologi, dan moral manusia. Berapa, bagaimana dan kepada siapa dana bantuan pembangunan yang dikucurkan banyak dipengaruhi oleh konstalasi politik internasional di kala itu, antara Blok Barat dan Timur. Alokasinya ke negara-negara tertentu tidak semata-mata karena pertimbangan kemiskinan, tetapi acapkali ditentukan oleh pertimbangan pengua- 10 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak tan salah satu blok politik. Setelah dana itu disalurkan ke negara penerima, elit negara tersebut tidak rela mendistribusikannya kepada orang banyak; rakyatnya sendiri. Dana itu mereka tahan untuk kepentingan kelompok dan kroninya. Praktik korupsi dan kolusi mewarnai pengelolaannya sehingga konflik, baik pada skala internasional maupun lokal tidak terhindarkan. Belajar dari sejarah kegagalan seperti itu, meskipun lembaga sekuler dan agama memiliki cara pandang yang berbeda tentang pembangunan manusia, keduanya sepakat bahwa kemiskinan, ketidakadilan dan korupsi merupakan persoalan kemanusiaan dan moral yang tidak dapat dikesampingkan. Kesadaran dan kesepahaman baru ini mengubah paradigma pembangunan dalam dua dekade terakhir; ditandai dengan kehadiran agenda-agenda pembangunan manusia yang lebih komprehensif dalam program-program yang dicanangkan oleh lembaga donor dunia, World Bank, misalnya, melalui program Millennium Development Goals (MDGs). Di samping kesepahaman baru di atas, para pengambil kebijakan pembangunan menyadari bahwa pembangunan aspek budaya, etika, dan moralitas manusia sangat erat hubungannya dengan prinsip-prinsip dasar agama. Mereka juga mengakui bahwa agendaagenda pembangunan di berbagai wilayah sangat sulit diwujudkan tanpa melibatkan orang atau organisasi berbasis keyakinan dan agama. Sebab, tokoh-tokoh agama di berbagai wilayah pada negaranegara pinggiran yang menjadi target pembangunan manusia merupakan kelompok elit yang dihormati dan diteladani. Kebutuhan untuk melibatkan semua unsur masyarakat dalam pembangunan dipandang semakin mendesak setelah sumber dan kemampuan negara menangani berbagai persoalan semakin merosot. Hari ini, sejak tahun 2000-an, berbagai lembaga donor pembangunan internasional seperti World Bank, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan Dana Monoter Internasional (IMF) aktif Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 11 melakukan pendekatan terhadap organisasi-organisasi berbasis keyakinan dan agama di berbagai belahan dunia pinggiran dalam pelaksanaan proyek pembangunan, termasuk di Indonesia. Gerakan civil society dan lingkungan hidup, misalnya, yang didanai oleh lembaga-lembaga donor pembangunan melibatkan berbagai organisasi berbasis agama dalam agenda-agenda program mereka, baik secara langsung maupun melalui jalur pemerintahan. Organisasi-organisasi berbasis keyakinan dan agama akhirakhir ini telah banyak dilibatkan dalam agenda-agenda pembangunan manusia. Bukan hanya pada implementasi, tetapi termasuk dalam perumusan konsep pembangunan manusia yang holistik dan lebih relevan dengan esensi kemanusiaan. Namun demikian, seiring dengan peningkatan partisipasi positif agama dalam pembangunan, penetrasi agama ke dalam ruang publik menyisahkan trauma bagi banyak orang. Fundamentalisme, radikalisme dan terorisme telah menjadi wajah lain dari kehadiran agama di ruang publik. Wajah negatif ini, tentu saja, bertentangan dengan semangat pembangunan yang berorientasi pada kedamaian, kesejahteraan dan keadilan untuk semua. Hal ini telah menorehkan catatan bahwa agama dapat memiliki remifikasi destruktif terhadap pembangunan manusia. Nilai-nilai atau doktrin-doktrin moral agama juga terkadang memiliki dampak counterproductive dalam pembangunan manusia. Pembangunan yang terjadi selama ini melahirkan dua golongan manusia yang berbeda, yaitu mereka yang menikmati hasil pembangunan secara maksimal dalam bentuk akumulasi modal ekonomi, sosial, politik dan budaya; dan mereka yang mendapatkan sedikit atau bahkan tidak mendapatkan apa-apa dari hasil pembangunan yang terjadi. Golongan pertama, biasanya lebih sedikit jumlahnya dari pada golongan yang kedua. Visi dan misi politik, sosial dan budaya kedua golongan ini dalam mengespresikan kepentingannya acapkali berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Atas nama demokrasi, 12 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak golongan pertama lebih sering mengusung ide-ide kebebasan dan rasionalitas. Sementara golongan kedua yang mayoritas, atas nama demokrasi, mereka sering mengkampanyekan ide-ide sosial yang menekankan pada prinsip keadilan dan kesamaan kesempatan. Saat suara politik dua golongan ini disampaikan oleh orang atau organisasi berbasis keyakinan dan agama, biasanya norma dan nilai agama diterjemahkan ke dalam sebuah cara pandang yang melanggengkan kepentingan para teknokrat kebebasan dan rasionalitas dengan mengesampingkan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Mereka, tokoh agama, sering menjadi kolaborator intelektual dan budaya bagi kelompok elit kecil, baik dari kalangan birokrat, politisi, maupun pengusaha. Semangat keadilan dan kemanusiaan disuarakan terkadang hanya untuk sebuah penampakan menutupi realitas yang sesungguhnya terjadi. Sebuah realitas tidak kasat mata bekerja sebagai kekuatan membendung implementasi prinsip keadilan dan kesetaraan bagi mayoritas orang. Nilai kesabaran yang mulia dan keyakinan eskatologis yang memberi pengharapan banyak digunakan untuk membungkam semangat dan suara-suara manusia pencari keadilan. Akibatnya, tokoh dan organisasi berbasis agama sering menjadi agen-agen pembela kepentingan kelompok elit yang anti terhadap ide-ide keadilan dan kemanusiaan. Saat itu, sebagaimana agama menjadi kekuatan destruktif bagi pembangunan manusia saat digunakan untuk aksi kekerasan dan pemaksaaan, ia juga berbalik menjadi penyebab keterbelakangan (underdevelopment) manusia saat pemahaman dan aksi atas nama agama tidak lagi memberikan penekanan kuat dan hakiki pada prinsip keadilan. Karena itu, agama sebaiknya diberi ruang otonom untuk menerjemahkan dirinya dalam kerangka kemaslahatan manusia secara total. Adalah sebuah utopia memisahkan kepentingan manusia dari interpretasi dan aksinya; tetapi poin terpenting bahwa kepentingan itu seyogianya berdiri di atas prinsip moral yang Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 13 berpihak pada kemanusiaan. Kumpulan tulisan dalam buku ini merepresentasikan ide-ide dan analisa fenomena lokal masyarakat beragama dalam berbagai konteks ekspresi politik, sosial dan budaya di Sulawesi Utara dari para penulis berlatar belakang lintas agama, sosial dan budaya. Ikhtiar seperti ini perlu diapresiasi sebab pola dan konsekuensi pembangunan tidak dapat dipahami dan ditempatkan dalam sebuah bingkai logika esensialis yang mengasumsikan bahwa pembangunan di mana pun dilakukan arah dan remifikasinya seragam. Pembangunan adalah proses sosial budaya yang kompleks sehingga kontur, implementasi dan efeknya bersifat dinamis dan contingent; banyak dipengaruhi oleh struktur hubungan kelas, politik, dan budaya para agennya, serta kondisi lokal dan global yang mengitarinya. Tulisan-tulisan dalam buku ini menampilkan dinamika tersebut. Tulisan satu dan dua menggagas ide-ide keadilan sosial dalam konteks pembangunan dan interaksi sosial; tulisan tiga sampai enam mengangkat isu ekspresi budaya dan politik di ruang publik; tulisan tujuh sampai sembilan mendiskusikan agama dalam konteks pendidikan sebagai modal pembangunan manusia; tulisan sepuluh dan sebelas merupakan telaah kritis terhadap kebijakan publik pemerintahan lokal; dan terakhir menyoroti soal pembangunan dan gender. Bibiliography Bush, R., Fountain, P., & Feener, R. M. (2015). Religion and the Politics of Development. In Religion and the Politics of Development (pp. 10– 34). New York: Palgrave Macmillan. Gottlieb, R. S. (2003). Religion, Political Movements, and the Fate of the World. In R. S. Gottlieb (Ed.), Liberating Faith: Religious Voices for Justice, Peace, and Ecological Wisdom (pp. xvii–xxiii). Maryland: Rowman & Littlefield. Haynes, J. (2007). Religion and Development: 14 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Conflict or Cooperation? New York: Palgrave Macmillan. Roxborough, I. (1979). Theories of Underdevelopment. New Jersey: Humanities Press. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 15 POLITIK DAN PARSIAL AGAMA DI SULAWESI UTARA Oleh: Delmus Puneri Salim A gama sering dipahami secara parsial oleh pengambil kebijakan dan tokoh agama sekalipun. Pemerintah terfokus dalam mendukung program-program yang terinspirasi dari agama sebagai solusi mudah dalam menyelesaikan masalah sosial yang ada, sedangkan tokoh agama menganggap pendidikan agama sebagai solusi bagi perubahan perilaku tanpa melihat faktor lain, seperti faktor ekonomi, dalam masalah perilaku tersebut. Dengan mengambil kasus perda miras dan hubungan antara profesi ojek dengan perilaku terhadap pelanggannya di Sulawesi Utara, tulisan ini berpendapat bahwa dukungan pengambil kebijakan terhadap perda miras merupakan sebuah solusi yang mudah untuk dilaksanakan dan terkesan agamis namun solusi ini belum menyelesaikan akar masalah kriminalitas yang dilakukan oleh mereka yang pada umumnya mempunyai status sosial rendah dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Sedangkan pendidikan agama sebagai solusi terhadap perubahan perilaku di masyarakat 16 mengabaikan hubungan antara perilaku dengan pekerjaan seseorang. Kebijakan pemerintah dalam mengurangi kriminalitas melalui adanya perda miras dan mendorong penguatan pendidikan agama sebagai solusi terhadap perubahan perilaku di masyarakat adalah kebijakan dan pandangan parsial terhadap agama. Tulisan ini merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk melengkapi perda miras dengan penyediaan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang sering terjebak dalam kebiasaan minuman miras yang tidak terkendali. Begitu juga dengan pendidikan agama sebagai solusi yang sering disampaikan oleh tokoh agama dalam merubah perilaku di masyarakat. Namun demikian, bukan untuk mengatakan ekonomi dalam bentuk penyediaan lapangan kerja dan status pekerjaan sebagai satusatunya solusi terhadap persoalan yang ada dan mengabaikan peran perda miras dan pendidikan agama. Tulisan ini mengkritisi sikap seolah-olah kebijakan yang terinspirasi dari agama dan pendidikan agama saja sudah cukup dalam mengatasi berbagai persoalan kriminalitas dan perilaku di masyarakat tanpa melihat faktor lain yang lebih mendasar dan berpengaruh langsung. Sosio Demografis Sulawesi Utara Secara administrasi kependudukan, Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 11 kabupaten dan 4 kotamadya dengan kota Manado sebagai ibu kota provinsi. Provinsi ini memiliki penduduk sekitar 2 juta jiwa (BPS 2011). Secara sosial budaya, Sulawesi Utara didiami oleh kebanyakan suku Minahasa, Bolmong, dan Sangihe dan memiliki budaya patrilineal sama seperti kebanyakan provinsi lain di Indonesia, dimana garis keturunan seseorang didasarkan pada bapak. Secara khusus, masyarakat provinsi ini dikenal dengan nama keluarganya atau yang dikenal dengan sebutan ‘fam’. Secara geografis, Sulawesi Utara dikelilingi oleh laut Sulawesi Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 17 ke utara dan laut Maluku ke timur dan selatan. Pulau Sulawesi mencakup kepulauan Talaud dan Sangihe di laut Sulawesi. Kebanyakan dataran provinsi ini adalah pegunungan dengan banyak vulkan yang aktif. Pesisir pantai kepulauan ini pendek dan dataran pesisirnya dipenuhi sungai dengan arus yang deras. Sementara dataran tingginya dipenuhi pohon hutan, kelapa dan sejenis pohon konifers lainnya. Sementara dari sisi agama, Sulawesi Utara dihuni oleh hampir semua agama besar dunia. Agama Kristen Katolik pertama kali diperkenalkan di Sulawesi Utara oleh bangsa Portugis pada abad ke 16 dan 17. Sebelumnya, penduduk Sulawesi Utara sudah mengenal agama Buddha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang dan Hindu dari Kerajaan Majapahit di pulau Jawa. Sementara Islam pernah diperkenalkan oleh Kerajaan Gowa pada abad ke 15. Agama Kristen Protestan mulai berkembang lebih luas di Sulawesi Utara pada masa pemerintahan Belanda sejak tahun 1905. Sinagog bagi agama Yahudi pun didirikan di daerah Tomohon dan masih digunakan dalam peribadatan hingga saat ini. Semua agama ini kemudian berkembang dan diasosiasikan dengan beberapa suku-suku tertentu; Minahasa dengan Kristen dan Bolmong dengan Islam. Asosiasi dan keragaman agama di provinsi ini kemudian menjadikan Sulawesi Utara sebagai salah satu wilayah majemuk di Indonesia. Agama, Politik dan Perda Miras di Sulawesi Utara Hubungan agama dan politik adakalanya saling bertentangan, berjalan sendiri-sendiri dan bekerjasama satu sama lain. Agama dan politik sering dianggap berseberangan, misalnya, dalam menentukan kriteria pemimpin dan siapa yang berhak memilih pemimpin. Kaum agamawan sering merekomendasikan nilai-nilai agama sebagai kriteria utama dalam menentukan pemimpin politik, sementara 18 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak politik saat ini memberikan peluang kepada siapa saja warga negara yang memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dengan dukungan partai politik atau orang dengan jumlah tertentu. Begitu juga dengan kriteria siapa yang termasuk dalam menentukan pemimpin politik tersebut. Hampir tidak ada satupun institusi agama yang memberikan hak kepada jamaahnya untuk terlibat dalam pemilihan pemimpin agama. Pemilihan imam di beberapa masjid sudah mulai melibatkan jamaah tetapi pemilihan pimpinan lembaga dan organisasi keagamaan sering dilakukan oleh kelompok kecil yang biasa disebut tim formatur. Sementara dalam sistem politik saat ini, system one man one vote yang digunakan. Ini menunjukkan bahwa suara pemimpin agama dianggap sama dengan suara mereka yang diklaim berdosa oleh para pemimpin agama tersebut. Agama dan politik juga bisa berjalan masing-masing tanpa mengganggu yang lain. Misalnya, pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan kawasan Boulevard untuk memicu perekonomian daerah. Anggaran negara yang digunakan oleh pemerintah daerah tersebut sangat jarang mendapat kritikan atau masukan dari tokoh-tokoh agama, sama seperti, pemerintah daerah yang sulit terdengar mengkritisi penggunaan anggaran lembaga dan organisasi agama non-pemerintah yang bersumber dari umatnya masing-masing. Namun demikian, hubungan agama dan politik lebih banyak saling bekerjasama di daerah ini sama seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Sejak kemerdekaan, agama sudah mempengaruhi sisi kebijakan politik dan pembangunan di Sulawesi Utara. Para pengambil kebijakan telah mendirikan dan mensupport berbagai macam institusi dan lembaga agama, baik secara utuh, seperti kementerian agama wilayah,maupun secara semi, seperti MUI dan GMIM yang selalu menerima bantuan dari pemerintah setiap tahun. Pemerintah daerah juga telah mengambil kebijakan untuk membantu Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 19 membiayai pembangunan banyak rumah ibadah dan honorarium para pemimpin agama setiap bulan. Pemerintah daerah kabupaten dan kotamadya juga telah menyelenggarakan dan melibatkan tokoh-tokoh agama dan lembaga agama dalam kegiatan-kegiatan seremonial keagamaan yang beragam setiap tahun dari anggaran keuangan negara. Sebaliknya, tokoh-tokoh agama dan lembaga agama sudah lama mempengaruhi pemerintahan di Sulawesi Utara. Banyak tokoh-tokoh agama terlibat langsung dalam mengambil kebijakan politik dengan menjadi anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif. Rekomendasi-rekomendasi tokoh-tokoh dan lembaga agama terhadap calon pemimpin daerah selalu terdengar setiap kali ada pemilihan pemimpin di wilayah ini. Salah satu produk hubungan politik dan agama di Sulawesi Utara adalah munculnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sulawesi Utara Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol atau disingkat dengan perda miras. Secara keseluruhan materi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Beralkohol di Provinsi Sulawesi Utara berisikan 13 Bab dan 36 Pasal. Bab perda tersebut menyangkut; Penggolongan dan Jenis Minuman Beralkohol, Pengendalian, Penjualan, Larangan, Perizinan Dan Usaha, Penyimpanan Minuman beralkohol, Pelaporan bagian Keenam Pengendalian Produksi Minuman Beralkohol Tradisional, Pengawasan Peredaran Minuman Beralkohol, Pengawasan, Pembentukan Tim Pengawas, Penanggulangan Mabuk, Peran Serta Masyarakat, Sosialisasi, Sanksi Administrasi, Penyidikan, Ketentuan Pidana. Secara umum, perda ini membahas tentang upaya pencegahan anak meneguk minuman keras, batas waktu penjualan, batasan kadar minuman beralkohol impor, pencantuman label dengan 20 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak bahan secara detail, kadar, dan volume alkohol, lokasi larangan minuman beralkohol, pembatasan penjualan minuman beralkohol, peran pemerintah dalam mendatangkan investor minuman beralkohol lokal, larangan penjualan minuman beralkohol lokal kepada masyarakat secara langsung, penganggaran dana untuk kegiatan penanggulangan minuman beralkohol, dan rehabilitasi termasuk menbentuk tim pengawas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol di Sulawesi Utara. Poin-poin di atas terumuskan dalam kalimat seperti di bawah ini: • Dalam upaya mencegah anak di bawah umur untuk meneguk minuman beralkohol, maka ditegaskan bahwa penjual minuman beralkohol, dilarang menjual minuman beralkohol kepada anak berusia di bawah 21 tahun yang dibuktikan dengan penjual memiliki identitas diri (SIM/KTP) dari anak yang bersangkutan; • Penjual Minuman beralkohol eceran yang mempunyai izin resmi, tidak boleh melakukan penjualan minuman beralkohol di atas pukul 20:00 WITA; • Minuman beralkohol yang berasal dari luar daerah Sulawesi Utara dengan kadar ethanol di atas 55%, dilarang di impor, diedarkan atau dijual di Provinsi Sulawesi Utara; • Minuman beralkohol yang dijual secara eceran, harus dalam kemasan dan berlabel yang mencantumkan bahan, jenis kadar alkohol serta volume. Tetapi juga memuat larangan minum bagi anak di bawah usia 21 tahun dan ibu hamil. • Dilarang juga menjual secara langsung untuk minum di tempat pada lokasi sebagai berikut :Gelanggang remaja, Kaki Lima, Terminal, Stasiun, Kios-kios kecil, penginapan remaja dan bumi perkemahan. Tempat ibadah, sekolah, Rumah sakit dan pemukiman. Tempat tertentu lainnya, yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan kondisi daerah masing-masing. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 21 • • • • • • • Minuman beralkohol termasuk dalam barang yang peredarannya berada dalam pengawasan, sehingga minuman beralkohol tidak diizinkan diedarkan dan dijual secara bebas. Dalam upaya pengendalian produksi lokal bajab baku minuman beralkohol, maka pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota wajib membantu dan memfasilitasi serta mendatangkan investor dalam upaya alih produksi, serta membantu dan memfasilitasi petani cap tikus dalam menghasilkan minuman beralkohol dengan kualitas ekspor, dengan nilai ekonomis yang lebih tinggi. Bahwa produksi lokal bahan baku minuman beralkohol yang dihasilkan petani cap tikus, hanya boleh dipasarkan pada pabrik minuman beralkohol dan tidak diizinkan dijual langsung kepada masayarakat selain hanya kepada pabrikan minuman beralkohol. Menyadari bahwa dampak minuman beralkohol sangat berbahaya bagi kesehatan dan kamtibmas, maka ditegaskan perlu upaya yang komprehensif integral dalam menanggulangi dampak minuman beralkohol melalui tindakan preventif dan represif serta rehabilitasi. Dalam upaya tindakan rehabilitasi bagi warga Sulawesi Utara yang kecanduan alkohol, maka diharapkan agar kiranya pemerintah provinsi Sulawesi Utara melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas kesehatan dan RS Ratumbuysang, dapat menganggarkan mulai pada APBD induk tahun 2015. Dalam upaya mengoptimalkan pengawasan peredaran minuman beralkohol, maka paling lambat 3 (Tiga) bulan setelah ditetapkan Perda ini, maka diharapkan Gubernur Sulawesi Utara telah membentuk dan menetapkan tim terpadu pengawasan dan penjualan minuman beralkohol di provinsi Sulawesi Utara. Bahwa sesuai dengan hirarki perundang-undangan pasal 7 UU nomor 12 tahun 2011, dimana Perda Kabupaten/Kota tidak 22 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak boleh bertentangan dengan Perda Provinsi dan peraturan di atasnya, maka Perda ini dimaksudkan menjadi Perda payung bagi Kabupaten/Kota di provinsi Sulawesi Utara, sehingga upaya pengendalian dan pengawasan serta penanggulangan dampak minuman beralkohol di provinsi Sulawesi Utara,dpaat dilakukan secara luas dan menyeluruh dan terpadu. • Bahwa Perda ini bukan hanya saja mengubah Perda no 18 tahun 2000, tetapi mencabut dan mengatur Perda yang baru, mengingat bahwa sebahagian besar materi muatan yang diatur dalam perda ini tidak diatur dalam Perda nomor 18 tahun 2000. • Bahwa terdapat pengaturan sanksi administrasi dan sanksi pidana yang semula dalam Perda 18 tahun 2000, administratif tidak diatur. Sedangkan dalam perda yang baru ini, diatur sanksi administrasi dan sanksi pidana dari 6 (enam) bulan diubah menjadi 3 (tiga) bulan agar masuk dalam pelanggaran tindak pidana ringan, walaupun dalam pasal 143 UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah maksimal 6 (enam) bulan kurungan dengan denda sebesar Rp. 500 juta rupiah. Adapun alasan dukungan terhadap perda miras ini sering dimunculkan oleh beberapa anggota dewan provinsi Sulawesi Utara. Salah seorang anggota dewa menyampaikan dalam berbagai media lokal seperti Tribun Manado bahwa alasan dukungan terhadap perda miras ini adalah untuk menanggulangi tingkat kriminalitas di Kota Manado yang sering terjadi karena tingginya penjualan Minuman Keras (Miras) di kios-kios kecil. Pandangan anggota dewan ini tentu saja tidak salah. Bahkan beliau menunjukkan sendiri bahwa pembelian minuman keras di toko-toko kecillah yang sering menyebabkan kriminalitas, bukan penjualan di toko-toko besar dan eksklusif. Dengan pengamatan yang lebih dalam terhadap penjelasan ini, maka muncul pertanyaan yang sangat penting bagi kita semua dalam Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 23 melihat kaitan antara toko kecil, penjualan miras dan kriminalitas. Kenapa penjualan miras di toko-toko besar dan esklusif tidak melahirkan tingkat kriminalitas yang sama seperti di penjualan toko-toko kecil? Observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pembeli miras di toko-toko kecil adalah mereka yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah dan status pekerjaan yang tidak jelas. Situasi sosial ini jika dibarengi dengan meminum minuman keras yang tidak terkendali akan menyebabkan pelaku berfikir pendek dan gampang tersulit emosi yang selanjutnya mempengaruhi mereka dalam tindakan kriminalitas baik berupa penikaman, pencurian dan pemerkosaan. Hal yang sama tidak terjadi kepada mereka dengan status sosial dan pekerjaan yang tetap ketika mereka meminum minuman yang sama. Kelompok ini ketika meminum minuman beralkohol memiliki kendali diri dalam menahan efek dari minuman tersebut, yaitu status sosial dan pekerjaan yang tetap. Jarang sekali terdengar, guru-guru di sekolah melakukan tindakan kriminalitas setelah meminum minuman beralkohol ketika sebuah kegiatan perayaan dilakukan di sekolah. Sudah menjadi pembicaraan biasa ketika beberapa orang dosen di perguruan tinggi di daerah ini meminum minuman yang mengandung alkohol sebelum memulai perkuliahan. Beberapa kegiatan keagamaan juga dianggap normal dilengkapi dengan minuman beralkohol yang diikuti oleh mereka yang punya kendali atas diri mereka secara lebih baik meski meminum minuman beralkohol. Bagian dari tulisan ini ingin menekankan bahwa miras bukanlah penyebab utama dari kriminalitas. Miras hanyalah trigger atau pemicu kriminalitas bagi kelompok masyarakat produktif yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan status sosial yang rendah di tengah masyarakat. Status sosial dan pekerjaan yang tetap merupakan alat untuk mengendalikan diri ketika meminum minuman keras. Ketika 24 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak alat pengendali diri ini tidak ada, maka kriminalitas memang akan mudah muncul dari kelompok masyarakat jenis ini. Miras sebagai penyebab kriminalitas merupakan sikap penyederhaan masalah kriminalitas dan melarikan masalah dari pokok persoalan yang lebih penting. Salah satu persoalan yang lebih penting dari akar kriminalitas adalah kurangnya lapangan pekerjaan yang lebih luas dan dapat dijangkau oleh banyak orang, terutama kelompok masyarakat kecil. Jika lapangan pekerjaan ada, maka yang biasa terjadi adalah informasi lapangan pekerjaan itu hanya terbuka bagi sebagian orang dengan waktu yang lebih panjang. Masyarakat umum biasanya menerima informasi pekerjaan ketika lowongan pekerjaan tersebut tinggal beberapa hari lagi. Jika informasi pekerjaan sudah diinformasikan secara luas dengan waktu yang cukup, maka proses selanjutnya yang biasa terjadi adalah penerimaan pekerjaan berdasarkan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Semua ini menyebabkan masyarakat yang berasal dari keluarga miskin akan secara structural terus menjadi miskin. Dengan situasi seperti ini, maka kriminalitas dari kelompok masyarakat kelas bawah akan terus mudah terpicu oleh minuman keras. Agama dan Perubahan Perilaku Sosial di Sulawesi Utara Agama selalu dianggap menjadi solusi bagi setiap masalah perilaku oleh kalangan masyarakat beragama. Oleh karena itu, masyarakat beragama seperti Sulawesi Utara juga memahami bahwa jika semua orang memiliki agama yang baik maka masalah prilaku tidak akan muncul lagi. Asumsi ini bukanlah tidak tepat, tetapi asumsi ini masih mengabaikan faktor lain dalam perubahan sikap. Bagian tulisan ini ingin menunjukkan bahwa pendidikan agama sangat penting untuk perubahan prilaku di masyarakat tetapi perubahan prilaku juga bisa terwujud dengan hubungan professional seseorang dengan customer-nya, yang dalam tulisan ini disebut dengan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 25 pelayanan pelanggan. Pelayanan pelanggan merupakan salah satu kompenen penting yang harus dijalankan oleh semua pelaku professional yang memiliki pelanggan dan tidak mau kehilangan pelanggannya. Pelayanan pelanggan hanya bagian kecil dari sistem manajemen profesi yang kompleks, tetapi jika dijalankan dengan baik akan memberikan manfaat yang besar untuk profesi yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa. Pelayanan pelanggan adalah bertitik tolak pada konsep kepedulian kepada pelanggan untuk menciptakan hubungan yang baik dengan pelanggan dan memberikan kepuasan kepada pelanggan sehingga pelanggan bisa bertahan dan selalu datang menggunakan jasa yang diberikan. Pelayanan pelanggan adalah kepedulian kepada pelanggan dengan memberikan pelayanan yang terbaik untuk menfasilitasi kemudahan pemenuhan kebutuhan dengan terus mengupayakan penyelarasan kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan dan tanggung jawab guna mewujudkan kepuasan pelanggan agar mereka selalu loyal kepada pelaku profesi tertentu. Pelayanan pelanggan adalah termasuk perbuatan atau tindakan yang memberikan kepada pelanggan sikap yang memang mereka harapkan pada saat mereka membutuhkan, dengan cara yang mereka inginkan. Pelayanan pelanggan berasal dari konsep bahwa jasa yang ditawarkan digunakan atau dibeli oleh pelanggan. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggan bukanlah sebuah masalah melainkan mereka adalah tujuan bisnis Anda. Untuk mencapai tujuan bisnis tersebut, pelaku profesi harus memberikan perhatian dan sikap total kepada apa yang ingin pelanggan dapatkan. Tanpa pelanggan profesi pelayanan jasa tidak akan bertahan dan berkembang. Pelayanan pelanggan sangat penting karena pelanggan bisa mencari atau menggunakan pelayanan jasa dari pelaku profesi yang lain yang mereka sukai. Mereka berhak memilih pelayanan jasa dari 26 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak pelaku profesi yang memberikan pelayanan jasa terbaik. Semakin banyak pelaku profesi memberikan jasa yang kita tawarkan semakin tinggi pelayanan pelanggan yang harus kita berikan. Pelayanan pelanggan akan menentukan sukses pelaku profesi dalam pelayan jasa. Pelanggan akan terus setia jika mereka merasa puas terhadap pelayanan jasa yang ditawarkan. Pelaku profesi pelayanan jasa yang sukses adalah mereka yang bisa terus-menerus memberikan kepuasan kepada pelanggan mereka. Pelaku profesi berhasil memenangkan persaingan dan menjadi semakin besar karena bisa memberikan kualitas pelayanan yang bisa melebihi kualitas pelayanan yang diberikan oleh pesaing mereka, dan melebihi kualitas pelayanan yang diharapkan oleh pelanggan mereka. Pelayanan pelanggan juga akan memberi banyak keuntungan. Jika mereka puas menggunakan pelayanan jasa yang diberikan, mereka cenderung akan kembali untuk menggunakan pelayanan jasa yang ditawarkan. Jika mereka mendengar berita buruk mengenai jasa yang diberikan dari orang lain, mereka akan tampil memberikan testimony membela pelaku profesi yang mereka sukai. Mereka juga menjadi sarana promosi ampuh bagi pelayanan jasa yang ditawarkan. Pelanggan yang puas akan bercerita tentang kepuasan mereka menggunakan jasa yang ditawarkan pada kenalan, teman, sahabat dan sanak keluarga mereka. Ucapan mereka merupakan sarana pemasaran yang ampuh, karena mereka merupakan nara sumber yang dapat dipercaya oleh orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Pelayanan pelanggan yang prima atau yang sering disebut Service Excellence sering menjadi training yang sangat penting kepada para karyawan perusahaan-perusahaan dalam mengembangkan produk dan jasa yang ditawarkan. Namun demikian, tulisan ini mengangkat pelayanan pelanggan sudah dipahami secara alami oleh mereka yang berprofesi ojek di daerah Malendeng Perkamil Manado. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 27 Berdasarkan pengamatan penulis, kriminalitas lebih sering terjadi di daerah observasi Malendeng Perkamil Manado sebelum profesi ojek muncul secara perlahan. Para pengangguran sering minum-minuman beralkohol dan kemudian melakukan pemerasan, memaksa meminta uang, kepada mereka yang melewati jalan dimana mereka minum. Ada kalanya mereka juga memaksa para pejalan kaki yang melewati mereka untuk ikut bergabung meminum minuman beralkohol. Kriminalitas yang lebih tinggi bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Perkelahian antar teman baik karena salah satunya mabuk ataupun karena kedua-duanya mabuk dulu lebih sering terdengar. Pembunuhan yang dipicu oleh ketersinggungan oleh suatu masalah yang kecil bisa mudah terjadi. Situasi ini membuat banyak orang khawatir dan selalu lebih waspada melewati daerah-daerah yang sering menjadi tempat berkumpul mereka ini. Persoalan sosial di atas memang disebabkan oleh banyak hal mulai dari lemahnya penegakan hukum dan patroli pengawasan lingkungan oleh aparat penegak hukum, tingginya angka pengangguran dan mudahnya minuman beralkohol dikonsumsi. Namun demikian, bagian tulisan ini ingin menekankan bahwa meskipun saat ini kriminalitas masih ada dan penegakan hukum serta patroli pengawasan lingkungan oleh aparat penegak hukum masih lemah, angka pengangguran masih tinggi dan minuman beralkohol masih mudah dikomsumsi, tetapi profesi ojek, sebagai salah satu profesi pelayanan jasa, mulai merubah sikap banyak orang di wilayah ini. Profesi ojek membutuhkan pelanggan dan tukang ojek tidak mau kehilangan pelanggannya. Profesi ojek mengharuskan tukang ojek peduli kepada orang lain yang bisa jadi akan menjadi pelanggannya. Sikap peduli kepada orang lain ini belum muncul ketika mereka belum berprofesi tukang ojek. Kepedulian kepada 28 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak orang lain atau pelanggan sangat penting untuk mempertahankan profesi tukang ojek yang dijalani sebagai sumber penghasilan seharihari dan pelanggan bisa bertahan dan selalu datang menggunakan jasa ojek yang diberikan. Profesi ojek bukan hanya membuat tukang ojek peduli kepada orang lain tetapi juga terus mengupayakan sikap dan prilaku yang menyenangkan bagi orang lain. Kepedulian kepada pelanggan dengan memberikan pelayanan yang terbaik merubah sikap tukang ojek untuk terus berbenah mengasah kemampuan, penampilan, sikap, perhatian, tindakan dan tanggung jawab yang memberikan kepuasan kepada pelanggan agar mereka selalu datang dan suka menggunakan jasa ojek mereka. Profesi ojek membuat mereka melakukan tindakan yang pelanggan atau orang lain butuhkan dengan cara yang pelanggan inginkan. Profesi ojek juga membuat tukang ojek menyadari bahwa pandangan orang lain atau pelanggan sangat penting dalam kesuksesan profesi mereka. Nasib mereka sangat tergantung kepada orang lain atau pelanggan. Perhatian dan sikap total kepada apa yang diinginkan pelanggan sangat penting untuk mereka pikirkan. Mereka tukang ojek selalu memahami bahwa tanpa pelanggan profesi ojek mereka tidak akan bertahan dan berkembang. Perhatian kepada orang lain atau pelanggan sangat penting bagi tukang ojek bukan hanya untuk mempertahankan profesi ojek di mata pelanggan tetapi juga bagi masing-masing tukang ojek. Orang yang suka dengan tukang ojek tertentu akan menjadikan tukang ojek tersebut sebagai tukang ojek tetapnya. Hal ini menyebabkan tukang ojek berlomba-lomba untuk menunjukkan sikap dan pelayanan yang prima sehingga para pelanggan menjadikan mereka tukang ojek tetap dan menghubungi mereka setiap kali diperlukan. Semakin banyak seorang tukang ojek memiliki pelanggan tetap, semakin tinggi perhatian dan kepedulian tukang ojek tersebut terhadap orang Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 29 lain dalam mempertahankan pelanggan tetapnya. Tukang ojek menyadari kesuksesan mereka sangat tergantung kepuasan pelanggannya. Profesi ojek membuat mereka harus bisa terus-menerus memberikan sikap yang baik kepada orang lain. Orang lain menjadi kepanjangan tangan sukses atau tidak suksesnya mereka. Jika orang lain puas menggunakan pelayanan jasa ojek yang dia diberikan, orang lain tersebut akancenderung untuk kembali menggunakan pelayanan jasa ojek yang diberikan. Jika orang lain menyampaikan berita buruk tentang pelayanan ojek mereka, tukang ojek tersebut bisa jadi akan dihindari oleh banyak pelanggan. Orang lain bisa menjadi sarana promosi atau bencana bagi tukang ojek dari kualitas pelayanan jasa ojek yang diberikan. Pelanggan yang puas akan bercerita tentang kepuasan mereka pada kenalan, teman, sahabat dan sanak keluarga mereka. Begitu juga berita sebaliknya. Penjelasan di atas menekankan bahwa profesi ojek mendorong tukang ojek untuk peduli kepada orang lain. Profesi ojek, sama seperti profesi penawaran jasa lainnya seperti Bank, membutuhkan kepuasan pelanggan untuk bisa bertahan dan berkembang. Kebutuhan ini membuat pelaku profesi tersebut harus merubah sikap mereka yang bisa jadi sebelumnya egois menjadi peduli dan santun kepada orang lain. Peduli dan santun kepada orang lain adalah sikap yang penting bagi banyak profesi yang menawarkan pelayanan jasa kepada banyak orang. Kesimpulan Tulisan ini telah menjelaskan bahwa pengambil kebijakan dan tokoh agama sering memahami agama secara parsial. Perda miras secara sepotong dipahami sebagai penyebab kriminalitas tanpa melihat faktor lain yang lebih dominan oleh pemerintah daerah sedangkan tokoh agama sering melupakan kaitan antara perilaku dengan pekerjaan seseorang. 30 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Perda miras dianggap merupakan solusi yang mudah untuk dilaksanakan bagi pengambil kebijakan dalam mengurangi kriminalitas ketimbang menyediakan luasnya lapangan kerja bagi banyak orang. Padahal perubahan perilaku di masyarakat juga bisa dicapai dengan memperluas pekerjaan yang memberikan pelayanan jasa kepada banyak orang. Diharapkan tentu pemerintah daerah untuk melengkapi perda miras dengan meningkatkan penyediaan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Tulisan ini juga merekomendasikan kepada berbagai pihak yang konsen dengan perilaku di masyarakat untuk menempatkan mereka yang ingin dirubah prilakunya bekerja di profesi yang membutuhkan orang lain atau pelanggan. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 31 DARI KAMPUNG ISLAM SAMPAI KAMPUNG ISRAEL: Etnosentristik dalam Pembelahan Ruang di Manado Oleh: Rahman Mantu Fano Arthur Gerung M anado adalah bukit Wenang yang dikembangkan menjadi beberapa perkampungan berdasarkan suku bangsa masingmasing. Ada kampung Arab, Ada kampung China, dan ada kampung Islam. Orang Belanda sendiri tinggal di komplek yang dikelilingi Benteng tebal yang sudah dihancurkan di tahun 1950-an (lokasinya di pasar 45). Kota yang bergeliat ini berada di ujung pulau Sulawesi, dengan kedudukannya yang khusus sebagai ibu kota provinsi Sulawesi Utara. Sesuai dengan PP No 22 tahun 1998 tentang perubahan batas wilayah, maka luas kota Manado yang semula hanya hanya 2.369 hektar bertambah menjadi 15.726 hektar. Kaitannya dengan hal itu, ditetapkan Perda No.04 tanggal 27 September 2000 tentang pemekaran kecamatan dan Perda pada tanggal yang sama tentang perubahan status desa menjadi kelurahan. Dengan demikian wilayah administarsi kota Manado yang semula terdiri atas hanya 5 32 kecamatan dengan 66 kelurahan/desa menjadi 9 kecamatan dengan 87 kelurahan. Sulit untuk memastikan secara spesifik mengenai kapan sebenarnya perkampungan-perkampungan di Manado muncul pertama kalinya. Selain karena belum ditemukannya data yang cukup meyakinkan dan bisa dipertanggungjawabkan, juga mengingat bahwa proses perubahan sosial dan budaya serta setting historis terkadang memang tidak pernah berjalan secara jelas kapan sebenar-benarnya titik mula dan akhirnya. Tiba-tiba terhampar begitu saja dihadapan kita, tanpa kita bisa menandai proses-proses perubahan itu dengan sangat jelas (Budihardjo dkk; 1996). Namun jika ditelusuri, perkampungan di Manado sangat berkait erat dengan eksodus para migran dan pedagang, di sisi lain kolonial sedang gencarnya melakukan politik kontrol. Menariknya nama dan pola hunian perkampungan menggunakan identitas serta agama sebagai penanda. Keberadaan kampung berlatar etnis maupun agama di Manado hari ini yang kita kenal; Kampung Islam, Cina, Arab, Ternate, Banjer (Banjar) hingga muncul kampung Israel dengan lorong tanah perjanjian memunculkan diskursus tentang bagaimana perkampungan itu terbentuk dan apa dampaknya terhadap kondisi Manado hari ini. Artikel ini akan mengurai informasi pembentukan ruang perkampungan di Manado dengan argumentasi sosio-historis hingga fenemona ramainya kasus-kasus benturan antar kampung. Kenapa Ruang Menjadi Penting Ruang merupakan konsep yang selama ini telah banyak di dekati dan dirumuskan dari berbagai sudut pandang dan perspektif mulai dari filsafat hingga sciences (Setha dan Zuniga, 2003; 247), Termasuk dari perspektif ilmu sosial Neo-Marxian. Seperti diketahui, dalam lapangan ilmu pengetahuan sosial Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 33 sebelumnya, ruang dianggap sebagai statis, diam, tidak bergerak dan tidak dialektis, oleh sebab itu, kajian ruang kurang diminati. Padahal ruang adalah produk sosial yang memproduksi struktur kelas, sistem kapitalis, ruang juga dimana tempat praktik-praktik perebutan wacana dan ideologi tertentu selalu terjadi, memperebutkan pengaruh di dalamnya. Ruang bisa mengarahkan bagaimana orang berpikir dan bertindak tertentu dalam kesehariannya, karena ruang memang dimaksudkan untuk kepentingan kontrol dan dominasi (Lebrave, 1991; 26-27). Di dalam ruang semua orang seperti “disituasikan”, dimana mereka harus mengakui diri mereka atau menghilangkan diri mereka sendiri. Ruang bukanlah suatu area yang kosong dan kotak yang netral. Ruang-ruang yang secara sosial diproduksi menjadikan ruang itu sesuatu yang tidak sederhana, melainkan sesuatu yang kompleks dan selalu bertaut erat dengan persoalan kekuasaan (Arifin, 2019;34). Setting Antropologis Hunian di Manado Pola perkampungan dari tiap-tiap kelurahan di wilayah kota Manado pada umumnya terletak di atas tanah dataran, baik dataran tinggi maupun dataran rendah secara berkelompok padat. Kelurahan yang satu dengan kelurahan yang lainnya sambungmenyambung menjadi satu kesatuan mengikuti jalan raya maupun memanjang mengikuti jalan-jalan kecil dan juga lorong-lorong. Sebelah utara berbatasan dengan desa Talawaan Bantik, Wori dan Tiwoho, kecamatan Wori kabupaten Minahasa dan selat Mantehege. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Paniki Atas dan Mapanget Kecamatan Dimembe dan Desa Maumbi Kecamatan Airmadidi di Kabupaten Minahasa. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sawangan, Kamangta, Sea dan Desa Pineleng, Kabupaten Minahasa. Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Manado. Sejak mula setidaknya dari abad 16 hingga masuk abad 20 (era 34 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak kolonial), Manado menjadi sentral bertemunya masyarakat dengan ragam etnis dan agama, ditandai ramainya lalu lintas laut pelabuhan Manado hingga Kema membuat aktivitas ekonomi makin tinggi, terciptanya sentra-sentra perdagangan baru membuat para pedagang dari Ternate, Banjar, Bugis, Arab mulai memikirkan tinggal menetap di Manado, terkecuali Cina yang sudah lebih dulu bermukim sejak pembangunan benteng Amsterdam. Sejak 1655, orang Cina didatangkan oleh pemerintah kolonial untuk pembangunan benteng kayu De Nederlandsche Vastiegheid, begitupun pada saat renovasi benteng pada 1703, yang kemudian diberi nama Fort Amsterdam. Belanda membangun pusat pemerintahannya di tengah kota dengan deret pemukiman sebagai pagar yang mengelilingi, sebuah strategi jika sekali-sekali ada penyerangan dari pihak luar maka benteng otomatis terlindungi. Lalu Belanda melanjutkan siasatnya dengan mengatur pemukiman-pemukiman tersebut bahwa yang tinggal adalah para eksodus, pekerja, pedagang juga pelayar, mereka dikelompokkan sesuai etnis. Pekerja yang didatangkan oleh kompeni adalah orang-orang Makassar, Bali, Ternate, turunan Portugis, Spanyol, Manila, dan Cina. Pemisahan pemukiman berdasarkan etnis membuat eksistensi agama-agama juga ikut tetap terpelihara. Konghucu terpelihara di kampung Cina dan Islam bertahan di Kampung Arab atau di perkampungan Islam lainnya (Makkelo, 2010; 96). Orang Arab sendiri datang ke Manado sekitar 1740 untuk berdagang. Awalnya, mereka tinggal di kampung Islam Tuminting, dan kemudian membentuk perkampungan tersendiri di timur benteng Amsterdam, tidak jauh dari di muara sungai Tondano. Berdirinya Kampung Arab mendapat dukungan dari pemerintah kolonial dengan harapan bisa meramaikan aktifitas perdagangan dan pelabuhan Manado (Lamangida, 2003;123-142). Pemerintah kolonial tetap menjaga keberadaan agama selain Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 35 Kristen, meskipun hanya terbatas pada perkampungan mereka. Untuk lebih mengontrol keberadannya, ditetapkan jabatan di tiap kampung, misalnya, pejabat letnan kampung Arab atau kapten kampung Cina. Begitu pun, ada pejabat agama di tiap kampung hingga 1942 diberi gaji, seperti hoofd penghulu (kepala penghulu) di perkampungan Islam. Dari sudut perkembangan, bisa dikatakan bahwa hingga akhir periode kolonial, agama-agama selain Kristen tidak menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, khususnya dalam jumlah, walaupun harus dicatat bahwa perayaan tradisi orang Cina yang berhubungan dengan keyakinannya sudah berlangsung meriah sejak abad ke-19. Setelah kemerdekaan, terjadi pertumbuhan yang berarti agamaagama selain Kristen. Islam, misalnya terus bertambah seiring terjadinya migrasi besar-besaran orang beragama Islam pada masa pasca kolonial, khususnya sejak peristiwa permesta terjadi. Menguatnya Etnosentrisme di Manado: Benturan dan Konflik Yang Lebih Luas Etnisitas merupakan fenomena tersendiri yang muncul dalam interaksi sosial. Etnisitas juga beraneka ragam, tergantung pada jenis hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dan kelompok, dengan lingkungan sosial maupun alam mereka, etnisitas muncul ke permukaan pada saat terjadi kontak sosial dan geografis yang intensif, di antara para anggota kelompok etnis yang berbeda. Realitas ini dapat dianggap benar, khususnya dalam hubungan kepentingan ekonomi dan kegunaannya dalam persaingan memperebutkan sumber daya tertentu (Suparlan, 2003;81). Menurut Barth (Barth, 1969;9-38), kategorisasi kelompok etnis tertentu ditentukan melalui basisnya, identitas secara umum merupakan sebuah praduga oleh latar belakang serta asal-usulnya. Kelompok entis dan kultur khususnya kultur keagamaan atau kepercayaan 36 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak agama melekat kepada identitas etnis individual atau etnisitas dan kelompok etnis tertentu. Dalam sebuah komunitas etnis lokal yang homogen, sumber daya lingkungan dan kedudukan tertentu dialokasikan di antara para anggotanya, berdasarakan lingkungan lokal resmi dan kebiasaannya (adat). Persaingan dalam memperebutkan sumber daya dan kedudukan hampir tidak dapat ditemukan dalam masyarakat yang yang sudah teratur secara social dan kultur. Jadi, struktur lingkungan yang ditetapkan tidak akan terganggu oleh bergabungnya para migran dan penduduk asli. Hal ini biasanya dikondisikan melalui tidak adanya persaingan memperebutkan sumber daya ekonomi dan kedudukan antara para migran dan anggota komunitas lokal, baik karena suplai sumber daya yang melimpah maupun karena para migran membentuk komunitasnya sendiri. Para migran juga cenderung mengkhususkan diri di sektor ekonomi dan aktivitasaktivitas berbeda dengan penduduk lokal. Gambaran tentang hal ini juga terjadi di Sulawesi Utara khususnya di pusat provinsinya, Manado. Pada periode 80-90an, para migran (Ternate, Makassar, Jawa, dan Gorontao) terus berdatangan dan bertempat tinggal di wilayah-wilayah komunal, jumlah populasi komunitas tersebut jauh melampaui sumber daya lingkungan yang tersedia. Struktur dari hubungan-hubungan kekuatan tertentu pun berubah, seiring dengan para migran yang mulai memasuki sektor-sektor ekonomi yang sebelumnya merupakan lahan eksklusif bagi masyarakat Minahasa (etnis lokal) atau mereka menciptakan aktivitas ekonomi (pasarpasar baru) yang berbeda dengan pasar-pasar tradisional. Struktur hubungan-hubungan antar etnis antara para migran dan anggota masyarakat lokal pun berubah. Masyarakat etnis lokal jadi menderita, karena kehilangan hak-hak istimewanya di bidang ekonomi. Di sektor politik dan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 37 pemerintahan yang awalnya juga banyak dikuasai oleh etnis lokal, kini juga mulai diisi para migran. Akhirnya, hubungan simbiotik antara para pendatang dan etnis lokal berubah menjadi perebutan sumber daya, temasuk kedudukan dan kekuasaan. Usman,1 salah satu aktivis LSM bahkan menyebutkan jika ada nama-nama yang menunjukkan identitas keislaman, contoh misalnya Muhammad, Khodijah, Abdul, Rahman, dan sebagainya, ketika mengajukan lamaran pekerjaan di instansi-instansi pemerintah dan swasta, pada umunya berkas-berkas mereka ditolak. Pada saat itulah etnisitas tersebut kembali dipertegas untuk tujuan memelihara dan memperkuat batasan-batasan etnis untuk semakin membedakan “kami” melawan “mereka”. Hasil yang terjadi adalah pembagian kerja dan spesialisasi ekonomi yang berdasarkan pada etnisitas, yang di pasar adalah orang Gorontalo, Ternate, Makassar dan di pemerintahan harus orang Minahasa yang Kristen. Sudah dua tahun belakangan, kekerasan yang melibatkan antar kelompok masyarakat sering terjadi di beberapa kampung di kota Manado, situasi ini sangat menganggu aktivitas warga. Berbagai sumber menyebutkan bahwa maraknya perkelahian pemuda antar kampung dipicu oleh masalah pribadi antar person. Ada dua kampung di wilayah Utara kota Manado yang hampir setiap hari bentrok, yakni; Kampung Tuna dan Kampung Ternate Baru, keduanya merupakan wilayah administrasi Kecamatan Singkil. Setiap kali terjadi bentrokan, pasti ada korban yang jatuh (meninggal) dari kedua belah pihak. Di pinggiran kota terdapat kampung-kampung dengan suku, dan dari agama dan strata sosial yang berbeda.2 Konflik sering 1 Hasil Wawancara dengan Usman (Nama disamarkan) 2 Di Kecamatan Singkil-Tuminting Masyarakat Huniannya Terkelompokkan Sesuai Dengan Agama dan Suku Yang Sama. Misalnya Kampung Ternate-Baru Yang Warganya Mayoritas Beretnis Ternate-Gorontalo dan Beragama Islam. Kampung Ternate Bertetangga langsung Dengan Kampung Tuna yang Mayoritas Beretnis Sangihe- 38 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak dipicu hal-hal sepele, setiap ada pertandingan sepakbola pasti berakhir dengan kericuhan karena saling ejek, begitupula kesalahan kecil di tempat keramaian (pasar, konser) dapat dengan mudah menjadi pertumpahan darah yang sering melibatkan komunitas atau antar kampung. Kemudian jika kampung-kampung dari pihak yang berperang secara kebetulan berasal dari suku atau agama yang berbeda, maka hal itu sering dibawa-bawa yang tujuannya membangkitkan “solidaritas”, sehingga muncul semangat untuk menyerang kelompok yang berbeda suku dan agama. Masyarakat kota Manado sedang dalam cengkaraman budaya kekerasan yang melibatakan pemuda kampung, dimana konflik yang biasa terjadi sehari-hari ini tidak lagi dikelola dengan cara yang konstruktif, tetapi sebaliknya segera menjadi kekerasan dan bisa melibatkan seluruh komunitas. Hal itu terjadi tanpa ada tandatanda bahwa pihak yang tertarik dapat dengan mudah mengambil keuntungan dari situasi ini. Bahayanya adalah bahwa begitu agama terlibat, mekanisme pembentukan solidaritas dapat berubah menjadi gerakan dengan dampak lebih luas. Ada fenomena yang mengganggu, bahwa meskipun mempunyai latar belakang dan kondisi yang khusus dan berbeda, konflik-konflik ini cenderung semakin lama semakin lebih sederhana, yaitu menjadi konfrontasi antara Kristen dan Islam, antar suku Minahasa-Sangihe dan Gorontalo-Ternate. Dan Konfrontasi seperti ini dapat menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan berpotensi menjadi bencana besar. Penutup Konstruk perkampungan berlatar etnis dan agama menimbulkan masalah tersendiri di tengah cairnya identitas di Manado. Minahasa dan Beragama Kristen. Dua Kampung Ini Yang Sering Terlibat Konflik. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 39 Muncul harapan masyarakat memposisikan identitas diri sebagai orang Manado, sebuah identitas yang dilekatkan pada sebuah kota. Masyarakat mulai melepaskan identitas lama yang melekat bedasarkan etnisitas, agama, “genealogi kekerabatan runut-jelas”, “teritori-adat”; termasuk pakem-pakem budaya yang dikenali sebagai “asli” atau “tradisional” dan sebagainya walaupun bukan dalam rangka menghilangkan nilai dan kulturnya sebagai Jawa, Sangir, Talaud, Gorontalo, Bugis, Cina, Kristen, Islam, Katolik, Hindu dan Budha, akan tetapi warga menempatkannya Manado sebagai rumah bersama, hidup, saling menjaga, membutuhkan tanpa memandang etnis dan agama tertentu. Daftar Pustaka D. Toar. 1978. Orang Cina di Manado. Manado: Tesis Fakultas Sastra, Universitas Sam Ratulangi. Makkelo Ilham Daeng. 2010. Kota Seribu Gereja: Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Lamangida Yoran. 2003. Masyarakat Keturunan Arab di Manado. Manado: Esagenang. Jurnal Hasil Penelitian Jarahnitra. Suparlan Parsudi. 2003. Etnisitas dan Potensinya Terhadap Disintegrasi Sosial di Indonesia, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah,. Barth Fredrik. 1969. Introduction, dalam Fredrik Barth (Ed.), Ethnic Groups and Boundaries, Boston: Little, Brown and Co. 40 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak AGAMA-AGAMA DAN PEMBANGUNAN BERKEADILAN DI SULAWESI UTARA: Beberapa Pokok Pikiran KritisReflektif Oleh: Denni H.R. Pinontoan T ulisan ini membahas beberapa pokok pikiran mengenai peran agama-agama dalam pembangunan di Sulawesi Utara (Sulut). Dengan pertimbangan bahwa agama-agama yang diwakili oleh umat beragamanya hadir dalam hampir semua dimensi kehidupan bermasyarakat, maka titik berangkat tulisan bahwa adalah sebuah keniscayaan agama-agama memiliki pengaruh signifikan dalam pembangunan di Sulut. Tulisan ini terutama tidak dimaksudkan sebagai deskripsi berisi potret dan evaluasi atas keseluruhan bentuk-bentuk peran agama-agama dalam pembangunan di Sulut. Akan tetapi akan lebih memberi perhatian pada pokok-pokok pikiran konstruktif sebagai tawaran dalam diskursus agama-agama dan pembangunan di Sulut. Dengan demikian penulis akan mengurai secara singkat mengenai posisi agama-agama dalam konteks masyarakat Sulawesi Utara. Berikut akan didiskusikan pula tentang tentang pengertian pembangunan. Kemudian, pada bagian selanjutnya, sebagai 41 fokus utama tulisan ini, diskusi bermuara pada beberapa pokok pikiran mengenai peran-peran konstruktif agama-agama dalam pembangunan. Agama-agama di Sulut Mendiskusikan peran agama-agama dalam suatu konteks untuk hal tertentu butuh kehati-hatian agar tidak terjebak pada generalisasi atau simplifikasi. Sebab dengan menyebut ‘agamaagama’ secara jamak berarti itu menunjuk pada keragaman sejarah, tradisi, praktek keagamaan, dan pula organisasi. Fakta keragaman baik antar maupun inter agama, pada satu pihak adalah kekayaan namun, dalam diskursus semacam ini justru merupakan suatu kesulitan tersendiri. Cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan lebih memberi perhatian pada fungsi sosial politis agama-agama yang biasa diistilahkan sebagai fungsi ‘etis-kritis-teologis’. Dalam konteks Sulawesi Utara, agama-agama ini telah hadir dan menjadi bagian dari keragaman di utara pulau Celebes ini sebelum era kolonial. Islam di kepulauan Sangihe masuk dari Kedatuan SuluMindanao dan Kesultanan Ternate-Tidore sejak kira-kira akhir abad 15 (Kaunang, 2010; 112). Setelah itu pada abad 16 datang agama Katolik dan kemudian sejak abad 17 agama Kristen Prostestan (Van Den End, 1999; 143). Agama Konghucu datang bersama dengan kehadiran orang-orang Tionghoa. Agama Hindu dan Budha juga terdapat di beberapa wilayah sejak beberapa abad lampau. Agamaagama leluhur masih tampak dalam ritual dan simbol-simbol tertentu di beberapa tempat. Dalam sejarah, interaksi antara penganut agama-agama ini terjadi secara kultural, yaitu di ranah sosiologis, politis dan ekonomis (Makkelo, 2010). Pasar misalnya menjadi ruang perjumpaan antara yang berbeda ini sebagai penjual dan sebagai pembeli. Dalam bidang politik dan birokrasi, di kantor-kantor pemerintahan warga yang 42 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak berbeda-beda agama dan suku serta budaya saling menjalin relasi. Secara kelembagaan, agama-agama ini telah menjalin relasi sebagai bagian dari partisipasi pembangunan daerah melalui Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang berdiri tahun 1969 dan hingga kini masih eksis. Di dalam wadah bentukan pemerintah ini, tokoh-tokoh agama menjadi suatu mengambil peran untuk memberi pertimbangan bagi pemerintah di bidang sosial keagamaan. Hal yang hendak mau dikatakan dengan uraian singkat di atas, bahwa agama-agama melalui umatnya telah menjadi bagian dari kebudayaan di Sulut, yang dengan demikian, sebagai warga negara atau lebih khusus sebagai warga di daerah ini, relasi antara yang beragam ini adalah sebuah keniscayaan. Siapapun warga negara itu, apapun peran dan jabatannya, sekaligus juga ia adalah umat beragama. Dengan demikian, agama-agama memiliki pengaruh signifikan dalam berbagai bidang kehidupan di daerah ini, entah itu politik, sosial, budaya dan ekonomi. Memikirkan Ulang Dasar dan Tujuan ‘Pembangunan’ Setelah era penjajahan berakhir, maka lahirlah sejumlah nation state di Asia dan Afrika, salah satunya Indonesia. Pada negaranegara baru ini, ‘pembangunan’ berarti menjalankan modernisasi dan industrialisasi sebagai cara untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju (Siwu, 2005; 34). Pembangunan sama dengan perubahan, pertumbuhan dan kemajuan. Modernisasi diterapkan pada banyak bidang kehidupan. Politik mesti demokratis, dengan antara lain menjalankan pemilu, partisipasi rakyat di bidang politik digiatkan, masyarakat mesti sadar hukum dan menghormati hakhak asasi manusia. Pengetahuan modern diperkenalkan mengganti kepercayaan-kepercayaan mistis tradisional. Teknologi modern mendukung proyek-proyek pembangunan di segala bidang. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 43 Industrialisasi dipahami sebagai salah satu cara untuk memajukan ekonomi, yang konsekuensinya adalah penerimaan terhadap sistem kapitalisme global (Siwu, 2000; 70-72). Di era orde baru, pembangunan dalam pengertian modernsasi dan industrialisasi menjadi keyakinan negara. Secara normatif dirumuskan bahwa tujuan pembangunan adalah untuk menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Pembangunan digalakkan pada semua bidang, dengan syaratnya adalah stabilitas sosial dan keamanan demi kenyaman investasi. Perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional diterima sebagai bagian dari pembagunan ekonomi nasional. Namun, visi masyarakat yang adil dan sejahtera dengan pembangunan yang berorientasi pada modernisasi dan industrialisasi, dalam evaluasi kritis kemudian justru malah menimbulkan kemiskinan ‘material’ dan ‘spriritual’, kerusakan tata sosial-budaya dan lingkungan hidup (Dahler & Budianta, 2000; 188-210). Dalam hal dampak pada spiritualitas sebagai dampak dari sekularisme, Richard A.D. Siwu menyebut istilah alienation and homelessness atau keterasingan. Pembangunan ala orde baru yang kapitalistis, oleh Sarbini Sumawinata menyebutnya sebagai kapitalisme tanpa demokrasi dengan pemerintahan yang sangat otoriter, pemusatan kekuasaan pada satu orang, yaitu presiden. “Kapitalisme zaman Orde Baru adalah kapitalisme dalam versi yang paling buruk (Sumawinata, 2004; 19-20).” Pembangunan yang adalah modernisasi dan industrialiasi itu ternyata tidak langsung dapat membuat visi bernegara tercapai. Jauh-jauh hari G.S.S.J. Sam Ratulangi telah mengingatkan hal mendasar yang sebagai penyebab masalah utama negara ini. Sam Ratulangi dalam pidato perdananya di depan Volksraad tahun 1927, mengatakan, 44 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak ...bahwa orang Indonesia, adalah penghasil primitif barangbarang ekonomi, orang bukan-Indonesia adalah pengolah hasil ekonomi ini, orang Indonesia pekerja proletar, orang bukanIndonesia organisator pekerjaan, orang Indonesia konsumen barang-barang asing, orang bukan-Indonesia, pembawa dan distributor barang-barang ini (Arsip Samratulangi, 2011). Sam Ratulangi menjelaskan, kategori-kategori itu tidak terjadi begitu saja. Ia menyebut latar belakangnya sejak abad 16, yaitu sejak bangsa Eropa-Barat mulai menjelajahi wilayah-wilayah yang meliputi hampir seluruh dunia, termasuk Asia. Menurut Sam Ratulangi, sejak saat itulah mulai berlaku suatu ‘organisasi ekonomi dunia’ yang berpusat di Eropa-Barat. Dengannya maka mulai berlaku pula penilaian-penilaian dari dan untuk ekonomi ‘Eropa-Barat’ (Said, 2010). Artinya, masalah politik-ekonomi, kemudian juga menjadi masalah sosial dan mental-psikologi. Sam Ratulangi bertanya: Setiap peninjau serius atas gejala-gejala masyarakat, pernah bertanya pada dirinya sendiri apa asa-usul perkembangan seperti ini! Bagaimana mungkin, kelompok penduduk yang jumlahnya puluhan kali lipat lebih banyak dari kelompok lain, dalam proses produksi dan pertukaran barang, merosot sampai ke pekerja tanpa inisiatif dan pengguna barang belaka? Mengapa jutaan orang ini tidak berhasil meraih bagian lebih besar dalam kepemimpinan organisasi ekonomi? Secara ringkas, jawaban Sam Ratulangi atas pertanyaan itu, seperti yang sudah diuraikan di atas, sesungguhnya adalah masalah perjumpaan antara dua kebudayaan yang berbeda, Asia lebih khusus Indonesia dengan Eropa-Barat. Sam Ratulangi berbicara di era Indonesia masih dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Sehingga, konteksnya Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 45 waktu itu yang disebut Indonesia belumlah sebagai suatu kesatuan politik independen yang menata negaranya sendiri dengan pemerintah sendiri dengan rakyat yang terorganisir secara birokratis. Artinya, meski visi bernegara belum terumus secara jelas, namun apa yang disampaikan oleh Sam Ratulangi tersebut releven dalam memahami konteks Indonesia merdeka pasca orde baru. Secara ringkas, yang hendak mau dikatakan oleh Sam Ratulangi, bahwa salah satu masalah besar bagi pembangunan negara Indonesia adalah kemampuannya untuk menjadi negara yang merdeka atau berdaulat secara ekonomi, yang tidak terlepas dengannya adalah bermartabat secara sosial-budaya dan kekuatan intelektual serta mental. Pada pidatonya itu, Sam Ratulangi menyebutkan, bahwa pembangunan mesti meliputi kemampuan negara dalam penganggaran dan pengorganisasian rakyat, yang didukung oleh kemampuan dan potensi-potensi kreatif yang dimiliki oleh rakyat. Jadinya, pembangunan mesti terjadi secara partisipatif, yang melibatkan rakyat sebagai subjek pembangunan. Sam Ratulangi tidak menolak pembangunan dengan cara modernisasi ala Eropa, bahkan mungkin menganggap hal itu sangat penting. Tapi bagi dia, pembangunan mesti meliputi semua aspek, yaitu material, intelektual dan spiritual yang dilaksanakan secara bersama-sama. Di kemudian hari, belajar dari pembangunan yang hanya menitikberatkan pada material, yaitu ekonomi yang telah memunculkan dampak-dampak destruktif bagi manusia dan masyarakat serta lingkungan hidup, teori-teori pembangun lebih menekankan aspek holistik keseluruhan prosesnya. Misalnya sudah sering didengar istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ atau ‘pembangunan yang sadar ekologis’ atau ‘pembangunan manusia seutuhnya’. Dengan kata lain sudah dan sementara berlangsung kritik, evaluasi dan rekonstruksi terhadap apa yang disebut pembangunan tersebut (Sastrapatedja, 1986). 46 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Pembangunan, dalam harapan-harapan idealnya mesti humanis, emansipatif, berawawasan multikultural dan ekologis telah menjadi semacam paradigma di abad 21, atau tahun-tahun pasca orde baru untuk konteks Indonesia. Bukan saja dalam teori-teori atau gagasan-gagasan filosofis tentang pembangunan, tapi juga dalam politik pemerintahan bahkan ideologi. Lihat misalnya visi, misi serta program aksi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diberi judul “Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian (Dokumen Visi Misi Jokowi, 2014).” Disebutkan dalam naskah itu, bahwa ‘jalan perubahan adalah jalan ideologis’. Fungsi Etis-Kritis-Teologis Agama-agama dalam Pembangunan Agama, bagi umatnya adalah wadah dia mengungkapkan dan mengekspresikan keyakinan, kepercayaan atau iman kepada yang dipercayainya sebagai Yang Ilahi. Sumber-sumber kepercayan itu adalah kitab suci dan ajaran-ajaran keagamaan yang dikembangkan sebagai hasil tafsir untuk menjadi pedoman secara moral-etika dalam menjalankan kehidupan. Pada hal ini, agama adalah sesuatu yang subjektif, ekslusif dan lebih berorientasi pada komunitas yang memiliki kesamaan identitas. Namun, ketika menyebut ‘agamaagama’ dalam konteks kehidupan bernegara, maka kita menunjuk pada kehadiran umat beragama, yang sekaligus warga negara di ruang-ruang publik. Di ruang publik ini, fungsi etis-kritis-teologis agama-agama mewujud dalam bentuk gagasan atau praksis sosial yang tidak lagi berorientasi pada diri dan kelompok sendiri tapi telah meluas dengan tujuan untuk kehidupan bersama. Agama di ruang private dan di ruang publik meski berbeda pada hal-hal tertentu, namun mestinya saling mendukung. Agama sebagai keyakinan subjektif dan ‘agama-agama’ Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 47 sebagai kenyataan objektif bukanlah dua hal yang berbeda, tapi satu hal yang berfungsi pada dua ruang. Ciri agama yang berfungsi di dua ruang ini tidak saja berlaku di negara-negara yang menerapkan pemisahan agama dan negara, melainkan juga pada negara-negara yang menyatukannya keduanya. Secara doktrinal-subjektif mungkin bagi penganut agama sulit menerima pemisahan tersebut, namun secara historis-objektif, hal ini tidak dapat dihindari. Pada dasarnya, seorang individu yang berusaha menganut agamanya secara ketat sekalipun tidak dapat menjalankan dan mengekspresikan imannya secara monolitik. Bukan saja karena keniscayaan keragaman agamaagama, budaya, suku, ras dan kelas-kelas sosial di masyarakat, namun juga selalu saja terbuka kemungkinan interpretasi dan ekspresi berbeda antar individu yang menganut satu agama. Artinya, kenyataan pluralitas antar agama dan inter agama serta kondisi historis-objektif masyarakat yang dihidupinya selalu mempengaruhi umat beragama untuk menerjemahkan iman yang diyakininya secara kontekstual. Kehadiran seorang individu dari agama tertentu di ruang publik, secara sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar membawa, apakah simbol, ajaran atau perilaku yang dianggap dikehendaki oleh agamanya. Dalam hal ajaran misalnya, agama-agama bahkan selalu merasa berkepentingan dengan publik untuk tugas misi dan dakwahnya dalam merespon setiap fenomena kemasyarakatan. Singkatnya, agama-agama, dalam konteks Indonesia dan terutama di Sulawesi Utara bukanlah fenomen yang terpisah dari kehidupan publik masyarakat. Di daerah ini, peristiwa keagamaan mewarnai hampir setiap hari kehidupan keluarga, komunitas dan masyarakat. Simbol-simbol atau bahasa-bahasa keagamaan, menyatu mulai dari kehidupan sosial, budaya serta politik bahkan hingga politikbirokrasi. Terintegrasinya agama-agama dalam kehidupan publik adalah 48 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak kenyataan objektif di masyarakat kita. Sehingga, ketika berbicara peran agama-agama dalam pembangunan, sesungguhnya bukan lagi suatu proyeksi. Cuma saja, adalah kenyataan objektif bahwa peran agama-agama dalam pembangunan yang adil, terjadi dalam tingkatan dan bentuk serta sifat yang berbeda-beda. Demikian, refleksi peran agama-agama yang mengacu hakekat sendiri dan tujuan luhur pembangunan perlu terus didiskusikan. Pada hal ini, kita berbicara tentang fungsi etis-kritis-teologis agama-agama bagi pembangunan. Secara global, peran agama-agama untuk perdamaian, keadilan dan kesetaraan umat manusia telah dirumuskan pada pertemuan pemimpin agama-agama sedunia dalam suatu pertemuan yang disebut Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago pada tahun 1993. Pertemuan tersebut berhasil merumuskan suatu etika bersama yang disebut Etika Global (Global Ethic). Dalam konteks Indonesia, diskursus dialog antar agama atau lebih tepatnya antar umat beragama, dan terutama di Sulawesi Utara dimaksudkan untuk mencapai tujuan komitmen hidup bersama dalam masyarakat dan negara, selain akhir-akhir ini untuk merespon isu radikalisme dan terorisme. Dalam hal peran agama-agama terhadap pembangunan, tentu bukan terutama dalam bentuk dukungan politik untuk partai politik atau calon tertentu secara praktis dalam setiap pemilu, melainkan yang terutama adalah fungsi kritis agama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan. Terhadap pembangunan yang lebih mengutamakan investasi dan berdampak pada peminggiran rakyat kebanyakan, agama-agama perlu berperan menyampaikan suara profetisnya. Terhadap pemerintahan yang korup dan tidak menjalankan pembangunan yang adil dan emansipatif, agama-agama diharapkan menyampaikan kritiknya. Pada hal ini, dialog antar umat beragama, tokoh-tokoh atau pemimpin-pemimpin agama menjadi kekuatan untuk mencapai pembangunan yang berkeadilan. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 49 Peran dan fungsi keterlibatan agama-agama dalam pembagunan secara etis-kritis-teologis dibutuhkan oleh karena pembangunan dalam paradigma modernisme selalu berkecenderungan pada satu pihak ‘merusak’ dan pada pihak lain ‘mencipta’. Ambil contohnya misalnya, demi pembangunan bendungan modern di Desa Kuwil, Kab. Minahasa Utara, maka seolah-olah adalah suatu konsekuensi logis jika harus berdampak pada rusaknya artefakartefak waruga di sekitarnya yang secara umum dianggap warisan dari era primitif yang tidak lagi memiliki fungsi untuk menunjang kebutuhan-kebutuhan modern. Sementara pembangunan dalam paradigma posmodernisme lebih menekankan harmoni antara kebutuhan-kebutuhan batiniah-spiritual dengan material-teknologis (Griffin, 2005). Artinya, pembangunan holistik menerima adanya kesinambungan dan keterjalinan banyak unsur dan faktor serta perspektif. Pada dasarnya, apapun paradigma yang melandasinya, secara etis pembangunan mestilah memastikan bahwa kemanusiaan, spiritual, ekologis, dan cita-cita keadilan dan kesejahteraan tidak tercecer atau diabaikan dalam keseluruhan proses. Uraian di bawah ini menawarkan beberapa gagasan yang dapat direkonstruksi menjadi agenda bersama agama-agama di Sulawesi Utara dalam menyatakan peran atau fungsi etisnya untuk pembangunan. Gagasan-gagasan ini saya sadar bukanlah baru dalam diskursus dialog antar agama-agama atau peran agama-agama secara umum dalam pembangunan. Pembangunan yang Memanusiakan Pembangunan yang memanusiakan bukanlah gagasan di luar dari hakekat pembangunan itu sendiri, juga pada agama-agama. Pembangunan yang berorientasi pada materi, pertumbuhan dan kemajuan ekonomi sekalipun berbicara tentang hal ini. Persoalannya adalah cara pandang terhadap hubungan antara ekonomi dengan 50 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak tujuan memanusiakan pembangunan itu. Kapitalisme berkeyakinan bahwa tujuan dari pembangunan itu adalah kemajuan dan peningkatan ekonomi yang dengannya dapat mensejahterakan manusia atau masyarakat. Tapi, sejarah telah menunjukkan bahwa, ‘kekayaan’ atau ‘kelimpahan materi’ tidak memiliki korelasi langsung dengan makin menjadi ‘manusianya’ seorang ‘manusia’ atau suatu masyarakat. Dalam konteks Sulawesi Utara perlu dievaluasi secara kritis, apakah investasi, kehadiran pusat-pusat perbelanjaan, perusahaanperusahaan tambang, bisnis pariwisata yang oleh pemerintah periode ini agung-agungkan, dan kesemuanya itu disebut sebagai pembangunan memiliki korelasi dengan semakin meningkatnya kualitas kemanusiaan. Di era globalisasi ini, kesemuanya itu tentu tidak terjadi secara lokal saja, namun ia adalah bagian pembangunan tata ekonomi global, yang pada banyak kasus rakyat lokal selalu menjadi korban. Agama-agama di Sulawesi Utara, pada satu pihak diberkahi oleh sikap toleran antar pemeluknya, namun pada lain pihak agaknya lemah dalam kritik terhadap model pembangunan yang tidak menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pembangunan yang memanusiakan perlu menjadi agenda agama-agama di Sulawesi Utara dalam dialog formal maupun informalnya. Kesibukan seremonial agaknya terlalu menguras energi agama-agama sehingga abai terhadap permasalahan ini. Kekuatan agama sebagai lembaga moral-spiritual dengan jaringan umatnya sampai ke akar rumput adalah modal yang perlu ditransformasi untuk mendorong dan menginspirasi pembangunan yang memanusiakan. Pembangunan yang Emansipatif Pembangunan yang emansipatif berjalan bersama dengan pembangunan yang partisipatif. Selain bahwa pembangunan bertujuan untuk emansipasi untuk setiap individu dan antar Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 51 kelompok, namun juga proses pembangunan yang dijalankan mesti terjadi secara emansipatif dan partisipatif. Sayangnya, pemahaman yang ditanamkan selama ini, dan juga mungkin warisan kolonial dan orde baru, seolah-olah subjek dari pembangunan adalah negara yang diwakilkan oleh pemerintah, sementara rakyat adalah objek. Kita dapat menilai apakah pembangunan yang dijalankan di daerah ini telah berlangsung secara emansipatif dan partisipatif dan bertujuan untuk itu dengan mempelajari lahirnya dokumendokumen semisalnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam kenyataanya, penataan dan penggunaan ruang dan wilayah untuk pembangunan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan investor, sementara rakyat nanti berurusan ketika misalnya tanahnya hendak dibebaskan secara paksa. Hasilnya, seperti ungkapan lama, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Kesenjangan terjadi atau berlanjut. Para korban peminggiran oleh pembangunan tersebut adalah warga negara, sekaligus mereka adalah umat beragama dari agama-agama di daerah ini. Di mana agama-agama? Dalam konteks ini, perlu selalu dingatkan agar agama-agama tidak menjadi ‘candu’ atas penderitaan rakyat. Dengan demikian, oleh karena setiap agama-agama memiliki visi soteriologis atau keselamatan yang holistik, maka alienasi atau keterasingan rakyat dari pembangunan yang berorientasi pada kelas-kelas sosial tertentu mesti disadari juga sebagai ‘dosa’. Agama-agama juga memiliki tanggung jawab etis-teologis untuk selalu memberi inspirasi bagi pembangunan yang adil bagi keragaman gender dan orientasi seksual serta bagi mereka yang memiliki kemampuan-kemapuan berbeda (kelompok masyarakat difabel). Agama-agama mendorong perempuan dan laki-laki, warga yang memiliki orientasi seksual yang unik, mereka yang difabel untuk menjadi subjek dalam pembangunan. 52 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Pembangunan yang Berwawasan Ekologis Tidak lama berselang setelah runtuhnya rezim orde baru yang berkuasa di Indonesia selama kurang lebih 32 tahun, masyarakat Sulut heboh dengan isu pencemaran teluk Buyat di Ratatotok, Kab. Minahasa (sekarang masuk wilayah Minahasa Tenggara). Tahun 2004, sejumlah Non-governmental Organization (NGO) melakukan penyelidikan terhadap warga Buyat Pante, Ratatotok terkait dengan limbah PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) yang dibuang ke Teluk Buyat. Ditemukan bahwa, sejak dua tahun PT. NMR membuang limbahnya ke Teluk Buyat, tempat warga kampung Buyat menangkap ikan, warga mengalami sejumlah persoalan yang beragam. Mulai dari menurunnya jumlah ikan yang ditangkap oleh para nelayan, pecahnya pipa penyalur tailing, kualitas hidup menurun hingga gangguan kesehatan serius. Menurut mereka, hingga penutupannya pada tanggal 31 Agustus 2004, PT. NMR telah meninggalkan 4 juta ton lebih tailing di dasar laut Teluk Buyat (Maimunah & Kirom, 2004; 5-9). Banjir bandang yang terjadi di Kota Manado pada Januari tahun 2014 lalu telah meluluhlantakan kota itu. Kerugian material mencapai miliaran rupiah. Longsor di jalan raya TomohonManado telah menyebabkan korban jiwa. Banjir ini adalah terbesar sepanjang sejarah modern kota Manado yang terjadi di saat gencargencarnya pembangunan kawasan pemukiman elit, reklamasi pantai, pembangunan jalan tol sedang dalam rencana, dlsb. Memang tidak secara langsung dapat dikatakan bahwa deforestasi hutan memiliki hubungan dengan banjir tersebut. Namun, adalah fakta, bahwa kerusakan hutan di Sulut terjadi secara drastis sejak beberapa puluh tahun lalu. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara menyebutkan, penyusutan drastis luas hutan di provinsi ini terjadi pasca orde baru. Sebelumnya luas Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 53 hutan Provinsi Sulawesi Utara adalah 1.877.220 ha, sementara luas hutan berdasarkan data terakhir tahun 2014 tinggal 764.739 ha atau berkurang sekitar 1.112.481 ha. Besarnya penyusutan ini antara lain karena kebutuhan terhadap lahan perkotaan, pertanian, perkebunan, pertambangan, infrastruktur dan juga karena pemekaran wilayah. Masalah lain adalah tumpang tindihnya pemanfaatan maupun penggunaan lahan kawasan hutan negara oleh kepentingan sektor lain. Disebutkan bahwa, pada beberapa lokasi terdapat jual beli lahan kawasan hutan dan sertifikat tanah, munculnya klaim-klaim masyarakat yang mengatasnamakan tanah leluhur dan lain sebagainya. Penyebab lain adalah pemberian ijin yang banyak dilakukan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota di era desentralisasi (Abidin & Tasirin, 2014; 39). Situasi lingkungan hidup yang memprihatinkan ini menuntut tanggung jawab ekoteologis agama-agama dalam dialog-dialog aksi teologisnya. Setiap agama membaca kitab suci yang menuliskan tentang Allah yang menciptakan tanah, sungai, laut, gunung, flora, fauna dan semesta. Artinya, lingkungan hidup atau kosmos mesti dipahami sebagai ciptaan Yang Sakral untuk manusia kelola secara bertanggung jawab. Dengan demikian, baik secara teologis maupun secara politis, agama-agama dalam dialog dan kerjasamanya perlu merumuskan refleksi-kritis teologis terhadap pembangunan yang tidak berwawasan ekologis. Hans Kung dan Parlemen Agama-agama se-Dunia menyebut hal itu sebagai tanggung jawab etis agamaagama untuk lingkungan hidup. Pembangunan yang Berwawasan Multikultural Pembangunan sudah tentu juga berurusan dengan relasi antar yang berbeda secara kultural dan sub kultural. Lebih dari sekadar pluralisme yang berorientasi pada penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan, multikulturalisme justru berorientasi pada 54 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak upaya memastikan bahwa warga negara yang berbeda-beda secara kultural dan subkultural atau warga negara yang memiliki identitas yang sangat beragam, kompleks dan bahkan rumit yang rawan tersubordinasi di bawah identitas-identitas dominan dan tunggal memiliki jaminan hak-hak yang sama. Multikulturalisme berorientasi pada kepastian terjaminnya hak-hak asasi, pengakuan, kesetaraan dan keadilan di ranah sosial, politik dan ekonomi. Atau dengan kata lain multikulturalisme berurusan dengan pembangunan yang adil untuk semua warga negara yang memiliki identitas beragam, unik dan khas. Pembangunan yang berwawasan multikultural paling tidak menyoal tiga hal: Pertama rekognisi atau pengakuan yaitu saling mengakui dan menerima yang di dalamnya terdapat dialog aktif merespon persoalan-persoalan yang mengganggu kepentingan dan kebutuhan bersama. Kedua, representasi atau keterwakilan di ruang publik. Ketiga, redistribusi atau pemerataan, yaitu keadilan dalam penguasaan dan pengelolaan ruang-ruang ekonomi (Bagir & Dwipayana, 2011;41-44). Semua proses pembangunan, dalam perspektif multikulturalisme, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi semuanya mesti berorientasi pada terjaminnya hakhak warga negara yang memiliki identitas yang beragam. Artinya, pembangunan yang berwawasan multikultural mesti memastikan bahwa semua upaya dalam mencapai kesejahteraan bersama mencakup terjaminnya hak-hak warga negara apapun latar belakang agama, suku, ras atau golongan sosialnya. Fungsi etis-kritis-teologis agama-agama untuk memastikan bahwa pembangunan berproses secara adil bagi semua warga negara terjadi dalam dialog antar umat beragama melalui tokohtokoh atau pemimpin agamanya. Dialog adalah komunikasi dan terutama kerjasama konstruktif untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan aksi-aksi bersama untuk tujuan bersama. Dengan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 55 dialog, maka inisiatif dan peran agama-agama tidak hanya untuk menguntungkan satu kelompok, tetapi untuk tujuan bersama sebagai warga negara. Adalah sebuah ironi, jika misalnya seorang pemimpin agama tertentu secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan menjalin kedekatan dengan pemimpin daerah dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu bagi agamanya sendiri. Apakah dapat dibenarkan secara teologis, jika misalnya seorang imam, ulama, pemimpin agama tanpa kekritisan lalu demi keuntungan tertentu mendoakan sebuah peresmian pembangunan jalan tol, sementara sekelompok orang, mungkin di antara mereka adalah umatnya atau umat agama-agama lain sedang merasa diperlakukan tidak adil karena pembebasan lahan yang dilakukan secara paksa? Apa sikap agama-agama terhadap situasi ini? Beberapa pokok pikiran di atas adalah sebuah tawaran untuk diskursus dalam dialog antar umat beragama atau antar orangorang yang melekat padanya ajaran, simbol dan tradisi dari agamaagama yang mereka anut masing-masing dalam upaya memberikan konstribusi etis-kritis-teologis terhadap pembangunan daerah dan negara. Pada dasarnya, fungsi etis-kritis-teologis agama-agama untuk pembangunan demi keadilan dan kesejahteraan bukanlah fungsi atau tugas di luar dari hakekat agama-agama itu. Keselamatan secara batiniah atau rohani yang eskatologis pada agama-agama, tentu terintengrasi dengan kedilan dan kesejahteraan sebagai tujuan pembangunan. Penutup Agama-agama di Sulawesi Utara telah menjadi bagian integral dari kebudayaan: sosial, politik, ekonomi, pendidikan, birokrasi dan lain sebagainya masyarakat yang terus berkembang. Sedikit banyak, agama-agama ini, baik yang universal maupun yang lokal telah memberi pengaruh bagi perkembangan masyarakat, cita-cita dan 56 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak harapannya untuk kehidupan yang terus berlangsung. Suatu keharusan untuk mempertanyakan secara kritis dan bersama dengan itu memberikan motivasi dan dorongan secara reflektif konstruktif, baik secara akademik sebagai peran intelektual, maupun secara informal-populer sebagai peran semua warga negara bagi proses-proses pembangunan yang sedang berlangsung. Agamaagama dalam dialog konstruktif adalah modal penting pembangunan yang berkeadilan. Menjalani era digital sekarang ini, bahkan peran dan fungsi etis-kritis-teologis agama-agama makin dibutuhkan untuk memberi arah bagi pembangunan yang manusiawi, emansipatif, berwawasan ekologis dan multikultural. Agama-agama mesti terus didorong untuk memainkan peran aktif dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkeadilan. Daftar Pustaka Abidin Muh dan J S Tasirin (ed.). 2014. Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara 1964 – 2014. Manado: Balai Penelitian Kehutanan. Arsip keluarga Samratulangi yang telah dipublikasikan pada http:// matulandawordpress.com/2011/11/07/pidato-perdana-samratulangie-di-depan-volksraad-15-juni-1927/. Bagir Abidin Zainal dan Dwipayana AA GN Ari. 2011. Keragaman, Kesetaraan dan Keadilan: Pluralisme Kewargaan dalam Masyarakat Demokratis”. Bandung: Mizan. Dahler Franz dan Budianta Eka. 2000. Pijar Peradaban Manusia: Denyut Harapan Evolusi. Yogyakarta: Kanisius. Dokumen “Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian” Visi, Misi dan Program Aksi”, Jokowi-Jusuf Kalla. Jakarta, Mei 2014. Edward Said. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 57 Griffin Ray David (ed.). 2000. Visi-visi Posmodern: Spiritualitas dan Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius. Kaunang Ivan R.B,. 2010. Bulan Sabit di Nusa Utara: Perjumpaan Islam dan Agama Suku di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Yogyakarta: Intan Cendekia. Maimunah Situ, Kirom Aminuddin (ed.), Teluk Buyat Tercemar dan Berisiko bagi Masyarakat: Lembar Fakta Kasus Buyat, (diterbitkan bersama oleh Jatam, Walhi, Icel, Kelola, YSN, BKMKT, FORJAPB, Elsam, Tapal, 2004. Makkelo, Daeng Ilham. 2010. Kota Seribu Kota Gereja: Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado. Yogyakarta: Ombak. Siwu A.D, Richard. 2005. Masalah Negara-Bangsa, Hak Azasi Manusia dan Kemerdekaan Beragama di Asia”, dalam Exouds No. 16, Tahun XII, 2005. Tomohon: Fakultas Teologi UKIT. Siwu A.D. Richard. 2000. Kebenaran Memerdekakan: Etika Bermasyarakat, Berbudaya, dan Beragama di Era Globalisasi. Tomohon: Letak. Sumawinata Sarbini. 2004. Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sastrapedja. 1986. Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis. Jakarta: Gramedia. Van den End. 1999. Ragi carita: 1860-Sekarang. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 58 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak MANADO KOTA DOA: Sebuah Refleksi-Kritis Warga Kota Oleh: Muhammad Iqbal Suma A gama menempati posisi penting di tengah-tengah warga masyarakat kita hari ini, baik masyarakat pedesaan yang hidup dalam cara-cara sederhana dan tradisional maupun masyarakat perkotaan yang lebih kompleks dan modern. Aspek-aspek agama telah hidup dalam denyut dan derap langkah setiap manusia, baik sebagai individu yang tinggal di tengah-tengah komunitas yang beragam maupun sebagai individu yang memiliki tanggung jawab sosial bagi orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Kita tahu, bahwa agama tidak sekedar ritual fisik; berangkat ke rumah ibadah atau membaca kitab suci. kita semua percaya pada agama yang lebih personal, yang hidup dalam kepribadian seharihari, menjadi orang yang berbuat baik bagi sesama manusia. Agama tidak sekedar institusi yang kita tulis dalam kolom KTP atau dalam lembaran tes ujian masuk. Lebih dari segalanya, agama adalah bagaimana kita menjalani hidup sebagai manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Bagi masyarakat Manado, agama bahkan tidak sekedar urusan personal bagi pemeluknya, tapi juga menjadi bagian dari dimensi 59 yang menopang pembangunan berkelanjutan dari kota itu sendiri. Usia Manado yang hampir mencapai 400 tahun, bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah kota yang memiliki pengalaman sebagai sebuah komunitas masyarakat yang tersusun dari lapisan-lapisan berwarna, dengan corak serta karakteristik yang unik. Manado ditinggali oleh orang-orang dengan identitas-identitas yang plural, membawa tradisi dari beragam agama dan suku masing-masing, tapi mampu melebur dalam harmoni yang indah. Meski demikian, kita juga harus memahami bahwa agama juga merupakan sekumpulan simbol-simbol dan tanda. Di kota Manado, kita bisa melihat agama dalam berbagai wujud; bangunan rumah ibadah yang besar dengan Menara yang menjulang tinggi, lonceng raksasa yang berbunyi setiap pagi dari gereja, kubah masjid yang tampak dari kejauhan, salib di hampir setiap bangunan publik, ikonografi yang menghiasai dinding gereja atau kaligrafi yang tergambar indah layaknya mosaik pada setiap masjid yang ada di penjuru kota. Simbol-simbol keragaman juga muncul dalam berbagai slogan yang pernah dicetuskan oleh para pemimpinya. Bertahun-tahun yang lampau, Manado terkenal dengan slogan “BOHUSAMI”, yang merupakan akronim dari nama-nama etnis yang ada didalamnya; Boalaangmongondow, Hulandalo, Sangir dan Minahasa. Slogan ini meski sederhana, tetapi memiliki makna filosofis yang kuat. Bohusami tidak sekedar akronim, tapi juga menjadi semacam modal sosial bagi orang Manado. Bohusami menjadi identasi baru, penanda bahwa ketika berbicara tentang Manado, kita berbicara tentang keragaman dan kerukunan. Keragaman dan kerukunan di Manado juga lahir dalam bentuk semboyan yang hingga hari ini menjadi kebanggan warga Sulawesi Utara secara umum. Kita mengenal Semboyan yang mungkin menjadi paling ikonik dari kota Manado; “Torang Samua Basudara”, atau dalam 60 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Bahasa Indonesia berarti “Kita Semua Bersaudara”. Semboyan ini terdengar begitu sederhana dan simpel. Tetapi semboyan ini telah menjadi penuntun kehidupan orang Sulawesi Utara dan Manado secara khusus, dalam melewati berbagai potensi-potensi gesekan dan konflik. Pada sekitar tahun 2000-an, kita tahu telah terjadi konflik agama dan etnis di beberapa wilayah Indonesia, terutama Ambon dan Poso, yang terletak tidak begitu jauh dari Sulawesi Utara. Mengingat komposisi dan karakteristik demografi yang memiliki kesamaan, bukan tidak mungkin konflik itu juga akan terjadi di Manado. Tetapi seperti yang terjadi, Manado berhasil melewati saat-saat paling rawan tersebut. Ketika beberapa daerah tersulut dan pecah dalam perang saudara, Sulut ataupun Manado secara umum, tetap mempertahankan kebersamaan dan kerukunan sosial yang sudah terbina sejak lama. Semboyan Torang Samua Basudara, menjadi penegasan bahwa, tak boleh ada pertikaian, peperangan dan kebencian diantara sesama saudara. Bukankah semua agama mengajarkan agar kita saling mengasihi? Bukankah kitab suci semua agama juga merupakan sumber kebaikan? Dan bukankah setiap tradisi dan kebudayaan mengajarkan moral dalam kehidupan kita sebagai masyarakat? Torang Samua Basudara, adalah nilai-nilai yang disepakati oleh setiap pemeluk agama dan etnis di Manado. “Torang Samua Basudara” telah membiasakan kita untuk hidup berdampingan sebagai saudara, meskipun berbeda agama dan etnis. Bagi orang Manado, yang telah hidup berdampingan dalam perbedaan selama ratusan tahun, tak ada yang aneh atau tabu. Simbol dari agama yang berbeda sering berdampingan satu sama lain. di beberapa tempat, seperti di wilayah Perkamil, kita bisa menyaksikan bangunan gereja Katolik yang berdiri disamping Masjid yang sudah berusia lebih dari 20 tahun. Bahkan di pusat perkotaan Manado, Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 61 sebuah komplek yang dikenal sebagai kampung Arab dan Kampung Cina pun, telah hidup rukun selama puluhan tahun. Inilah yang menjadi perekat sosial yang telah menjaga kehidupan kota ini dari berbagai konflik besar yang melibatkan sentimen agama dan kelompok meskipun beberapa kali Manado sedikit terusik dengan peristiwa-peristiwa yang mengganggu harmoni kehidupan, tapi itu membawa kota ini hancur dalam pertikaian antar sesama. Dalam setiap peristiwa, kita perlu mengingat Bersama, bahwa konflik tidak menyisakan apa-apa, selain duka. Maka, setiap orang Manado percaya bahwa mereka dapat mengatasi setiap perbedaan dalam cara-cara yang bijaksana, dan membawa kebaikan bagi semua warga kota Manado. Menjadi Manado Relasi Islam-Kristen memainkan peran penting bagi kemajemukan dan pembangunan sosial kota Manado. Sebagai penduduk mayoritas di Manado, hubungan Islam-Kristen, baik secara sosial, politis maupun keagamaan, telah mendorong terciptanyan hubungan-hubungan kreatif dan produktif. Relasi antar agama tidak bangun di atas perbedaan teologi keagamaan yang memang tak pernah menemukan titik temu, dialog dan kerjasama justru diarahkan ke arah kerja-kerja yang melibatkan segenap elemen sosial-keagamaan demi tujuan sosial bersama, terutama dibidangbidang yang berkaitan dengan aspek kesejahteraan, seperti ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Isu pemberdayaan ekonomi masyarakat, akses pendidikan dan kesehatan yang lebih layak, penegakkan hukum, lebih penting didiskusikan antara tokoh-tokoh agama dibandingkan mencari titik perbedaan secara teologis pada agama masing-masing. Isu-isu sektarian tidak begitu laku bagi warga kota Manado; hukum haram mengucapkan natal atau syariat Islam tidak begitu populer di sini. Fondasi toleransi yang telah terbangun cukup 62 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak lama tidak mudah runtuh oleh isu-isu sektoral yang berpotensi konflik dan melahirkan perpecahan serta ketegangan sosial. Manado memang menjadi tempat yang subur bagi perkembangan tradisi-tradisi yang berbeda. secara sosial, kondisi masyarakat yang beragama sesungguhnya menyimpan potensi konflik yang setiap saat bisa pecah ketika perbedaan dan keragaman masyarakat tidak dikelola secara dewasa. Tapi di Manado, perbedaan agama, keragaman tradisi dan ritual justru menjadi jalan bagi terbentuknya relasi-relasi sosial yang lebih toleran, dinamis dan berkembang. Beberapa bangunan tempat ibadah bahkan terletak berseberangan, dan tidak menjadi alasan untuk menciptakan konflik. Manado adalah kota kecil, eksotis tapi tak pernah kesepian. Di tempat ini, siapa saja dapat hidup dengan layak. Sama ketika yang duniawi memperoleh tempat yang layak, tradisi dan ritual yang bersifat spiritual pun tetap terus dijaga. Di tengah arus kemajuan dan modernisasi, di kota ini, tradisi-tradisi berjumpa, hidup, berkembang dan terus dipelihara. Rumah Tuhan terus dibangun seolah-olah ingin berlomba dengan maraknya pembangunan apartemen bertingkat. Suara-suara musik yang terdengar dari tempat hiburan tak dapat mengalahkan lantuntan doa suci dan kidung-kidung yang terdengan dari penganut agama yang taat, dari dinding Gereja, Menara Masjid atau altar-altar suci Klenteng dan Pura. Agama dan perilaku spiritual masyarakat perkotaan seperti di Manado, memang murni urusan pribadi. Orang tak pernah mempermasalahkan cara orang beragama, bagaiamana dia memahami ajaran agamanya. Itu pula sebabnya, jarang sekali saya melihat ada konflik atau pertentangan-pertentangan akibat ajaran agama yang berbeda, semisal isu sunni-Syi’ah yang di Manado terasa aman-aman saja. Begitu juga halnya dengan banyaknya aliran gereja yang ada di Manado, tak pernah memicu konflik. Kalau pun ada gesekan, itu terjadi dalam kelompok kecil yang secara internal bisa diredam. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 63 Manado menjadi tempat yang baik untuk perkembangan pemikiran agama, karena watak dasar orang Manado yang terbuka dan toleran, terutama untuk hal-hal yang baru dan sesuatu yang berbeda dari apa yang dianut oleh warga Manado secara umum. Hal penting lainnya adalah beragama di kota Manado terasa begitu unik. Saya adalah orang Islam, dan di Manado kaum muslim adalah minoritas diantara dominasi penganut Kristen. Tapi kami umat Islam tidak pernah merasa bahwa muslim di Manado adalah minoritas. Kehidupan beragama di Manado tidak pernah membedakan antara pemeluk agama, sehingga tidak ada kesan bahwa yang mayoritas memiliki kedudukan lebih baik di masyarkat dari pada yang minoritas. Setiap umat beragama di kota Manado saling menghargai satu sama lain, memberikan ruang gerak yang pantas bagi siapa saja sesuai dengan kemampuan dan kompetensi orang tersebut, terlepas dari latar belakang agama. Di Manado, meskipun minoritas, tidak pernah ada kasus pembakaran tempat ibadah (masjid), pengusiran kelompok Islam tertentu, atau bahkan konflik dengan pemeluk agama lain. setiap orang menganggap bahwa setiap orang adalah bersaudara, sebagaimana Slogan “Torang Samua Basudara” yang sejak lama dijadikan motto hidup orang Manado. itu pula mungkin sebabnya di beberapa penelitian tingkat nasional yang pernah saya baca, Manado masuk dalam kategori kota-kota paling toleran di Indonesia. Dan saya pikir, kota-kota lain harus belajar tentang bagaimana kehidupan di kota dijalankan oleh penduduknya seperti di Manado. Menjadi warga Manado yang beragama Islam, hidup berdampingan dengan berbagai macam penganut agama, berkawan dengan mereka yang berbeda agama, berbeda tata cara ibadah, berbeda kitab suci, saya belajar tentang bagaimana sesungguhnya “menjalankan” ajaran agama dalam kehidupan sebagai warga kota. Menjadi minoritas di kota ini tidak lantas menjadikan kita sebagai warga kota kelas dua yang rawan 64 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak penindasan. Menjadi minoritas di Manado mengajarkan tentang bagaimana sesungguhnya kita menghargai pillihan-pilihan orang lain, serta bagaimana sesungguhnya menerjemahkan ajaran agama dalam konteks kehidupan kota Manado yang modern dan kompleks. Ajaran agama yang universal, menebarkan kebaikan, mencintai serta menghargai sesama. Dan tentu saja, hal terakhir yang saya syukuri adalah bahwa saya terlahir, dibesarkan sebagai muslim di kota Manado yang telah mengajarkan banyak hal tentang menghargai. Doa: Ada Harapan, ada Ketegangan Sebagai orang yang percaya pada Tuhan, kita selalu memanjatkan harapan, keinginan dan cita-cita. Kita menyebutnya sebagai do’a; permintaan dari hamba kepada sang pencipta. Manusia menginginkan banyak hal dalam keterbatasannya, untuk itulah mereka perlu berdoa. sebagai kota yang dihuni oleh ratusan ribu orang dari berbagai agama dan etnis, doa menjadi bagian dari nafas kehidupan orang Manado. Mereka berdoa setiap setiap saat; memulai pekerjaan, menyantap hidangan, sebelum tidur bahkan dalam acaraacara resmi yang diadakan oleh instansi pemerintah. Jika kita berada di kota Manado, anda akan mendengarkan do’a hampir sepanjang kehidupan anda. Kita bisa mendengarkan kidung pujian dari gerejagereja yang dinyanyikan pagi dan malam, atau doa yang dipanjatkan dari klenteng dan pura. Bahkan setiap jum’at dan lima kali dalam sehari, kita bisa mendengarkan panggilan azan dari ratusan masjid yang ada di kota Manado, memenuhi langit kota. di Manado, doadoa dipanjatkan dari berbagai penjuru, dari siapa saja yang menaruh harap pada Tuhan. Di Manado, ribuan doa dipanjatkan di bawah satu langit yang sama. Berbicara tentang doa, di beberapa tempat yang terletak di luar kota Manado telah dibangun beberapa monument dengan simbolsimbol agama. Di kota Tomohon, yang bisa dicapai dalam waktu 30 Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 65 menit dari Manado, terdapat sebuah tempat yang disebut sebagai bukit doa. tempat ini terletak di wilayah pegunungan yang sejuk, dipenuhi pepohonan yang sejuk dengan pemandangan menghadap gunung Lokon. di bukit doa terdapat sebuah kapel dan sebuah rute perjalanan Panjang yang disetiap perjalanannya dibangun patung yang menggambarkan perjalanan Yesus menuju tiang salib. Di ujung jalan, terdapat sebuah miniatur gua yang dibangun menyerupai makam Yesus. Sementara di ujung tempat perjalanan berakhir, terdapat sebuah kolam kecil dengan jembatan batu kecil. Dari tempat ini, kita bisa melihat patung Bunda Maria yang diletakkan dalam sebuah ceruk dinding. Kita keliru jika mengira bahwa bukit doa adalah tempat yang dibangun khusus untuk penganut Katolik. Di tempat ini, semua orang dari berbagai agama datang, mengunjungi kapel, meski tak semuanya berdoa. Bahkan banyak yang datang Bersama pasangan, keluarga maupun teman ke tempat ini. Bukit do’a, mungkin tidak sekedar tempat berdoa. ini mungkin juga menjadi tempat kita menaruh harapan, tempat dimana perbedaan-perbedaan melebur di bawah langit yang teduh serta udara yang dingin dan basah. Jauh dari kota Tomohon, berjarak kurang lebih 1,5 jam, terdapat sebuah monument yang disebut Bukit Kasih Kanonang. Terletak di desa Kanonang, tempat kelahiran A.J Sondakh, Mantan Gubernur Sulut yang wafat dengan damai pada tahun 2007, yang dimakamkan di sebuah bukit kecil yang terletak di pintu masuk Kawasan ini. Sondakh menjadi pencetus dibangunnya Bukit kasih sebagai sebuah bentuk komitmen terhadap kerukunan beragama di Sulawesi Utara. Di tempat ini dibangun tugu toleransi setinggi 22 meter yang terpahat kutipan dan simbol dari masing-masing agama. Sementara di puncak bukit, terdapat 5 rumah ibadah untuk semua penganut agama. Di kedua tempat ini, bukit doa dan bukit kasih, rumah ibadah 66 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak bukanlah sesuatu yang hanya menjadi milik satu penganut agama. Seorang muslim bisa mengunjungi kapel, dan seorang Kristen bisa mengunjungi masjid. Ditempat ini, keimanan menemukan bentuknya yang paling polos; Tuhan bisa ditemukan dimana saja, dan doa bisa dari mana saja. Doa selalu menjadi bagian paling intim dari beragama. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, doa menjadi ritual wajib sebelum memulai aktifitas. Di Manado, ritual “doa Bersama” bahkan menjadi salah satu agenda dalam beberapa kegiatan keagamaan. Biasanya setiap pemuka agama yang mewakili setiap agama akan diminta untuk berdoa bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan berdoa pun sering diadakan ditempat umum dan terbuka, dengan mengundang banyak Jemaah, oleh setiap agama. kita akan sering menjumpai pelaksanaan ibadah umat Kristiani atau pun zikir dan tabligh akbar umat Islam yang diselenggarakan di lapangan, bahkan sering mengundang perwakilan pemerintah. Ini pemandangan yang sudah umum di Manado. Doa memiliki dimensinya; ada ikatan dengan pencipta juga harapan. Seperti kata Goenawan Muhammad, tiap doa mengandung ketegangan. Doa selalu bergerak, antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara Hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang juga takzim. Di hadapan Tuhan, lidah tak bisa bertingkah. Itu pula sebabnya, maka pemerintah Manado mencetuskan bahwa Manado harus menjadi kota doa. dalam doa, ada pengharapan, metafora dan keterbatasan Bahasa manusia. Dalam doa manusia menyusu bait-bait perumpamaan juga kiasan. Dalam doa, manusia bahkan juga pemerintah merasa perlu meminta bantuan Tuhan. Kota ini terlalu kompleks, juga paradoks. Manado, tempat berkumpulnya kemaksiatan dan juga kesalehan. Kita merasa perlu menambah baris doa atau mungkin lama waktu ibadah. Tak soal. Tapi mengapa kita perlu Manado sebagai “kota do’a”? Tentu saja, kita ingin hidup yang Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 67 tak terputus dengan Tuhan. Doa adalah cara paling memungkinkan mencapai Tuhan. Tapi mengapa Manado harus dijadikan kota do’a? Apa maknanya? Kita bisa menganggap frasa “kota doa”, sebagai kota tempat berdoa, tempat umat dari berbagai agama memanjatkan harapan dan keinginan kepada Tuhan. Manado adalah rumah bagi banyak agama, hidup dalam damai dan berdo’a bagi Tuhan masing-masing di bawah satu langit yang sama. Manado kota doa bisa berarti sebuah kota yang identitas sosial dan kulturnya dibangun diatas doa berbagai umat beragama. Doa memiliki dimensi sosial dan spiritual. Namun, dengan menjadikan slogan Manado kota doa, maka doa juga memiliki dimensi sosialnya sendiri. Jika kita sebagai umat beragama selalu memanjatkan doa di rumah ibadah masing-masing, pada setiap ibadah yang kita laksanakan, maka dimensi sosial dari doa di Manado berarti kita memanjatkan cita-cita dan harapan Bersama masyarakat Manado, kepada sang pencipta untuk pembangunan dan masa depan kota Manado yang lebih baik. Pemerintah tahu, bahwa membangun Manado tidak sekedar fisik seperti Gedung besar, jalanan atau trotoar. Ada hal-hal yang bersifat spirit, keyakinan yang dianut oleh seluruh warga Manado. Menjadikan Manado sebagai kota do’a, mengandung harapan terhadap nilai-nilai yang bermanfaat bagi semua. Tapi konsep ini pun sama abstraknya dengan do’a itu sendiri. Apakah kota doa sekedar slogan, agar kota ini tetap dianggap toleransi? Ataukah sekedar mempertahankan angka-angka dalam survei indeks kerukunan yang diadakan oleh Lembaga-lemabaga riset? Bukankah, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kita juga pernah bermasalah terkait rumah ibadah? Masjid Texas, yang sudah berdiri puluhan tahun di tengahtengah kota Manado, pernah menjadi polemik yang hampir memicu 68 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak konflik horizontal. Beberapa kelompok adat melakukan demo di depan masjid, berteriak sambil membawa senjata tajam, beberapa saat menjelang maghrib. Jika belum selesai dengan persoalan rumah ibadah atau ibadah orang lain, maka slogan apapun hanya sekedar formalitas untuk menyembunyikan wajah buruk kehidupan sosial kita saat ini. Jangan sampai, kota Manado hanya dibangun diatas kata-kata dan semboyan yang bersifat seremonial belaka, tapi dibalik itu semua sebenarnya kita memendam benci satu sama lain. Menjadikan Manado sebagai kota doa berarti menjadikan kota ini tempat yang layak huni bagi semua agama. Berdoa tidak sekedar komunikasi dengan Tuhan, berdoa berarti kita menaruh harap, bahwa di tengah-tengah ketegangan dan kecemasan, bahwa kita selalu punya jalan dan cara menyatukan setiap perbedaan. Kota doa tidak boleh hanya sekedar berhenti pada formalitas dan seremonial yang diadakan oleh pemerintah. Melekatkan doa pada identitas masyarakat kota meniscayakan satu hal; setiap orang punya harapan terhadap kota ini. Kota yang akan memastikan bahwa di bawah satu langit yang sama, ada ribuan doa yang mengalir untuk harmoni, perdamaian dan kesetaraan sebagai warga kota. diatas semua itu, kita selalu berdoa agar Manado menjadi kota yang selalu lebih baik di masa-masa mendatang. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 69 PEMBANGUNAN YANG BERPRESPEKTIF GENDER Oleh: Riane Elean S ebagai mahluk yang bernafas, manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup. Sedari awal peradaban manusia berjuang untuk survive, memecahkan masalah, melawan kemiskinan, termasuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Perjuangan ini menggiring manusia untuk menemukan cara yang efektif dan paling efisien sebagai jawaban dari setiap masalah dan tantangan hidup yang dialami dalam upaya membuat hidupnya menjadi lebih baik. Berbeda dengan mahluk hidup lain, manusia memiliki akal dan pikiran untuk mengakses lebih banyak informasi dalam kehidupan, belajar dari pengalaman dan memproduksi kiat-kiat yang berhasil guna bagi dirinya maupun bagi komunitasnya sebagai mahluk hidup dan mahluk sosial. Upaya manusia ini kemudian berkembang menjadi tindakan sadar untuk merancang strategi kerja dengan tujuan tertentu dengan lebih terencana, teratur dan terarah. Usaha manusia menjadikan hidupnya lebih baik secara terencana inilah yang kemudian disebut dengan istilah “pembangunan”. Pembangunan sering menjadi jargon ampuh di negara mana pun, terutama negara berkembang dan belum berkembang. 70 Negara melakukan proses pembangunan untuk mencapai target tertentu, baik untuk kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan negara itu sendiri. Banyak model-model pembangunan berbasis ideologi diterapkan di banyak negara secara variatif, seberagam kepentingan apa yang dibawa pembangunan tersebut bagi negara yang menerimanya. Melihat realitas yang tengah terjadi, muncul kekuatiran akan hakikat pembangunan yang cenderung semakin memudar. Pembangunan semata hanya berwajah infrastruktur, perindustrian, dan fasilitas fisik wilayah untuk mendukung roda ekonomi global. Kalangan birokrasi tidak lagi melayani masyarakat melainkan membuka jalan masuk dan mempermulus akumulasi kapital. Lebih parahnya lagi, arahan dan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan akumulasi kapital ini berhasil dilegitimasi dalam program nasional, baik jangka pendek maupun Panjang. Berbagai program pembangunan banyak dimanfaatkan para pemangku kekuasaan sebagai jalan untuk menjaring laba dan menancapkan prospek yang mumpuni untuk tujuan bisnis. Instrumen pemerintahan yang dibangun sengaja membuka ruang terhadap lancarnya peredaran kapital, sehingga tubuh pembangunan itu sesungguhnya didedikasikan untuk kaum kapital. Kebijakan dan regulasi yang dibuat mengatasnamakan pembangunan sering sangat relasional dengan kepentingan penguasaan atas ruang sebagai syarat dari produksi dan akumulasi laba. Konflik serta tercerabutnya hak masyarakat atas ruang hidupnya merupakan implikasi yang memiriskan dari kebijakan dan regulasi atas nama pembangunan. Mayoritas agenda pembangunan di Indonesia juga masih mendiskriminasi kelompok rentan sehingga terjadinya ketimpangan struktur di dalamnya. Kelompok rentan yang dimaksud antara lain adalah kelompok difabel, LGBT, pengidap HIV/AIDS, perempuan, dan kelompok kepercayaan yang minoritas (INFID; 2014). Praktek diskriminasi ini terjadi di berbagai ruang. Diskriminasi dalam Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 71 ruang ekonomi misalnya dapat dilihat sisi produksi pengetahuan dan minimnya investasi publik dan meningkatnya kesenjangan pendapatan, serta agenda pembangunan yang belum melibatkan secara signifikan beberapa identitas sosial, seperti kelompok gender tertentu, kelompok difabel, masyarakat adat, dan kelompok minoritas. Dalam ruang hukum, saling berkaitan dengan ruang sosial yang timpang, diskriminasi terjadi karena konstruksi oposisi biner, yang merupakan konstruksi sosial dan umumnya satu di antara dua unit memainkan peran dominan sehingga unit yang lain menjadi inferior, contohnya laki-perempuan, normal-abnormal, mayoritas-minoritas. Dalam ruang politik terlihat dari kondisi dimana eksistensi peraturan masih tidak membawa perbaikan bagi kelompok-kelompok rentan tersebut. Pembangunan yang diupayakan manusia dalam perkembangannya telah bertemu dan berdialog dengan berbagai tata nilai dan konstruksi-konstruksi sosial yang terbentuk dalam masyarakat pada masing-masing tempat dan waktu, termasuk di dalamnya keyakinan, agama dan pemahaman yang dibentuk atasnya. Dalam dialektika ini kemudian muncul berbagai persoalan terkait dengan perencanaan dan tahapan pelaksanaan pembangunan, pun setelah pembangunan dijadikan agenda sebuah negara. Mengapa pembangunan dilakukan? mengapa skemanya ditentukan, bahkan oleh perancang pembangunannya bukan oleh negara penerima rencana pembangunan? dan apa kepentingan di balik pelaksanaan pembangunan? Apakah pembangunan telah tepat sasaran? Apakah pembangunan telah menjangkau semua lapisan masyarakat? Apakah pembangunan telah bebas stigma, diskriminasi dan kekerasan? Apakah pembangunan telah dilakukan dengan memperhatikan keutuhan ciptaan? jika pembangunan berarti kemajuan, bagaimana kemajuan itu diukur? Bentuk masyarakat seperti apa yang dituju oleh pembangunan? Pertanyaan kemudian: meskipun masyarakat 72 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak senantiasa berubah dan dinamis, perubahan yang terjadi apakah selalu mengarah pada kemajuan? Pertanyaan-pertanyaan inilah antara lain yang kerap muncul dalam upaya mengkritisi dan mengevaluasi pembangunan yang telah berjalan dan rancangan pembangunan yang akan dikerjakan. Berkaca dari kenyataan masih banyaknya kelompok rentan yang terdiskriminasi dalam agenda pembangunan, maka isu diskriminasi dan ketimpangan struktural sudah seharusnya menjadi kunci konsep dalam studi perencanaan agenda pembangunan. Perspektif ini yang akan memperdalam pelaksanaan pembangunan dengan mengingat bahwa kebijakan-kebijakan pendukung pembangunan saja tidak akan cukup, namun lebih jauh lagi bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut harus dapat bersifat inklusif, menjangkau seluruh elemen masyarakat secara keseluruhan serta mengarusutamakan suarasuara kelompok rentan dalam agenda pembangunan sehingga dapat meminimalisir terjadinya praktek-praktek diskriminasi secara lebih komprehensif. Dari sekian banyak dan luasnya aspek kajian terhadap pembangunan, maka tulisan ini akan memberikan batasan pada analisis terhadap pembangunan terutama secara khusus dalam kaitan dengan isu gender, yang diharapkan bisa memberi kontribusi bagi pembangunan di Sulawesi Utara. Tak ada gading yang tak retak, demikian juga tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu berbagai masukan sangat diharapkan untuk peningkatan kualitasnya. Teori-Teori Pembangunan Dalam pemahaman sederhana, pembangunan diartikan sebagai proses perubahan ke arah yang lebih baik, dengan upaya yang dilakukan secara terencana. Kata “pembangunan”, sebagaimana menjadi tafsiran umum, sering diartikan pula sebagai usaha memajukan kehidupan masyarakat dan warganya (Budiman, Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 73 1995; 65). Sejalan dengan itu pemahaman yang sama tentang definisi pembangunan dikemukakan oleh Heru Nugroho bahwa pembangunan adalah perubahan sosial dari kondisi tertentu ke arah kondisi yang lebih baik (Nugroho, 2001;73). Pembangunan adalah sebagai proses perubahan yang terencana dari suatu situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lain yang dinilai lebih tinggi (Tjokrowinoto, 1987;23). Secara lebih spesifik Soerjono Soekanto mendefinisikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan di segala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu, dimana proses pembangunan itu sendiri harus bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spritual maupun material (Soekanto, 1999;70). Pembangunan sebagai sebuah proses perubahan sudah seharusnya menciptakan kesejahteraan masyarakat, seperti yang diutarakan oleh Agus Salim, bahwa pembangunan adalah sebuah proses perencanaan sosial yang dilakukan oleh birokrat perencanaan pembangunan, untuk membuat perubahan sosial yang akhirnya dapat mendatangkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya (Salim, 2002;64). Secara terminologis, di Indonesia pembangunan sering diidentikkan dengan istilah development, modernization, westernization, empowering, industrialization, economic growth, europanization. Identifikasi pembangunan dengan beberapa terminologi tersebut lahir karena pembangunan memiliki makna yang multitafsir, sehingga kerap kali istilah tersebut disamakan dengan beberapa istilah lain yang berlainan arti (Tjokrowinoto, 1996;7). Pembangunan dalam sebuah negara sering dikaitkan dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya peningkatan jumlah dan produktifitas sumber daya, termasuk pertambahan penduduk, disertai dengan perubahan fundamental 74 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak dalam struktur ekonomi suatu negara serta pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Terkait dengan ini Sumitro (Deliarnov, 2006;89). memberikan catatan kritis. menurutnya proses pembangunan ekonomi harus merupakan proses pembebasan, yaitu pembebasan rakyat banyak dari belenggu kekuatan-kekuatan ekonomi, dan pembebasan negara-negara berkembang dari belenggu tata kekuatan ekonomi dunia. Teori pembangunan merupakan salah satu teori besar yang juga dikenal dengan istilah ideologi developmentalisme. Sesuai namanya, teori ini berporos pada aspek pembangunan, lebih khususnya pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi. Gagasan inti teori pembangunan adalah asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan motor penggerak terciptanya kesejahteraan sosial dan progres politik. Kesejahteraan sosial dicapai di bawah naungan sistem kapitalisme. Sedangkan progres politik dicapai dengan diterapkannya sistem demokrasi. Pembangunan melalui kapitalisme akan membawa masyarakat dari tradisional, terbelakang, dan tribal menuju masyarakat yang modern, maju, dan progress. Apabila masyarakat mengalami transformasi menjadi masyarakat yang modern, aspek politik akan bergerak ke arah demokrasi. Dua konsep ini: kapitalisme dan demokrasi adalah poros utama teori pembangunan. Arif Budiman membagi dunia ini dalam tiga Kawasan dalam melaksanakan pembangunannya. Pertama, kawasan negara-negara yang melaksanakan pembangunannya dengan sistem kapitalisme berkombinasi dengan pelaksanaan sistem welfare state. Negara ini adalah negara-negara industri maju, yang pamornya sedang naik sekarang. Kedua, kawasan negara-negara yang melaksanakan sistem sosialis dengan berbagai variasinya. Negara-negara sedang mengalami krisis sekarang. Ketiga, kawasan negara-negara di Dunia Ketiga yang menggunakan berbagai model campuran dalam Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 75 melaksanakan pembangunan. Banyak faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembangunan. Salah satunya adalah agama. Seperti halnya yang disimpulkan Max Weber, sosiolog dan ekonom ternama Jerman, dalam bukunya yang termashur, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Weber, 1992), agama merupakan faktor penyebab kemunculan kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Weber mengungkapkan kemajuan ekonomi beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat di bawah kapitalisme disebabkan terutama oleh Etika Protestan yang dikembangkan Calvin. Mukti Ali mengemukakan bahwa agama dalam pembangunan berperan sebagai etos pembangunan. Agama menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini atau dihayati mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap. Selanjutnya, nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama dijauhinya dan sebaliknya, selalu giat dalam menerapkan perintah agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang banyak. Dari tingkah laku dan sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang etis. Penerapan agama lebih menjurus keperbuatan yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk kepentingan lain (Jalaluddin, 2004;255-257). Agama juga menjadi motivator dalam pembangunan. Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalan ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan. Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk beebuat tanpa imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan 76 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak akhirat lebih didambakan oleh penganut agama yang taat. Melalui motivasi keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam pembangunan. Gender dan Pembangunan Secara umum gender sering diterjemahkan sebagai “jenis kelamin sosial” yaitu merupakan suatu istilah atau konsep yang menurut pemahaman tradisional masyarakat kebanyakan menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial budaya. Gender mempunyai makna sosial, budaya dan psikologis. Gender merupakan konsep pembeda antara perempuan dan laki-laki yang merujuk pada relasi sosial dan membedakan fungsi serta peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak hanya ditentukan karena perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan dinamikanya (Sukesi, 2017;17). Tak dapat dipungkiri bahwa dua identitas gender yang paling umum dipahami masyarakat adalah laki-laki dan perempuan (atau pria dan wanita), dan seringkali orang berpikir bahwa hanya dua inilah identitas gender itu. Gagasan bahwa hanya ada dua jenis kelamin disebut “biner gender.” Jika seseorang memiliki identitas gender biner, itu berarti dia telah mengidentifikasi diri baik sebagai anak laki-laki atau perempuan, terlepas dari jenis kelamin yang disematkan padanya saat lahir. Tetapi gender adalah spektrum, dan tidak terbatas hanya pada dua kemungkinan. Seseorang mungkin memiliki identitas gender Non-biner, yang berarti dia tidak mengidentifikasikan diri secara tegas sebagai anak laki-laki atau perempuan. Dia dapat mengidentifikasi baik jenis kelamin lain sepenuhnya atau bahkan tidak mengidentifikasi diri dengan jenis Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 77 kelamin apa pun. Jenis kelamin seseorang merupakan kaitan yang sangat kompleks antara tiga dimensi: dimensi pertama ialah tubuh, pengalaman kita tentang tubuh kita sendiri, bagaimana masyarakat membentuk tubuh gender, dan bagaimana orang lain berinteraksi dengan kita berdasarkan tubuh kita. Dimensi kedua ialah identitas, yakni rasa internal diri kita yang dalam, sebagai laki-laki, perempuan, campuran keduanya, atau tidak keduanya, yang secara internal dipahami oleh diri kita sendiri. Dimensi yang ketiga ialah ekspresi, yakni bagaimana kita mengekspresikan diri kita di dunia, dan bagaimana masyarakat, budaya, komunitas, dan keluarga memahami, berinteraksi dengan, dan mencoba untuk membentuk gender kita. Ekspresi gender juga terkait dengan peran gender dan bagaimana masyarakat menggunakan peran tersebut untuk berkonformasi dengan norma-norma gender saat ini. Masing-masing dimensi ini dapat sangat bervariasi di berbagai kemungkinan. Kenyamanan seseorang dalam gender mereka terkait dengan sejauh mana tiga dimensi ini terasa selaras. Ada berapa istilah lainnya yang perlu dipahami ketika berbicara tentang kompleksitas gender, di antaranya identitas gender, ekspresi gender, dan orientasi seksual. Identitas gender adalah keadaan perasaan dan pikiran seseorang tentang dirinya sendiri, terkait jenis kelamin yang dimilikinya dan ekspresi gender yang ditampilkannya. Identitas gender dapat digolongkan menjadi: pria (men) dan perempuan (women), dengan kondisi variasi di antaranya (genderqueer). Genderqueer meliputi pula seseorang yang mengidentifkasikan dirinya sebagai pria maupun perempuan secara bersamaan, bergantian, berubah-ubah, atau tidak sebagai pria maupun sebagai perempuan, atau sebagai bentuk identitas gender lain yang sulit didefinisikan. Itu berarti ketika berbicara tentang gender bukan hanya bicara tentang perempuan atau laki-laki saja, tetapi juga bicara genderqueer atau 78 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak bahkan beragam spektrum gender lainnya. Seseorang yang identitas gendernya tidak bersesuaian dengan jenis kelaminnya sehingga cenderung menampilkan pola ekspresi gender sesuai cara pandang dirinya disebut sebagai transgender. Di Indonesia, waria adalah istilah untuk seorang yang dilahirkan dalam jenis kelamin laki-laki yang identitas gendernya perempuan. Sedangkan priawan adalah istilah untuk seorang yang dilahirkan dalam jenis kelamin perempuan, namun identitas gendernya pria. Seorang individu yang mengubah keadaan fisik alat kelaminnya dari laki-laki menjadi perempuan, atau sebaliknya, baik seluruh ataupun sebagian, disebut dengan transseksual. Pada kondisi tertentu, dapat dijumpai transgender yang juga transseksual; meski di sisi lain, tidak semua transgender ingin melakukan perubahan pada alat kelaminnya. Orientasi seksual adalah pola ketertarikan seksual, romantis atau emosional seseorang kepada orang lain. Orientasi seksual dapat ditujukan kepada orang dengan jenis kelamin yang berlawanan (laki-laki kepada perempuan, atau sebaliknya), sehingga disebut heteroseksual atau dapat pula ditujukan kepada orang dengan jenis kelamin yang sama (laki-laki kepada laki-laki lain, atau perempuan kepada perempuan lain), sehingga disebut homoseksual. Lesbian adalah istilah informal untuk homoseksual perempuan, dan gay adalah istilah informal untuk heteroseksual laki-laki. Sebagaimana jenis kelamin, orientasi seksual dapat bervariasi dalam berbagai tingkatan antara heteroseksual dan homoseksual. Ternyata perbedaan antara seks dan gender mempunyai implikasi yang sangat penting, karena manusia berkembang sebagai hasil konstruksi sosial. Dalam memperbaiki kehidupan, masyarakat perlu memahami perbedaan seks dan gender. Perbedaan seks tidak otomatis sejalan dengan perbedaan gender, karena gender merupakan hasil sosialisasi masyarakat yang dapat berbeda karena waktu, tempat, dan kemauan masyarakat untuk mengubah. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 79 Sedangkan perbedaan seks sifatnya biologis dan universal (Sukkesi, 2017;97). Perbedaan gender menghasilkan pemberian peran gender pada laki-laki, perempuan, maupun kepada identitas gender lainnya oleh masyarakat sesuai kehendaknya. Ketidakadilan gender dalam pembangunan masih terus terjadi. Murniati mencatat bahwa ketidakadilan gender dalam hubungan dengan kerja terjadi ketika perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai peran dalam produksi benda atau jasa, di sektor publik dari tingkat lingkungan sampai tingkat pemerintahan. Tetapi, tugastugas yang berhubungan fungsi reproduksi masyarakat , pekerjaanpekerjaan domestik, hampir selalu menjadi tanggung jawab perempuan. Akibatnya, jam kerja perempuan jauh lebih panjang dibanding laki-laki. Pekerjaan reproduksi dianggap rendah dan tidak dinilai ekonomis, padahal pekerjaan domestik ini merupakan pekerjaan mempersiapkan tenaga kerja dalam masyarakat (Murniati, 2004;99). Ketidakadilan gender dalam hubungan dengan sumber alam dan manfaatnya dalam beberapa kelompok masyarakat, perempuan tidak boleh memiliki tanah akibatnya untuk menanam bahan pangan, mereka harus tergantung kepada bapak, suami, atau saudara laki-laki. Dalam masyarakat lainnya, perempuan tidak boleh mengikuti kursus pemberantasan buta aksara, dengan alasan bahwa perempuan sudah banyak pekerjaannya. Setiap harinya, jumlah jam kerja perempuan lebih banyak dari jumlah kerja laki-laki, tetapi tidak diperhitungkan secara ekonomi. Ketidakadilan gender dalam kaitannya dengan hak asasi terjadi ketika hak asasi perempuan tidak diakui di dunia. Dalam pembicaraan hak asasi, tidak otomatis hak asasi perempuan termasuk di dalamnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa perempuan tidak mempunyai hak pribadi, meskipun untuk menentukan fungsi reproduksi sendiri. Perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri, 80 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak karena dipaksa kawin misalnya. Perempuan tidak dapat menentukan jenis pekerjaan, karena mereka sudah ditentukan dengan pekerjaan domestiknya. Dalam banyak kebudayaan yang mempunyai ritus pemotongan kelamin perempuan atau perusakan badan, perempuan secara terus-menerus teraniaya atau bahkan dibunuh sebagai bagian dari upacara adat. Ketidakadilan gender dalam kaitannya dengan kebudayaan dan agama terjadi ketika perempuan mengalami diskriminasi di segala lingkungan. Pelaksanaan dan praktek beragama maupun kebudayaan merupakan sumber ketidakadilan gender dan diskriminasi hak asasi perempuan. Agama mengajarkan persamaan hak untuk semua umat manusia, tetapi dalam praktiknya tidak. Perempuan diberi kedudukan subordinat dan tidak mempunyai kuasa untuk menentukan ajaran agama. Kitab suci dari berbagai agama ditafsirkan sesuai dengan perbedaan posisi antara perempuan dan laki-laki. Kebudayaan juga memberikan banyak aturan kepada perempuan, dan memberi keistimewaan makan pada laki-laki sendiri. Ketidaksetaraan terlihat juga dari masih rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, hal tersebut dapat dilihat dari menurunnya keterwakilan perempuan pada parlemen dari 18,2% pada 2009 menjadi 17,3% pada 2014. Padahal, kandidat perempuan yang masuk daftar pemilih meningkat dari 33,6% menjadi 37%. Ketidaksetaraan gender juga terlihat di bidang Kesehatan sehingga target kesehatan ibu tidak tercapai. Selain itu dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, terdapat kenaikan angka kematian ibu dari 228 per 100 ribu kelahiran menjadi 359 per 100 ribu kelahiran. Ketidaksetaraan gender juga terlihat dengan banyaknya kasus kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Tidak hanya kekerasan fisik, tapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual dan ekonomi (Media Indonesia). Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 81 Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender bukan hanya terjadi dalam relasi biner perempuan dan laki-laki. Fakta miris ini juga terjadi pada variasi gender lainnya. Hasil penelitian “Menguak Stigma, Diskriminasi, dan Kekerasan pada LGBT di Indonesia” yang dilakukan Arus Pelangi, Komunitas Sehati Makassar dan PLUSH tahun 2013 lalu menguak fakta bahwa: 89.3% LGBT di Indonesia mengalami kekerasan berbasis SOGIE (Seks orientation, gender identity, and expression). Pada umumnya kelompok LGBT mengalami banyak kekerasan dan diskriminasi dalam kesempatan kerja dan tempat tinggal, Pendidikan, kesehatan, kesejahteraan (UNDP&USAID), LGBT sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena lingkungan yang tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara mereka yang berhasil mendapat pekerjaan juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, diancam dan bahkan mengalami kekerasan secara fisik (Pride Project; 2014). Dalam dunia kerja, kelompok LGBT yang masih merahasiakan statusnya dalam situasi tertentu masih dapat masuk ke dunia kerja tanpa diskriminasi berarti, sementara LGBT yang terbuka lebih banyak mengembangkan diri pada situasi pekerjaan yang tidak begitu terikat dengan norma-norma, seperti menjadi wirausaha mandiri. Sedangkan kelompok transgender (waria) merupakan kelompok yang paling banyak mendapatkan diskriminasi karena penampilan mereka yang berbeda. Sehingga kelompok ini banyak mengembangkan diri pada sektor-sektor informal seperti salon, industri kreatif, hiburan dan beberapa di antaranya masuk dalam dunia prostitusi. Upaya pemecahan masalah berkaitan dengan adanya ketimpangan atau kesenjangan gender adalah melalui pembangunan dengan pendekatan gender. Cara yang dapat dilakukan antara lain adalah dikembangkannya wawasan keadilan dan kesetaraan 82 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak gender serta teknik analisis gender dengan berbagai metode untuk menemu-kenali masalah gender. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan, mengurangi, memperbaiki kesenjangan gender. Pembangunan dengan pendekatan ini dalam penyusunan rencananya telah mengakomodasi aspirasi, kepentingan dan peranan individu di dalamnya serta memperhatikan dampaknya terhadap semua lapisan masyarakat. Di Indonesia, pembangunan dengan pendekatan gender telah dicanangkan program pemerintah yaitu pengarusutamaan gender (PUG) yang sejak tahun 2000 digalakkan untuk disosialisasikan pada seluruh pemerintah daerah agar kebijakan dan program pembangunan yang dilaksanakan tidak bias gender, tidak timpang gender, dan selalu mengintegrasikan aspek gender dalam proses pembangunan. Namun pengarusutamaan gender ini lebih kepada program pemberdayaan terhadap identitas gender yang biner, tanpa menyinggung-nyinggung bahkan memberi tempat pada keragaman/ spektrum identitas gender seperti yang dipaparkan di atas. Perempuan Indonesia memegang peranan penting dalam pembangunan, jumlahnya yang mencapai 118.048.783 (49%) orang dari 237.556.363 orang penduduk Indonesia (sensus pendudukan 2010), merupakan jumlah yang potensial untuk pembangunan nasional. Dengan jumlah yang demikian banyak, pantas bila perempuan dijadikan salah satu komponen pembangun bangsa. Peran perempuan dalam pembangunan bangsa Indonesia sangat besar dan merupakan aset bangsa yang potensial dan kontributor yang signifikan dalam pembangunan bangsa baik sebagai agen perubahan maupun subyek pembangunan (academia.edu; 2018). Namun saat ini perempuan Indonesia dinilai masih jauh tertinggal, dibandingkan dengan perempuan negara-negara maju lainnya. Indikator hal tersebut dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, aspek ekonomi. Kaum perempuan Indonesia masih banyak Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 83 yang berada dalam garis kemiskinan. Rendahnya pendapatan dan kurangnya akses dalam perekonomian membuat kaum perempuan Indonesia semakin terpuruk. Saat ini 4,7 juta perempuan di Indonesia masih menganggur. Masih kuatnya budaya patriarki juga menyebabkan ketimpangan sosial. Sehingga, kaum perempuan sulit mengakses pekerjaan, pendidikan dan aktualisasi diri. Kedua, aspek pendidikan. Dari jumlah perempuan pekerja di Indonesia sekitar 81,15 juta orang dan 56 persen atau 45,4 juta orang di antaranya hanya berpendidikan SD. Hanya 4,7 persen atau 3,8 juta yang berpendidikan akademi atau sarjana, data BPS tersebut juga menunjukkan bahwa banyak kasus anak perempuan terpaksa tidak bersekolah untuk mengurangi biaya pendidikan yang ditanggung keluarganya dan terpaksa masuk ke angkatan kerja mencari nafkah bagi keluarganya, dan lebih banyak anak perempuan usia sekolah yang bekerja dibandingkan anak laki-laki. Jumlah buta aksara perempuan masih 2 kali lipat dari laki-laki (perempuan 12,28%, lakilaki 5,48%) dan rata-rata lama bersekolah perempuan (7,1 tahun) lebih rendah daripada laki-laki (8,0 tahun). Jumlah sarjana perempuan yang masih di bawah 5% Ketiga, aspek kesehatan. Derajat kesehatan kaum perempuan juga sangat memprihatinkan. Walaupun Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sudah menurun, namun ternyata masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. AKI di Indonesia terakhir erada di angka 228/100.000 kelahiran hidup setelah sebelumnya sebesar 307/100.000 kelahiran hidup. Pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, sebagai acuan memaksimalkan potensi perempuan dalam pembangunan. Dalam keluarga, kaum perempuan merupakan tiang keluarga, kaum perempuan akan melahirkan dan mendidik generasi penerus. Kualitas generasi penerus bangsa ditentukan oleh kualitas kaum perempuan sehingga mau tidak mau kaum perempuan harus meningkatkan 84 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak kualitas pribadi masing-masing. Tidak mungkin akan terbentuk keluarga yang berkualitas tanpa meningkatkan kualitas perempuan. Kualitas pendidikan perempuan juga merupakan aspek yang sangat penting bagi pembangunan bangsa. Kaum perempuan harus berusaha meraih jenjang pendidikan setinggi mungkin. Peningkatan derajat kesehatan perempuan juga seiring dengan upaya peningkatan akses pendidikan, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana dan pelayanan kesehatan. Terlepas dari semua kekurangan dan keterbatasan perempuan Indonesia, saat ini perempuan Indonesia berbeda dengan perempuan Indonesia masa lalu. Bila dulu perempuan Indonesia beraktivitas hanya di sekitaran keluarga dan rumah tangga, kini bisa disaksikan bagaimana perempuan Indonesia berperan hampir dalam setiap bidang pekerjaan dan profesi. Bahkan, salah seorang presiden Indonesia adalah perempuan. Tidak sedikit pula yang berprofesi sebagai pimpinan dalam perusahaan atau lembaga. Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas perempuan Indonesia, sesungguhnya tidak kalah dari kaum laki-laki. Oleh karena itu, optimisme akan pembangunan nasional dan daerah yang bertumpu pada semua pihak akan terselenggara dengan baik. Dukungan semua pihak tetap diperlukan, agar keseimbangan yang telah terjadi selama ini, dapat terus disempurnakan, saling mengisi dan memberikan kontribusi pada pembangunan daerah dan nasional. Indonesia diperkirakan pada 2020-2030 akan mendapatkan bonus demografi. Saat itu jumlah usia produktif (1564 tahun) akan mencapai 70% dan sisanya 30% ialah penduduk yang tidak produktif (di bawah usia 15 tahun dan di atas 65 tahun). Bonus demografi itu tentunya akan membawa berkah lantaran melimpahnya jumlah penduduk usia kerja dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Demografi jika dikelola dengan baik akan menjadi modal sumber daya dalam pembangunan. Imbasnya kesejahteraan masyarakat pun bisa meningkat. Agar berkah itu tak sia-sia, Indonesia sejak dini Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 85 dituntut melakukan beberapa hal, antara lain penguatan di bidang pendidikan, kesehatan, dan politik untuk membangun daya saing. Bagaimana dengan kondisi di Sulawesi Utara? Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut Moh. Edi Mahmud (Tribun News; 5 Juli 2018), penduduk usia kerja di Sulawesi Utara pada Februari 2018 kian meningkat, yaitu sebanyak 1,86 juta atau naik 1,34% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Dari sejumlah tenaga kerja tersebut, sekitar dua pertiganya merupakan pekerja dan pencari kerja, sedangkan sisanya masih bersekolah, mengurus rumah tangga, atau melakukan kegiatan aktif lainnya. Meskipun secara kuantitas tenaga kerja meningkat, namun Angka Partisipasi Angkatan Kerja (APAK) pada Februari 2018 turun 1,05 poin dibandingkan Februari 2017. Hal ini dikarenakan jumlah pekerja dan pencari kerja berkurang, sebaliknya jumlah kelompok bukan angkatan kerja bertambah, terutama mereka yang mengurus rumah tangga. Pada Februari 2018, APAK di Provinsi Sulawesi Utara tercatat sebesar 67,73 persen, artinya dari 100 penduduk usia kerja terdapat 68 orang yang aktif secara ekonomi. Dilihat menurut jenis kelamin, APAK laki-laki pada Februari 2018 hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan APAK perempuan. Dari 100 penduduk usia kerja laki-laki, sekitar 83 orang berpartisipasi aktif secara ekonomi, sedangkan dari 100 penduduk usia kerja perempuan, hanya sekitar 51 orang berpartisipasi aktif secara ekonomi. Selain itu, meskipun lebih dari separuh penduduk usia kerja perempuan telah tergabung dalam angkatan kerja, namun hanya 47,71 persen yang masuk pasar kerja. Jika dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya, persentase pekerja perempuan turun 0,92 poin. Hal ini dikarenakan semakin banyak penduduk perempuan yang mengurus rumah tangga. Sementara Data BPS 2016 jumlah PNS perempuan di Sulawesi Utara 44626. Laki-laki 31913, dari jumlah total 76539 atau 58,3 persen (bps.go.id; 2016). 86 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Pada beberapa periode, di provinsi Sulut ada tujuh kabupaten/ kota dipimpin perempuan. Kabupaten Minahasa Utara oleh Vonnie Panambunan, Walikota Kotamobagu Tatong Bara, Bupati Kabupaten Talaud Sri Wahyumi Manalip, Bupati Minahasa Selatan Christiany Eugenia Paruntu, dan Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagouw. Untuk posisi wakil bupati ada di Kepulauan Sitaro Sisca Salindeho dan Kota Tomohon Syerli Adelin Sompotan. Disamping itu, Provinsi Sulawesi Utara pernah memiliki Marlina Moha-Siahaan (mantan Bupati Bolmong), Telly Tjanggung (mantan Bupati Minahasa Tenggara), Yulisa Baramuli (Mantan Wakil Bupati Minahasa Utara), Syenie Watulangkow (mantan Wakil Walikota Tomohon). Belum lagi anggota DPR di kabupaten/ kota dan provinsi yang banyak dijabat perempuan. Semakin banyaknya perempuan memegang peranan di ruang publik sebagai penentu kebijakan, diharapkan berbanding lurus dengan lahirnya kebijakankebijakan publik yang mengakomodir berbagai dimensi peran perempuan dalam kehidupan dan menyediakan pelayanan dan perlindungan yang diperlukan. Representasi perempuan di ruang publik diharapkan mampu menelurkan produk-produk legal yang bukan saja menyentuh dimensi pengaturannya saja, tetapi juga mengatur penyediaan anggaran yang diperlukan, sehingga ini pada akhirnya diharapkan mampu meminimalisir diskriminasi terhadap perempuan. Sedikitnya keterlibatan perempuan dalam pembuatan keputusan di tingkat lokal, baik untuk peraturan maupun alokasi anggaran, menyumbang fakta bahwa peraturan daerah yang dihasilkan pada masa otonomi daerah kurang responsif terhadap isu gender. Keterbatasan akses membuat perempuan mengalami kesulitan untuk menunjukkan bahwa kepentingannya tidak terwadahi dalam sistem politik yang. Keterbatasan keterlibatan perempuan di ruang publik juga menjadi kendala untuk mengembangkan organisasi perempuan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 87 yang bisa memformulasi kepentingan perempuan. Oleh karena itu harus ada ruang untuk kemungkinan berkembangnya kesempatan bagi perempuan untuk mendefinisikan sistem partisipasinya yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhannya bisa diperhatikan. Sebuah aksi afirmatif dibutuhkan untuk memberi ruang bagi diskursus perempuan dalam pembuatan kebijakan. Aksi afirmatif bukanlah sekedar penambahan jumlah perempuan dalam pembuatan kebijakan, tetapi juga bagaimana mencerminkan keragaman peran perempuan yang ada pada tiap daerah. Peningkatan kapasitas lebih mendalam bagi para pembuat keputusan -baik perempuan maupun laki-laki- untuk membuat isu gender sebagai hal yang penting dan wajib ada dalam peraturan daerah. Penutup Sebuah pembangunan hendaknya juga dimaknai secara holistik atau menyeluruh, tidak hanya mencakup pembangunan ekonomi, tapi juga sosial dengan mempertimbangkan juga kelestarian alam. Apabila paradigma pembangunan diintegralkan kepada aspek lingkungan maka tidak tampak prinsip pengutamaan pembangunan. Artinya pembangunan tidak dipandang sebagai segala-galanya dan dalam berhadapan dengan lingkungan tidak terdapat alasan untuk mengorbankan atau menelantarkan lingkungan demi pembangunan. Guna mengubah orientasi dari penekanan pembangunan, maka konsep pembangunan berkelanjutan terdapat penekanan yang sama terhadap aspek pembangunan ekonomi dan aspek lingkungan. Lebih dari itu, karena tujuan pembangunan berkelanjutan adalah kesejahteraan masyarakat, maka perlu diintegralkanlah aspek sosial budaya, sehingga pembangunan berkelanjutan mengandung tiga aspek, yakni ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Dalam pelaksanaan pembangunan, agama-agama mempunyai tugas yang besar dan berat, yaitu meletakkan landasan spiritual, 88 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak moral dan etik yang kokoh bagi pembangunan nasional serta memotivasi umat sebagai bagian dari bangsa untuk mengukir karya pembangunan terbaik. Umat beragama juga merupakan sumber daya pembangunan, sebagai sumber daya manusia. Dalam teori ekonomi pembangunan, sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam pencapaian tujuan pembangunan. Oleh karena itulah banyak negara, termasuk Indonesia melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tanpa sumber daya manusia yang handal maka pelaksanaan pembangunan tidak dapat berjalan secara optimal. Daftar Pustaka Ringkasan seminar publik mengenai Praktik Diskriminasi dan Suara Kelompok Renta dalam Pembangunan oleh INFID, Bandung 12 Juni 2014. Budiman Arif. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nogroho Heru. 2001. Negara, Pasar Dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Tjokrowinoto Moeljarto. 1987. Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah Dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Soekanto Soerjono. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Grafindo Persada. Salim Agus. 2002. Perubahan Sosial Sketsa Teori Dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana. Tjokrowinoto Moeljarto. 1996. Pembangunan: Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga. Max Weber. 1992. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London: Routledge Classics. H. Jalaluddin. 2004. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 89 Persada. Sukesi Keppi dkk. 2017. Migrasi Perempuan, Remitansi dan Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan. Malang: UB Press, 2017. Murniati A. Nunuk P. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesia Tera. http://mediaindonesia.com/read/detail/46390-mewujudkankiprah-perempuan-dalam-pembangunan, diakses 6 Juli 2018. UNDP_USAID. 2014. Laporan LGBT Nasional Indonesia – Hidup sebagai LGBT di Asia. UNDP & USAID. ILO. 2014. Gender Identity and Sexual Orientation in Thailand. PRIDE PROJECT. http://www.academia.edu/6567631/Peran_Perempuan_dalam_ Pembangunan, diakses 6 Juli 2018. http://manado.tribunnews.com/2018/05/11/penduduk-usiakerja-sulut-naik-134-persen, diakses 5 Juli 2018. https://www.bps.g o.id/statictable/2013/12/31/1163/ jumlah-pegawai-negeri-sipil-menurut-provinsi-dan-jeniskelamin-2007-2016.html, diakses 6 Juli 2016. 90 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MAYORITAS KRISTEN MANADO Oleh: Ismail Suardi Wekke P endirian lembaga pendidikan dalam perjalanan kebangsaan Indonesia tidak melepaskan diri dari tujuan untuk turut berkontribusi bagi kemajuan masyarakat. Termasuk juga bagaimana kesempatan ini digunakan untuk menegakkan spirit keberagamaan. Bukan juga berarti bahwa kehadiran pesantren tidak tanpa masalah, justru tetap saja ada dinamika yang berbeda antara pesantren dengan dunia luar. Hanya saja, pesantren terus berusaha untuk senantiasa relevan dengan memberikan dampak bagi dukungan sosial untuk kelangsungan masyarakat yang mengitarinya (Madjid, 1997; 87). Pada aspek inilah selalu pesantren menjadi perhatian, dimana hubungan antara pesantren dengan lingkungan menjadi sebuah interaksi sekaligus merupakan wahana tumbuh dan berkembangnya proses pengembangan. Tidak saja dalam bentuk aksi internal tetapi juga dalam hal peran di luar wilayah. Bahkan ini dilakukan dalam skala nasional dan juga mencakup wilayah yang lebih luas. Kehadiran pesantren, bahkan jauh sebelum Indonesia diproklamasikan. 91 Sehingga pesantren juga menjadi pilar bagi keberadaan Indonesia. Kajian keislaman Indonesia mendapat perhatian dan menjadi kecenderungan yang dikaji secara intensif. Hanya saja, kajian keislaman lebih pada kawasan mayoritas muslim. Sementara itu, penelitian masyarat muslim di wilayah minoritas mencakup beberapa negara tetapi kajian minoritas muslim di Indonesia belum menjadi perhatian sebagai wacana di arus utama. Beberapa penelitian berkenaan dengan minoritas antara lain dijalankan Erin Jenne yang mengkaji Yugoslavia dalam melihat sikap atas minoritas yang diberlakukan pemerintah pusat (Jenne, 2004; 729-754). Pergolakan yang lain juga terjadi dalam kasus Bangsamoro di Filipina dengan pemerintahan pusat di Manila. Ada pemahaman dan kehendak yang berbeda antara Mindanao dengan Manila sehingga kemudian wujud keinginan yang tidak terakomodasi. Penyeragaman identitas yang berlaku antara minoritas dan mayoritas kemudian mendapatkan perlawanan. Sehingga menjadi konflik yang berkepanjangan (Che Man, 1990; 19-32). Begitu juga dengan pertentangan internal umat Islam dimana kalangan mayoritas-minoritas pemahaman senantiasa berseteru karena perbedaan pandangan (B. Martinovic & M. Verkuyten, 2016; 1–12. Dalam konteks pendidikan Islam Indonesia beberapa wilayah menunjukkan karakteristik sebagai bentuk respon lingkungan. Pesantren di Bali meneguhkan fungsi dan peran pengembangan masyarakat Islam. Sebagai pencetak ulama, pesantren juga mewariskan khazanah pemikiran tradisional ulama dari masa lalu ke masa sekarang. Tetap saja, karakteristik utama pesantren senantiasa menunjukkan respon dan adaptasi sesuai lingkungan masing-masing. Pendidikan agama di Bali mengadaptasikan diri dengan menerima dan berdialog untuk mengiplementasikan pendidikan kewarganegaraan yang diolah sebagaimana kebutuhan. Tantangan ini, sekaligus memberikan peluang untuk memperkuat 92 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak kecenderungan pendidikan sebagai wahana transformatif. Dalam hal respon di komunitas minoritas, lembaga pendidikan keagamaan tetap saja relevan sehingga dapat mendorong minat masyarakat untuk menuntut ilmu (Jamhari, 2006; 171-201). Demikian pula di Manado, pesantren menjadi bagian dari pengembangan masyarakat untuk kemajuan dakwah (Wekke, 2013; 93-118). Dalam kontekstualisasi Indonesia adalah dimana dalam penyebaran geososial penduduk tidak semata-mata sama postur yang ada antara wilayah yang satu dengan yang lain. Sebagaimana umat Islam di Jawa dalam kondisi mayoritas. Sementara di Papua, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, kondisi yang berbeda justru dialami oleh komunitas muslim. Ada dua kondisi yang berjalan seiring, dengan skala nasional umat Islam mengalami posisi secara mayoritas. Tetapi dalam skala regional regional sebagaimana di daerah-daerah tersebut, umat Islam menjadi minoritas jika dibandingkan dengan umat lain. Tradisi yang mengakar dan reputasi yang menjadi rujukan pelbagai lembaga pendidikan terkini menjadikan madrasah memiliki karakter yang unik dan khas. Keistimewaan ini, jika memperhatikan aspek pesantren sebagai lembaga keagamaan, memberikan sebuah pertanyaan yang perlu dilakukan sebuah pembahasan. Dimana peran yang dijalankan madrasah berkaitan dengan keagamaan tidak saja dalam konteks keberadaan secara luas tetapi dalam skala terbatas pendidikan Islam merupakan kebutuhan setiap keluarga muslim. Untuk itu, artikel ini akan mengidentifikasi bagaimana pengembangan lembaga pendidikan di masyarakat muslim Manado. Pendidikan dan Dakwah Pendidikan agama menjadi pilihan utama bagi pembentukan kapasitas pribadi seorang muslim. Dalam penelitian Ahmad Suaedy, muslim minoritas di Thailand Selatan menjadikan ini sebagai pilihan utama. Walaupun itu dengan resiko politik dimana ada larangan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 93 dari pemerintah pusat untuk tidak mengajarkan pendidikan agama. Namun, tokoh-tokoh muslim tetap mempertahankan itu dengan segala resiko. Dengan perjuangan bersama, akhirnya awal 1980 pendidikan agama sudah dapat diajarkan di sekolah-sekolah formal. Sementara pendidikan agama dalam bentuk non-formal di masjid atau mushollah dan pesantren yang didirikan dengan gotong royong tetap berlangsung terus menerus (Suaedy, 2012; 130). Kajian Bruinessen dalam melihat pergerakan dakwah di Nusantara bahwa penyebaran ajaran Islam menggunakan amalan sufi. Ajaran tersebut juga memasukkan tasawuf sebagai sebagai pendekatan dalam memahami Islam. Diantaranya medium untuk memahami ajaran tersebut dengan menggunakan kitab kuning sebagai rujukan. Maka, penyebaran dakwah dalam pendidikan menggunakan tradisi keilmuan. Ini menjadi sebuah pendekatan dakwah yang efektif dalam mendidik sekaligus perkembangan ilmu. Pengajian dan taklim dilaksanakan selain dari kitab tauhid, fiqh, tafsir, dan bahasa Arab, juga membahas kitab tasawuf seperti Bidayah al-Mujtahid. Karya Imam al-Ghazali yang lain seperti Ihya Ulum al-Din, Hidayah al-Salikin juga menjadi pembahasan (Bruinessen, 1995). Perjalanan sejarah ini menunjukkan bahwa salah satu pilar utama dalam dakwah sesungguhnya melalui proses pendidikan. Guru, kiyai, dan ulama berusaha menyebarkan Islam dalam wahana pendidikan. Ini juga mengacu kepada pelaksanaan dakwah yang dilaksanakan Rasulullah. Beberapa bentuk seperti kajian keilmuan secara rasional dan ilmiah, menggunakan media tulisan, dan melengkapi dengan amalan, diantara prinsip-prinsip dakwah yang beliau laksanakan. Baik ketika masih di Mekkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Kesemuanya mengarah kepada pendidikan. Bahkan ketika tawanan perang sekalipun tidak mampu menebus dirinya, maka mereka diminta mengajar anak-anak kaum muslimin 94 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak untuk mengenal huruf dan membaca (Galigo, 1997). Maka, dakwah dalam konteks ini selalu saja berkaitan dengan pendidikan. Institusi pendidikan menjadi pilihan utama, dimana ketika menjalankan syariat tentu harus disertai dengan pengetahuan akan asas keislaman sebagai acuan utama. Sistem pendidikan merupakan salah satu alternatif untuk mengukuhkan penghayatan keagamaan. Langkah awal yang sangat penting dipahami sejak awal adalah pegangan akidah yang akan menjadi dasar dari keseluruhan ajaran Islam. Ini tidak bisa dikuasai jikalau tidak melalui proses belajar, memahami, dan nalar. Untuk itu al-Qardhawiy menyatakan bahwa mental akan dididik untuk berpikir dan memahami agama secara sempurna akan dapat dilaksanakan melalui dua hal yaitu pendidikan baik secara formal maupun nonformal dan keterlibatan di masyarakat (Qardhawiy, 1986, 38-40). Lingkungan akan menjadi pendukung utama juga dalam memberikan pendidikan berupa pengasuhan. Melibatkan masyarakat secara bersama-sama terlibat dalam pertumbuhan individu. Kecerdasan mental dan kematangan perilaku dapat dibentuk dengan melibatkan kerukunan di masyarakat (Nahlawiy, 1987). Salah satu alat untuk mencapai kematangan mental dan moril hanyalah melalui rumah ibadah dengan menyediakan lembaga pendidikan (Ahmad, 2010; 89). Seperti inilah yang dipilih oleh Ikatan Masjid Mushallah Muttahidah (IMMIM) Makassar dalam mencapai tujuan pembangunan umat. Setelah sekian lama hanya mengurusi masjid dan mengupayakan kemakmuran, maka dipilih jalan untuk memakmurkan masjid dengan menyediakan jamaah yang akan mengisi shaf masjid. Pilihan itu dilakukan dengan mendirikan pesantren. Keberadaaan lembaga pendidikan akan menunjang kelangsungan masjid. Sekaligus memberikan sumbangsih bagi jamaah yang berkualitas. Dengan demikian, yang hadir berjamaah tidak hanya akan menjalankan ibadah semata, tetapi Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 95 mereka adalah orang-orang yang memiliki kapasitas untuk turut memikirkan bagaimana masjid dapat memberi manfaat duniawi kepada lingkungan sekitarnya. Sehingga dengan mengurusi perihal akhirat mereka kemudian tetap saja dalam relevan dalam kehidupan duniawi mereka. Paparan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan dakwah. Adanya lembaga pendidikan secara formal, akan menjadi sarana dalam menopang peningkatan kapasitas individual secara bertanggung jawab. Sekaligus ini akan menjadi sebuah langkah dalam melakukan transformasi keilmuan dengan pola dan struktur yang mengikat. Perencanaan, proses, evaluasi, dan keberlanjutan merupakan bagian yang mengikuti sebuah lembaga pendidikan. Sehingga akan menjadi langkah penting dalam membangun sebuah gerakan. Dengan demikian, pendidikan dipilih untuk menjadi usaha memartabatkan kajian keislaman. Dampaknya, akan memberikan citra positif bagi pribadi yang memeluk Islam dengan pemahaman yang paripurna terhadap ajaran agama yang dianutnya. Itu semua, salah satunya dapat diperoleh melalui lembaga pendidikan. Pilihan pendidikan sebagai wadah berdakwah jamak dilakukan pesantren sebagai misi dalam tradisi keagamaan. Ketika seorang santri datang, masing-masing punya alasan individual. Tetapi dengan keberagaman latar belakang itu semua, tetap saja ada kesamaan yaitu semata-mata individu yang akan belajar agama. Di samping itu, ada tujuan lain yaitu membangun kebaikan diri, kesalehan hidup, serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini menunjukkan bahwa itu semua adalah alas an yang sangat individual. Tidak banyak diantara mereka yang berkeinginan menjadi ulama, kiyai, juru dakwah, atau hal-hal yang bersifat altruistik. Dengan gambaran seperti itu, maka Mamfred Ziemek berkesimpulan bahwa sesungguhnya tidak ada alasan missionary yang dikandung pesantren, bahkan dalam titik 96 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak semangat dan dorongan sekalipun. Bukan karena ingin mewartakan Islam kepada lingkungan (Ziemek, 1986). Kalaupun ada, maka itu dalam praktik yang berlangsung tidak menjadi tujuan tetapi sematamata hanyalah dampak dari pengelolaan pendidikan Islam. Penyebaran keagamaan justru dilangsungkan dalam kerangka internal umat Islam sendiri. Ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah sarana untuk melakukan islamisasi bagi orang yang berada di luar faham Islam. Secara mikro ada pergulatan antara mempertahankan dan mengintegrasikan tradisi dengan tuntutan terhadap perubahan sosial yang senantiasa berlangsung dari waktu ke waktu (Ghafur, 2010; 3). Adapun keberadaan pesantren juga menjadi sarana dakwah dengan senantiasa berusaha untuk memaknai strategi yang untuk menunjukkan Islam sebagai agama yang juga menjadikan intelektualisme sebagai alur pemikiran yang utama. Peneguhan teologis ini kemudian teraplikasi dalam bentuk penyelenggaraan kelembagaan baik untuk kepentingan pendidikan semata maupun juga berkenaan dengan perjuangan untuk meneguhkan identitas keislaman seorang muslim yang juga sudah mengikrarkan syahadat. Dalam pandangan Halim Tamuri, lembaga pendidikan Islam justru berusaha untuk menghadirkan keadilan. Jikalau pendidikan sudah memulai mempraktikkan keadilan dalam lembaga pendidikan, maka akan lebih mudah untuk menujukkan bagaimana kata keadilan dapat terimplementasi dalam masyarakat yang lebih luas (Tamuri, 2013; 257-274). Perjuangan seperti inilah yang menjadi dasar dalam kelangsungan lembaga pendidikan Islam dalam bentuk salah satunya adalah pesantren. Akar-akar yang disemai di pesantren kemudian memunculkan intelektualitas, pemahaman agama yang sempurna, praktik yang disertai dengan panduan amal, dan rujukan pada kitab-kitab karangan ulama yang berintegritas menjadi daya dukung bagi hadirnya seorang individu muslim. Kiranya dakwah dalam pendidikan, menjadi sebuah keterlibatan masyarakat muslim untuk Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 97 menjawab kebutuhan umat. Ini menjadi pilihan strategis untuk senantiasa menumbuhkembangkan Islam dalam arti yang lebih luas, tidak sebatas ritual semata. Lulusan madrasah, dipandang mampu menjawab tantangan ini. Potret Kota Manado Kehidupan masyarakat kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara terdiri atas pelbagai bangsa dan kaum. Etnik pendatang dan juga penduduk asli tanah Minahasa berbaur dan saling mendukung. Keberagaman ini tidak saja dalam latar belakang suku tetapi juga pada agama. Dengan perbedaan ini justru menjadi sebuah daya dukung bagi pengembangan wilayah. Kerusuhan tidak pernah terjadi, gesekan antar kepentingan, pertikaian bernuansa agama, semuanya tidak terjadi. Kehidupan yang bersama menjadi kepentingan untuk mewujudkan kerukunan. Ini didasari atas prinsip persaudaraan. Memandang bahwa agama hanyalah semata-mata pada pilihan komunikasi dengan Pencipta, tetapi sesama manusia tetap berkewajiban untuk saling mendukung dan menolong untuk sebuah kehidupan wawancara1. Justru dengan perbedaan etnisitas itu menunjukkan bahwa mereka dapat hidup berdampingan secara damai. Masing-masing suku dan agama secara bebas mengekspresikan identitas dan tuntutan agama masing-masing tanpa mendapatkan pengekangan dan halangan dari agama lain. Seiring dengan itu, kehidupan diantara warga kemudian berjalan secara harmonis. Sementara masyarakat muslim juga secara sadar memperkuat kapasitas keilmuan dalam hal keperluan aktivitas ibadah untuk kalangan internal. Ini juga dilakukan sebagai upaya untuk memberikan pemahaman keagamaan agar sesama komunitas muslim memiliki keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip keislaman. Ini menunjukkan hubungan antar umat beragama yang 98 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak saling mengakui, dimana masyarakat yang heterogen dengan agama, etnisitas, dan prinsip yang berbeda-beda, dapat rukun secara bersama-sama. Posisi yang ada ini tentunya menjadi daya dukung tersendiri, pada saat yang sama selalu saja klaim kebenaran di satu pihak selalu mewarnai perjumpaan setiap ide yang ada. Tidak menjadi sebuah pemandangan umum, dimana pihak-pihak yang berbeda, dapat saling menerima perbedaan itu, sehingga pluralistik yang hadir sejak kelahiran manusia itu sendiri, tidak dapat dinafikan tetapi justru dijadikan sebagai kekuatan. Seperti inilah gambaran Kota Manado sehingga setiap keyakinan dapat saja berbeda, kemudian tumbuh secara bersama-sama secara internal. Tanpa berusaha untuk menggugat keyakinan yang sudah diant kelompok lain. Tetapi dalam hubungannya dengan sesama manusia yang berada dalam kewargaan yang sama, maka ini menjadi sebuah hubungan yang saling menguntungkan untuk selalu dirawat bagi kepentingan bersama. Minoritas muslim berkembang dalam suasana kota seperti ini, dukungan, kerjasama, salingpengertian, dan kebersamaan menjadi suasana yang melingkupi. Untuk itu, organisasi yang berbasis pada semangat keagamaan tidak dipandang sebagai pembeda tetapi justru hanya elemen kecil yang justru dinaungi oleh kemanusiaan. Keberadaan organisasi-organisasi itu tidak menjadi pembeda tetapi justru menjadi penguat jalinan masyarakat. Ada kesadaran untuk saling menguatkan antarlembaga. Khutbah dan majelis keagamaan diarahkan untuk mencerahkan dengan tetap mengakui keberadaan pihak lain, pada saat yang sama harus mengukuhkan identitas, prinsip, semangat, dan kesadaran beragama sendiri. Kesamaan pandangan seperti ini justru menjadi landasan bagi perkembangan dan kelangsungan agama apapun. Kukuh secara internal, kemudian tetap juga mengembangkan sikap penghargaan dan pengakuan kepada pihak lain yang berbeda. Kekuatan ini membentengi Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 99 kelangsungan kehidupan di Kota Manado, memberikan keleluasaan untuk mengembangkan paham keagamaan, menyelenggarakan lembaga pendidikan, dan transmisi pengetahuan secara formal untuk tetap hidup bersama yang dilandasi oleh sebuah pemahaman. Pendidikan Islam di Masyarakat Muslim Manado Kota Manado menjadi laboratorium hidup dimana perjumpaan antara berbagai umat beragama hidup dalam satu lingkungan. Ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk menikmati anugrah hidup. Namun di sisi lain, mempertahankan identitas beragama dan mengukuhkan jati diri sesuai dengan tuntutan agama merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam keseharian. Sehingga dakwah dalam konteks ini tidak semata-mata bagaimana menyiarkan pesanpesan dakwah kepada khalayak ramai tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mempertahankan spirit beragama umat Islam. Sekaligus ini untuk menjadi wahana penguatan kapasitas umat Islam dalam memahami agama. Maka, salah satu pilihan yang digunakan dalam menjalankan amanah ini dengan mengusung pesan-pesan agama melalui lembaga pendidikan. Bentuk pelembagaan bukan saja mempertahankan sistem pendidikan informal yang sudah terbentuk di lingkungan masjid tetapi juga mendirikan bentuk lembaga formal yang menjalankan sistem pendidikan yang menyatu dengan sistem pendidikan nasional. Lapangan Tikala yang terletak di depan kantor Walikota Manado menjadi simbol keberagaman warga. Lapangan ini secara bersama-sama digunakan oleh warga dari pelbagai golongan, status, dan juga agama. Semuanya akan merasa bebas mengekspresikan identitas, akan tetapi pada saat yang sama memiliki kewajiban untuk menjaga harmoni beragama. Umat Islam sebagai bagian dari masyarakat beragam, juga berusaha memenuhi kewajiban untuk turut menjaga komunitas muslim dan menguatkan soliditas 100 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak keilmuan. Namun dalam hubungannya dengan umat beragama lainnya berusaha untuk tidak menggugat apa yang sudah diyakini oleh mereka sebelumnya. Dua hal yang menjadi dapatan kajian ini yaitu Pondok Karya Pembangunan dan Masjid dan Madrasah. Pondok Karya Pembangunan Ketika akan dilangsungkan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional di Manado tahun 1977, maka beberapa tokoh umat Islam mengusulkan pembentukan lembaga yang akan meneruskan semangat belajar al-Quran. Maka, dipilihlah dua bentuk yaitu Pusat Islam (Islamic Centre) dan pesantren. Bentuk pendidikan madrasah yang dipilih dalam kelembagaan pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Karya Pembangunan. Seiring dengan peresmian MTQ tersebut, diresmikan pula Pusat Islam dan Pondok Karya Pembangunan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Pemberian nama Pondok Karya Pembangunan (PKP) lebih mementingkan pesan universal Islam, ini juga untuk tidak menimbulkan stigma tertentu bahwa Islam bisa saja hadir untuk semua kalangan dengan tidak membeda-bedakan antara Arab dan bukan Arab. Walaupun pendirian PKP berada di wilayah Kombos Timur, kota Manado merupakan wilayah yang sebagian besar didiami penganut agama Protestan dan Katolik tetapi tidak pernah mendapatkan halangan yang berarti dari masyarakat. “Ini karena semata-mata pengembangan pondok untuk kepentingan umat Islam, tidak dimaksudkan untuk yang lain”. Demikian kalimat yang disampaikan pengasuh PKP dalam wawancara saat meninjau pesantren. “Jikalau saja ini untuk kepentingan sesaat, apakah politik atau menunjukkan citra Islam, tentu sudah lama mengalami kejenuhan. Tetapi dukungan umat Islam dan warga sekitar pondok, bisa bertahan sampai sekarang” begitu penjelasan tambahan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 101 pengasuh pondok. Keberadaan pesantren di wilayah ini justru semakin menguatkan bahwa pesantren sesungguhnya adalah tempat penggemblengan insan-insan untuk memahami agama secara internal. Bukan untuk kepentingan yang lain. Sehingga kecurigaan ini akan hilang dengan sendirinya, dengan disaksikan lingkungan sekitar. Bahkan pondok ini menjadi juga asset lingkungan, dimana fasilitas yang dimiliki pondok digunakan pula oleh warga secara bersama-sama. Latihan olahraga santri selalu dilaksanakan bersama dengan pemuda gereja yang mendiami lingkungan sekitar pondok. Santri sejak awal selalu dilibatkan dalam kegiatan yang dilaksanakan pihak kelurahan dan warga yang ada di lingkungan. Bersama-sama dengan warga, santri turut menjaga lingkungan berupa keterlibatan dalam siskamling, pos yandu, dan kegiatan kerja bakti yang dilaksanakan secara rutin. Begitu juga ketika pesantren menggelar acara, warga akan turut membantu keperluan warga pondok. Di saat terjadi banjir yang juga merendam beberapa bangunan pondok, warga tanpa dimintai bantuan memberikan bantuan untuk menyelamatkan barang-barang yang ada dalam lingkungan pondok dari rendaman air. Tolong-menolong yang terjadi ini merupakan hasil dari terbinanya hubungan dan komunikasi antara santri, guru, dan pengasuh dengan warga yang mendiami tempat sekitar pondok. Dukungan umat Islam bersama dengan masyarakat lain yang berbeda agama justru menjadi sebuah kekuatan bagi terselenggaranya pendidikan sampai sekarang. Harmonisasi ini timbul secara alami dimana sudah menjadi kebiasaan di masyarakat Sulawesi Utara untuk senantiasa bersama-sama saling mendukung. Mereka menjadikan persaudaraan sebagai unsur utama dalam kehidupan. Dimana perbedaan agama bukan menjadi halangan untuk senantiasa bekerja sama dalam membangun kemanusiaan, termasuk pendidikan di dalamnya sebagai bagian kehidupan masyarakat. Saling mendukung, kerjasama, harmoni masyarakat, dan menomorsatukan kemanusiaan 102 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak menjadi dampak bagi kesatuan masyarakat ini. Termasuk dalam mendukung keberlangsungan lembaga pendidikan yang ada. Ini dapat dilihat, keberadaan pondok sudah merenetasi waktu yang tidak bisa dinyatakan sebagai masa yang pendek. Ini menjadi bukti bagaimana hubungan antar individu dalam masyarakat menyediakan proses pembelajaran yang tidak mungkin didapatkan di dalam kelas ketika secara formal belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang dipandu kurikulum. Keterampilan yang diperoleh santri saat berinteraksi dengan komunitas yang berbeda dalam lingkungan pendidikan pesantren, menjadi sebuah latihan sekaligus merupakan proses pembelajaran untuk menerima perbedaan kepercayaan dan keyakinan. Pada saat selanjutnya, ketika santri sudah menyelesaikan pendidikan dan menjadi anggota masyarakat secara penuh, keterampilan ini akan menjadi daya dukung dalam melihat keragaman yang merupakan keniscayaan dalam lingkungan masing-masing. Walaupun tidak secara khusus pondok tidak menyediakan pembelajaran seperti ini dalam kurikulum tertentu tetapi dengan adanya pola yang sudah berlangsung secara natural, maka akan memberikan kesempatan bagi santri untuk senantiasa melihat bahwa ada perbedaan antara individu dalam penerimaan terhadap sebuah keyakinan dengan hubungan terhadap ketuhanan. Ini tidak bermakna bahwa mereka akan membenarkan kepercayaan tersebut tetapi dalam derajat tertentu tidak memaksakan kesamaan pandangan. Kehidupan dengan keadaan seperti senantiasa memberikan toleransi untuk berbeda pemahaman. Madrasah ini dalam dua tingkatan yaitu Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Periodesasi peserta didik di pesantren dikembangkan secara berkelanjutan, sehingga tidak saja menerima kurikulum pendidikan formal yang berasal dari Kementerian Agama tetapi senantiasa juga menambahkan muatan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 103 kurikulum sesuai dengan kondisi di Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara. Termasuk juga bagaimana adanya forum antar umat beragama yang menjadikan madrasah sebagai proyek bersama untuk mengembangkan kesalingpengertian sekaligus mewariskan sebuah lembaga yang tetap toleran dengan paham yang berbeda2. Dalam perkembangan terkini, lembaga pendidikan seperti ini diharapkan dapat mereproduksi warga masyarakat yang mengkombinasikan antara status sebagai muslim yang kukuh dalam kewajiban dan tradisi beragama, demikian juga pada saat yang sama mentransformasikan diri sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk. Komunikasi secara eksternal seperti ini dipertahankan dan dijadikans ebagai instrument utama. Bukan saja karena pesantren memerlukan dukungan eksternal tetapi pada keperluan tertentu untuk membuka diri sehingga menghindari adanya kecurigaan dari pihak yang potensial untuk memunculkan stigma. Dengan demikian, ini sebagai sarana dalam memperjuangkan subtansi kelangsungan lembaga. Adaptasi seperti ini menjadi sebuah metode juga untuk tetap menguji kehandalan kemampuan warga pesantren untuk tetap relevan dengan lingkungan sekitar. Hadirnya pesantren untuk melengkapi apa yang sudah ada sebelumnya yang diselenggarakan pemerintah provinsi, menjadi sebuah usaha berkontribusi. Kesinambungan sejarah masa lalu yang dibangun juga merupakan hasil dari adanya kerjasama pelbagai pihak sehingga bisa wujud pondok ini seiring dengan kegiatan keagamaan dalam skala nasional. Pesantren menjadi wadah untuk belajar agama. Ini sudah menjadi ciri khas yang diemban pesantren sejak awal pendiriannya. Namun dalam praktik Kota Manado, justru pesantren hadir dalam bentuk yang lain. Menjadi pendukung perdamaian, kerjasama secara luas, dan usaha membangun solidaritas yang tidak dalam lingkup satu agama saja. Membuka diri untuk secara bersama-sama mengupayakan keluasan dan kesempatan yang sama menjadi semangat yang 104 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak melandasi perjalanan pesantren. Termasuk kesediaan menerima pemimpin non muslim untuk turut memberikan sumbangsih bagi pengembangan lembaga. Ini dijadikan sebagai penghargaan kepada tokoh-tokoh tersebut sekaligus juga untuk menjadi bagian dari jalinan kebangsaan. Dimana kulur dan atmosfer masyarakat Manado yang senantiasa mau menerima perbedaan. Termasuk pada persoalan pilihan beragama. Sekalipun itu berbeda tetapi tetap saja mempunyai kesempatan yang sama dalam memikirkan kelangsungan lembaga pendidikan. Sekalipun itu berbasis pada pengajaran agama tertentu. Kesadaran ini tumbuh, di samping karena spirit Islam, juga karena lingkungan kota Manado yang memiliki pengalaman sejak pembentukan awal pesantren. Hubungan antar sesame tetap saja mendapat perhatian masing-masing agama, tetapi secara normatif juga ada tradisi yang sudah berlangsung turun temurun untuk tidak mempersoalkan perbedaan identitas beragama. Tetapi justru menggunakan agama sebagai urusan individual. Pada lingkungan komunal, agama diusahakan untuk menjadi perekat, bukannya pembeda di antara anggota masyarakat. Secara eksternal semangat inilah yang selalu digunakan kalangan guru dan pengasuh Pondok Karya Pembangunan. Sebagai salah satu usaha untuk tetap menunjukkan relevansi dengan lingkungan sekitarnya. Melihat ini, maka lingkungan pondok memberikan dukungan. Turut dalam menjaga pengembangan pondok, dan terlibat dalam menjaga kesinambungan pendidikan. Hubungan yag terjalin selama ini tidak pernah mengalami persoalan. Pengasuh pondok juag berusaha melibatkan kepemimpinan di tingkatan Lurah untuk menjadi bagian dari manajemen pondok. Sekalipun itu hanya bersifat seremonial. Tetapi sesungguhnya perlakuan seperti ini menjadi sarana komunikasi untuk senantiasa menyadari akan keberadaan pondok. Sekaligus ini menjadi penunjang untuk memberikan kesempatan bagi santri untuk berkiprah bersama dengan pemuda lainnya Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 105 yang bermukim di sekitar wilayah pesantren, dalam membangun komunikasi dengan setiap rumah tangga yang ada. Mereka bersamasama belajar dan berlatih, terutama dalam kegiatan ekstra kurikuler dan perayaan acara-acara kebangsaan lainnya. Interaksi, ekspresi, dan jalinan seperti ini menjadi wahana belajar yang tidak terbatas pada teori belaka. Ada kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan mengkristalkannya menjadi pengetahuan dari proses pengalaman itu. Melalui pendidikan dengan cultural-historis seperti ini, memberikan kesempatan kepada santri untuk mengasah kesadaran untuk hidup dengan beragama kepercayaan. Tidak hanya memahami pemaknaan tunggal, tetapi memiliki hubungan dan interaksi dengan penganut agama lain. Secara evolusitf, akan melihat gambaran keseluruhan kehidupan yang senantiasa tidak tunggal. Pesantren dan lingkungannya menjadi laboratorium hidup untuk belajar dan memahami isyarat kehidupan. Sekaligus mulai memahami sekaligus mengaplikasikan nilai hubungan ketergantungan antar kelompok. Struktur sosial seperti ini akan memberikan penghargaan, kesadaran untuk tidak memberikan penilaian negatif, universalitas pengetahuan yang diperoleh melalui praktik, dan menumbuhkan keinginantahuan dengan dialog actual dengan kondisi yang ada. Santri tidak diberikan hafalan untuk memahami, tetapi pengetahuan lahir dari penemuan (discovery) dengan belajar di lapangan. Identitas yang tumbuh dalam kodisi seperti ini adalah mengetahui peran dirinya secara maksimal. Ada titik temu yang disadari, akan ada sampai pada langkah yang dapat mendorong dirinya untuk menguatkan apa yang melekat pada dirinya. Sekaligus akan mengkomunikasikan kepada pihak lain, atas apa yang dipilihnya sebagai sebuah bentuk tersendiri. Masjid dan Madrasah Masjid juga mengelola lembaga pendidikan. Seperti masjid 106 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak di Jembatan Mahakam, mengelola Sekolah Menengah al-Khairat. Begitu juga dengan Masjid Muttaqin yang ada di bilangan Jalan Ratulangi, juga menyelenggarakan pendidikan diniyah di masjid. Setiap usai shalat maghrib anak-anak usia sekolah dari warga sekitar masjid belajar agama. Tidak saja berupa kemampuan membaca al-Quran tetapi juga kemampuan pemahaman agama yang lain. Bahkan di masjid dilengkapi dengan perpustakaan. Menyiapkan bahan bacaan untuk jamaah. Ini menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan masjid juga menjadi kelengkapan utama adalah bagaimana adanya institusi pendidikan untuk melayani kebutuhan pendidikan komunitas muslim. Masjid menjadi sarana dalam mengukuhkan pemahaman keagamaan. Masjid-masjid kemudian mengelola kegiatan yang tidak terbatas pada anak usia sekolah. Tetapi para pengurus senantiasa menjalankan kegiatan pada jamaah muslimat. Seperti di Kampung Kodok, saat adanya anggota jamaah yang akan menunaikan ibadah haji, mereka justru mengadakan acara di masjid yang dihadiri oleh jamaah. Ini menjadi tradisi pamitan kepada warga dan jamaah, semua itu dilangsungkan di masjid. Penggunaan masjid ini didasarkan untuk sosialisasi masjid, sekaligus sebagai tempat beribadah dan juga belajar. Pengajian rutin, ceramah dengan mengundang muballigh, pembacaan kitab, dan pelatihan singkat menjadi ragama kegiatan yang dilaksanakan berkala. Ada juga kegiatan yang dilaksanakan dengan tingkat intensitas yang mencapai empat kali setahun seperti penyelenggaraan jenazah. Ini menjadi tuntutan kebutuhan jamaah dan tidak beraninya anggota keluarga terdekat untuk memandikan dan urusan lainnya dalam menyelenggarakan jenazah. Keberadaan masjid yang dilengkapi dengan madrasah diniyah, majelis taklim, pengurusan jenazah, dan juga aktivitas lain yang tetap berbasis pendidikan sesungguhnya dijadikan sebagai penopang bagi semakin menguatnya pemahaman keagamaan. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 107 Demikian pula masjid selalu mendorong kepada jamaah untuk secara sendiri-sendiri maupun berkelompok untuk selalu terlibat dalam aktivitas pendidikan. Sehingga acara-acara yang dikemas dalam lingkungan diusahakan untuk diselenggarakan dalam lingkungan masjid. Ini sebagai salah satu upaya untuk melakukan kegiatan yang mempunyai nilai tambah dalam pendidikan secara internal. Adapun secara eksternal akan bernilai syiar dan juga dakwah. Sekaligus menunjukkan citra bahwa sesungguhnya keberislaman lebih cenderung mengarah pada aktivitas keilmuan dan tidak akan pernah berpaling hanya untuk politik dan kepentingan pragmatis sematamata. Walaupun berkantor pusat di Kota Palu, Sulawesi Tengah tetapi pengembangan al-Khairat dalam bidang dakwah dan pendidikan juga mencapai Kota Manado. Pengurus organisasi al-Khairat secara bersama-sama dengan jamaah masjid senantiasa berusaha untuk menggandengkan pengelolaan masjid dengan pengembangan madrasah. Ini sebagai usaha untuk selalu menjadikan masjid tidak semata-mata untuk shalat saja tetapi juga membuka peluang selebarlebarnya untuk tetap memperoleh pendidikan. Model yang dipilih untuk dikembangkan berupa pendidikan formal. Organisasi ini menggiatkan kegiatan dengan mengintegrasikan pengelolaan masjid sekaligus dengan lembaga pendidikan. Pola pengembangan dakwah yang dilakukan al-Khairat dijalankan dengan menekankan sinergitas masjid dengan lembaga pendidikan. Ada perubahan pola piker yang senantiasa dilakukan yaitu dengan menjadikan masjid sebagai basis gerakan. Dimana ketika keinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan formal selalu terkendala dengan kondisi minoritas dan akses lahan yang tidak memadai. Sementara untuk membangun masjid tidak mendapatkan halangan yang berarti. Bahkan gairah umat Islam untuk membangun masjid selalu direspon secara emosional, sehingga mampu 108 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak terbangun dengan cepat. Hanya saja setelah berdiri sebuah masjid, tugas selanjutnya berada pada wilayah bagaimana menghadirkan jamaah untuk mengisi bangunan yang megah itu. Maka, jawaban yang dijadikan acuan adalah pendidikan. Kegiatan yang awalnya hanya dalam bentuk jamaah taklim kemudian berusaha ditingkatkan dan dikembangkan dalam bentuk Taman Pengajian al-Quran. Disesuaikan dengan kesiapan sarana, ada pula yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah sekolah formal. Strategi dan Pengembangan Lembaga Pendidikan Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan kelembagaan pendidikan Islam, maka faktor lingkungan menjadi daya dukung utama. Termasuk di dalamnya perbedaan agama sekalipun, tetap saja mampu mendukung perkembangan lembaga pendidikan Islam. Ini dapat disimpulkan dengan tetap berlangsungnya proses pendidikan Pondok Karya Pembangunan, walaupun berada di lingkungan minoritas muslim dan juga secara khusus berada dalam wilayah penganut agama lain, tidak menjadi penghalang. Justru jika ini dianggap sebagai kekurangan, tetapi pengasuh pondok pesantren dapat menjadikan masyarakat yang ada dalam lingkungan pondok sebagai faktor utama untuk turut memberikan kontribusi bagi kelangsungan pondok. Sejak pendirian pesantren, selama itu pulalah masyarakat non muslim yang berada di lingkungan pondok selalu memberikan dukungan dan keterlibatan secara aktif. Model pengembangan kelembagaan pendidikan Islam di minoritas muslim mengadaptasi keadaan lingkungan. Pendidikan Islam di wilayah lain seperti Sumatera dan Jawa yang lebih banyak menjadikan pesantren dengan misi utama mengemban pendidikan agama, tetapi dalam konteks minoritas muslim pesantren tetap saja mengusung spirit pendidikan. Hanya saja, tidak cukup dengan itu. Ada keinginan untuk mengembangkan dakwah Islamiyah Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 109 secara internal dengan melakukan gerakan ekstensifikasi dengan juga menggerakan lembaga pendidikan sebagai sarana dakwah. Bahkan lembaga seperti pesantren tidak membatasi diri dalam soal keagamaan semata. Beberapa pesantren secar aktif terlibat dalam isu kesehatan reproduksi. Dalam penelitian Rosalia Sciortino, Lies Marcoes Natsir, dan Masdar F Mas’udi, menunjukkan kolaborasi kelembagaan beberapa pesantren dan lembaga swadaya masyarakat mengorganisasikan masyarakat pesantren dan sekitarnya untuk mulai peduli dan mengerti bagaimana aplikasi secara teknis konsep kesehatan untuk menjaga kelangsungan reproduksi (Sciortino, Natsir, dan Mas’udi, 1996, 86-96). Pembelajaran yang memberikan tumpuan perhatian dalam keragaman peserta didik, akan memberikan kesempatan setiap individu untuk memperoleh hasil maksimal dari proses belajar yang berlangsung (Wekke dan Lubis, 2008; 295-310). Dalam penelitian ini, lingkungan, institusi masyarakat menjadi kekayaan cultural yang mampu memberikan nuansa belajar kepada santri. Keterkaitan erat antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya walaupun berbeda pilihan keyakinan beragama justru menyumbang kepada sinergitas yang membentuk karakter dan perilaku keseimbangan. Kesadaran sosial yang terbentuk ini, dalam lingkugan Kota Manado menjadikan keberlanjutan dengan memainkan peran dan kontribusi untuk turut menjaga kelangsungan pendidikan. Walaupun di satu sisi, perbedaan agama kadang menjadi faktor penghambat. Tetapi dalam konteks penelitian ini, justru menjadi daya dukung secara ekstensif dan melahirkan hubungan sisal di luar batas-batas beragama secara sempit. Lingkungan menjadi mitra bagi keluarga untuk turut berperan dalam proses pendidikan. Begitu juga dengan pengasuh dan manajemen pondok yang senantiasa membuka diri untuk melakukan dialog dan kerjasama. Kesemuanya kemudian berhimpun dan bersinergi untuk mengusung pendidikan yang menumbuhkan semanat kemanusiaan. 110 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Penelitian menunjukkan adanya pesantren yang berada di lingkungan nonmuslim tetap saja menjaga kelangsungan lembaga. Sekalipun itu masyarakat yang ada berbeda agama, tetapi mereka mampu menjadikan masyarakat sebagai penopang bagi keberlanjutan lembaga. Kehadiran pondok pesantren justru diarahkan untuk menjadi sarana bagi pendidikan muslim tetapi dengan tidak menafikan keberadaan kelompok-kelompok pemuda gereja. Dengan menjalin kerjasama dengan mereka, memungkinkan lembaga dapat tetap menjadi wahana untuk kemajuan umat Islam dan masyarakat luas. Moos mengemukakan bagaimana lingkungan pendidikan membentuk perilaku pembelajaran di sekolah (Moos). Pesantren dengan lingkungannya dapat menjadi sebuah model pembelajaran. Salah satunya ini ditunjukkan dalam hal pendidikan dan pengajaran bahasa. Dengan lingkungan dan modifikasi pembelajaran, maka keberhasilan pendidikan bahasa dapat diperoleh secara maksimal dalam empat kemampuan berbahasa (Wekke, 2012). Jamaah yang memakmurkan masjid, ditopang oleh intelektualitas level tinggi, dan itu hanya akan dihasilkan dari lembaga pendidikan agama semacam pesantren. Sekaligus adanya rumah ibadah yang representatif menjadi sinergitas yang memadai. Gagasan ini hanya akan diwujudkan jika ada usaha untuk memberikan bekal dengan integritas dan komitmen yang tinggi. Olehnya, lembagalembaga pendidikan Islam sangat potensial untuk membentuk kader-kader bangsa. Sekaligus akan berkontribusi bagi agama (Ahmad, 2013; 132-134). Harapan seperti ini juga diwujudkan oleh tokoh-tokoh agama di Manado sehingga melahirkan lembaga seperti Pondok Karya Pembangunan. Walaupun awalnya berkeinginan untuk dirangkaian dalam seremonial dari pelaksanaan kegiatan keagamaan skala nasional yang saat itu berlangsung di Manado, penelitian ini justru menunjukkan harapan itu sudah terlampaui. Sejak pertama kali diselenggarakan, pondok tersebut terus melakukan aktivitas Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 111 seiring dengan pergulatan sosial. Ini juga merupakan adanya daya dukung dari relasi antara agama dan negara dalam skala wilayah Sulawesi Utara. Sebagaimana dikemukakan Sofyan Hadi, agama dan Negara dalam hal ini politik dilihat sebagai bagian fundamental kehidupan yang juga turut menopang perjalanan sejarah umat manusia. Sinergitas keduanya dapat berjalan dengan hubungan yang saling memengaruhi. Justru kesepaduan antara justru akan mendukung kelangsungan kehidupan itu sendiri. Memisahkan keduanya, cenderung mengurangi daya gerak kemanusiaan (Hadi, 2011; 227-248). Pesantren menunjukkan respon terhadap dinamika sosial yang berlangsung di lingkungannya masing-masing. Adaptasi dan penggunaan teknologi diantaranya menjadi praktik yang diwujudkan (Wekke dan Hamid, 2013; 585-589). Termasuk dalam wilayah minoritas muslim, mereka kemudian melakukan ekspansi untuk menjadikan keterkaitan erat pesantren dengan komunitas yang menjadi sarananya untuk tetap berkembang. Pengembangan pendidikan Islam merupakan bagian awal dalam memberi kontribusi bagi masyarakat (Wekke, 2016). Madrasah menggunakan masjid sebagai sarana untuk senantiasa hadir dalam bentuk aktivitas keseharian, sehingga tuntutan komunitas muslim yang berada dalam lingkungan masjid dapat senantiasa dijawab untuk kemudian diiplementasikan dalam bentuk program. Temuan ini diperkuat pembahasan Ana Ines Heras Monner Sans dan Maria del Socorro Foio yang menjelaskan keberadaan partisipasi politik yang dihubungkan dengan wacana dan pengertian. Nilai strategis sebuah lembaga akan memiliki reputasi jikalau kehadiran mereka sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Bahkan dalam skala lokal sekalipun, sebuah kelompok akan tetap wujud jikalau mampu menunjukkan peran sesuai dengan kepentingan masing-masing kelompok (Sans dan Foio, 2009; 297312). 112 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Pengembangan pendidikan Islam juga memperhatikan keberadaan teknologi. Sehingga ini digunakan secara khusus sebagai media pembelajaran (Lubis, Ariffin, Muhamad, Ibrahim, dan Wekke, 2009; 189-197). Dalam contoh kasus di Brunai Darussalam, pengembangan pendidikan menjadikan keperluan terhadap akselerasi terhadap kemajuan teknologi. Untuk itu, teknologi komunikasi dijadikan sebagai sarana untuk memberikan pengalaman belajar lebih komprehensif kepada para siswa. Pada wilayah muslim minoritas terdapat pengalaman yang sama dimana penerimaan terhadap teknologi merupakan bagian dari pengembangan pendidikan. Sehingga pemanfaatan teknologi dilakukan untuk menjadi bagian integral dari sistem pendidikan yang sementara berjalan. Hanya saja, kajian ini tidak secara khusus memberikan perhatian terhadap penggunaan dan implelemntasi teknologi komunikasi dalam konteks dakwah dan pendidikan tetapi semata-mata mengidentifikasi tentang kelembagaan pendidikan dan dakwah. Temuan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan Pam Nilan, dimana dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada tekanan terhadap kelompok pria untuk senantiasa menunjukkan identitas laki-laki dengan senantiasa melakukan tekanan. Maskulinitas kelompok laki-laki menurut Nilan justru menjadi sebuah dilemma, antara kepemimpinan dan ego yang saling kontras (Nilan, 2009; 327-344). Padahal dalam penelitian ini justru menunjukkan lakilaki sebagai kelompok dapat saja menjadi warga yang baik untuk menyeimbangkan antara tuntutan lingkungan dengan pesanpesan pendidikan yang didapatkannya di sekolah. Sebagaimana ditunjukkan dalam pesantren di Manado bahwa santri tetap berusaha memberikan upaya terbaik dalam berpartisipasi untuk acara-acara yang diprogramkan organisasi ketetanggaan dalam skala terbatas. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 113 Penutup Pesantren terbentuk dari hubungan antar individu di masyarakat sehingga menghasilkan kesepakatan untuk membangun sebuah lembaga pendidikan. Bermula dari keberadaan lembaga inilah yang kemudian menjadi wahana dalam memberikan penguatan kapasitas bagi individu muslim dalam skala yang lebih luas. Tidak saja memberikan pendidikan formal yang menjadi bagian utama proses ini, tetapi pendidikan justru menyediakan sebuah kesempatan bagi adanya interaksi dengan masyarakat yang ada dalam lingkungan pendidikan. Tidak dijadikan sebagai pembeda antar komunitas lembaga pendidikan dengan masyarakat sekitar. Kurikulum tidak men-jadikan proses pendidikan ini sebagai tujuan tetapi dampak dari adanya pola hubungan yang terbangun secara berkelanjutan. Dalam proses yang sama ini juga kesempatan bagi lembaga pendidikan Islam untuk menjadi media dakwah untuk mencerminkan Islam sebagai agama yang memiliki kesediaan untuk berada dalam masyarakat yang berbeda. Walaupun itu adalah keyakinan yang merupakan pilihan fundamental sebagai pilihan individu. Dengan perbedaan ini tidak mendi halangan bagi umat Islam dalam mengusahakan kemajuan kemanusiaan. Sekaligus berkontribusi bagi kelangsungan lingkungan dan membagi daya spirit dengan komunitas yang berbeda sekalipun. Justru ini menjadi dukungan bagi kelembagaan pendidikan sehingga tetap berlangsung dengan kondisi masyarakat yang plural. Bukannya menjadi halangan dalam pengembangan, sebaliknya justru hadir sebagai pendukung. Sehingga kerjasama seperti ini dapat menjadi sebuah model dakwah di minoritas muslim. Masjid sebagai pusat ibadah umat Islam dilengkapi juga dengan aktivitas dan sarana pendidikan. Sehingga masjid semata- 114 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak mata tidak difungsikan sebagai tempat ibadah secara ritual, tetapi juga untuk mengukuhkan pemahaman keagamaan akan menggerakkan amalan agama. Tanpa pemahaman yang paripurna, maka akan sulit untuk mengharapkan wujudnya amalan yang dilaksanaka seseorang. Penggunaan masjid sebagai lembaga menunjukkan adanya keinginan dan usaha untuk menjadikan pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Dimana dakwah tersebut sekaligus memperkuat kapasitas jamaah. Daftar Pustaka Ahmad, Misbahuddin. 2013. Haji Fadeli Luran Sang Pemersatu. Yogyakarta: Andi Offset. Ahmad, Misbahuddin. 2010. Kiprah IMMIM Membangun Umat. Yogyakarta: Andi Offset, 2010. Al-Nahlawiy, Abd Rahman. 1987. Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama. Dimasq: Dar al-Fikr, 1987. Al-Qardhawiy, Yusuf. 1986. Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa madrasah Hassan al-Banna. Johor: Thinker’s Library Sdn. Bhd., 1986. Baba, Sidek. (peny.). 2008. Pemikiran Hamka. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tasawuf. Bandung: Penerbit Mizan. Galigo, Syamsul Bahri Andi. 1997. Persoalan Masyarakat Islam Masa Kini: Hubungannya dengan Dakwah dan Pendidikan, dalam Abdullah Muhammad Zin, Che Yusoff Che Mamat dan Ideris Endot (peny.). Prinsip dan Kaedah Dakwah dalam Arus Pembangunan Malaysia. Bangi: Penerbit UKM. Ghafur, Hanief Saha. Integrasi Tradisi dan Perubahan Sosial. The SEBUMI International Conference on Cultural Relationship Indonesia and Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 115 Malaysia, diselenggarakan Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur 11-14 Oktober 2010. Hadi, Sofyan. 2011. Relasi dan Reposisi Agama dan Negara. Jurnal Studi Islam Millah, Vol. X, No. 2, Februari. Jamhari. 2006. Pesantren di Bali: Pendidikan Islam di Daerah Minoritas. dalam Jajat Burhanuddin dan Dina Afrianty, Mencetak Muslim Modern, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Jenne, Erin. 2004. A Bargaining Theory of Minority Demands: Explaining the Dog that Din not Bite 1990s. Yugoslavia. International Studies Quarterly, 48. Lubis, Maimun Aqsha., Ariffin, Siti Rahayah., Muhamad, Tajul Arifin., Ibrahim, Mohammed Sani., dan Wekke, Ismail Suardi. 2009. The integration of ICT in the teaching and learning processes: A study on Smart School of Malaysia. Proceedings of the 5th WSEAS/IASME International Conference on Education Technology. Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Penerbit Paramadina. Man, W. K. Che. 1990. Muslim Separatism the Moros of Southern Philipines and the Malays of Southern Thailand. Manila: Ateneo de Manila University Press. Martinovic, B. & Verkuyten, M.. 2016. International Journal of Intercultural Relations Interreligious feelings of Sunni and Alevi Muslim minorities : The role of religious commitment and host national identification. International Journal of Intercultural Relations, 52. Moos, R. H. 1979. Evaluating Educational Environments. San Fransisco: Josey-Bass Publishers. Nilan, Pam. 2009. Contemporary Masculinities and Young Men in Indonesia. Indonesia and the Malay World, Vol. 37, No. 109, November. Sans, Ana Ines Heras Monner, dan Foio, Maria del Socorro. 116 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak 2009. Discourse, Meaning and Political Participation. Journal of Multicultural Discourse, Vol. 4, No. 3, November. Sciortino, Rosalia; Natsir, Lies Marcoes; dan Mas’udi, Masdar F. 1996 Learning from Islam: Advocacy of Reproductive Right in Indonesian Pesantren. Reproductive Health Matters, No. 8, November. Suaedy, Ahmad. 2012. Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai. Jakarta: The Wahid Institute. Tamuri, A. Halim, et al.. 2013. Religious education and ethical attitude of Muslim adolescents in Malaysia. Multicultural Education & Technology Journal, 7(4). Wekke, Ismail Suardi. 2012. Amalan Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Arab di Pesantren Immim Makassar, Indonesia, Disertasi, Bangi: Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia. Wekke, Ismail Suardi, dan Hamid, Sanusi. 2013. Technology on Language Teaching and Learning: A Research on Indonesian Pesantren. Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 83. Wekke, Ismail Suardi. 2013. Lembaga Pendidikan Sebagai Pilar Dakwah di Wilayah Minoritas Muslim. Jurnal Dakwah Al-Hikmah, Vol. 4 (2), 2013. Wekke, Ismail Suardi; dan Lubis, Maimun Aqsha. 2008. A Multicultural Approach in Arabic Language Teaching: Creating Equality at Indonesian Pesantren Classrroom Life. Sosiohumanika, Vol. 1, No. 2. Ziemek, Mamfred. 1986. Pesantren dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 117 AKTIVISME AGAMA, KETIDAKADILAN, DAN KEMISKINAN: Sebuah Upaya Komunitas Lintas Iman di Tanah Bendar Manado Oleh: Samsi Pomalingo A gama saat ini merupakan realitas yang berada di sekitaran aktifitas sosio-religius manusia. Manusia sebagai abdi/hamba memiliki kepercayaan transendental yang berbeda-beda yang diyakini sebagai sebuah keyakinan yang memiliki kebenaran. Agama telah menjadi kebutuhan dasar manusia (basic needs of human) tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial-keagamaan manusia. Agama diyakini tidak hanya membicarakan ibadah mahdhah/ritual (relasi vertikal) semata melainkan juga berbicara tentang ibadah gairu mahdhah atau nilai-nilai yang harus dikonkretkan dalam kehidupan sosial (relasi horizontal). Agama bukan hanya mengatur tata cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi agama pula memainkan peran dalam konteks pembangunan kehidupan umat manusia di dunia (bumi). Jika agama hanya dimainkan dalam wilayah ritual keagamaan maka yang muncul adalah egoisme kelompok dengan klaim kebenaran (truth claim) atas kelompoknya yang justru melahirkan wajah garang 118 agama sebagai sumber konflik. Kalaupun lebel ini (sumber konflik) tetap melekat pada agama, maka tidak menutup kemungkinan, pandangan-pandangan miring dan kritik atas agama akan selalu dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang tidak begitu percaya terhadap agama. Misalnya seorang novelis dan wartawan dari Inggris A. N. Wilson menulis sebuah buku yang berjudul Against Religion: Why We Should Try to Live without It? Dilihat dari judul buku dan isinya, sangatlah provokativ dan mengandung kontroversi, tapi dilihat dari percobaannya sebagai orang luar yang memandang agama, dan untuk bahan perbandingan dengan mereka yang yakin kepada kebaikan agama, ada satu pernyataan yang patut kita telaah dan kaji bersama. Misalnya saja pernyataan keras yang Ia sampaikan dalam permulaan buku, adalah sebagai penghujatan keras terhadap agama, seperti: “Its said in the Bible that the love of money is the root of all evil. It might be truer to say that the love of god is the root of the all evil. Religion is tragedy of humankind. It appeals that is noblest, purest, loftiest in the human spirit, and yet there scarcely exists a religion which has not been responsible for wars, tyrannies and suppression of the truth” (A.N. Wilson, 1992; 1). Selain Wilson, dua orang futurolog, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, berkenaan dengan masalah kehidupan agama, mereka berkata: Spirituality Yes, Organized Religion No” (Naisbitt dan Aburdence, 1991; 295). Pernyataan-pernyataan ini menurut penulis dilontarkan sebagai otokritik terhadap eksistensi dan peran agama yang cenderung tidak lagi respon dengan pelbagai masalah yang dihadapi oleh manusia. Sehingga agama dianggap sebagai sesuatu yang telah kehilangan “spirit of orientation” dan “way of life” bagi para penganutnya. Dengan latar belakang seperti ini memunculkan pernyataan dan “jargon” di atas. Demikian pula Thomas Jefferson mengandung pandangan serupa. Jefferson mengaku sebagai percaya Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 119 pada Tuhan (Deisme) kepada kemaha-Esa-an Tuhan (Unitarianisme) dan kepada kebenaran universal (Universalisme), tanpa merasa perlu mengikatkan diri kepada salah satu agama-agama formal yang ada. Jefferson bahka meramalkan, bahwa pandangannya ini akan menjadi agama seluruh umat manusia, dalam jangka waktu dan ratus tahun akan menggeser posisi agama-agama formal. Sepertinya agama kalau didasarkan pada pernyataan-pernyataan di atas, tak lagi dibutuhkan, kalau agama itu sendiri tak mampu menjawab teka teki kehidupan yang sangat rumit. Tapi biarlah pernyataan itu hadir sebagai wacana yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Dan penulis punya keyakinan agama akan tetap menjadi ‘Pemeran’ atau ‘Aktor’ dalam memainkan perannya sebagai way of life atau way of world yang dianut oleh orang-orang yang percaya terhadap kekuatan agama. Karena agama diturunkan bukan untuk merusak kehidupan manusia, justru agama menjadi laksana lampu sorot yang mampu menerangi jalan bagi setiap penganutnya. Agama dan Masalah Kemiskinan Membicarakan kemiskinan selalu tidak lepas dari struktur sosial-ekonomi yang eksploitatif. Struktur ini justru telah mempertajam adanya penguasaan ekonomi yang dilakukan oleh para ‘penghisap’ yang secara ekonomi telah mapan. Bagi mereka pekerjaan menghisap adalah pekerjaan yang halal alias sah-sah saja di dunia ini. Akses ekonomi yang luas dan dikuasai secara penuh membuat para pemilik modal untuk semena-mena melakukan penghisapan dan penguasaan aset-aset milik rakyat. Akibatnya, rakyat mengalami nasib ekonomi yang sangat memprihatinkan yaitu ‘kemiskinan’ (poverty). Cara-cara seperti inilah kemiskinan yang dialami oleh rakyat yang terampas haknya disebut kemiskinan struktural. Suatu kemiskinan yang diciptakan secara sadar oleh para penguasa modal dan negara dialami oleh manusia di mana-mana, baik di negara-negara maju 120 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak maupun di negara-negara berkembang. Masalah kemiskinan dapat dilihat dari dua ideologi yaitu ideologi konservatif dan liberal. Menurut kaum Ideologi konservatif kemiskinan merupakan kesalahan manusia itu sendiri. tidak ada hubungannya dengan negara maupun para pemilik modal. Ideologi ini berakar pada kapitalisme dan liberalisme abad ke 19. bagi kaum ideologi konservatif pasaran bebas dianggap sebagai fundamen bagi kebebasan ekonomi dan politik. Di mana pasar bebas dianggap akan menjamin adanya desentralisasi kekuasaan politik. Bagi kaum konservatif, struktur sosial adalah segala-galanya dan merupakan suatu keharusan. Mereka sangat menjunjung tinggi struktur sosial yang ada. Karena demi tegaknya struktur sosial tersebut, maka otoritas dinilai sangat hakiki. Adanya Stratifikasi sosial atau tingkat sosial yang termasuk struktur sosial karena adanya perbedaan antara individu-individu dengan bakat-bakat yang berbeda. Di mana setiap orang akan berkembang dan tumbuh karena menurut bakat-bakat yang mereka miliki. Dari perspektif kaum konservatif, maka wajar ada perbedaan dalam tingkat prestasi yang menuntut masyarakat untuk memberi imbalan atauapun balas jasa sesuai dengan bakat mereka yang berbeda-beda. Jadi sekali lagi, menurut kaum konservatif masalah kemiskinan sebagai kesalahan orang-orang miskin sendiri. Masalah kemiskinan tidak bisa dimpakan kepada negara maupun kepada para kapitalis. Sebab keduanya dinilai tidak bertanggungjawab atas munculnya kemiskinan yang dialami oleh rakyat jelata. Tidak hanya itu, kemiskinan terjadi karena pada umumnya orang miskin dinilai sebagai orang-orang bodoh dan malas. Maka mereka harus menyelesaikan masalah mereka sendiri, tanpa harus meminta negara untuk memikirkan nasib mereka. Bagi kaum konservatif kemiskinan bukanlah masalah yang serius. Sehingga negara (pemerintah) tidak diminta untuk campur tangan mengurus kemiskinan. Artinya, Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 121 orang-orang miskinlah yang harus bertanggungjawab dan berusaha untuk memecahkan promlem kemiskinan. Kata ‘liberal’ bagi orang-orang miskin maupun kaum buruh Amerika dipahami lebih ‘progresif ’ dari pada dibandingkan dengan ‘konservatif ’ atau bahkan dinggap lawan dari ‘sayap kanan’. Perjuangan kaum liberal menurut Adam Smith (1776) adalah untuk mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Kalau bagi kaum konservatif kemiskinan merupakan kesalahan sendiri orang-orang miskin karena bodoh dan malas. Lain halnya bagi kaum liberal. Menurut kaum liberal, kemiskinan bukan sematamata kesalahan dan kebodohan orang-orang miskin. Kemiskinan merupakan masalah yang serius dan menuntut pemecahan agar orang-orang miskin terbebaskan dari penderitaan yang mereka hadapi. Bagi kaum liberal masalah kemiskinan dapat diselesaikan dalam struktur politik dan ekonomi yang sudah ada. Karena kemiskinan yang terjadi diakibatkan oleh adanya diskriminasi antara orang kaya dan orang miskin. Untuk itu, bagi kaum liberal yang terpenting adalah memberikan kesemptan yang sama tanpa ada diskriminasi antara orang kaya dan orang miskin. Dengan cara seperti ini, maka orang miskin diyakini dapat menyelesaiakan dan mengatasi masalah mereka. Untuk mengatasi kemiskinan, kaum liberal menawarkan perlunya perbaikan pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka peluang dan kesempatan kerja bagi mereka dan menyebarluaskan pendidikan. Kesempatan dan peluang ini akan merubah orang miskin dari lingkunan dan situasi hidup mereka. Kalau kondisi-kondisi sosial dan ekonomi telah diperbaiki, maka orang-orang miskin bagi kaum liberal akan siap menyesuaikan diri dengan kultur dominan dalam masyarakat dan meninggalkan kultur mereka. Dari dua pandangan baik itu kaum liberal maupun kaum konservatif sama-sama mempertahankan struktur sosial yang sudah 122 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak ada, dan struktur sosial ini ditandai dengan perbedaan tingkat sosial, sistem ekonomi kapitalis dan demokrasi politik. Bagi kaum liberal bagaimana memungkinkan orang miskin hidup dalam struktur sosial yang sudah ada, sedangkan bagi kaum konservatif cenderung membiarkan mereka. Kemiskinan adalah kenyataan yang ada ditengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Munculnya masalah kemiskinan tafsirkan secara berbeda oleh dua ideologi yaitu ideologi konservatif dan ideologi liberal. Bagai kaum konservatif kemiskinan disebabkan karena kesalahan orang-orang miskin sendiri yang bodoh dan malas bekerja, sementara bagi kaum liberal kemiskinan disebabkan oleh struktur sosial dan ekonomi yang diskriminatif. Untuk memahami dan menganalisis sebab-sebab munculnya masalah kemiskinan diperlukan suatu pisau analisis yaitu analisis sosial (social analysis). Kenapa harsus menggunakan analisis sosial dan apa kelebihannya serta dapatkah analisis sosial mengidentifikasi faktor-faktor penyebab masalah kemiskinan? Analisis sosial dapat menghasilakan pengetahuan tentang adanya kemiskinan, menyangkut arti dari kemiskinan, dan faktor-faktor penyebab munculnya kemiskinan. Dengan demikian analisis sosial dapat mencegah dua pendekatan yang tidak bertanggung jawab: (1) asumsi-asumsi dangkal dan, (2) apriorisme ideologis. Perlu diingat bahwa kenyataan sosial merupakan kenyataan yang begitu kompleks, sehingga tidak ada satu cabang ilmu pun yang dapat membuat analisa secara tuntas tanpa ada bantuan ilmu-ilmu lain (Holland dan Henriot, 1986:25). sangat menekankan pentingnya pengalaman dalam proses analisis. Dalam hal ini dikemukakan suati lingkaran praksis yang menekankan hubungan terus-menerus antara refleksi dan aksi. Lingkaran praksis ini seperti dalam gambar berikut ini: Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 123 Jika kita deskripsikan alur gambar di atas, maka sesungguhnya lingkaran praksis atau lingkaran pastoral ini lebih berupa gerak spiral dari pada sebuah lingkaran. Situasi yang dialami bersama oleh lingkaran praksis ini merupakan titik tolak dari sebuah proses analisis. Analisis sosial ingin melihat kelompok-kelompok sosial, struktur krkuasaan, siapa yang menentukan dalam keseluruhan proses sosial, yang mengambil keuntungan dan siapa yang dirugikan. Dengan demikian tujuan analisis sosial merupakan usaha untuk mempelajari struktur sosial yang ada, mendalami institusi politik, ekonomi, budaya agama dan keluarga. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat mengetahui sejauhmana dan bagaiamana institusi-institusi itu menyebabkan ketidakadilan sosial. Dengan mempelajari institusiinstitusi yang ada, maka kita akan mampu melihat satu masalah sosial yang ada dalam konteksnya yang lebih luas. Demikian menjadi jelas, analisis sosial adalah suatu usaha nyata yang merupakan bagian penting usaha untuk menegakan keadilan sosial. Dialog Liberatif Lintas Agama Sejak manusia lahir, kehidupan ini bermula telah melahirkan berbagai masalahKrisis ekologi dan kemanusiaan menyangkut perdamaian, kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, hak-hak asasi manusia dan penindasan telah melengkapi krisis yang dialami oleh umat manusia saat ini. Problem-problem yang membutuhkan solusi mendesak ini menuntut kontribusi dan kerjasama seluruh komunitas agama-agama. Di mana agama-agama, seperti yang dikemukakan oleh Hans Küng memiliki tanggungjawab global (Hans Kung, 1990), yaitu tanggungjawab untuk berbuat sesuatu terhadap derita yang dialami oleh umat manusia. Tanggungjawab global menyediakan suatu konteks hermeneutika baru, di mana seluruh penganut agama- 124 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak agama dituntut lebih arif memahami perbedaan dan menciptakan sesuatu yang positif di luar perbedaan itu. Jadi, sekarang ini para pemimpin agama-agama perlu bertemu dalam satu wadah dan membicarakan tanggungjawab global, di mana tanggungjawab global ini harus diatur dan didominasi oleh keragaman agama-agama. Masalah-masalah krusial yang dihadapi oleh umat beragama saat ini bukan hanya masalah moral dan etika, tapi masalah ketidakadilan, perampasan hak-hak milik rakyat, penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) dan kemiskinan. Munculnya masalahmasalah teresbut bermuara dari ketidakadilan. Keadaan ini membutuhkan peran dari dari organisasi maupun pimpinan agama untuk berjuang melawan ketidakadilan dan mencari solusi praksis dalam penyelesaian masalah-masalah tersebut. Hanya saja, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memahami dan mencari sebab-sebab munculnya ketidakadilan. Misalnya ketidakadilan dalam bidang ekonomi. Selama ini distribusi ekonomi lebih diarahkan kepada para pemilik modal (kaum kapitalis) daripada rakyat kecil yang membangun usahaya pada usaha-usaha industri kecil. Sehingga modal (capital) lebih terkonsentrasi pada mereka yang dapat memberikan kompensasi bagi para penguasa. Akibatnya mereka yang ada di sektor ekonomi menengah ke bawah terpaksa berusaha mencari modal sendiri untuk menopang usaha mereka. Ketidakadilan dalam proses produksi kapitalis telah menciptakan struktur kemiskinan yang cukup kuat, rakyat yang miskin menjadi lemah dan mereka yang memiliki modal menjadi sangat kuat. Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi kapitalis telah membawa masyarakat pada suatu kondisi yang kita kenal dengan istilah “kemiskinan struktural”, suatu kemiskinan yang diciptakan oleh struktur ekonomi yang menindas dan hanya memihak pada para pengambil kebijakan dan pemilik modal. Demikian pula dengan krisis ekologi, seperti; masalah sampah, krisis Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 125 pangan dan pengrusakan ekosistem laut (terumbu karang) sebagai akibat dari reklamasi pantai. Kenyataan ini membutuhkan peran serta dari organisasi ataupun dari pimpinan agama untuk memulai tugas-tugas praksis yang membebaskan dan bertanggung jawab secara global atas penderitaan yang di alami oleh umat beragama dan ekologi. Dialog diarahkan untuk membicarakan penderitaan yang dialami oleh para korban, dengan cara menghadirkan para korban yang menderita dan tertindas ke meja dialog. Artinya, bahwa suara mereka tidak hanya didengar tapi juga dipahami. Kalau realitas penderitaan dan keprihatinan etis mereka mau dirasakan dan bukan hanya dicatat, maka semua peserta dialog harus terlibat aktif dalam praksis melawan ketidakadilan terhadap manusia dan lingkungan. Selama ini wacana yang ada lebih terkonsentrasi pada agama sebagai kekuatan konflik. Sehingga kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa keberadaan organisasi maupun forum hanya di saat-saat ketika terjadi konflik agama. Gerakan dalam bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan tidak berpihak pada rakyat kecil, selama ini lebih banyak disuarakan oleh kelompok atau organisasi kemahasiswaan yang concern dalam memerengi ketidakadilan dan penindasan. Mungkin hal ini bisa dipahami dari motif pembentukkan organisasi yang ada sangat kuat perannya untuk memelihara kesatuan dan persatuan umat beragama serta mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan di bidang keagamaan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban daerah-daerah yang berpotensi konflik (Sudjangi, 2004; 436). Dalam upaya menjelaskan tanggungjawab global atau keprihatinan untuk mewujudkan kesejahteraan (soteria), keadilan dan pembebasan manusia serta lingkungan sebagai suatu kriteria dari dialog liberatif multireligius, maka penulis menawarkan suatu pandangan yang perlu dikembangkan oleh organisasi ataupun 126 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak forum-forum yang ada yaitu reorientasi peran-peran organisasi ini sebagai organisasi yang mengedepankan praksis pembebasan dan tanggungjawab global untuk mensejahterakan umat yang menjadi korban dari ketidakadilan dan penindasan. Pentingnya reorientasi itu dimaksudkan agar eksistensi dan peran organisasi menjadi fungsional. Karena yang harus dipahami bahwa konflik agama tidak hanya dipicu oleh agama itu sendiri melainkan juga dipicu oleh kemelaratan dan kemiskinan. Disamping itu, visi mensejahterakan (soteriosentris) pemeluk agama yang diemban oleh komunitas dialog termasuk relatif belum tersentuh. Karena selama ini kita merasa masalah pengentasan kemelaratan dan kemiskinan hanyalah tugas negara (pemerintah), ternyata disamping tidak menyelesaikan tugasnya dengan baik, aparat pemerintah sering terlibat dalam kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), bahkan kerapkali terlibat dalam praktik-praktik politik temporal yang tidak jelas kepemihakannya pada rakyat banyak. Hal ini dapat dibuktikan dengan 80 persen dari rakyat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan secara ekonomi, dan ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi yang yang dirasakan oleh rakyat Indonesia semenjak akhir 1997 (Susetyo, 2004; 149). Oleh karena itu, dengan tetap membiarkan negara menjalankan tugasnya, agama tidak hanya menjalankan fungsi kontrolnya saja, melainkan juga sebagai pelaksana dari pemberdayaan itu sendiri. Dari uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa dialog liberatif menjadi jawaban dan pilihan untuk menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat beragama. Dalam dialog liberatif, partisipan dialog dari lintas agama tidak memulai dengan percakapan tentang doktrin atau ritual, bukan dengan doa atau meditasi, tapi perjumpaan itu dimulai pada level praksis yaitu pembebasan. Para partisipan dituntut untuk menunjukan contoh-contoh dari penderitaan yang dialami oleh manusia. Secara bersama mereka melakukan sesuatu untuk Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 127 menekan realitas kemiskinan, kelaparan, eksploitasi, atau kebinasaan lingkungan. Memerangi ketidakadilan adalah tugas suci agama lewat para pimpinan dari berbagai agama-agama, seperti yang telah dilakukan oleh para Nabi dalam agama-agama semitik. Karena para pimpinan agama adalah pewaris dari perjuangan para Nabi yang telah berhasil menumbangkan tembok-tembok ketidakadilan dari realitas kehidupan manusia pada zaman dulu. Masalah-masalah yang dihadapi oleh umat terdahulu tidak jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi oleh umat beragama saat ini. Peran pimpinan agama adalah menentang struktur kekuasaan yang menindas, sistem ekonomi yang eksploitatif, dan memerangi kemiskinan. Sebab semua agama mengajarkan bagaimana umatnya harus mempertahankan eksistensinya. Misalnya filsafat agama Buddha yang menekankan pada peniadaan tanggung jawab, sedangkan teologi Kristen dan Islam, pada fase non-spekulatif, mengidentifikasi dirinya sebagai pembela kaum tertindas. Dalam dialog liberatif, praksis pembebasan dan tanggung jawab global sangat ditekankan. Maka agenda-agenda pemberdayaan dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat yang masih berada dalam lingkaran kemiskinan. Artinya, bahwa kemiskinan bukanlah suatu taqdir yang tidak boleh dirubah. Di mana kemiskinan bukanlah kesalahan orang miskin sendiri, melainkan akibat dari kondisi-kondisi objektif kehidupan mereka. Kemiskinan untuk sebagian besar merupakan akibat dari ketidakadilan struktural atau kemiskinan struktural. Maksudnya bahwa kemiskinan itu bukanlah akibat dari keinginan sendiri orang miskin, misalnya karena ia malas atau ia suka main judi dan lain sebagaianya. Melainkan akibat strukturasi proses-proses ekonomi dan politik, di mana hanya kelompok kecil saja yang menguasai sarana-sarana produksi dan pengambilan keputusan mengenai kehidupan masyarakat. Untuk itu, para pimpinan agama berkewajiban menghilangkan sebab-sebab 128 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak kemiskinan, dengan jalan membongkar struktur proses-proses ekonomis dan ketidakadilan sosial. Karena kemiskinan adalah ungkapan yang paling kasar bagi ketidakadilan sosial. Jadi inti dari dialog yang bertanggung jawab secara global ini mengandung banyak persamaan dengan inti metode yang dikembangkan oleh Paul F. Knitter, yang digunakan untuk teologi ini. Knitter yakin metodenya bisa diterima bukan hanya oleh para teolog Kristen, tapi juga oleh para teolog agama-agama lainnya. Dengan demikian, dialog liberatif lebih pada tanggung jawab global, yang menekankan bahwa umat beragama bukan hanya bersedia mengakui hak hidup agama lain tanpa mau peduli bagaimana kehidupan umat beragama itu sendiri di tengah-tengah mereka. Sikap saling tidak mau tau, tidak saling mengusik di antara para pemeluk agama dan hanya menginginkan hidup bersama dalam perbedaan secara damai (ko-eksistensi), disebut oleh Paul F. Knitter sebagai toleransi yang malas (lazy tolerance) (Knitter, 1985; 9). Seyogyanya para pemeluk agama yang berbeda itu saling menghidupi dan memberdayakan (pro-eksistensi) antar sesama. Pemberdayaan dimaksudkan sebagai usaha untuk membebaskan umat manusia dari krisis yang dihadapi selama ini. Jadi selama ini, bentuk-bentuk dialog yang ada belum sepenuhnya menyentuh dan memiliki orientasi yang membebaskan umatnya. Dialog tidak harus dimulai dengan membicarakan perbedaan-perbedaan teologi, sebaliknya dialog diarahkan bagaimana umat beragama yang menjadi korban dari penderitaan dan kebijakan-kebijakan rejim pemerintah yang selama ini justru menjadi penyebab kemiskinan dan penderitaan. Di sinilah peran aktif pimpinan agama untuk mengatakan “tidak” atau “lawan” terhadap segala bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Begitu pula terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang terlalu memberi kesempatan kepada para pemilik Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 129 modal untuk menanamkan investasi dengan jalan menguasai hakhah rakyat. Hanya saja, apabila agenda ini kurang mendaptkan respon maka tingkat kemiskinan, ketidakadilan, struktur sosiobudaya yang terang-terangan sangat menindas akan meningkat dan terus menggorogoti kehidupan rakyat kecil. Dalam kasus ini, ada jalan keluar yang cukup membantu meskipun sulit untuk mengatasi benturan keadilan melawan ketidakadilan. Bila dialog liberatif tentang kesejahteraan dan keadilan ekologis-kemanusiaan hanya dilihat dalam istilah “penindasan melawan pembebasan”, maka kita semua terlalu mudah dapat saling mengakhiri kehidupan satu sama lain. Jadi, kesejahteraan dan kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya melalui pembebasan dan menyediakan hak-hak sipil dan ekonomi. Kesejahteraan hanya akan tercapai bagaimana sikap kita mengajak dan merangkul orang lain sebagai upaya untuk menciptakan ruang bagi mereka yang berseberangan dan bertentangan dengan kita. Sikap kritis dan melawan tetap menjadi bagian dari sikap yang harus dimiliki oleh siapa saja termasuk oleh organisasi keagamaan. Hanya saja perlawanan tidak harus menimbulkan bentrokan dan tindak kekerasan, karena cara seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Misalnya sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan menindas rakyat kecil. Sebagai contoh, apa yang dialami oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL) di berbagai tempat termasuk di pusat kota yang menjadi korban dari kebijakan-kebijakan pemerintah Kota. Begitu pula dengan keadaan ekonomi masyarakat pedesaan yang cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari karena harus kehilangan pekerjaan dan hak-hak mereka. Perlawanan dan keadaan tanpa kekerasan memang merupakan suatu wahana praksis, satu ekspresi dari terlaksananya komitmen relatif-absolut kita di dalam tanggung jawab global. Dalam kasus seperti ini Krieger mengatakan: 130 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak The ability to stand for the truth as one sees it in the realm of experience and action in such way, hewever, that one’s own view is always open to correction and thus to place one’s own existence at stake is possible only as nonviolent praxis (Krieger, 1990; 58). Jadi dalam dialog liberatif, kita memiliki komitmen penuh terhadap kebenaran yang kita pahami. Melawan dengan keras bukan berarti melawan dengan kekerasan secara fisik, psikologis atau kultural. Sehingga dari orang lain yang menjadi mitra yang bernilai dan darinya kita dapat belajar walaupun dia sebagai seorang penentang. Membangun Aksi Solidaritras Lintas Agama Akhir-akhir ini krisis yang dihadapi oleh manusia cukup beragam dan kompleks. Rangkaian kompleksitas masalah yang ada, membutuhkan penyelesaian mendesak agar manusia tidak larut dalam masalah tersebut. Organisasi yang terlibat dalam mewujudkan pembangunan moral masyarakat, sangat signifikan keberadaanya sebagai organisasi yang dapat diharapkan mampu berbuat sesuatu untuk melakukan transformasi dan pembebasan bagi umat beragama yang menjadi korban dari struktur sosio-ekonomi yang menindas dan eksploitatif serta krisis ekologi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dari rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi semacam BKSAUA seperti yang telah penulis uraikan pada bab terdahulu, merupakan bentuk partisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan masyarakat dan bangsa. Peran pimpinan agama dalam pembangunan bukan saja lantaran mereka merupakan salah satu komponen itu sendiri, melainkan karena pada umumnya pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat utuh dan serasi antara kemajuan aspek lahiriah dan kepuasan batiniah. Corak pembangunan seperti ini didasarkan pada pemikiran Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 131 bahwa keberadaan manusia yang akan dibangun pada dasarnya terdiri dari unsur jasmaniah dan unsur rohaniah. Kedua unsur ini harus terisi dalam proses pembangunan. Peran pimpinan agama dalam menanamkan prinsip-prinsip etik dan moral masyarakat adalah penting adanya. Karena dalam kenyataannya, kegiatan berupa kerjasama pada umumnya selalu menuntut peran aktif para pemimpin agama dalam meletakan landasan moral, etis dan spiritual baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan dalam bentuk kerjasama memperoleh kesejatiannya dengan cara berpijak pada landasan kebersamaan (solidaritas), etis dan moral. Pentingnya keterlibatan pimpinan agama dalam kegiatan-kegiatan pembangunan dalam aspek pembangunan unsur rohaniah, tidak hanya bersifat suplementer tetapi benar-benar menjadi salah satu komponen inti dalam seluruh proses pembangunan. Di sini nilai-nilai religius yang ditanamkan oleh pimpinan agama memainkan peranan penting dalam kegiatan pembangunan (Wirosardjono, 1989; 8). Mengamati dan menganalisis apa yang telah dilakukan oleh pimpinan agama dalam kegiatan-kegiatan pembangunan secara lintas agama merupakan bentuk aksi “solidaritas lintas agama” (interreligious solidarity) seperti yang dikemukakan oleh Farid Esack (Esack: 1997). Kenyataan ini patut diberikan penghargaan, karena kegiatan-kegiatan yang ada didasarkan pada pembangunan moral umat beragama dan pembinaan pentingnya kerjasama lintas agama dalam memberikan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh umat beragama. Aksi solidaritas dalam bentuk kerjasama antarumat beragama tetap penting untuk dikembangkan di masa-masa mendatang. Hanya saja, kedepan kegiatan ini tidak hanya terbatas pada pembangunan moral umat beragama, namun juga dilanjutkan pada kerjasama dalam rangka memerangi kemiskinan dan ketidakadilan. Hal 132 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak ini perlu, mengingat masalah kemiskinan dan ketidakdilan telah menjadi isu nasional bahkan internasioanal. Kemiskinan menjadi tanda zaman par excellence bagi bangsa kita. Kemiskinan memanggil kita untuk membebaskan orang-orang miskin dari penderitaan mereka. Masalahnya, kita cenderung mengabaikan, atau “purapura” tidak tahu bahwa kita berhadapan dengan realitas primer ini. Akibatnya, kebenaran tentang realitas orang miskin tidak menjadi kesadaran personal atau kolektif kita. Bangsa kita masih melihat realitas kemiskinan sekadar sebagai “catatan kaki” dan sesuatu yang dianggap wajar dalam masyarakat yang malas atau tidak memilki etos kerja. Disamping itu, kemiskinan dianggap kotoran masyarakat yang sedang menderita sakit, kasus-kasus penggusuran paksa di daerah-daerah kumuh memperlihatkan secara terang bagaimana hidup orang miskin semakin digeser ke periferi dan secara sengaja ditinggalkan melalui tindakan kekerasan. Singkatnya, selama ini kita gagal mengalamatkan masalah penderitaan orang lain (problem the suffering other). Masalah kemiskinan melampaui batas-batas kemanusiaan dan agama. Sebab kemiskinan merupakan skandal humanisasi-religius. Jika menolak pengalaman ini dan menolak tantangan darinya, kita akan menjadi tidak humanis-religius. Agama bahkan dapat kehilangan relevansinya, jika bukan validitasnya. Dalam masalah kemiskinan diharapkan respon dalam bentuk protes para pimpinan agama untuk menekan realitas ini. Protes dilakukan di hadapan elite negara dan pelaku ekonomi global yang self-seeking dalam mengelola negara. Protes itu mengambil bentuk aksi solidaritas lintas agama bersama mereka yang miskin atau yang menjadi korban dari struktur yang tidak adil. Kita tidak hanya menunjuk fakta orang miskin dari luar, tapi harus mengekspresikannya dalam diri kita, karena kita menjadi simbol riil bagi orang-orang miskin. Penyingkapan ini dilakukan atas realitas orang miskin maupun Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 133 solidaritas lintas agama yang berorientasi pada praksis liberatif. Aksi solidaritas lintas agama bersama orang-orang miskin memediasikan pembebasan orang miskin. Oleh karena itu, solidaritas dengan orang miskin melahirkan suatu komunitas praksis liberatif. Kalau kenyataan ini mulai disadari oleh para pimpinan agama, maka urusan agama tidak hanya mengurus masalah-masalah batiniyah (moral, etika dan spiritual) tapi juga masalah lahiriyah (kemiskinan, ketidakdilan, krisis ekologi dan lain-lain). Di sinilah fungsi agama sebagai kekuatan pembebas. Aksi solidaritas agama mempunyai peranan penting dalam hubungan antarumat beragama ke depan. Dengan membiasakan umat beragama bekerjasama dalam kegiatan-kegiatan keagamaan akan menumbuhkan perasaan bahwa betapa pentingnya hidup dalam kebersamaan. Di mana partikularitas dalam keragaman berada di atas singularitas tanggung jawab. Disamping itu, aksi solidaritas ini merupakan upaya untuk menghilangkan sekat-sekat teologis yang dianggap mampu memghalangi terwujudnya kerjasama. Dari perspektif ini, masalah teologis jangan menjadi bahan pembicaraan ketika umat dari berbagai agama hendak melakukan kerjasama. Karena hal ini akan mempengaruhi hubungan dan agenda-agenda kerjasama antarumat beragama. Artinya, bahwa yang perlu ditekankan adalah pembicaraan mengenai moral, etika, kemiskinan, ketidakadilan dan krisis ekologi. Dengan cara seperti ini akan memantapkan agenda dari aksi solidaritas lintas agama. Merubah Teologi Langit Menjadi Teologi Bumi Gemuruh zikir dan suara-suara pengajian yang terdengar dari majeli-majelis ta’lim adalah pembelaan terhadap Tuhan sebagai bukti kesetiaan hanya kepada-Nya dengan menegasikan mission prophetic pembelaan bagi mustad’afien. Penciptaan ruang-ruang perdebatan gaduh dengan upaya pembuktian kekuasaan dan kebesaran Tuhan. 134 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Sikap-sikap Inilah yang menjadi dasar pertanyaan dan kegusaran sejumlah pemikir muslim progresif dalam membaca tren sejarah pemikiran keagamaan. Sehingga memunculkan sejumlah pertanyaan; Mengapa persoalan kemanusiaan cenderung sepi dari haru biru perbincangan teologis? Energi dikerahkan sedemikian rupa untuk memproteksi singgasana Tuhan agar tidak ternodai oleh tangantangan jahil manusia yang berdosa. Padahal dalam kitab suci sudah dikatakan bahwa kebesaran Tuhan tidak akan surut sedikit pun dengan dosa-dosa yang diperbuat manusia. Dalam pemahaman penulis, sebenarnya sikap mentransendenkan agama ke atas langit hanya akan menjauhkan agama dari realitas social kemanusiaan dan berbagai problematikanya. Ketika agama dipahami dalam bingkai teologis, maka sebetulnya agama akan mengalami disfungsional, agama tersubordinat oleh pemahaman-pemahaman keagamaan yang eksklusif dan secara sosiologis agama akan kehilangan élan profetiknya untuk mewujudkan pembebasan umat manusia. Dalam aksioma teori fungsional, agama harus berfungsi dalam realitas social. Sekarang, saatnya untuk mengkonversikan teologi ketuhanan menjadi teologi kemanusiaan, sejenis teologi yang memberikan perhatian lebih besar terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Dengan bahasa yang berbeda, Hassan Hanafi dalam karya monumentalnya manusia harus selalu menjadi pijakan kita dalam beragama. Sebab, Allah bukan hanya raja di langit melainkan juga di bumi. Allah bukan hanya Tuhan para malaikat yang ada di sana, melainkan juga Tuhan umat manusia yang ada di sini, di bumi ini. Min al-Aqidah ila al-Tsawrah menginstruksikan untuk mengubah ‘teologi langit’ menjadi ‘teologi bumi’. Abd Moqsith Ghazali berpendapat bahwa bumi sebagai ruang hunian umat Dengan mengubah teologi langit menuju teologi bumi, sebuah cita-cita untuk menjadikan agama sebagai alat pembebas bagi kaum Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 135 mustad’afien. Lebih jauh lagi berbagai macam bentuk teologi yang diperkenalkan untuk membebaskan kaum tertindas seperti ‘teologi pembebasan’ yang tumbuh subur di Amerika Latin yang bertolak dari Socio-critical Interpretation, yang ditekankan dalam Teori Sosial Neo-Marxist karya J. Habermas (1929), yang kemudian diadopsi oleh teolog Asia. Thieselton mengemukakan bahwa: “Banyak teolog penganut teologi pembebasan Amerika Latin mengambil Alkitab hanya sebagai bacaan kedua yang dilakukan dalam konteks perjuangan sosial masa kini, atau praksis masa kini.” (A. C. Thiselton, 1999). Beragama secara praksis menuntut keseriusan, sehingga idealideal agama yang bungkam dapat menjadi kenyataan yang hidup dan bersuara. Di sini agama bukan diapahami yang hanya bermuatan simbol-simbol ritus yang beku, melainkan konstruksi perihal kerja perubahan dan pembebasan masyarakat (The construction of social transformation). Terutama bagi mereka yang tertindas secara politik, sosial, budaya, apalagi ekonomi. Agama tidak boleh lagi berfungsi sebagai alat pemberi legitimasi pada struktur masyarakat yang tidak adil. Beragama secara praksis berarti pendaratan ruh agama pada ‘pangkalan-pangkalan’ masyarakat hingga level bawah. Pendaratan itu bukan saja mewujud dalam bentuknya yang trivial dan banal, melainkan juga terejawantah dalam bentuk yang lebih substantif berupa terlepasnya umat dari belenggu represi, hegemoni, serta derita ketertindasan. Agama seharusnya ditampilkan dalam sosoknya yang humanis, pluralis, progresif, liberatif dan transformatif. Dalam kisahnya yang awal, agama selalu hadir dengan makna-makna praksis tersebut. Mambangun Perdamaian Sejati Umat Manusia Perdamaian merupakan dambaan bagi segenap lapisan masyarakat yang hidup dalam kondisi sosial yang mejemuk. 136 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Suasana damai memungkinkan terciptnya suatu hubungan sosial yang harmonis, rukun, dan saling menghargai satu sama lain, tanpa harus mengalami situasi insecurity yang mengancam misi perdamaian di muka bumi. Menurut A. Mukti Ali bahwa perdamaian bukan hanya “tidak ada perang” tetapi perang adalah bentuk ekstrim dari tidak adanya perdamaian. Sejak permulaan sejarah, perdamaian telah dianggap sebagai karunia dan rahmat, dan sebaliknya perang dianggap sebagai malapetaka dan azab, namun baru sejak akhir abad pertengahan ahli-ahli filsafat dan negarawan dengan sistematis merenungkan masalah perdamaian (Ali, 1987; 353-354). Tidak sedikit organisasi-organisasi sosial keagamaan terus berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang “bebas konflik” lewat programprogram pembinaan, pendidikan, penegakan HAM dan demokrasi serta prevensi konflik. Program perdamain tidak hanya dilakukan oleh LSM-LSM lokal seperti DIAN/Interfidey, MADIA, FKUB tapi juga oleh LSM-LSM dunia seperti yang dilakukan oleh komunitas Yahudi, Kristen dan Islam yang tergabung dalam ICPME yang dibentuk pada tahun 1987 di Amerika (Smock, 2002; 63). Menjelang memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia diguncang oleh konflik yang bernuansa SARA yang terjadi dibeberapa daerah, seperti Situbondo (konlik agama dan politik), Pontianak (konflik etnis dan agama), Ambon (konflik agama), Poso (konflik agama), Timika (konflik antar suku), Medan (konflik etnis dan agama), Palembang (konflik etnis), Lampung (konflik etnis dan agama), Sanggau (konflik etnis dan agama), Ketapang (konflik etnis dan agama), Sampit (konflik etnis dan agama), Tasikmalaya (konflik politik, etnis dan agama), Kebumen, Solo, Kudus (konlik etnis dan agama), Mataram (konflik agama), Sikka (konlik agama), Kupang (konflik agama) dan Ternate Halamahera (konflik agama) (Ohoitimur, 2002; 34-35). Konflik yang terjadi di beberapa daerah tidak hanya merusak bangunan-bangunan fisik, lebih dari itu, konflik di atas telah memakan korban harta dan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 137 jiwa manusia dalam segala lapisan masyarakat. Akibat dari konflik tersebut, telah menjadikan hubungan antar manusia tidak harmonis dan saling curiga satu sama lain. Persepsi bahwa agama menjadi pemicu konflik telah tercatat dalam setiap lembaran sejarah umat manusia. Perang salib adalah bukti sejarah di mana agama menjadi pemicu antara bangsa Eropa yang beragama Katolik melawan bangsa Arab yang beragama Islam. Bagi umat Islam, Perang Salib (Crusades) merupakan contoh Kristen militan dan pertanada awal agresi imperialisme Barat Kristen. Implikasi dari Perang Salib ini, telah menjadi kenangan hidup tentang permusuhan antara pihak Islam dan pihak Kristen (Pomalingo, 2003; 139). Perang Salib sendiri bukan hal yang sangat penting dalam sejarah Muslim, namun krusial dalam menetapkan pola dan jiwa sejarah panjang yang penuh konflik dan saling curiga antar Muslim dan Kristen (Ayoub, 1993; 198). Demikian pula, yang terjadi di Irlandia Utara antar pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama Protestan. Dari dua kasus tersebut agama menjadi faktor dominan dalam mendorong lahirnya konflik di tengah-tengah pemeluknya. Agama yang diyakini sebagai pembawa perdamaian atau dalam istilah al Qur’an sebagi rahmatan lil alamin (kedamaian bagi alam semesta), namun dalam tataran historis, misi agama tidak selalu artikulatif. Dari perspektif ini, seperti yang telah penulis uraikan terdahulu agama di satu sisi memproklamasikan dirinya sebagai alat pemersatu sosial (integrative factor), sebaliknya di sisi lain, agama pula memerankan dirinya sebagai faktor pemicu konflik (desintegrative factor). Faktor disintegratif muncul karena agama itu sendiri memiliki potensi yang melahirkan intoleransi, baik karena faktor internal ajaran agama maupun karena faktor eksternalnya yang secara sengaja dimainkan oleh pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan agama untuk meraih kepentingan. Faktor-faktor internal agama yang dimaksudkan adalah teks-teks agama, sementara 138 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak faktor eksternalnya adalah cara penafsiran terhadap teks-teks agama. Pesan-pesan kasih dan perdamaian dapat ditemukan dalam kitab-kitab Suci agama-agama sebagai berikut: Inilah kasih itu; bukan kita yang telah mengasihi Alla, tetap Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamai bagi dosa-dosa kita,…jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka kita haruslah saling mengasihi mengasihi. (Surat I Yohanes 4.7.12) Tidak seorang pun di antara kamu yang beriman sepanjang tidak mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri”. (Hadis Rasulullah SAW). (Islam). Bila dalam keluarga saling mengasihi niscay seluruh negara akan di dalam cinta kasih. Bila di dalam keluarga saling mengalah, niscaya seluruh negara akan di dalam suasana saling mengalah. (Kitab Thay Hak, Ajaran Besar Bab IX :3). (Konghucu) Keadaan yang tidak menyenangkan atau menyenangkan bagiku, akan demikian juga bagi dia. (Buddha). Aku (Tuhan) adalah kekuatan dari yang perkasa, bebas dari keinginan dan nafsu birahi, Aku adalah cintanya semua manusia, yang tidak bertentangan dengan dharma (kebenaran) oh Arjuna (Brata Sabha). (Bhagvadgita: VII.1) (Hindu) Pesan-pesan perdamaian dan cinta kasih di atas menegaskan bahwa sesungguhnya agama tidak pernah mengajarkan dan memerintahkan kepada setiap pemeluknya untuk melakukan kekerasan. Sebaliknya agama menganjurkan kepada setiap pemeluknya untuk menebarkan cinta kasih dan perdamaian bagi Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 139 terwujudnya suatu masyarakat yang aman, damai dan hidup dalam kerukunan. Beberapa Prasyarat Mewujudkan Perdamaian Untuk mewujudkan kerukunan dan misi perdamain lewat Tahun Kasih, dibutuhkan prasyarat-prasyarat yang mendukung terciptanya kerukunan dan perdamaian di Kota Manado, antara lain: Pertama, memahami makna kasih dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan masyarakat yang plural. Sehingga kasih tidak hanya sekedar slogan dan simbol kerukunan antarumat beragama. Kedua, membangun kembali rule of law (supremasi hukum). Sekarang ini banyak masyarakat yang melaksanakan hukum dengan tangan mereka sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat tidak percaya terhadap kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum. Dengan demikian diperlukan keseriusan pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum dalam mewujudkan supremasi hukum tanpa melihat status seseorang, apakah ia seorang pejabat maupun rakyat kecil yang melanggar hukum. Ketiga, distribusi ekonomi yang merata dan penciptaan iklim politik yang sehat. dalam bidang ekonomi, realitas kesenjangan yang mencolok antar yang kaya dan miskin, atau penguasa dan rakyat telah menyuburkan kebencian dan dendam sosial yang sewaktu-waktu merebak menjadi amuk massa yang sulit dihindarkan. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi tidak boleh terpusat pada kelompok dan golongan tertentu, tapi harus menyebar dan merata berdasarkan prinsip ekonomi yang berkeadilan, sehingga tidak memunculkan kesenjangan sosial ekonomi yang makin menajam yang hanya akan mengganggu keseimbangan hidup masyarakat. Dalam bidang politik, sakralisasi kekuasaan hingga kini masih sangat kuat, seperti terlihat pada pandangan sebagian rakyat kecil terhadap pemimpinnya sebagai personifikasi “orang suci” yang 140 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak dipandang tidak pernah salah (Asy`arie, 2002; 36). Oleh karena itu perlu ada upaya desakralisasi kekuasaan, maka kepemimpinan politik akan berjalan melalui proses seleksi yang terbuka, wajar, alamiah dan tidak direkayasa. Kepemimpinan politik berjalan sesuai proses interaksi dan komunikasi sosial yang jujur, beradab dan lugas. Proses rasionalisasi kekuasaan diperlukan agar kekuasaan dapat diperebutkan dan dikelola secara terbuka dan rasional, dan rakyat sebagai pegang kekuasaan tertinggi dapat mengontrolnya secara terbuka dan rasional pula. Keempat, membangun masyarakat yang demokratis dengan budaya yang demokratis (Suseno, 2003; 126). Otoriterianisme yang identik dengan sikap represifnya telah merusak hubungan masyarakat selama ini. Bahkan hal tersebut telah mendorong tumbuh suburnya budaya kekerasan dalam masyarakat. Membangun masyarakat yang demokratis adalah membangun masyarakat tanpa diskriminasi. Karena diskriminasi menjadi lahan yang sangat subur untuk menciptakan eskalasi konflik dalam masyarakat. Kelima, Kesalehan sosial. Diharapkan para tokoh agama, elit pemerintah dan elit politik harus menjadi teladan bagi masyarakat luas dengan berperan aktif dalam meletakan landasan moral, etis, dan spiritual serta peningkatan pengalaman agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Keenam, Intercultural Communication (Komunikasi antar budaya) (Samovar dan Porter, 1976; 25). Komunikasi antar budaya meliputi interaksi antar orang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda. Misalnya antar suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial (Liliweri, 2003; 12). Komunikasi dalam bentuk ini menjadi prasyarat untuk menekan munculnya konflik etnik dan ras yang berbeda. Sebab dalam masyarakat yang majemuk konflik dalam bentuk-bentuk seperti ini bukan tidak mungkin tidak terjadi, oleh karena itu dibutuhkan Intercultural communication (Komunikasi antar budaya). Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 141 Daftar Pustaka Ali Engineer, Asghar. 2000. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ali, A. Mukti, 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Press, Asy’arie, Musa. 2002. Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: LESFI. Esack, Farid, 1997. Qur’an, Liberation and pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious solidarity against Oppression. Oxford: One world publication. Haniah, 2001. Agama Pragmatis: Telaah atas Konsepsi Agama John Dewey. Magelang: Indonesia tera. Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Knitter, Paul F. 1985. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religions. Maryknoll, New York: Orbis Books. Krieger, David. 1990. “Conversation: On the Possibility of Global Thinking in an Age of Particularalism” dalam Journal of the American Academy of Religion. Kung, Hans. 1990. Global Responsibility In Search of a New World Ethic. New York: Crossroad. Küng, Hans. 2003. Sigmund Freud Vis-a-Vis Tuhan, terjemahan Edi Mulyono. Yogyakarta: IRCiSoD. L. Pals, Daniel. 1996. Seven Theories of Religion. New York: Oxford University Press. Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. Yokyakarta: LkiS. M. Ayoub, Mahmoud. 1993. “Akar Konflik Muslim-Kristen: Perspektif Muslim Timur Tengah”, dalam Andito (Editor), Atas Nama 142 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik. Pustaka Hidayah. Magnis-Suseno, Franz. 2003. “Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Konflik antar Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia”, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS dan Pusat Bahasa dan Budaya. Naisbitt, John dan Patricia Aburdence. 1991. Megatrend 2000, Ten New Direction of the 1990’s. New York: Avon Books. O.C., D. Hendropuspito. 1998. Sosiologi Agama, Penerbit Kanisius. Yogyakarta. O’Dea, Thomas F. 1997. The Sociology of Religon, Terjemahan Tim Penerjamah Yasogama, CV Rajawali, Jakarta. Ohoitimur, Yong. 2002. “Kasih Perekat Persaudaraan dan Pendorong Kemajuan bagi Sulawesi Utara: Beberapa Gagasan dari Perspektif Filsafat Moral”, dalam Kasih Mengubah Dunia, Manado: JAJAK Sulut. Pomalingo, Samsi. 2003. “Benturan Peradaban: Islam dan Kristen Barat”, dalam Jurnal Potret Pemikiran. Vol. 3 No. 2 Oktober 2003, P3M STAIN Manado. R. Smock, David. 2002. (Editor), Interfaith Dialogue and Peacebuilding. Washington: United State Institute of Peace Press. Rakhmat, Jalaluddin, 2003. Psikologi Agama, Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan. Samovar, Lary dan Richard E. Porter, 1976. Intercultural Communication: A Reader Belmont. CA: Wadsworth Publishing Company. Soekanto, Sorjono. 1993. Kamus Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Sosial Analysis: 1980. Linking Faith and Justice. Washington, Center of Concern. Sudjangi, 2004. “Peta Kerukunan di Propinsi Sulawesi Utara”, dalam Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 143 Seri I, Jakarta: Departemen Agama RI. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Susetyo, Benny. 2004. Vox Populi Vox Dei. Malang: Averroes Press. Talcot Parsons, 1951. The Social System. New York: Free Press. Wilson, A.N. 1992. Against Religion, Why We Should Try to Live without It. London: Chatto and Windus. Wirosardjono, Soetjipto 1989. “Agama dan pembangunan”, dalam M. Masyhur Amin (Ed.), Moralitas Pembangunan Perspektif Agamaagama di Indonesia. Yogyakarta: LKPSM-NU. 144 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak MENJAGA KERUKUNAN, MERAYAKAN KERAGAMAN DI ‘NEGERI SERIBU GEREJA’ Harapan dan Tantangan Oleh: Taufani S emakin kaya keragaman yang dimiliki oleh suatu negara, maka semakin tinggi pula potensi konflik yang dapat muncul ketika keragaman itu tidak dapat dikelola dengan baik. Keragaman yang dimiliki Indonesia pada dasarnya adalah sebuah berkah yang patut disyukuri karena ia dapat menjelma menjadi kekuatan apabila setiap elemen yang hidup di dalamnyadapat mengakuinya sebagai ‘ibu kandung’. Tetapi ketika kita memungkirinya, maka tunggu saja, kutukan demi kutukan akan datang menimpa negeri ini. Berbagai chaos yang terjadi di negeri kita belakangan ini merupakan pertanda kutukan karena selama ini kita kerap berperilaku bak malin kundang yang cenderung ‘setengah hati’ menerima dan mengakui keragaman yang notabene adalah ‘ibu kandung’ kita sendiri. Kita gagal mengambil pelajaran dari konflik agama/ sektarian yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia seperti Afghanistan, Bosnia, Pakistan, Sudan, dan beberapa negara lainnya yang telah menghancurkan sendi-sendi sosial-politik di negara tersebut dan juga telah merenggut nyawa orang yang tidak berdosa. Akibatnya, negara-negara tersebut sampai sekarang masih terjebak dalam iklim 145 ketidakpastian. Hati siapa yang tidak tersayat menyaksikan berbagai tragedi kemanusiaan yang mengorbankan banyak nyawa akibat keserakahan manusia yang sering saling jalin berkelindan dengan persoalan ekonomi, sosial, dan politik yang dibumbui oleh warna identitas, seperti agama, suku, ras, etnis, aliran, dan ideologi. Identitas sendiri tidaklah salah karena ia hanyalah sebuah konstruksi sosial yang selalu dinamis dan tidak statis yang kerap dimanfaatkan oleh pihakpihak tertentu. Yang salah adalah nafsu serakah manusia itu sendiriyang usianya sama tuanya dengan dunia ini- yang cenderung selalu menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Ingatkah kita, bahwa gebyar peradaban yang kita nikmati saat ini adalah hasil peluh keringat, air mata, dan tetesan darah para pahlawan kita yang tak mengenal kata lelah. Mereka telah menghabiskan hampir sebagian hidupnya semata-mata untuk membangun mercusuar peradaban yang kelak dapat dinikmati dan dibanggakan oleh anak cucu. Namun sayangnya, peradaban yang dibangun dengan susah payah tersebut saat ini terancam ambruk akibat ‘ahli warisnya’ tak mampu mengendalikan nafsu syahwat kekuasaannya. Kota Manado dengan segala keindahan, keelokan, dan keperawanan alamnya kelak hanya akan tinggal sebagai sebuah cerita bila keragaman yang dimilikinya tak mampu dikelola dengan baik dan bijak. Manado adalah sebuah miniatur Indonesia yang di dalamnya ditopang oleh keragaman suku, agama, ras, etnis sebagai pilarnya. Keragaman ini telah lama menjadi kekuatan yang dapat merekatkan masyarakat Manado. Itulah sebabnya, Manado (baca: Sulut) cenderung sulit untuk disulut. Dulu kita selalu bangga bahwa Indonesia adalah contoh negara toleran di mana Ambon (Maluku), Sambas (Kalimantan Barat), Poso, dan Manado dianggap sebagai role model kota kerukunan. 146 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Namun sekarang, citra Ambon, Sambas, dan Poso sebagai role model kerukunan hanya tinggal nama. Kota-kota tersebut harus merasakan getirnya perjuangan untuk membangun kembali seluruh sendi-sendi yang telah hancur akibat adanya konflik horizontal yang dibumbui oleh isu agama dan etnisyang terjadi beberapa tahun lalu. Satusatunya harapan yang masih bisa kita banggakan saat ini adalah ‘negeri seribu gereja’ Manado. Secara geografis, Manado diapit langsung oleh segitiga konflik (Mantu, 2015: 40-410), yakni Poso di sebelah Selatan, Ketapang, Sambas, dan Sampit di sebelah Barat, dan Maluku dan Maluku Utara di sebelah Timur, sehingga posisi Manado sangat rentan terkena dampak dari konflik tersebut. Untungnya, keberadaan kearifan lokal yang masih mengakar dengan kuat di tengah masyarakat, ikatan kekerabatan yang masih terjaga,dialog lintas agama yang masih terjalin dengan baik, ditambah dengan adanya figur kepemimpinan daerah yang kuat dan mau mengayomi, dapat membantu Kota Manado keluar dari efek domino yang ditimbulkan oleh wilayah-wilayah konflik yang berbatasan langsung dengan wilayah Kota Manado. Citra Manado sebagai kota damai dan toleran beruntungmasih dapat dipertahankan. Adanya citra damai yang melekat pada Kota Manado telah membuat para korban dari daerah bertikai memilih menyelamatkan diri di kota ini (Mantu, 2015: 40-41). Awalnya masyarakat Manado khususnyayang beragama Kristen sempatsedikit dihantui oleh kekhawatiran munculnya konflik baru di ‘kota seribu gereja’ ini karena kebanyakan dari pengungsitersebut adalah beragama Islam. Mereka khawatir umat Muslim yang datang dari daerah bertikai tersebut masih menyimpan dendam kepada para penganut Kristiani. Namun, apa yang dikhawatirkan cenderung tidak terjadi. Malahan kebanyakan pengungsi yang datang dari daerah bertikai tersebutmampu membaur dengan masyarakat, sehingga keberadaan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 147 mereka dapat diterima hingga saat ini. Sebagian dari mereka bahkan telah menjadi sukses di kota ini. Tulisan ini adalah suatu tulisan reflektif yang lahir dari apa yang saya amati selama bermukim di Kota Manado dan untuk membuatnya lebih kaya, saya mencoba memadukan refleksi pengalaman saya dengan beberapa studi yang spesifik membahas tentang Manado. Saya berharap tulisan ini dapat mewarnai dan memperkaya studi tentang kerukunan dan keragaman khususnya dalam konteks Manado dan Sulawesi Utara. Kearifan Lokal Sebagai Alat Pemersatu Setiap kebudayaan selalu memiliki kearifan lokal yang khas dan unik yang berfungsi sebagai mekanisme untuk mempertebal kohesi sosial. Kearifan lokal sendiri dalam pandangan John Haba mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang hidup, tumbuh, dan berkembang di suatu wilayah yang diakui, dijalankan, dan dipercayai sebagai aspek penting untuk memperkuat dan mempertebal kohesi sosial di antara warga (Abdullah dkk, 2008: 7). Ada enam signifikansi dan fungsi kearifan lokal bila ingin dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam penyelesaian sebuah konflik. Pertama, sebagai penanda identitas suatu komunitas. Kedua, aspek perekat lintas warga, agama, dan kepercayaan. Ketiga, kerifan lokal tidak bersifat memaksa, tetapi ia hidup dan membumi di tengah masyarakat. Kempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan dalam sebuah komunitas. Kelima, kearifan lokal menekankan pada adanya common ground (nilai bersama). Keenam, kearifan lokal dapat mendorong terbangunnya kebersamaan, penghormatan, dan juga sebagai mekanisme bersama untuk mengurangi potensi yang dapat merusak dan menghancurkan solidaritas komunal karena ia dibangun di atas kesadaran bersama (Haba dalam Abdullah dkk, 2008: 7-8). Dalam konteks masyarakat Manado, kearifan lokal dewasa 148 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak ini masih memainkan peranan penting sebagai panduan nilai dan pegangan hidup yang masih mengakar di tengah masyarakat. Di Manado, kita mengenal kearifan lokal dan berbagai ungkapan yang sangat familiar yang telah menjadi nilai khas (local value), seperti mapalus (gotong royong dan tolong menolong), torang samua basudara (kita semua bersaudara), sito timou tumou tou (manusia hidup untuk menghidupkan orang lain), baku-baku bae dan baku-baku ingat (saling berbaik-baikan dan saling mengingat), moto tabian, moto tampiaan dan moto tanoban (saling mengasihi, saling memperbaiki, dan saling merindukan). Kekayaan lokal tersebut harus selalu dijaga dan dipelihara karena semuanya memiliki potensi untuk menjaga dan memelihara kerukunan di Kota Manado (Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2014). Mapalus adalah sebuah tradisi yang hidup di tengah masyarakat Manado dan hingga kini tradisi tersebut masih tetap dijalankan dan dipertahankan. Mapalus menurut J. Turang adalah suatu sistem yang hidup di tengah masyarakat yang meliputi berbagai bidang kehidupan, sebagai bentuk aktualisasi atas adanya kesadaran akan hakikat manusia sebagai makhluk yang ber-Ketuhan-an dan juga makhluk sosial yang tunduk dan patuh pada sistem nilai masyarakat (Gonibala, 2014: 50). Lanjut Turang, mapalus memiliki lima asas, yakni asas religius, asas kekeluargaan, asas musyawarah dan mufakat, asas bersama, dan juga asas persatuan dan kesatuan (Gonibala, 2014: 50). Di beberapa wilayah di Manado,tradisi mapalus dapat dijumpai dalam bentuk gotong royong dan tolong-menolong yang melibatkan warga -tanpa memandang suku, agama, etnis, dan ras- dalam pembangunan fasilitas publik seperti rumah ibadah, pos ronda, balai desa, dsb. Budaya mapalus juga masih dapat dijumpai khususnya pada momentertentu, seperti acara nikahan dan kematian, di mana para warga saling membantu dan bekerjasama mendirikan tenda dan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 149 segala hal yang terkait dengan itu. Satu hal yang unik di Manado dalam hubungannya dengan tradisi mapalus adalah ketika terjadi hari raya besar keagamaan semisal Idul Fitri, warga Kristiani yang tinggal di sekitar masjid membantu menjaga keamanan masjid dengan penuh kerelaan dan kesadaran. Begitu pun, ketika warga Kristiani merayakan Natal, para pemuda remaja Masjid juga membantu menjaga keamanan gereja. Di gerejagereja vital yang berada di pusat Kota Manado, penjagaan gereja sering dikawal langsung oleh GP Ansor yang merupakan sayap organisasi NU. Hanya saja, belakangan ini tradisi mapalus cenderung tidak lagi sekuat dulu karena masyarakat Manado dewasa ini telah banyak dipengaruhi oleh kultur urban yang cenderung individualistis dan pragmatis, sehingga suatuhal yang tidak memberikan keuntungan secara langsung cenderung akan diabaikan dan ditinggalkan. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan yang ada di Manado, baikpemerintah daerah maupun tokoh adat, agama, dan masyarakat. Janganlah energi mereka hanya dihabiskan untuk mengurusi politik praktis yang sifatnya jangka pendek, sehingga merekalupa akan perannya sebagai pengawal nilai. Demikan halnya dengan dunia pendidikan, ia tak boleh terus-menerus berada di menara gading. Para pemangku kepentingan di dunia pendidikan harus turut aktif mensosialisasikan dan merevitalisasi kearifan lokal khususnya mapalus sebagai modal sosial untuk meningkatkan pembangunan Sulawesi Utara di berbagai bidang. Dalam posisinya yang strategis sebagai gerbang Indonesia Timur sekaligus berbatasan langsung dengan Lautan Pasifik dan juga negara Filipina, Manado memiliki peluang untuk memainkan peran penting dalam percaturan ekonomi dan politik dunia. Untuk itu, agar proses akselerasi pembangunan di Manado dapat tercapai dengan efektif dan efisien, Hal ini meniscayakan pentingnya 150 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak penguatan prinsip dan nilai kerjasama melalui mapalus. Selain tradisi mapalus, masyarakat Manado juga tidak dapat dipisahkan dari local value, yakni torang samua basudara. Slogan torang samua basudara selama ini telah menjadi nilai bersama bagi masyarakat Manado dan hingga sekarang ia dapat meredam meluasnya konflik di tengah masyarakat. Harus diakui bahwa slogan torang samua basudara memang menjadi sangat popular dan menasional pada masa kepemimpinan Gubernur E.E. Mangindaan. Namun, nilai torang samua basudara sebenarnya telah hidup dan mengakar dengan kuat pada masyarakat Manado, yang dibuktikan dengan fakta bahwa umat Islam dan Kristen telah tinggal dan hidup berdampingan sejak abad ke-19 (Salim, 2015). Salah satu bukti kuatnya nilai persaudaraan di Kota Manado adalah ketika dihelat kegiatan yang bernuansa keagamaan, seperti maulid, isra mi’raj, lebaran ketupat, halal bi halal, orang-orang nonMuslim sering terlibat mengambil bagian dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut, baik sebagai tamu undangan maupun sebagai penggagas. Dalam pembangunan rumah ibadah semisal masjid, para penganut agama lain yang tinggal di sekitar masjid sering ikut membantu dalam bentuk uang dan tenaga. Hal ini sama sekali tidak melahirkan kecurigaan karena komunikasi dan silaturahmi antar tetangga sangat terjalin dengan baik. Yang menarik di Kota Manado adalah ketika daerah lain masih sibuk berdebat tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal, ormas-ormas Islam mainstream yang ada di kota ini, seperti NU, Muhammadiyah, dan Sarekat Islam, ramai-ramai membuat baliho berukuran besar untuk mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru bagi umat Kristiani dan baliho itu lalu dipajang dengan baik di depan gereja-gereja besar yang ada di Kota Manado (Mantu, 2015: 71).Di kalangan masyarakat Kristiani sendiri, untuk menjaga keharmonisan dan persaudaraan antar mereka, berdasarkan penuturan Pastor Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 151 Johannes Lengkong, dikembangkan sikap hidup oikumene dalam wujud perayaan Natal bersama dan juga menjaga keakraban antara mahasiswa UKIT yang berafiliasi pada Kristen Protestan dan STF Seminari yang berafiliasi pada Katolik (M. Nuh, 2005). Lebih lanjut, untuk lebih memperkuat keakraban dan komunikasi antara UKIT dan STF, sejak tahun 90-anpara mahasiswa yang ada di kedua kampus tersebut berinisiatif melaksanakan kegiatan pertukaran mahasiswa lintas agama untuk saling belajar tentang sejarah dan tradisi keagamaan masing-masing. Dalam kegiatan ini, para mahasiswa UKIT tinggal dan mengamati (live in and observe) dan juga mengikuti proses pembelajaran selama beberapa hari di dalam kampus STF dan begitu punsebaliknya. Kegiatan pertukaran ini sampai sekarang masih tetap berjalan. Beberapa kampus yang ada di Manado, seperti IAIN Manado dan STAKN Manado belakangan ini juga turut mengambil bagian dalam kegiatan pertukaran ini untuk membangun tradisi dialog dan sikap saling pengertian lintas agama dan keyakinan. Ikatan Kekerabatan Yang Kuat Masyarakat Manado adalah masyarakat yang sangat terbuka dan mudah beradaptasi dengan suatu hal yang sifatnya baru. Sejak dulu, Kota Manado sudah sering didatangi dan diduduki oleh beberapa bangsa Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda. Dizaman Kolonial Belanda, Manado khususnya tanah Minahasa menjadi daerah favorit para penjajah Belanda karena ia memiliki hasil pertanian dan perkebunan yang sangat kaya, dengan berkah tanah yang subur dan sumber air yang melimpahdari Danau Tondano. Ketika Belanda menancapkan pengaruhnya di tanah Minahasa, banyak dari mereka melakukan hubungan kawin-mawin dengan penduduk asli, sehingga terjadi proses asimilasi dan persilangan budaya. Di Manado, kita masih mudah menemukan berbagai perbendaharaan kata yang 152 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak diserap dari bahasa asing (Eropa), tetapi yang paling banyak adalah yang berasal dari bahasa Belanda (manadobaswara.com, diakses pada tanggal 11 September 2016), seperti garpu: vorok (diambil dari kata vork), kacang merah: brenebon (bruineboon), lemah/lesu: suak (zwak), penuh: vol (vol), ranjang: koi (kooi), selesai: klar (klaar), sendok: leper (lepel), tapi: mar (maar), teropong: keker (kijker), untuk: vor (voor), dll. Sampai sekarang kata-kata tersebut masih familiar digunakan dalam percakapan sehari-hari. Selain dikenal sebagai daerah pertanian dan perkebunan, Tanah Minahasa juga dikenal sebagai daerah pembuangan para penentang kolonial, seperti Tuanku Imam Bonjol, Kiai Modjo, Pangeran Ronggo Danupoyo, K.H. Ahmad Rifai, Sayid Abdullah Assagaf, Gusti (Pangeran), Perbatasari dan masih banyak lagi. Konon, banyak pengikut Kiai Modjo -yang telah bermukim di daerah kampung Jawa Tondano- melakukan hubungan kawin mawin dengan penduduk asli Minahasa yang memiliki latar belakang keagamaan yang berbeda. Fakta historis ini menunjukkan bahwa masyarakat Manado sejak dulu telah terbiasa bersentuhan dengan perbedaan, sehingga ketika mereka dihadapkan pada perbedaan, mereka cenderung tidak lagi mengalami kekagetan. Menikah beda agama sudah menjadi suatu hal yang biasa dan lumrah di Manado. Memilih untuk konversi agama demi mencapai kesamaan visi spiritual dalam kehidupan berumah tangga juga telah menjadi suatu hal yang biasa dijumpai di kota ini. Tak dipungkiri bahwa terkadang ada sedikit riak dalam soal ini, tetapi seiring waktu, keluarga dari kedua mempelai terkadang tidak ingin terlalu larut memikirkan hal tersebut karena bagi mereka menjaga harmoni jauh lebih penting daripada memelihara permusuhan. Dengan kata lain, pernikahan harusnya dimaknai sebagai sebuah usaha mempererat dan mendekatkan dua buah keluarga, bukan malah memisahkannya. Memang salah satu sifat khas yang dimiliki oleh warga Manado Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 153 adalah sangat terbuka, egaliter, mudah bergaul, tidak pendendam, dan tidak suka memperumit masalah. Mereka cenderung berprinsip, bahwa yang terjadi biarlah terjadi. Suatu hal yang telah terjadi tak usah lagi diperpanjang karena hanya akan menambah masalah baru. Ketika suatu masalah telah menjadi pelik, maka masalah tersebut harus dicarikan solusinya di meja makan. Dengan kata lain, masyarakat Manado meyakini bahwa diplomasi meja makan adalahsuatu jalan keluar yang kreatif untuk mengatasi suatu ketegangan. Terlepas dari pandangan yang bersifat teologis, pernikahan beda agama dan juga konversi agama, memiliki peran positif dalam mencegah dan meredam konflik yang mengatasnamakan agama di kota ini. Ketika banyak pihak sibuk memanfaatkan isu dan simbol agama untuk memecah belah, warga Manado (baca: Sulut) cenderung sulit untuk disulut karena mereka telah terbiasa bersentuhan dengan perbedaan yang diikat oleh hubungan kekerabatan yang sangat kuat. Paling tidak, ketika terjadi ketegangan antar umat beragama di Kota Manado, masyarakat akan berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan aksi anarkis terhadap penganut agama lain. Mereka kurang lebih akan berpikir bahwa menyakiti penganut agama lain sama artinya dengan menyakiti hati saudaranya sendiri. Kalau ia seorang penganut Kristiani, iatidak akan tega menyerang dan membunuh kaum Muslim karena ia juga memiki sanak saudara yang memeluk agama Islam. Jadi, membunuh kaum Muslim sama saja dengan membunuh saudara dan keluarga sendiri. Karena itulah, berbagai kelompok keagamaan yang mengusung ajaran dan ideologi yang radikal dan fundamentalis cenderung ‘kurang laku’ di Manado karena masyarakatnya sangat menjunjung tinggi perbedaan yang diikat olehnilai kekerabatan yang sangat kuat. Salah satu strategi untuk memperkuat nilai kekerabatan di Manado adalah masih dipertahakannya penggunaan nama tersebut tidak di belakang nama seseorang, yang diambil dari garis keturunan 154 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak bapak. Di Manado, ada beberapa nama fam yang kerap diidentikkan dengan identitas ke-Kristen-an seperti Waworuntu, Sondakh, Mangindaan, Sarundajang, Kandou, Pangemanan dll, tetapi fam tersebut tidak menutup kemungkinan juga digunakan oleh orang yang beragama lain karena adanya praktik nikah lintas agama. Jadi walaupun berbeda agama, hubungan persaudaraan antara mereka yang memiliki fam yang sama masih terjalin dengan baik. Tradisi silaturahmi baik di hari besar keagamaan maupun di hari biasa masih tetap dipertahankan. Perbedaan agama bukanlah menjadi penghalang untuk saling mengunjungi dan saling bersilaturahmi. Yang terpenting adalah walaupun berbeda, tetapi mereka harus tetap bersatu karena diikat oleh kesamaan garis keturunan yang berasal dari pihak bapak. Kesamaan fam ini dalam batas tertentu telah memainkan peranan penting dalam upaya pencegahan konflik yang mengatasnamakan agama. Selain menjunjung tinggi nilai kekerabatan, masyarakat Manado juga dikenal sangat menjunjung tinggi nilai hidup bertetangga. Di lingkungan tempat di mana saya bermukim di Manado tepatnya di Malendeng yang memiliki populasi Muslim dan Kristiani yang relatif seimbang, hubungan baik antar tetangga yang berbeda agama terjalin dengan baik. Setiap ada warga yang meninggal -apapun itu agamanya-, para tetangga selalu hadir melayat dan memberi dukungan morilkepada keluarga yang berduka. Mereka juga seringkali ikut mengantarkan jenazah hingga ke tempat pemakaman. Tradisi undang-mengundang di acara pernikahan juga masih berlangsung hingga saat ini. Ketika yang Muslim melaksanakan pesta pernikahan, para tetangga yang Kristiani selalu menyempatkan hadir untuk meramaikan hajatan. Hanya saja yang menjadi sedikit masalah adalah ketika yang mengadakan pesta adalah tetangga yang Kristiani. Para tetangga Muslim cenderung merasa kurang nyaman, untuk tidak mengatakan enggan,hadir di pesta tersebut karena Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 155 menyangkut persoalan makanan, walaupunsang pemilik hajatan sendiri telah menyediakan makanan nasional (makanan yang tidak mengandung babi dan sejenisnya) sebagai bentuk apresiasi terhadap tamu khususnya yang beragama Islam. Hal ini tidak serta merta berarti bahwa para tetangga Muslim tidak menghargai sang pemilik hajatan.Mereka hanya merasa kurang nyaman karena khawatir masakan seperti ayam dan daging sapi yang disajikan di pesta tersebut tidak dipotong dengan cara yang halal dan islami. Mereka juga khawatir bahwa panci (belanga), piring dan sendok yang dipakai dan disediakan oleh sang pemilik hajatan pernah digunakan untuk memasak dan mengkonsumsi daging babi dan sejenisnya. Adanya keengganan tersebut terkadang menimbulkan sedikit kesan di kalangan Kristiani bahwa umat Muslim cenderung sedikit kaku. Melihat realitas tersebut, umat Islam hendaknya perlu menyikapi hal ini dengan bijak. Para pemuka agama Islam dituntut untuk mendidik umat Islam agar lebih rasional, bijaksana dan mengedepankan kesantunan dalam beragama. Jangan sampai, keengganan untuk menghadiri hajatan yang dilakukan oleh warga Kristiani dapat menjadi stigma buruk bagi kaum Muslim itu sendiri. Karena itu, para pemuka agama Islam harus konsisten mendidik umatnya pada pentingnya menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan juga mengajarkan aspek-aspek keagamaan yang lebih berorientasi pada ajaran akhlak dibandingkan fikih di tengah realitas masyarakat yang multikultural. Dialog Lintas Agama Yang Terjalin Dengan Baik Manado adalah sebuah kota yang sangat aktif mengadakan dialog antar agamadan keyakinan baik formal maupun informal. Dialog yang sifatnya formal yang lebih menekankan pada pertemuan antar elit atau pemuka agama telah menjadi kebiasaan rutin di kota ini. Pertemuan rutin tersebut sering diinisiasi oleh BKSAUA (Badan 156 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Kerjasama Antar Umat Beragama) dan juga oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Selain kedua kelompok tersebut, lembagalembaga lain yang berafiliasi pada agama tertentu juga sering melaksanakan kegiatan dialog, seperti NU, Muhammadiyah, MUI, Pemuda Katolik, GMIM, dsb.Masalah yang sering dibahas dalam dialog tersebut adalah seputar isu-isu keagamaan terhangat, seperti persoalan Syiah, Ahmadiyah, terorisme atas nama agama hingga mengenai persoalan pendirian rumah ibadah yang sering mengalami penolakan dari warga sekitar. Banyak pihak telah mengakui kualitas dialog antar umat beragama dan berkeyakinan yang ada di Kota Manado. Itulah sebabnya, banyak pihak yang konsen pada isu kerukunan antar umat beragama dan berkeyakinan mulai NGO, institusi akademik, ormas keagamaan, FKUB dari provinsi atau kabupaten/kota lain hingga jajaran pemerintah daerah di provinsi lainsering mengunjungi Kota Manado dengan niat untuk belajar tentang mekanisme pengelolaan kerukunan di kota ini. Memang belakangan ini terjadi sedikit kemunduran pada toleransi umat beragamadi Kota Manado. Dulunya umat Islam dan Kristen dapat hidup rukun dan harmonis dengan penuh kesadaran tanpa saling mempermasalahkan identitas keagamaan satu sama lain. Namun pasca terjadinya desentralisasi kekuasaan di mana setiap daerah diberi hak dan wewenang untuk mengatur dirinya sendiri melalui kebijakan otonomi daerah, hubungan antar umat beragama cenderung mengalami sedikit ketegangan karena agama kerap dijadikan sebagai jualan politik. Penguatan identitas keagamaan sering menjadi mengemuka tatkala terjadi kontestasi pemilihan kepala daerah. Dalam situasi ini, berbagai kampanye hitam dan juga ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama menjadi tidak terelakkan. Ironisnya, lembaga semacam BKSAUA dan FKUB yang seharusnya menjadi Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 157 garda terdepan untuk mencegah dan mendeteksi potensi konflik sejak dini, tak dapat memainkan fungsi dan perannya karena aktoraktor yang berada di dalamnya terkadang ikut larut dalam pusaran kontestasi politik lokal demi meraih kepentingan pribadi dan kelompok. Ironisnya, BKSAUA dan FKUB baru ingin‘bergerak’ untuk bekerja ketika konflik sudah menjadi runyam. Dengan kata lain, BKSAUA dan FKUB selama ini masih banyak terjebak pada paradigma pemadam kebakaran dibandingkan menjadi alarm pencegah kebakaran, padahal yang seharusnya dilakukan adalah sebaliknya. Untuk mengefektifkan fungsi dan peran pencegahan dan pendeteksian potensi konflik sejak dini, BKSAUA dan FKUB perlu membangun kemitraan dengan berbagai pihak. Menjalin kemitraan dengan kepolisian perlu dibangun oleh BKSAUA dan FKUB agar dapatbersama-sama melakukan sosialisasi kebijakan pemerintah khususnya yang terkait dengan tema kerukunan. Lembaga-lembaga tersebut perlu mengadakan pertemuan secara rutin guna saling berdiskusi dan berbagi informasi terbaru terkait masalah-masalah keagamaan di Kota Manado. Di samping itu, pertemuan tersebut juga dapat mencari solusi bersama agar suatu ketegangan dapat dicegah dan diatasi sejak dini (Mubarok, 2014). BKSAUA dan FKUB juga perlu membangun jejaring dengan NGO dan institusi akademik yang konsen pada isu-isu keragaman, seperti The Wahid Instititute, Maarif Institute, Indonesian Conference on Religious and Peace (ICRP), Setara Institute, Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM. Kerjasama ini penting karena dapat menjadi sebuah sinergi yang baik untuk mengedukasidan memberikan pencerahan padamasyarakat terkait isu-isu keragaman (Mubarok, 2014). Untuk membentuk lembaga BKSAUA dan FKUB yang kuat dan kredibel, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, 158 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak dan seluruh pemangku kepentingan harus memastikan bahwa aktor-aktor yang mengambil bagian di dalamnya adalah mereka yang profesional, independen, dan berintegritas. Para aktornya juga perlumemiliki pengetahuan yang baik tentang HAM, pola konflik keagamaan, dan demokrasi (Mubarok, 2014). Dan yang tak bisa diabaikan adalah para aktor di BKSAUA dan FKUB wajib memiliki literasi media digital yang baik. Ini penting karena isu penodaan agama dan ujaran kebencian dewasa ini tumbuh dengan liar di media sosial. Dalam posisi inilah, pengurus BKSAUA dan FKUB ¬-yang memiliki modal sosial yang kuat di tengah masyarakat- perlu proaktif memainkan perannya untuk menetralisir konflik di tengah masyarakat sekaligus menyebarkan ajaran keagamaan yang sehat dan menyejukkan. Tradisi dialog sebenarnya telah berurat akar pada masyarakat Manado jauh sebelum adanya dialog yang sifatnya elitis sebagaimana yang sering diadakan oleh lembaga-lembaga keagamaan semacam BKSAUA dan FKUB.Dialog antar warga telah terbangun dan terjalin dengan baik melalui tradisi saling kunjung mengunjungi di hari raya, musyawarah antar warga, dan juga acara kumpul dan makan bersama. Satu hal yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya yang memuat nilai dialog di dalamnya adalah tradisi bakdo ketupat (lebaran ketupat). Menurut sejarah, tradisi ini berawal dari Kampung Jawa Tondano dan telah menjelma menjadi tradisi bersama yang dirayakan umat Muslimdi Kota Manado hingga sekarang. Lebaran ketupat selalu dilaksanakan setiap tahun tepatnyaseminggu pasca perayaan hari raya Idul Fitri (hari ketujuh di bulan Syawal) sebagai bentuk syukur setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan dan puasa Syawal selama enam hari berturut-turut di bulan Syawal (Otta, 2010). Lanjut Otta, tujuan dilaksanakannya lebaran ketupat adalah Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 159 pertama, sebagai media untuk melakukan evaluasi internal. Kedua, sebagai media silaturahmi dengan keluarga pasangan. Menurut sejarahnya, istri para pengikut Kiai Modjo yang merupakan leluhur warga Kampung Jawa Tondano berasal dari gadis lokal yang berbeda agama dengan mereka. Lebaran ketupat menjadi media untuk bersilaturahmi dengan keluarga istri mereka yang notabene memiliki agama yang berbeda. Ketiga, sebagai media silaturahmi bagi warga Kampung Jawa yang telah berdomisili di luar Kampung Jawa. Keempat, sebagai media untuk bersilaturahmi dengan warga yang berada di sekitar Kampung Jawa yang umumnya beragama Kristen. Puncak kegiatan lebaran ketupat setiap tahunnya selalu terpusat di Kampung Jawa Tondano.Akan tetapi, warga di daerah Tuminting, Wonasa dan beberapa daerah lain yang menjadi kantongkantong umat Muslim di Kota Manado, juga kerap melaksanakan lebaran ketupat yang tak kalah ramai dengan Kampung Jawa Tondano. Para pimpinan daerah seperti gubernur, walikota, dan bupati selalu mengambil bagian dalam kegiatan ini. Dalam kegiatan ini, para pimpinan daerah dan warga saling membaur tanpa ada sekat. Kegiatan lebaran ketupat biasanya diisi dengan berbagai acara hiburan seperti qasidah, hadrah, samrah, band Islam, fashion show hingga stand up comedy. Yang menjadi keunikan dari acara lebaran ketupat ini adalah setiap warga yang melakukan open house menyambut siapa saja yang berkunjung ke rumahnya baik yang sudah kenal maupun yang tidak. Para pemilik rumah akan menyajikan berbagai menu, seperti nasi, ketupat, buras, ayam, ikan, sop, es buah,dan daging sapi. Momen ini menjadi momen membaur dan berkumpulnya setiap warga tanpa memandang identitas. Semuanya sibuk saling berdialog dan bercengkrama tanpa ada tendensi. Setiap orang bebas berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya dan juga bebas mencicipi berbagai jenis makanan yang telah disajikan oleh sang pemilik rumah. Meskipun lebaran ketupat identik dengan tradisi Islam, tetapi 160 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak masyarakat Manado yang umumnya sangat plural dari segi identitas menganggap tradisi ini sebagai tradisi bersama yang sifatnya positif untuk dijaga dan dilestarikan karena ia dapat menjadi mekanisme untuk menjaga dan memperkuat kohesi sosial. Pada intinya, lebaran ketupat tidak hanya melulu tentang makan dan pesta, tetapi juga tentang dialog, perjumpaan, dan silaturahmi. Kepemimpinan Daerah Yang Kuat dan Mau Mengayomi Kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin mempengaruhi orang dipimpinnya agar yang dipimpinnya tersebut dapat mengikuti apa yang diinginkan oleh si pemimpin (Soekanto dan Sulistyowati, 2014). Kepemimpinan yang baik mensyaratkan adanya kemampuan untuk mengayomi, menggerakkan, dan menginspirasi. Kerukunan umat beragama yang kita saksikan di Kota Manado sesungguhnya tak dapat dipisahkan dari adanya estafet kepemimpinan yang kuat dan visioneryang telah menciptakan kebijakan yang pro-kerukunan dan memberi ruang bagi keragaman. Meskipun dikenal sebagai ‘negeri seribu gereja’ dan citra bahwa Ke-Minahasa-an adalah identik dengan Ke-Kristen-an, hal itu tidak mengurungkan niat baikGubernur H.V. Worang untuk merangkul para tokoh yang berasal dari agama di luar Kristen. Sebagai bentuk apresiasinya terhadap perbedaan, H.V. Worang membentuk BKSAUA (Badan Kerjasama Antar Umat Beragama) di tahun 1969, jauh sebelum didirikannya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) pada tahun 2007, sebagai wadah untuk menjaga silaturahmi dan persaudaraan di antara umat beragama. Memang kehadiran FKUB di Manado cenderung sedikit terlambat bila dibandingkan dengan daerah lainnya,karena menghargai eksistensi BKSAUA yang telah jauh hadir sebelumnya (Idris, dkk, 2013). Bisa dikatakan bahwa H.V. Worang dalam konteks ini adalah seorang pemimpinyang otentik dan visioner yang mampu berpikir melampaui zamannya. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 161 Boleh jadi, salah satu hal yang melatarbelakangi pendirian BKSAUA oleh Worang adalah karena ia belajar pada adanya ketegangan yang cukup tajam antara kelompok Islam dan Kristen dalam skala nasional setelah terjadinya konversi besar-besaran umat Islam menjadi Kristen pada tahun 1965 dan setelahnya. Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, menurut Boland, kalangan Islam memberi stigma bahwa keimanan Kristen adalah tidak logis dan takhayul, sebaliknya umat Kristen menganggap bahwa keimanan kaum Muslim sebagai terbelakang dan fanatik (Azra, 2002: 213). Ketegangan tersebut tak hanya berhenti di situ saja, kedua kelompok agama tersebut juga terlibat dalam konflik yang lebih masif pada akhir tahun 1967 di mana beberapa kelompok pemuda Muslim membakar sejumlah gereja di beberapa kota, seperti Ujung Pandang, Jawa Tengah, dan Aceh. Umat Kristen pun tak mau kalah, mereka lalu melakukan aksi balasan dengan membakar sejumlah masjid di Sulawesi Utara dan Ambon (Azra, 2002: 213).Adanya ketegangan tersebut akhirnya membuat Dewan Gereja se-Dunia pada tahun 1974 membatalkan pertemuan sidang majelis umumnya di Indonesia dan memindahkannnya ke Afrika pada tahun 1975 (Azra, 2002: 213). Sebagai ujian terhadap BKSAUA, maka ketika diadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di Manado pada tahun 1977, dipilihlah susunan kepanitiaan yang terdiri dari berbagai unsur agama dan ternyata kegiatan MTQ tersebut dapat berjalan dengan sukses dan lancar. Hal yang sama kemudian dilakukan lagi pada Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada tahun 1980 dan ternyata kegiatan ini juga dapat berjalan dengan sukses dan lancar (Nuh, 2005; Idris, dkk, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran BKSAUA dapat berhasil meredam ketegangan yang terjadi antara penganut Islam dan Kristen yang pada saat itu berada titik nadir. Kehadiran BKSAUA yang dirintis oleh Worang 162 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak pada waktu itu inginmemberi signal bahwa Kota Manado adalah kota yang aman, damai, dan toleran. Untuk menunjukkan keberpihakannya pada agama lain sekaligus untuk meyakinkan publik bahwa Manado adalah kota yang aman dari konflik antar agama khususnya Islam dan Kristen, Worang menginisiasi dan mendukung pendirian Pesantren PKP (Pondok Karya Pembangunan) Kombos pasca perhelatan acara MTQ di Manado. Dibangunnya pesantren ini juga sebagai bukti bahwa Manado adalah sebuah kota yang dapat memberi perhatian pada keberadaan kaum Muslim yang notabene adalah minoritas (Mantu, 2015: 45-46). Ketika konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) mendera Indonesia pasca Orde Baru, masyarakat Manado menjadi khawatir karena letak geografis Manado diapit langsung oleh dua daerah konflik yakni Maluku dan Poso. Kekhawatiran itu semakin menjadi setelah membanjirnya para pengungsi dari Maluku ke Manado dan Bitung. Untuk itulah, E.E Mangindaan selaku gubernur pada waktu itu berusaha meyakinkan semua pihak bahwa Manado adalah kota yang aman dan damai untuk dihuni. Karena itu di masa kepemimpinannya, Mangindaan membuat slogan torang samua basudara sebagai local value bagi seluruh masyarakat Manado untuk meredam terjadinya konflik. Harus diakui bahwa slogan torang samua basudara memang menjadi sangat popular dan menasional pada masa Mangindaan. Namun, nilai torang samua basudara sebenarnya telah hidup dan mengakar dengan kuat pada masyarakat Manado,yang dibuktikan dengan fakta bahwa umat Islam dan Kristen telah tinggal dan hidup berdampingan sejak abad ke-19 (Salim, 2015). Setelah masa kepemimpinan Mangindaan berakhir, penciptaan Kota Manado sebagai kota yang aman dan damai kembali dilanjutkan oleh Gubernur A.J. Sondakh. Di masa kepemimpinannya, Gubernur Sondakh berhasil membangun Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 163 Bukit Kasih pada tahun 2002 di Kanonang di mana terdapat miniatur rumah-rumah ibadah masing-masing agama di dalamnya. Untuk memperkuat upaya penciptaan Kota Manado sebagai kota kerukunan, Pemerintah daerah menetapkan tahun 2003 sebagai tahun kasih, tahun 2004 sebagai tahun tanpa kekerasan, dan tahun 2005 sebagai tahun kasih dan rahmat (Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2014). Agenda ini disambut dan didukung dengan baik oleh seluruh kelompok agama. Di era S.H Sarundajang, Kota Manado juga cenderung relatif rukun dan aman dari konflik keagamaan. Iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat meningkat di era Sarundajang. Dengan pengalamannya sebagai akademisi dan birokrat yang pernah menjadi caretaker gubernur di wilayah konflik yakni Maluku, Sarundajang memiliki kemampuan manajemen konflik yang baik. Salah satu kehebatannya adalah ia mampu ‘mengontrol’ media massa dalam proses narasi pemberitaan khususnya pada isuisu keragaman, sehingga isi pemberitaan di media tidak menjadi tendensius. Tak dipungkiri bahwa media belakangan ini memang kerap memicu konflik yang lebih besar di tengah masyarakat karena narasi pemberitaannya kerap provokatif dan tendensius, ditambah dengan fakta bahwa sebagian besar masyarakat kita belum memiliki literasi yang baik tentang media, sehingga mereka cenderung menelan mentah-mentah apa yang diwartakan oleh media. Apa yang dilakukan oleh Sarundajang adalah sebuah langkah yang cerdas pada zamannya untuk membangun citra Manado sebagai kota yang aman dan damai demi mengamankan visi untuk mewujudkan Kota Manado sebagai kota pariwisata dunia. Hanya sayangnya pasca kepemimpinan Gubernur Sarundajang, masyarakat Manado mengalami polemik terkait pernyataan Wakil Gubernur Steven Kandou, yang mengubah slogan torang samua basudara menjadi torang samua ciptaan Tuhan. Memang sekilas tidak 164 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak ada yang salah dengan slogan baru ini, namun paling tidak kita dapat bertanya, kira-kira apa yang menjadi motif dan kepentingan dibalik perubahan slogan torang samua basudara yang telah sukses teruji dan mengakar dengan kuat di kalangan masyarakat Manado. Menurut saya perubahan slogan torang samua basudara menjadi torang samua ciptaan Tuhan hanya akan makin menambah masalah baru di tingkat akar rumput karena pemilihan kata ‘Tuhan’ itu sangat problematik dan tidak bebas nilai. Penggunaan kata ‘Tuhan’ juga sangat rentan akan pertarungan kekuasaan. Saya khawatir umat non-Kristen khususnya umat Islam yang memegang prinsip monoteisme yang sangat ketat akan menuduh pemerintah daerah memiliki niat buruk untuk melemahkan akidah umat Islam sekaligus ingin melakukan proses Kristenisasi secara halus dan terselubung. Maka hemat saya, lebih baik mempertahankan slogan torang samua basudara karena ia lebih universal dan bisa diterima oleh segala kalangan. Memilih dan mempertahankan sebuah slogan yang belum mengakar dan belum terujioleh sejarah adalah sebuah tindakan yang sia-sia. Paling tidak apa yang harus menjadi konsen pemerintah daerah saat ini adalah tetap menjaga netralitas dan komitmen untuk menjaga kerukunan dan merayakan keragaman di Manado. Pemerintah daerah perlu membangun semangat kewirausahaan khususnya pada anak muda sebagai strategi untuk mengurangi jumlah pengangguran sekaligus untuk meningkatkan produktifitas warga. Mereka perlu diberi modal usaha dengan bunga yang minim, bila perlu nol persen. Dewasa ini, warga asli Manado yang umumnya beragama Kristen cenderung menjadi ‘pembantu’ di rumahnya sendiri di mana para tuannya adalah orang-orang Islam yang datang dari Makassar, Gorontalo, Jawa, Minang, dan juga para pengungsi dari Maluku yang telah bermukim dan telah sukses secara finansial di Manado. Mereka hampir menguasai seluruh sektor ekonomi, sehingga hal ini dapat menciptakan kecemburuan sosial Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 165 di kemudian hari bagipenduduk asli Manado yang mayoritasnya beragama Kristen. Bila dibiarkan, cepat atau lambat, hal ini dapat menjadi bom waktu yang dapat memicu meletusnya konflik antar agama. Kita bisa mengambil pelajaran dari konflikdi Malukuyang secara demografis menyerupai Manado-yang bermula dari masalah individu kemudian meluas menjadi konflik komunal yang melibatkan dua kelompok agama yang berbeda. Salah satu akar permasalahannya adalah adanya kecemburuan sosial para penduduk asli Ambon Kristen terhadap pendatang Buton, Bugis, dan Makassar (BBM) yang beragama Islam, yang menguasai hampir seluruh sektor perekonomian (Suparlan, 2005). Pemerintah daerah juga perlu memikirkan untuk memberikan beasiswa studi lanjut S2 dan S3 kepada anak-anak muda Manado pada bidang studi HAM, studi agama dan resolusi konflik, studi multikultural, studi perdamaian dan transformasi konflik,dan sejenisnya, agar mereka kelak dapat berkontribusi mencegah dan mendeteksi potensi konflik sejak dini sekaligus mampu mengelola dan mengawal isu kerukunan dan keragaman yang selama ini menjadi ‘jualan khas’ Kota Manado baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Pemerintah daerah juga dirasa perlu untuk bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti NGO, institusi akademik, ormas keagamaan, kalangan media dan juga dunia usaha untuk memberikan pendidikan pada publik terkait isu keragaman, meliputi kesetaraan hak, saling pengertian lintas iman (interfaith understanding), literasi media digital, dan anti terorisme. Kegiatan ini dapat dilakukan di sekolah, kampus, maupun pada komunitas kepemudaan. Hal ini penting agar dapat memberi pencerahan pada anak muda sehingga mereka tidak mudah terjebak oleh bujuk rayu ajaran dan ideologi radikal yang berseliweran di dunia riil dan virtual. Kegiatan ini juga penting untuk membendung meluasnya 166 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak pengaruh ajaran dan ideologi radikal di Kota Manado mengingat posisi geografis Sulawesi Utara berbatasan langsung dengan wilayah Mindanao, Filipina, yang selama ini menjadi basis pergerakan kelompok Islam radikal Abu Sayyaf. Penutup Manado adalah sebuah daerah yang kaya akan keragaman. Masyarakat Manado sejak dahulu telah terbiasa bersentuhan dengan perbedaan dan mereka mampu membuktikan bahwa perbedaan adalah sebuah aset yang harus dikelola dan dirayakan bersama. Itulah sebabnya, Manado sering dijadikan role model kota kerukunan di Indonesia. Manado beruntung karena dapat keluar dari efek konflik yang ditimbulkan oleh konflik Maluku dan Poso, yang secara geografis letaknya sangat berdekatan dengan Manado. Manado dapat terselamatkan karena ia ditopang oleh keberadaan kearifan lokal yang masih mengakar dengan kuat di tengah masyarakat, ikatan kekerabatan yang masih terjaga, dialog lintas agama yang masih terjalin dengan baik, ditambah dengan adanya figur kepemimpinan daerah yang kuat dan mau mengayomi. Kerukunan dan perdamaian adalah sebuah barang yang mahal, oleh karena itu kita harus senantiasa menjaga kerukunan di Kota Manado dengan menjadikan keragaman sebagai pilarnya. Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk membangun peradaban ditengah masyarakat yang memiliki trauma kolektif pada suatu tragedi berdarah.Semoga kita tidak menjadi bagian dari itu. Daftar Pustaka Abdullah, Irwan, dkk (ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM - Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 167 Pustaka Pelajar. Azra, Azyumardi. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan antar Umat. Jakarta: Kompas. Badan Litbang Diklat Keagamaan RI. 2014. Menggali Kearifan, Memupuk Kerukunan: Peta Kerukunan dan Konflik Keagamaan di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Bahasa Manado Serapan dari Bahasa Asing. https://www. manadobaswara.com bahasa-manado-serapan-dari-bahasaasing/. Diakses pada tanggal 11 September 2016. Gonibala, Rukmina. 2014. Rekayasa Sosial Masyarakat Muslim Minoritas: Strategi Dakwah di Perkotaan. Manado: STAIN Manado Press. Idris, Muhammad, dkk. 2013. Peran FKUB Provinsi Sulawesi Utara dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama di Manado. Hasil Penelitian Dosen Bersama STAIN Manado. M. Nuh, Nuhrison. 2005. “Catatan Perjalanan Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah di Sulawesi Utara”, dalam Ridwan Lubis (ed.). Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara: Catatan Perjalanan dan Hasil Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah Tahun 2005. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama. Mantu, Rahman. 2015. “Memaknai ‘Torang Samua Basudara’ (Manajemen Dakwah Berbasis Kearifan Lokal di Kota Manado)”, dalam Jurnal Potret Pemikiran Vol.19, No.2, Juli - Desember 2015, hal. 47-75. Mantu, Rahman. 2015. “Pesantren PKP Kombos: Aktivitas Pesantren di Tengah Mayoritas Masyarakat Kristen”, dalam Muhammad Murtadlo, dkk. Pesantren dan Reproduksi Ulama. Jakarta: Pustaka Cendekia Muda Mubarok, Husni. “Memperkuat Forum Kerukunan Umat Beragama”, dalam Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Desember 2014, hal. 195205. 168 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Otta, Yusno Abdullah. 2010. “Dinamisasi Tradisi Keagamaan Kampung Jawa Tondano di Era Modern”, dalam Jurnal Penelitian Keislaman Vol.6, No.2, Juni 2010, hal. 387-418. Salim, Delmus Puneri. 2015. Power Sharing dan Kerukunan Umat Beragama (Studi tentang Keterwakilan Proporsional antar Umat Beragama di Lembaga Pemerintahan di Kota Manado). Laporan Penelitian Individual Dosen IAIN Manado. Soekanto, Soerjono, Budi Sulistyowati. 2014. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Suparlan, Parsudi. 2005. Sukubangsa dan Hubungan antar Sukubangsa. Jakarta: Penerbit YPKIK. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 169 BERDAMPINGAN SATU DALAM BEDA Rawat-Bangun Infrastruktur Sosial Masyarakat Sulawesi Utara Oleh: Taufik Bilfagih Y . Van Paassen, M. Sc. Sosiolog Agama, menyebut Sulawesi Utara sebagai “tempat pertemuan agama-agama” di Indonesia. Meskipun di sini seluruh agama-agama besar ada atau tumbuh pesat, namun penduduknya sering bertemu satu sama lain dalam bentuk kerjasama di bidang agama, dan masing-masing membangun pengalaman bersama dan bekerjasama bagaimana persaudaraan itu diselenggarakan karena semata dorongan dan keinsafan internalnya bahwa “semua agama sama” dalam kedudukannya sebagai ajaran kedamaian dan persaudaraan. Secara psikologis dan kultural masyarakat Sulawesi Utara mempunyai mentalitas yang menghargai lebih tinggi pada kehangatan hubungan kongkrit antar manusia daripada ekspresi nilai-nilai abstrak dari agama. Inilah apresiasi mendasar masyarakat Sulawesi Utara terhadap agama dalam dimensi kehidupan keseharian mereka. (Basri Amin; 2010) Siapapun tidak bisa menghindari atas keniscayaan multikultural dan pluralnya masyarakat di Sulawesi Utara. Mulai dari perbedaan suku bangsa, agama hingga identitas lainnya. Keadaan ini 170 juga buah dari eksistensi Indonesia yang secara nasional beragam penduduknya. Bahkan kompleksitas keragaman di negeri ini tidak saja multi-etnis (Jawa, Bugis, Kutai, Makkasar, Sunda, Aceh, Bali, Banjar, Flores, Batak, Bajo, dst), namun juga eksistensi ideologi dan mental seperti (Islam, Kristen, Hinduisme, Budhisme, Kapitalisme, Konfusianisme, Cina, India, Belanda dst). Ditengah beragamanya agama, keyakinan, suku bangsa dan budaya Indonesia sedang diperhadapkan dengan munculnya kelompok-kelompok ekslusif, yang kehadiran mereka dibarengi dengan tindakan-tindakan anarkis. Kondisi ini diperparah dengan seringnya negara tidak tegas ketika menghadapi konflik yang melibatkan kelompok radikal tersebut. Padahal, negara (dalam hal ini pemerintah), seharusnya mampu menjadi wasit yang dapat berperan aktif dan konstruktif untuk bertindak. Tidak bisa dipungkiri, pascareformasi, gerakan keagamaan yang cenderung radikal sepertinya memperoleh momentum yang sangat kuat untuk berkembang. Faktanya, kebanyakan dari mereka adalah penganut agama Islam yang cenderung memahami agama secara tekstual. Gerakan keagamaan seperti ini ditandai dengan sekurang-kurangnya tiga hal, yaitu; kembali kepada Islam sebagaimana dilakukan oleh ulama salaf yang saleh, penerapan syariat dan khalifah Islamiyah, dan kecenderungan menolak produk Barat. Sepakat atau tidak, gerakan tersebut memperoleh momentum yang sangat tepat di pascareformasi karena masyarakat dan negara sedang dalam euforia demokratisasi dan keterbukaan. Jauh berbeda ketika Orde Baru yang sangat tegas terhadap gerakan-gerakan keagamaan radikal. Sementara di era reformasi ini, negara tidak lagi mampu untuk melakukan tindakan represif yang disebabkan oleh meningkatnya isu hak asasi manusia (HAM). Negara akan dihinggapi ketakutan melanggar HAM jika kemudian melakukan tindakan represif terhadap gerakan keagamaan radikal. Jika dibandingkan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 171 dengan masa Orde Baru, orang memasang spanduk “tegakkan khilafah Islamiyah di Indonesia” tentunya menuai masalah, karena dianggap akan mendirikan negara Islam. Pemandangan hari ini, spanduk-spanduk bernuansa makar kini bertebaran. Secara lantang penganut agama mayoritas menolak kepemimpinan dari pemeluk agama yang berbeda dengan dalih ajaran dan ketentuan agama yang mereka yakini. Kembali ke Sulawesi Utara Sulawesi Utara, bisa disebut sebagai miniatur Indonesia dalam hal pengelolaan pluralitas kewargaannya. Hingga kini, daerah yang sering disebut nyiur melambai ini terus mempertontonkan sistem kehidupan sosial dengan prestasi kerukunan terbaik. Belum ada konflik horisontal yang berimbas pada stabilitas kehidupan masyarakatnya. Jika kemudian terdapat riak-riak yang mengarah ke konflik SARA, tetap saja dengan sendirinya mampu diselesaikan dengan cepat. Hal ini, tidak luput dari kesadaran atas hidup berdampingan, kendati berada dalam perbedaan identitas kewargaan. Bahkan, masyarakat Sulawesi Utara menempatkan agama sebagai pelengkap untuk memperkuat sisi kemanusiaanya. Sehingga agama, bekerja dengan tepat sesuai keniscayaan multikultur daerah ini. Hampir tak ditemukan adanya kelompok tertentu yang mengkampanyekan bunyi-bunyi tendensi atas nama agama. Fenomena kampanye penerapan khilafah Islamiyah, penolakan pemimpin kafir, serta sikap-sikap anti pluralis nampaknya tidak mendapat ruang. Kesadaran ini tidak hanya muncul akibat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, menjadi minoritas (33%) dibanding penganut agama Kristen di Sulawesi Utara. Baik Muslim dan Kristiani, bahkan seluruh komponen masyarakat, saling bergandengan untuk mengelola kehidupan sosial dalam keseharian mereka. Dominasi 172 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Kristen diruang-ruang publik, tidak membungkam eksistensi pemeluk agama lain. Apalagi, tokoh-tokoh Sulawesi Utara sejak awal mengkampanyekan istilah-istilah yang bermakna filosofis kearah saling menghargai satu sama lain. Seperti ungkapan “Si Tou Timou Tumou Tou” yang dipopulerkan oleh Samratulangi, Torang Samua Basudara oleh E.E Mangindaan dan belakangan oleh pemerintah propinsi saat ini dimunculkan istilah Torang Samua Ciptaan Tuhan. Fenomena kampanye hidup berdampingan sebagaimana yang disebutkan diatas, nampaknya sangat berperan dalam keseharian masyarakat Sulawesi Utara. Semua kalangan diingatkan kembali tentang ajaran kemanusiaan yang lebih utama daripada mempersoalkan identitas agama. Lebih sempurna, ketika penganut agama di daerah ini mampu mengambil hikmah dari anjuran agama yang berkaitan dengan hidup rukun berdampingan kendati berbeda. Ketidak-samaan identitas agama telah dipersatukan melalui kesamaan ideologi kemanusiaan. Bahkan dalam ungkapan salah seorang tokoh agama Sulawesi Utara menyatakan, “Agama itu adik dari Manusia. Jauh sebelum agama dilahirkan, manusia telah lebih awal diciptakan. Maka sepantasnya penganut agama mengutamakan kemanusiaan” (Habib Muhsin Bilfagih). Beberapa Masalah Keragaman Sewaktu menulis catatan ini, saya sedang mengikuti kegiatan Interfaith New Generation Initiative and Engagement (INGAGE) sebuah program yang memberi ruang bagi kaum muda melibatkan diri dalam keragaman iman dan tradisi keagamaan, serta bersikap kritis terhadap hubungan antarkomunitas. Dalam program ini kaum muda membekali diri dengan pemahaman tentang perbedaan iman dan kesetaraan, mengeksplorasinya melalui teknologi digital secara kreatif dan inovatif untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 173 Ketika membuka kegiatan ini, sambutan dari Kementerian Agama Sulawesi Utara, oleh Mochtar Bonde meyatakan, bahwa indeks kerukunan antar beragama di daerah ini pernah menjadi yang teratas. Ia merefleksikan ketika daerah-daerah sekitar; Poso, Maluku, Ambon dan lainnya sedang memanas dengan peristiwa konflik SARA, Sulawesi Utara justru melanjutkan tradisi dialog antar agama. Namun, dalam keluhnya, Mochtar mengkhawatirkan ketika indeks kerukunan tersebut menurun akhir-akhir ini. Kendatipun Sulawesi Utara relatif aman, tidak bisa dinafikan keluhan Mochtar diatas, ditambah dengan adanya peristiwa-peristiwa diskriminatif yang diterima oleh kelompok minoritas, seperti masyarakat muslim. Menurut sebagian ummat Islam, dibeberapa waktu lalu, sering terjadi peristiwa tendensius yang menyudutkan mereka. Beberapa peristiwa tersebut diantara lain, adanya pelarangan azan dilakukan oleh pemuda Kristen yang sedang mabuk, penolakan pembangunan Musholla oleh ormas Minahasa (Baca Kristen), tidak diberi izin untuk menggelar shalat Iedul Fitri di lapangan Tikala, serta kejadian-kejadian lainnya. Jika ditelusuri melalui pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik, sedikit sekali peliputan menyangkut peristiwa-peristiwa di atas. Pemerintah dan juga media, nampaknya kompak dalam mengelola setiap isu yang berkaitan dengan sentimen keagamaan. Peristiwa larangan azan misalnya, benar-benar sepi dari desas desus media. Masalah ini justru muncul ketika Imam masjid menceritakannya kepada sebagian masyarakat muslim. Sementara untuk penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah merupakan peristiwa yang cukup mengambil perhatian publik Sulawesi Utara. Kejadian ini berada di Kota Bitung pada tahun 2015 lalu. Walau demikian, terlepas dari motif penolakan ormas Kristen tersebut tetap saja media dan pemerintah piawai membungkam informasi yang sangat sensitif itu. Sedangkan masalah tidak diberi izinnya ummat 174 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Islam menggelar shalat Ied di lapangan Tikala Manado, padahal ditahun-tahun sebelumnya kegiatan tersebut sering dilakukan, juga diributkan pada desas desus sebagian masyarakat muslim. Hingga saat ini, tidak dapat dibuktikan, apakah pemerintah yang notabene Kristen, benar-benar memasung agenda ibadah umat Islam tersebut. Sekali lagi, apapun motif peristiwa di atas, tetap saja kondusifitas Sulawesi Utara terjaga dengan baik. Bisa dibayangkan jika masalahmasalah ini terjadi di daerah lain. Sebagaimana pengalaman, selalu terjadi ketegangan dan merambah pada stabilitas kehidupan sosial masyarakat setempat. Media dengan sangat cepat menyebarkan pemberitaan, baik ditingkat lokal, regional hingga menjadi berita nasional dan internasional. Akhirnya, keadaan seperti ini kemudian menjadi penyulut bagi peristiwa-peristiwa serupa di daerah lainnya. Contoh saja, ketika pelarangan azan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa di Tanjung Balai sehingga menyebabkan kerusuhan dan perusakan rumah ibadah oleh masyarakat muslim yang tersinggung. Selain menjadi efek negatif bagi warga sekitar, pemberitaan yang berlebihan oleh media pun turut menebar penilaian dari masyarakat lain. Peristiwa lain yang cukup menyita perhatian masyarakat Sulawesi Utara adalah pertikaian antar kampung di Basaan, Minahasa Tenggara. Tawuran hingga terjadinya pembakaran rumah warga ini disebabkan oleh adanya ketersinggungan kelompok pemuda Kristen dengan pemuda Muslim. Ironinya, ketersinggungan yang dimaksud bukan dalam hal perbedaan identitas agama, melainkan hanya masalah sepele dan dibubuhi dengan pemabukan. Namun, konflik ini menjadi sensitif karena aktornya dilakukan oleh 2 kelompok masyarakat yang berbeda secara identitas. Di lapangan, mereka yang berseteru adalah antara penduduk yang tinggal di pantai versus orang ‘gunung’. Masyarakat pantai biasanya direpresentasikan oleh penganut Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 175 agama Islam, bekerja sebagai nelayan dan disebut orang laut. Sementara mereka yang tinggal di ‘gunung’, beridentitas sebagai pemeluk agama Kristen, bekerja sebagai petani dan disebut sebagai orang darat. Perbedaan latar belakang ini, pastinya punya pengaruh penting ketika terjadi gesekan horisontal. Oleh karenanya, hal ini sangat sensitif dan butuh penanganan serius. Akhirnya, tetap saja konflik Basaan berakhir dengan keadaan yang sejuk tanpa kemudian terjadi tendensi SARA berlebihan. Inilah fakta, bahwa Sulawesi Utara tidak selatah daerah lain yang begitu reaksioner merespon isu-isu keragaman. Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa pemerintah dan masyarakatnya seolah sejalan dalam menjaga stabilitas sosial di propinsi Sulawesi Utara. Pada konteks inilah, pengalaman Sulawesi Utara membangun keragaman bisa mengingatkan kita untuk tidak semata melihat pluralisme sebagaimana adanya. Namun harus dicermati bahwa kemajemukan itu juga menyimpan bencana kalau infrastruktur internal masyarakat tidak berkembang dengan baik. Polarisasi struktural di daerah dan adanya konfigurasi sosial ekonomi yang timpang dan kondisi kota-kota yang ekspansif antara golongangolongan ekonomi warganya selalu akan menjadi dasar pemicu terjadinya konflik. Dan ketika itulah faktor-faktor agama, suku dan golongan tampil sebagai label penyebabnya. Perbedaan latar sosial memang telah disadari menjadi variabel konflik. Namun pada tingkat masyarakat lokal identitas-identitas sosial itu masih merupakan basis primer dari bangunan relasi ekonomi dan akses kehidupan masyarakat. Pada satu saat perbedaan itu adalah identitas yang sifatnya individual, tetapi pada saat lain ia dengan mudah berubah menjadi alasan timbulnya tindakan komunalistik dalam ekonomi dan hal lainnya yang bersifat friktif dalam masyarakat. Relasi-relasi lokal inilah yang kurang dianalisis selama ini, dan ditempatkan secermat mungkin bagi penguatan 176 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak pendekatan kebijakan kemasyarakatan pemerintah di daerah. Pengalaman Hidup Berdampingan Masyarakat Sulawesi Utara sesungguhnya tidak lagi asing dengan hidup bermpingan dalam perbedaan. Mulai dari daerah pesisir hingga perkotaan, cermin kerukunan antar golongan terwujud nyatakan. Dari semua lapisan masyarakat, tidak lagi terjebak pada prasangka-prasangka tendensius. Setiap orang bekerja-sama dalam semua aktivitas. Toleransi dan saling menghargai tidak lagi menjadi bacaan teoritis, namun selangkah menuju secara praksis. Sehingga, mengajarkan teori-teori sosial tentang hidup rukun kepada rakyat Sulawesi Utara, bukanlah sesuatu yang istimewa. Banyak cerita-cerita konstruktif yang menjadi potret betapa masyarakat Sulawesi Utara begitu larut dalam bingkai keragaman. Di Desa Tumbak misalnya. Kampung yang terletak di Kecamatan Pusomaen Kabupaten Minahasa Tenggara ini, merupakan daerah yang dihuni 100% penduduk Muslim. Sementara itu, desa-desa tetangga justru mayoritas Kristen. Di era 70-an, anak-anak Tumbak harus berangkat ke desa tetangga untuk mengenyam Sekolah Tingkat Pertama (SMP). Mereka berada di kampung ummat Kristen. Sekolah yang ada pun milik Yayasan Kristen, SMP Kristen Tatengesan namanya. Sekolah ini tidak memiliki bangunan sendiri. Sehingga kegiatan belajar mengajar berada di dalam gedung Gereja. Bisa dibayangkan anak-anak Muslim Tumbak sekolah di kampung Kristen, “mengikuti” ibadah Kristen, bahkan setiap hari melihat dan mendengar tradisi Kristen. Keadaan ini berlangsung lama. Para orang tua Tumbak tidak pernah mempersoalkan anakanaknya harus bergumul bersama pemeluk agama lain. Justru, mereka mengajarkan arti hidup bersama, saling menghargai agar di sekolah tidak terjadi permusuhan. Begitu pula anak-anak Kristen yang menjadi penduduk dominan, tidak sama sekali mereka Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 177 memposisikan rekan-rekan seperjuangan yang berbeda keyakinan sebagai the other bahkan dimusuhi. Kebersamaan mereka semakin lama, semakin akrab dan harmonis hingga sekarang. Suatu ketika, Muhsin, siswa muslim SMP Kristen Tatengesan asal Tumbak mengikuti kejuaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat kecamatan. Muhsin memang memiliki suara merdu. Ketika melantunkan ayat-ayat suci, bacaannya fasih dan iramanya pun syahdu. Ia pun keluar sebagai juara 1 pada pertandingan membaca al Qur’an tersebut. Akhirnya, panitia mengumunkan hasil keputusan dewan juri dengan ungkapan sebagai berikut; “Hadirin sekalian, pemenang MTQ tahun ini, adalah saudara Muhsin, utusan SMP Kristen Tatengesan…” Sontak, tamu dan undangan berdiri memberikan tepuk tangan meriah. Pemandangan yang unik. Pembaca al Qur’an terbaik justru utusan SMP Kristen. Semua orang merasa bangga, betapa sekolah Kristen itu mampu mencetak siswa berbakat dan berprestasi dalam membaca ayat suci ummat Islam. Modal Sosial Masyarakat Sulawesi Utara Hal mendasar yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Utara dalam pengalaman kehidupan sehari-hari adalah modal sosial mereka. Beberapa kisah pengalaman yang telah ditulis sebelumnya merupakan bagian dari kebesaran modal sosial masyarakat setempat. Modal sosial bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, ia juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain. Modal sosial tidak akan pernah habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Justru rusaknya modal sosial bukan karena seringnya ia dipakai, namun karena ia tidak dipergunakan. Untuk mengetahui parameter modal sosial, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dilihat. Pertama; Kepercayaan, yakni sebuah harapan yang tumbuh, sehingga berprilaku jujur, teratur dan kerjasama. 178 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Kedua; Norma, nilai-nilai, harapan dan tujuan. Sedangkan yang ketiga; Jaringan, kerjasama antar manusia, membangun interelasi formal dan informal. Hal inilah yang menjadi hiasan kehidupan masyarakat Sulawesi Utara dalam membangun peradaban. Fakta masyarakat Sulawesi Utara berada pada kehidupan rukun, damai dan harmonis tak luput dari akar sosial yang telah berjalan sepanjang sejarah. Selanjutnya, sebagai daerah yang memiliki masyarakat heterogen, Sulawesi Utara memiliki struktur unik dengan kekuatan modal sosial. Struktur masyarakatnya memiliki pandangan yang demokratis dan egaliter. Prinsip inilah yang akhirnya membentuk tatanan masyarakat dengan penuh kedamaian. Melalui struktur masyarakat seperti yang disebutkan di atas, kemudian melahirkan kultur saling menghargai, menghormati, gotong royong, persaudaraan, toleransi serta mampu mengatasi perbedaan. Modal sosial seperti ini, terimplementasikan melalui gerakan sosial dengan sebutan-sebutan lokal yang membumi. Semisal Mapalus di Minahasa, Mapaluse di Sangihe dan Moposad di Bolaang Mongondow. Akhirnya, lahirlah istilah, Sulut Sulit di Sulut. Demikianlah masyarakat Sulawesi Utara membangun peradabannya. Kondisi yang relatif aman akhirnya pun berimplikasi pada pengembangan ekonomi daerah. Tidak sedikit investor memantapkan programnya di Tanah Toar ini. Maka pembangunan infrastruktur sosial dan fisik Nampak jelas terwujud nyatanya. Salam Bae. Wallahu’alam bi shawab. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 179 MERETAS JALAN PENDIDIKAN KRISTIANI BERWAWASAN KELAUTAN Oleh: Jeane Marie Tulung Yan Okhtavianus Kalampung D iskusi mengenai Pendidikan Kristiani berwawasan Ekologis sudah merupakan perbincangan yang hangat belasan tahun terakhir. Kebanyakan pemikir Pendidikan Kristiani mulai peduli dengan persoalan ekologis karena memang dasar-dasar Kekristenan menaruh perhatian besar pada persoalan yang terjadi di dunia ciptaan Tuhan ini. Gary L. Chamberlain misalnya mengusulkan agar pendidikan keagamaan memang seharusnya bertitik tolak pandangan atas ciptaan Tuhan selain manusia karena memang Kitab Suci dan Ajaran (Dogma) Kekristenan memiliki sumber berlimpah untuk mendukung hal tersebut. (Chamberlain, 2000) Beberapa memang melihat ini sebagai persoalan inti dari Kekristenan tanpa perlu bicara tentang konteks tertentu. (Bowe, 2012; Chamberlain, 2000) Tapi peneliti Pendidikan Kristiani lain berbicara mengenai Pendidikan Kristiani Ekologis berdasarkan konteks kerusakan alam 180 yang sangat parah kini. (Ayres, 2017; Hitzhusen, 2006) Dalam konteks Indonesia, Yanice Janis misalnya mengatakan Pendidikan Kristiani merupakan kelanjutan dari upaya Transformasi Sosial yang merespon persoalan Ekologis yang nyata di hadapan kita sekarang. (Janis, 2013). Hal penting untuk dicatat dari penelusuran literatur singkat ini memperlihatkan bahwa laut tidak mendapat tempat khusus dalam perbincangan Pendidikan Kristiani. Padahal seperti yang akan diperlihatkan dalam artikel ini bahwa Alkitab banyak memberi ruang berbicara tentang laut secara spesifik. Lagipula Laut dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya termasuk masyarakat pesisir memiliki persoalan yang unik dan memerlukan pandangan khusus. Karena itu berangkat dari upaya para peneliti Pendidikan Kristiani yang bertumpu pada persoalan konteks nyata kini terlebih dahulu, artikel ini akan berbicara panjang lebar terkait itu untuk memperlihatkan bahwa Laut memerlukan penanganan khusus karena memiliki persoalan yang khas serta sumber-sumber ajaran Kristiani yang spesifik. Untuk melakukan hal itu kami pertama-tama akan menguraikan bertubi-tubi persoalan Laut yang mengemuka untuk memperlihatkan bagaimana laut mendesak untuk jadi topik pembicaraan kini. Lalu kami akan berbicara panjang lebar soal bagaimana kekristenan menempatkan Laut dalam diskusi ajarannya selama ini. Itu semua nanti akan menjadi alasan-alasan mengapa Pendidikan Kristiani perlu memiliki wawasan kelautan. Perlunya Bicara Tentang Laut Belum lama ini Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, mengeluarkan berita gembira bahwa reklamasi di teluk Benoa akhirnya dibatalkan. Berita ini juga mengabarkan kalau akhirnya kawasan teluk Benoa akhirnya dijadikan kawasan yang dilindungi. Masalah reklamasi ini sebenarnya bukan hal yang baru, sebab sudah sejak 6 tahun lalu masyarakat Bali berjuang untuk Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 181 membebaskan teluk Benoa dari ancaman reklamasi. Di beberapa daerah lain juga demikian. Laut semakin terancam karena perbuatan manusia. Sudah begitu banyak persoalan di Laut yang muncul karena benda-benda sekali pakai namun membutuhkan waktu sangat lama untuk hancul. Manusia yang menikmati, Laut dan segala isinya yang menderita. Di media sosial, banyak dipertontonkan foto-foto hewan laut yang tanpa sengaja mengonsumsi benda-benda plastik. Belum lagi kalau bicara soal limbah-limbah pabrik yang dibuang begitu saja ke laut. Ini sekelumit persoalan yang belum bisa diselesaikan. Belakangan ini juga masyarakat mulai disadarkan dengan problem kerusakan laut yang sudah semakin menggila. Banyak terkait laut yang muncul seperti desertifikasi, atau perubahan yang muncul atas Laut yang muncul seperti berubah menjadi gurun, air banyak yang mengering. Ini merupakan peristiwa yang terjadi karena ulah dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. (Zonn, 2004). Dalam bukunya, Yan O. Kalampung sudah menjelaskan bahwa Laut Indonesia sementara bergejolak secara politik karena sumber dayanya justru dinikmati oleh peaut dari Negara lain. (Kalampung, 2017) Kompleksitas persoalan yang terkait dengan Laut memang kalau didaftar bisa memiliki daftar yang cukup panjang. Tapi ini hanya menjadi pancingan untuk memperlihatkan bahwa Laut dan persoalan yang mengitari mempunyai persoalan yang rumit dan memerlukan perhatian khusus. Pentingnya Laut di dalam Alkitab Setelah melihat sekilas persoalan Laut yang mendesak untuk ditengok dengan serius, rupanya dari sumber ajaran Kekristenan yaitu Alkitab, Laut ternyata mendapat perhatian yang special. Dari seluruh kitab-kitab dalam ada dalam corpus Kitab Suci Kristen, 182 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak kata “Laut” muncul dalam 314 ayat. Ini jumlah yang cukup banyak memperingatkan kita bahwa memang hal ini punya peranan penting dalam kisah, syair maupun uraian dalam Alkitab. Memang disadari bahwa Alkitab yang memuat Laut dalam berbagai percakapannya, menyertai berbagai makna terhadap hal itu. Ruang diskusi ini bukan untuk mencurahkan semua makna dari teks-teks itu, tapi untuk memperlihatkan bahwa Laut punya porsi besar dalam Alkitab dan analisis saintifik atasnya. Mulai dari kisah-kisah awal mula dunia dalam Kitab Kejadian. Dalam drama perjalanan Bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan. Kisah kehidupan bangsa Israel dalam upayanya masuk ke tanah perjanjian. Laut selalu mendapat tempat karena memang konteks kehidupan bangsa Israel selalu dikelilingi oleh Laut. Penelitian tentang Laut dalam Alkitab juga bukanlah hal yang baru. Sudah ada sepasukan peneliti yang menggali posisi konsep Laut dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru. Ada Thomas Soltis yang meneliti tentang Laut Teberau yang dibelah oleh Musa dari sudut pandang Sains.(Soltis, 1974) Lalu pandangan tentang Laut dalam Kitab Ayub yang diteliti oleh Collin R. Cornell. (Cornell, 2012). Bahkan ada Alastair J. Roberts yang meneliti bagaimana hubungan antara peristiwa penyeberangan di Laut Merah dengan liturgi dalam ibadah Kristen. (Roberts, 2014) Sementara ada juga Paul Kang-kul Cho yang meneliti tentang lintasan gambaran mengenai Laut dalam seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Ia coba memperluas makna gambaran mengenai Laut itu dari sekedar ungkapan peristiwa masa lalu tapi Laut menjadi cara untuk menyampaikan pandangan Alkitab mengenai realitas historis juga.(Cho, 2014) Semua penelitian ini memperlihatkan bagaimana Laut selalu menempati posisi penting dalam sebagian kisah-kisah dalam Alkitab. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 183 Ambiguitas Suara Gereja Tentang Laut Sebagai orang Kristen Indonesia, rasanya kami bisa meringkas bagaimana pandangan Gereja-gereja Indonesia terkait Laut ke dalam tiga momen. Pertama, momen ketika terjadi Tsunami di Jepang pada tahun 2011. Ketika itu, salah satu jemaat di Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud, melakukan Ibadah di Laut sebagai bentuk ritual agar daerahnya tidak terkena dampak dari tsunami tersebut. Nampaknya ada ritual-ritual serupa di beberapa daerah lain di Indonesia, mengingat ini adalah negara kepulauan. Ritual-ritual ini memperlihatkan bahwa Laut dianggap sebagai bagian penting oleh Gereja-gereja di Indonesia. Tentu ini dipengaruhi oleh budaya lokal yang memang melihat alam sebagai bagian penting dari komunitas. Momen kedua, Lagu Sekolah Minggu “buang ke laut”. Salah satu Lagu Sekolah Minggu klasik yang jamak dikenal anak-anak Kristen Indonesia yaitu “Yesus angkat bebanku dan buang ke Laut.” Liriknya lengkapnya seperti ini, “Aku bahagia, bahagia Karena Tuhan Yesus angkat bebanku. Yesus angkat bebanku dan buang ke Laut. Byuuurrr. Buang ke Laut. Byurrr (2x)” Lagu ini bermaksud untuk memberi efek kelegaan bagi anakanak seperti termaktub dalam ungkapan “angkat bebanku.” Tapi yang jadi fokus menarik untuk tema yang dibicarakan dalam artikel ini adalah bagaimana Laut dimaknai dalam lagu itu. Laut dilihat sebagai tempat penampungan, spesifiknya tempat penampungan beban. Beberapa versi lain dari lagu ini mengganti kata “beban” dengan “dosa”. Jadi Laut bukan hanya penampungan beban tapi juga penampungan dosa. Singkatnya Laut merupakan tempat untuk 184 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak hal-hal yang berbau negatif. Dalam Tema Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang diangkat sejak tahun 2014, “Tuhan mengangkat kita dari Samudera Raya”, pandangan yang serupa dengan lagu sekolah minggu sebelumnya nampak. Laut yang dikatakan sebagai Samudera Raya, merupakan tempat yang perlu dihindari. Laut dianggap sebagai sebuah tempat yang gelap dan menyeramkan, sehingga pembebasan Tuhan dari Samudera Raya adalah sesuatu yang didamba-dambakan. Yang dilakukan oleh PGI ini adalah salah satu sisi pemaknaan simbolik Lau sebagai makna negatif. Rainy Hutabarat misalnya mengartikan Samudera Raya sebagai simbol dari kekerasan. Kata itu diambil dari Maz 71 : 20b yang berasal dari bahasa Ibrani tehom yang berarti “samudera raya bumi.” Dalam teks itu, Samudera Raya memang maknanya dihubungkan dengan “pengalaman banyak kesusahan dan malapetaka.” (Hutabarat, 2014) Pandangan Hutabarat ini mewakili maksud dari PGI ketika mengangkat tema ini. Sejauh ini belum ada riset mengenai pandangan Gereja-gereja Indonesia tentang Laut, tapi dari tiga momen yang dibahas tersebut. Kita bisa melihat ambiguitas pandangan Gereja tentang Laut. Ada yang melihat Laut sebagai simbol ke-ngeri-an dan malapetaka sehingga sebisa mungkin dihindari, lalu ada juga pandangan yang melihat Laut sebagai bagian penting dari kehidupannya. Rekomendasi untuk Pendidikan Kristiani Menurut John Shortt, Pendidikan Kristiani seharusnya memang ditujukan untuk menghadirkan Shalom. Di dalam kata itu termaktub keutuhan, integritas, komunitas, keterhubungan, keadilan dan kesejahteraan. Tapi di atas semua itu menurut Shortt, Pendidikan Kristiani adalah soal relasional. Soal bagaimana Pendidikan Kristiani membangun hubungan yang membawa shalom dalam lingkungan sekitarnya. (Shortt, 2018) Sejalan dengan itu, Pendidikan Kristiani Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 185 memang dirancang sebagai upaya untuk menghadirkan Shalom (Perdamaian). Dengan demikian baik motivasi awal sampai pada eksekusinya, Pendidikan Kristiani memang berupaya menghadirkan jalan menuju Shalom. Semua ini bertujuan agar Pendidikan Kristian bukan sekedar menjadi upaya indoktrinasi tapi lebih merupakan upaya Transformasi Sosial. (Benson, 2018) Dengan memperhatikan konteks persoalan yang terkait dengan Laut, maka Pendidikan Kristiani harus terlibat di dalamnya. Walaupun memang Gereja-gereja pada umumnya sudah memiliki pandangan tertentu mengenai Laut tapi sudah kita lihat sebelumnya kalau masih terdapat ambiguitas di dalamnya. Pandangan yang demikian memperlihatkan bahwa Gereja masih belum melihat Laut sebagai rekan yang perlu diajak untuk berkembang demi kepentingan bersama. Laut harus dilihat sebagai rekan sesama ciptaan yang perlu dilestarikan. Pandangan tentang laut memang bukan hal yang baru, tapi kompleksitas persoalan tentang Laut selalu baru sehingga membutuhkan manuver analisis yang baru. Bukan serta merta mengulang tradisi lama di dalam Alkitab. Tapi menjadikan polifoni makna Alkitab di dalam Alkitab sebagai rekan diskusi yang berkelanjutan. Perlu juga pandangan yang baru tentang Alkitab dengan mengikuti perkembangan keilmuan atasnya. Kita melihat bagaimana para peneliti Alkitab terus menggali makna dengan berfokus pada Laut. Pendidikan Kristiani sebagai ujung tombak Kekristenan perlu melakukan hal yang demikian. Berbicara dan mengupayakan Shalom memang bukan hal yang sederhana. Sebab shalom sesungguhnya menyangkut keseluruhan hidup ciptaan. Shalom tidak pernah hanya menjadi sapaan, seperti yang dilakukan oleh warga Gereja Masehi Injili di Minahasa sekarang. Shalom bukan semata persoalan internal batiniah namun menyangkut juga persoalan politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Singkatnya jika 186 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak situasi belum mencapai perdamaian yang utuh, Shalom tidak hadir di situ. Jika Pendidikan Kristiani adalah upaya untuk menghadirkan Shalom maka Laut harus mendapat perhatian yang khusus. Mengingat persoalan yang kompleks sementara mengitarinya, Laut harus menjadi satu kajian Pendidikan Kristiani. Sebab Shalom selalu bersifat relasional. Jika laut bermasalah, maka hidup orang Kristenpun bermasalah. Tanpa ada kesadaran ini, laut seringkali diabaikan. Untuk mengakomodir persoalan ini, Pendidikan Kristiani menjadi pasukan garis depan dengan upaya untuk berdialog dengan persoalan Laut. Kurikulum yang mumpuni dengan pengetahuanpengetahuan mengenai Laut. Kurikulum yang hadir bukan hanya sekedar untuk meneruskan tradisi-tradisi lama. Apalagi sudah kita lihat kalau ternyata Alkitab punya suara yang beragam mengenai laut. Apalagi dalam hal ajaran Gereja, Laut seringkali dipandang dari sudut pandang yang ambigu. Dalam ruang Pendidikan Kristiani berwawasan kelautan, selalu ada tempat untuk sikap kritis terhadap persoalan yang ada. Pendidikan Kristiani yang mumpuni adalah Pendidikan Kristiani yang membuka ruang yang luas untuk diskusi mendalam dengan persoalan riil terkait kelautan. Satu hal yang perlu disadari bahwa dengan kompleksitas persoalan Laut yang dihadapi sekarang ini, tidak ada satu jawaban untuk semua persoalan. Yang bisa dilakukan adalah menyediakan ruang yang luas dalam kurikulum untuk Pendidikan Kristiani bagi dialog antara Teks Alkitab, Ajaran Gereja dan Konteks Permasalahan Laut yang dihadapi. Dengan memberi satu jawaban untuk persoalan yang sangat rumit ini, Pendidikan Kristiani akan mengulang kesalahan yang sama dengan hanya membuat suatu konsep abstrak tanpa menyentuh persoalan yang nyata. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 187 Penutup Persoalan Laut nyatanya memang perlu untuk mendapat perhatian khusus dari Pendidikan Kristiani. Dibutuhkan Pendidikan Kristiani berwawasan kelautan. Bukan berarti menyepelekan ciptaan yang lainnya, tapi Laut tidak bisa hanya menjadi salah satu cabang dari analisis ekologis, Laut perlu mendapat perhatian khusus dari Pendidikan Kristiani agar nantinya bisa dihadirkan Pendidikan Kristiani yang menghadirkan Shalom. Persoalan Laut mendesak untuk ditangani dengan serius, dan Pendidikan Kristiani sebagai garda depan kekristenan untuk terus mendialogkan persoalan ini dengan sumber-sumber ajaran kekristenan. Tidak perlu ada satu konsep besar yang menjawab segala persoalan. Hanya butuh kesediaan untuk terus dengan kritis menilik persoalan Laut yang terus terjadi sekarang. Daftar Pustaka Ayres, J. R. 2017. Cultivating the “unquiet heart”: Ecology, education and Christian faith. Theology Today. doi: https://doi. org/10.1177/0040573616689836 Benson, D. M. 2018. God’s Curriculum: Reimagining Education as a Journey Towards Shalom. In J. M. Luetz, T. Dowden & B. Norsworthy (Eds.), Reimagining Christian Education : Cultivating Transformative Approaches (pp. 17-38). Singapore: Springer. doi: 10.1007/978981-130851-2_1. Bowe, A. 2012. The Nature of Ecology, Christianity and Transformative Education. (Master of Arts), Athabasca University, Alberta. Chamberlain, G. L. 2000. Ecology and Religious Education. Religious Education: The official journal of the Religious Education Association, 95(2), 134-150. doi: https://doi. org/10.1080/0034408000950203. Cho, P. K.-K. 2014. The Sea in the Hebrew Bible : Myth, Metaphor, and 188 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Muthos. (Ph.D.), Harvard University, Boston, Massachussets. Cornell, C. R. 2012. God and the Sea in Job 38. Journal of Hebrew Scriptures, 12(18). doi: DOI:10.5508/JHS.2012.V122.1a18. Hitzhusen, G. E. 2006. Religion and Environmental Education : Building on Common Ground. Canadian Journal of Enviromental Education, 11, 9-25. Hutabarat, R. M. P. 2014. Menyambut SR XVI PGI : Samudera Raya Sebagai Pengalaman Kekerasan. Retrieved from https://pgi.or.id/ menyambut-sr-xvi-pgi-samudera-raya-sebagai-pengalaman-kekerasan/ website. Janis, Y. 2013. Teologi Ekologi dalam Kurikulum Anak GMIM. (Magister Sains Teologi), Duta Wacana Christian University, Yogyakarta. Kalampung, Y. O. 2017. Melompat Pagar: Sketsa-sketsa upaya Berteologi Lintas Teks. Sleman: Komojoyo Press. Roberts, A. J. 2014. The Red Sea Crossing and Christian Baptism : A Study in Typology and Liturgy. (Ph.D.), University of Durham, Durham, United Kingdom. Shortt, J. 2018. Is Talk of ‘Christian Education’ Meaningful? In R. Stuart-Burtle & J. Shortt (Eds.), Christian Faith, Formation and Education (pp. 29-44). Switzerland: Palgrave Macmillian. doi: 10.1007/98-3-319-62803-5_1. Soltis, T. 1974. Scintific Theology and the Miracle at the Red Sea. The Springfielder, 38(1). Zonn, I. S. 2004. The Impact of political ideology on creeeping environmental of changes in the Aral Sea basin. In M. H. Glantz (Ed.), Creeping Environmental Problems and Sustainable Development in the Aral Sea Basin (pp. 157-190). Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 189 BENARKAH TOLERAN? Beberapa Catatan Mengenai Politik Kewargaan dan Pembangunan di Kota Manado Oleh: Nono S.A. Sumampouw Haryanto S ewaktu ajakan memberi kontribusi terhadap bunga rampai ini sampai, ada beberapa catatan yang sebenarnya ingin digarisbawahi sehingga membuat kami tertarik memberi sumbangan artikel, utamanya yaitu: Pertama soal tema yang ditawarkan: judul Agama dan Pembangunan Yang Berpihak: Sebuah Refleksi Kritis di Manado, merupakan tema yang memberi kami peluang untuk; anggap saja seperti ini, suatu refleksi ‘lebih jujur dan terbuka’ daripada suatu tulisan yang biasanya sejak awal telah di ‘framing’. Ambil contoh soal kerukunan antar umat beragama, torang samua basudara atau multikulturalisme di Kota Manado dan sebagainya. Hal tersebut, bukannya tidak baik, tetapi kami nilai seringkali hanya menonjolkan hal-hal romantik yang selalu direpetisi dari kondisi komunitas kota ini. Hal tersebut dilakukan tanpa secara langsung mendobrak serta menyatakan dengan jujur dan terbuka permasalahan 190 hubungan antar-umat beragama dikaitkan dengan pembangunan sosial serta infrastruktur kota yang terjadi dan terus berdinamika. Kedua, memang telah disarankan untuk memberi naskah yang juga membuat kutipan-kutipan pustaka terkait, tetapi tidak sebagaimana jurnal, syarat ini lebih longgar. Sehingga, kami justru memutuskan untuk tidak memberikan kutipan dari berbagai buku-buku dan artikel, bukan karena ini tidak penting sebagai academic positioning, namun justru untuk menghindari repetisi berlebihan, karena sesungguhnya karya-karya mengenai hubungan antar komunitas di Manado atau anggaplah Sulawesi Utara sudah demikian berlimpah, ditulis serta dikutip sana-sini dalam berbagai buku, artikel serta monograf, namun dalam kenyataannya justru terlihat ‘memperhalus’ atau ‘menghindar’ untuk menjelaskan masalah komunitas yang sebenarnya terjadi serta ‘malu-malu menukik’ menyentuh persoalan tematik yang diangkat. Poin kedua di atas, merupakan sesuatu yang sangat sering dilakukan, karena dalam wacana-wacana umum, Manado kami nilai terlalu berlebihan ditempatkan wacananya sebagai: Kota Paling Toleran di Indonesia dan Torang Samua Basudara. Bukan berarti hal ini tidak memiliki unsur kebenaran, tetapi wacana-wacana yang terus dijaga ini bisa jadi kurang baik dan bergerak lebih ke arah ‘mitos’ atau romantika masa lalu. Akibatnya sebagai suatu komunitas kota dan dalam arti kebijakan, kita menjadi ‘kurang awas’ menghadapi kemungkinan-kemungkinan konflik yang dapat saja terjadi karena kondisi-kondisi internal. Coba ingat ini dalam catatan sejarah dunia: setiap imperium, peradaban dan perusahaan yang terlampau kuat selalu hancur terutama bukan akibat kekuatan eksternal tetapi karena kurang peka dirong-rong kondisi internal. Kita bisa menyebutnya satu-persatu dari Romawi, Ottoman, VOC dan bahkan Lehmann Brothers. Pada kasus Indonesia, analogi yang mungkin bisa digunakan adalah apa yang terjadi pada rezim Soeharto yang begitu berkuasa selama puluhan tahun tetap tokh bisa jatuh; pela-gandong yang begitu Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 191 romantik dengan sigap terlupa ketika konflik Maluku pecah; konsep sintuwu-maroso di Sulawesi Tengah seolah tidak bertuah ketika konflik Poso membara, dan; orang Jawa yang terkenal kalem bisa beringas ketika hak-hak atau aksesibilitasnya atas perkebunan diambil begitu saja. Sementara, kebanyakan orang Manado kalau ditanya komentar mengenai kondisi-kondisi tersebut masih sibuk dengan jawaban yang ‘kurang awas’ dan ‘terlalu membuai’: itu kan disana, di sini torang beda atau jangang se sama di Jawa sana deng di sini [terj.: disana tetaplah disana, kami berbeda disini (lebih baik) keadaannya; jangan samakan keadaan di pulau Jawa dengan di Manado]. Ya, memang tidak sama keadaannya, tetapi kalau kita tidak awas, selalu saja jadi lebih besar peluang yang bahkan mungkin saja jadi lebih buruk keadaannya. Selain itu, ada pertimbangan metodologis dan diskursif juga yang diambil ketika menulis naskah ini dalam kondisi sebagaimana sampai di tangan penulis. Karena daripada membenturkan data, baik primer dan sekunder dalam asumsi-asumsi teoritis membingungkan, justru kami ingin memperlihatkan kejadian-kejadian yang diperoleh dalam wacana dan praktek publik sebagaimana adanya hanya dengan interpretasi minimal sambil sebisa mungkin mengurangi asumsiasumsi teoritis. Dengan begini, kami berharap; justru semakin luas wacana ini dapat direfleksi oleh lebih luas khalayak daripada hanya ‘dimengerti’ oleh kelas menengah yang menikmati pendidikan dalam derajat tertentu. Hal-hal utama yang ingin kami perlihatkan dalam tulisan ini, sebenarnya merupakan data-data serta keteranganketerangan sederhana yang kami rajut lewat dua hal utama berikut, yaitu: penelusuran-penelusuran lapangan, pengalaman-pengalaman personal-empiris dan pengolahan data-data statistik sederhana. Justru karena itulah, kami ingin wacana ini sesederhana mungkin, ‘membumi’ serta ketika ia dibaca oleh subjek penduduk Kota Manado itu sendiri, kita bisa bercermin bahwa: inilah wajah kita sebagai sebuah komunitas yang malu-malu kita tunjukkan. 192 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Secara lebih spesifik, ada dua hal sederhana yang ingin kami sampaikan angkat disini terutama yaitu: (1) soal posisi politik kewargaan masyarakat Kota Manado yang dapat ditafsir lewat data-data statistik pemilu yang baru lewat, serta; (2) pembangunan kota Manado baik dari aspek landscape atau bentang darat dan pembangunan sosial-ekonomi secara lebih luas. Politik Kewargaan Berdasar Statistik Pemilu 2019 dan Kemungkinan di Pilwako 2020 Data statistik Pemilu 2019 yang kemudian disandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang mulai terlihat untuk Pilwako Manado 2020 pada dasarnya secara langsung menjelaskan permasalahan atau segregasi politik kewargaan serta disparitas antar komunitas yang ada. Lewat data ini kita justru melihat secara langsung faksi-faksi yang terbentuk di masyarakat. Data statistik yang telah diolah juga dapat merefleksikan gambaran ‘ketegangan-ketegangan’, ‘perpecahan-perpecahan’, ‘kekuatan’, ‘ketimpangan’, ekspresi serta ‘benturan-benturan’ pembangunan sosial-politik di masyarakat secara umum sebagai kondisi dasar. Sehingga dalam tulisan ini, memaparkan data statistikal sederhana ini menjadi penting untuk refleksi hubungan antar umat beragama dan pembangunan sosial serta dinamikanya di masyarakat. Dari bakal-bakal calon yang telah terlihat di media massa dan baliho-baliho, nuansa yang muncul dengan membawa sentimen, segmentasi atau katakanlah semangat keagamaan jelas muncul, sekalipun sering tidak disampaikan secara terbuka dan hanya lebih sering terbaca secara interinsik. Namun, sebagai kesimpulan umum sementara, berdasarkan komposisi demografis, pertarungan ini sangat mungkin memunculkan tokoh dari dua kalangan agama terbesar di Manado, yaitu Kristen (atau lazimnya disebut non-muslim dalam kategori politik aliran di Indonesia) dan Islam. Jika menilik Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 193 data demografis paling umum, ini wajar saja dan malah masuk akal serta mengerucut sebagai kekuatan politik paling dominan dalam pencalonan, ini karena berdasarkan jumlah keseluruhan penduduk, persentase umat Kristen di Manado mencapai 54% dan umat Muslim mencapai 45%, serta agama lainnya 1%. Hal ini juga terjadi jika kita membagi keseluruhan DPT kedalam kategori ini, yaitu penduduk Kristen 59% dan Muslim 40%, Lainnya 1%, itupun dengan asumsi jika kita menggabungkan segmentasi Katolik ke dalam pemilih Kristen. Sehingga, data DPT tersebut dapat menggambarkan seberapa besar potensi suara konstituen yang bisa diraup berdasarkan faktor agama. Namun, bila Katolik dihitung sebagai suatu kekuatan politik yang mandiri, maka data ini menjadi lebih fragmentatif lagi, yang tentu saja kembali membagi masyarakat ke dalam kategori-kategori lebih kecil. Artinya, sekalipun mengerucut dalam kategori politik yang kuat dalam wajah Kristen dan Islam, namun fragmentasi agama ataupun denominasinya dalam politik yang semakin banyak akan juga membelah masyarakat ke lebih beragam kategori religi/denominasi dengan semakin beragam kekuatan-kekuatan sipil yang berbenturan secara politis, kadangka ini bisa merembes pada kebijakan-kebijakan tertentu bahkan seringkali menghasilkan ketegangan-ketegangan sosial yang bisa berakhir pada benturan fisik, baik secara komunal maupun personal. Akibat dari mengerucutnya kekuatan politik pada komunitas Muslim dan Kristen, maka bakal calon dari kalangan Kristen telah mencuat pada beberapa nama, seperti: Jimmy Rimba Rogi, Roy Roring, Telly Tjanggulung, James Sumendap, Rio Permana Mandagi, Mor Bastiaan, Harley Mangindaan. Sementara wajar pula jika komunitas muslim juga memiliki calonnya, seperti: Abid Takalamingan, Taufik Pasiaq, Ulias Taha, Bobby Daud, Mahmud Turuis, Djafar Madiu dan Rum Usulu. Namun tidak menutup kemungkinan dari data-data ini, dengan asumsi bahwa pasangan calon yang maju lebih dari satu, 194 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak maka penggabungan kekuatan Kristen atau non-muslim dan Islam akan dilakukan, karena DPT Kristen dominan secara demografis, tetapi angkanya dapat dikatakan relatif seimbang dengan DPT Muslim. Inipun belum dihitung dengan calon yang terdengar akan maju dari kelompok agama diluar kategori dominan tersebut, seperti Ketua DPRD Provinsi Andrei Angouw. Sekalipun, sebagaimana yang telah kami katakan bahwa kekuatan-kekuatan ini akan membagi masyarakat dalam kategori-kategori berdasarkan agama terutama Kristen dan Islam, serta denominasi dan kelompok-kelompok sosial berbasis keagamaan semacam NU-Muhammadiyah-Syarikat Islamdan sebagainya, bahkan kelompok milisi-milisi adat, namun prinsip sederhananya adalah: karena pencalonan membutuhkan dukungan, maka semakin banyak bakal calon dalam kategori-kategori religi semacam ini, maka akan semakin terpecah pula masyarakat, dalam hal ini pendukungnya yaitu masyarakat kota itu sendiri. Jadi, dalam kondisi seperti ini, perlu diingat betul bahwa kondisi atau dinamika dan bisa juga stratifikasi sosial religi dalam kondisi politik tidak dapat ditafsir hanya satu atau dua layer saja seperti Kristen atau Islam, tetapi dapat lebih jernih untuk ditafsir bahwa agama juga merupakan variabel, faktor ataupun fenomena yang multi layer, berlapis-lapis. Tetapi, masalah peta politik dan fragmentasi masyarakat berbasis data agama tidak sesederhana data statistik dasar di atas. Masih banyak yang perlu dilihat, seperti disparitas, persebaran dan fragmentasi kekuatan politik bahkan alasan-alasan kualitatif yang mendasari munculnya angka-angka dan persentase-persentase yang telah dihasilkan berdasar hasil pemilu baru lewat dan ini dapat memperlihatkan bagaimana kekuatan politik berdasarkan agama bukan berarti seimbang dengan komposisi demografis masyarakat secara umum. Hal pertama paling sederhana yang dapat kita lihat adalah keterwakilan calon anggota DPRD Kota Manado terpilih Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 195 berdasarkan agama. Secara prinsipil, karena ini merupakan representasi paling sederhana dari dari kekuatan politik dan dari panggung inilah maka mungkin untuk mencalonkan pasangan calon berbasis partai, dan karenanya mewakili agama tertentu. DPRD Kota Manado menempatkan 78% (31 orang) calon anggota DPRD kalangan non-muslim dan 22% (9 orang) dari kalangan Muslim. Persentase ini menjadi agak timpang jika dibandingkan dengan dengan persentase suara DPT yang terlihat sebelumnya. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana ini bisa terjadi, karena dengan begitu kita akan bisa merefleksikan dengan lebih terang kekuatan politik berdasarkan agama di Kota ini, baik dalam arti keseimbangan ataupun ketimpangannya. Jika melihat lebih jauh lagi, celah yang terjadi di atas menjadi masuk akal karena partai nasionalis secara asumtif akan cenderung secara alamiah dipilih penduduk non-muslim dan secara bersamaan juga tetap memungkinkan dipilih oleh konstituen muslim. Sementara, partai berbasis massa Islam, hampir kurang dilirik oleh pemilih nonmuslim. Sehingga, dalam sudut pandang ini, sebenarnya cenderung menguntungkan caleg non-muslim yang tersebar di partai nasionalis. Berdasarkan data, keseluruhan partai nasionalis mendapat 77% dari suara sah, yang juga disumbangkan dari migrasi pemilih muslim ke partai nasionalis sejumlah 17%. Sementara, yang tetap memilih partai berbasis massa Islam atau caleg muslim di partai nasionalis sejumlah + 22% dari suara sah. Dengan menggunakan data ini, maka menjadi masuk akal dan berbanding lurus jika perwakilan umat muslim berjumlah 9 orang atau sekitar 22% dari jumlah kursi DPRD yang tersedia. Padahal, jika kita hanya sematamata menggunakan data statistik jumlah penduduk atau DPT, maka setidaknya caleg muslim yang terpilih berpotensi mencapai sekitar 40an% dari keseluruhan kursi di DPRD Kota Manado, atau kurang lebih ada 16 kursi, sehingga dengan demikian non-muslim mencapai 196 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak 24 kursi. Dalam perspektif ini, ada reduksi sekitar 17,5% dari suara umat muslim pada keseluruhan suara sah menurut DPT atau ada penurunan sekitar + 43% dari jumlah suara sah umat muslim sesuai DPT. Pada sisi lain, secara bersamaan persentase tersebut dapat dimaksimalkan oleh caleg atau partai berbasis massa nasionalis, sehingga meningkatkan jumlah perwakilan mereka sebanyak 7 kursi (+ 17,5% dari suara DPT dan jumlah kursi) di DPRD Kota Manado. Angka ini jelas cukup tinggi dan signifikan. Komposisi ini sebenarnya dapat ditafsir dalam beberapa hal sekaligus, tetapi yang ingin kami ajak untuk kita berpikir bersama adalah hal sederhana: kalau posisi statistikalnya seperti itu, kota yang (katanya) toleran dan multikultural ini apakah kekuatan sosial-politiknya berimbang, timpang, tidak seimbang atau sesederhana perbedaan kekuatan kompetisi sosial-politik yang telah terjadi dalam soal ‘menang-kalah’, atau ini terjadi karena kompetisi politik dalam keadaan by design dan ‘terkendali’?. Pertanyaan yang timbul dari paragraf di atas dapat kita lihat secara sekilas, tapi perlu juga direnungkan dari data berikut ini. Pada saat bersamaan, soal politik yang memecah fragmentasi agama ini menjadi penting untuk memperhatikan partisipasi pemilih. Secara umum, dalam Pemilu baru lewat ini, keseluruhan tingkat partisipasi pemilih mencapai 73 % dari jumlah DPT, ini berarti ada 27% yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai alasan ataupun hambatan. Ini merupakan angka yang cukup besar. Namun, bagaimana variabel yang sama berdasarkan agama pemilih?. Di Kota Manado, tingkat partisipasi pemilih dari kalangan non-muslim mencapai 68%, sementara dari kalangan muslim mencapai 32%. Berdasar data tersebut, logisnya kita dapat melihat, bahwa secara statistikal, kekuatan suara non-muslim memperoleh keuntungan karena setidaknya dua hal yang telah disinggung, yaitu: (1) suara pemilih muslim dapat diterima oleh partai non-muslim, dimana Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 197 para caleg utamanya dari non-muslim, sementara partai muslim hampir tidak mungkin menerima suara dari pemilih non-muslim, dan; (2) disparitas kekuatannya menjadi lebih besar karena, tingkat kesadaran partisipasi pemilih muslim lebih rendah dari pemilih nonmuslim. Sehingga, dalam sudut pandang iniLewat sudut pandang ini, secara bersamaan, dapat diketahui, bahwa secara statistikal kekuatan politik umat muslim di Manado terdesak ke arah yang justru lebih merugikan, menguntungkan calon non-muslim, tapi kurang terbaca secara statistik, akibat cenderung hanya melihat data-data umum semata. Melihat varian-varian data di atas, dalam politik representasi seperti yang masyarakat kita gunakan hari ini, pemusatan atau dominasi berlebihan itu berbahaya dalam banyak hal. Ini karena diplomasi itu juga politik, penentuan-distribusi-eksekusi anggaran juga politik, bahkan pengawasan dari konstituen, dimana masyarakat diberi tempat yang lebih terhormat dan accessible untuk ‘memarahi’ atau ‘mengkoreksi’ kebijakan pemerintah juga politik, bahkan lebih penting daripada sekedar terpilih. Anda bayangkan, dalam masyarakat yang distribusi kekuatan politiknya timpang dan tidak sesuai dengan potensi yang ada, sangat mungkin ada ketidaksesuaian distribusi anggaran dalam hal geografis, kelompok sosial, waktu, tempat dan juga sasaran. Ini bisa berimplikasi pada urusan kualitas kesehatan, pendidikan, akses jalan, sampah sampai perihal rekreasional masyarakat, dimana kelompok satu mendapat yang lebih baik –bukan sama rata- daripada yang lain, dan kelompok dalam hal ini, bisa lebih luas daripada hanya berbasis agama mainstream –bisa denominasi, adat, kelompok sosial, berbasis ekonomi atau pendidikan, dll-. Hal ini, dalam tingkat tertentu mampu mendorong pada resistensi-resistensi yang merepotkan, memakan biaya finansial dan biaya sosial, ketidak-seimbangan neraca pemerintahan dalam sebuah periode, menurunkan kualitas hidup pada aspek-aspek 198 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak tertentu, serta memakan waktu sehingga merugikan, padahal waktu yang dimaksud dapat dialokasikan dalam eksekusi kebijakan yang lebih bermanfaat atau lebih kreatif dan bukan sekedar repetisi tidak perlu. Implikasi-implikasi: Dinamika Landscape dan Pembangunan Fisik Kota Sebagaimana yang telah kami singgung di atas, ketimpangan dan fragmentasi religi di atas juga dapat dengan mudah kita lihat atau setidaknya ditafsir oleh masyarakat umum karena berimplikasi pada pembangunan berdasarkan kesamaan-kesamaan ataupula perbedaan-perbedaan entitas agama (dan kerenanya juga etnis ikut pula terbawa) yang telah disebutkan bagian sebelumnya. Terutama dalam dinamika pembangunan di wilayah Utara dan Selatan Kota. Pada masa kini, secara garis besar Manado tetaplah merupakan daerah yang terbagi berdasarkan pembagian wilayah masa kolonial, Selatan dan Utara. Sekalipun, sejak kemerdekaan hingga kini telah terjadi penyesuain terutama wilayah administratif kecamatan, terutama dalam hal pemekaran. Kini, bagian selatan Manado diwakili enam kecamatan dan utara oleh lima kecamatan. Tak hanya sampai di situ, wilayah utara atau yang biasa disebut sabla aer, secara sosial telah melekat sebagai pemukiman penduduk orang Sangihe serta mereka yang beragama Islam. Sementara bagian selatan didiami penduduk mayoritas beragama Kristen dan bersuku-bangsa Minahasa. Karena etnis inilah dianggap sebagai pemilik wilayah Manado secara adat maka mereka diklaim, kemudian secara luas diterima sebagai orang “asli”. Dari sudut pandang ini terciptalah bahwa warga lainnya, tentu saja, pendatang. Dimana wilayah Manado Utara dikenal sebagai daerah kumuh dan tempat tinggal para pendatang. Termasuk, para diasporian dari gugusan kepulauan Sangihe-Talaud dan penduduk beragama Islam. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 199 Prejudice-prejudice sosial semacam ini, sadar tidak sadar telah memberikan pengaruh besar dalam hal kebijakan, ataupun bisa juga ditafsir pembiaran penataan ruang dan pembangunan fisik di wilayah Utara. Hal yang jelas berbeda jika melihat kondisi di Selatan kota yang dapat dikatakan lebih aktif dalam hal pembangunan fisik, baik sekolah, pusat perbelanjaan dan hiburan serta penataan pemukiman yang lebih teratur dan terencana. Hal inilah, salah satunya yang mendorong anggapan sosial tertentu bahwa, warga sabla aer, yaitu mereka yang tidak hanya secara fisik tinggal di bagian utara kota, tetapi juga mereka yang sekaligus beragama Islam atau warga keturunan Sangihe yang kurang civilized, kurang higienis atau kurang berpendidikan. Kesan sosial semacam ini nampak sebagaimana kenyataan lapangan melalui penataan wilayah tepatnya berhubungan dengan visualisasi penataan pemukiman. Pada bagian Selatan kota, tidak ditemukan Masjid selain Masjid Raya yang disponsori pemerintah berada di sisi jalan protokol. Hal berbeda dengan di Utara. Ketika baru memasuki wilayah ini yaitu di Jembatan Megawati (Jembatan Singkil), dari arah pusat kota (selatan) menuju utara, tepat di ujung kanan jembatan, berdiri Masjid Al-Misbah yang secara simbolis seolah mengatakan “selamat datang di pusat pemukiman Muslim di kota Kristen”. Ini belum termasuk masjid-masjid lain yang ada di sisi jalan protokol wilayah utara kota. Sementara itu, di samping kiri dan kanan jembatan, langsung nampak jejeran rumah di bantaran sungai yang kelihatan berhimpitan dan kumuh. Sebagaimana telah disinggung, bahwa telah timbul kesan pengorganisasian pemukiman wilayah selatan lebih baik secara visual dan “kesehatan” dibandingkan di utara kota. Foto di bawah ini dapat memperlihatan hal tersebut, dimana wilayah utara, tempat tinggal para warga muslim kota dan mereka yang berlatar-belakang etnis Sangihe (dibiarkan) tumbuh secara tidak teratur dan nampak kumuh. 200 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Sementara, daerah Selatan kota yang dihuni kebanyakan orang Minahasa dan Kristen terbangun lebih simetris pemukimannya. Kenyataan bahwa penataan dan pembangunan fisik kota telah mengabaikan “keseimbangan” kualitas pelayanan publik antara wilayah Selatan dan Utara kota tak dapat disangkal. Lokasi pusat perbelanjaan dan hiburan terbesar atau mall di kota ini ada di wilayah Selatan terbentang dari daerah Wenang ke Sario-Titiwungen hingga daerah Malalayang, yaitu Mega Mall, ruko-ruko dan Manado Town Square hingga Bahu Mall. Dimana wilayah ini, secara simbolik bagi warga kota juga menunjuk pada pusat hiburan dan belanja paling high class di kota Manado. Sementara, secara kontras tidak kita temukan pusat belanja semacam ini di daerah Utara. Bahkan perbedaan kualitas serta kuantitas fasilitas hiburan dan perbelanjaan antara wilayah Selatan dan Utara jelas sangat signifikan. Bahkan dalam hal penataan dan pembangunan fisik dari fasilitas pelayanan publik utama atau dasar berjalan sangat timpang antara Selatan dan Utara. Rumah Sakit Umum Pemerintah baik milik provinsi maupun kota semuanya ada di wilayah Selatan, termasuk Rumah Sakit Swasta dengan fasilitas dan kapasitas terbaik. Sementara di Utara, hanya ada sebuah rumah sakit swasta milik yayasan Islam bernama RS. Siti Maryam yang kapasitas dan kualitasnya sangat terbatas. Bahkan penataan pembangunan fasilitas publik mendasar seperti pendidikan juga terlihat mencolok perbedaannya. Sekolahsekolah unggulan dalam semua tingkat ditempatkan pada bagian Selatan Kota. Tidak hanya sekolah negeri, bahkan institusi swasta termasuk di dalamnya. Sementara, sekolah-sekolah di bagian utara kota cenderung dianggap sebagai institusi pendidikan “pinggiran” atau “buangan” oleh warga kota, yang nampak tidak hanya karena tampilan fisik semata tetapi juga karena kualitas dan kapasitas fasilitas pendidikan dimaksud. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 201 Selain hal-hal tersebut, bangunan dan fasilitas Hotel executive berbintang untuk tujuan bisnis juga menjadi contoh baik untuk memperlihatkan perbedaan perlakuan pembangunan dan penataan wilayah. Keberadaan hotel executive berbintang yang digunakan untuk kegiatan MICE hanya ada di wilayah pemukiman selatan. Sementara, wilayah utara tidak ada hotel semacam ini. Sekalipun ada beberapa hotel yang dibangun, namun hanya berupa hotel melati atau yang jauh dari arah pemukiman dengan tujuan wisata sebagai cottages. Dalam kasus ini, adanya perbedaan perlakuan yang timpang, menunjukkan indikasi kuat bahwa kebijakan penataan ruang kota dan pembangunan fisik untuk tujuan ekonomi memang lebih diarahkan agar wilayah selatan kota menjadi lebih berkembang dan tertata. Atau, dalam perspektif lain, adanya “pembiaran” dari kebijakan penataan ruang dan pembangunan fisik untuk daerah Utara agar fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, hiburan dan belanja, bahkan demi kebutuhan pembangunan ekonomi wilayah berkembang hanya secara “status quo”, tanpa ada improvement, inovasi atau penanganan dan penataan yang lebih terorganisir untuk perkembangannya. Kenyataan seperti yang terdeskripsi di atas, tidak hanya menunjukkan adanya ketimpangan perlakuan dalam penataan dan pembangunan fisik pada dua wilayah berbeda namun berada pada satu kota yang sama. Tetapi lebih dari itu, aspek gerak manusia dalamnya tentu saja memberi kesempatan bersentuhannya aspek fisik ini dengan tendensi sosial-politik bahkan kultural tertentu. Ini tidak hanya terbatas pada pembangunan ekonomi atau pendidikan warga semata misalnya. Tapi lebih jauh dari itu, melalui interpretasiinterpretasi tertentu atas kenyataan pembangunan fisik ini dapat mendorong terbangunnya tendensi-tendensi sosial-politikkebudayaan yang dalam kasus Manado mampu menyerempet pada persoalan agama dan suku-bangsa yang sangat simbolis itu bersama 202 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak fragmentasi serta segregasinya dan komposisi demografisnya yang telah dideskripsi pada bagian sebelumnya. Bahkan tidak hanya itu, kondisi ini juga bisa memberi stimulan pada gerakan politik tertentu. Hal-hal relasional antara aspek-aspek fisik penataan dan pembangunan kota dengan terbangunnya identitas sosial-politik di tengah-tengah warga, terutama antara bagian Utara dan Selatan. Sentimen-sentimen Agama di Manado: Apakah Kita Benar Toleran? Kita tahu, bahwa dalam bentuk apapun, sentimen-sentimen primordial merupakan isu yang selalu ada dimanapun, baik itu yang berbasis agama maupu etnis. Katakanlah di Eropa atau Amerika yang selalu dirujuk sebagai wilayah-wilayah multikultural dan darimana kita sering mempelajari konsep-konsep ini. Begitu halnya pula di Indonesia, dan lebih khusus: Manado. Namun begitu, seringkali ada kesan bahwa, isu-isu mengenai sentimen keagamaan di Manado begitu ditutupi dan tersandera oleh nama besar dan imajisasi torang samua basudara. Dalam hal ini, sentimen keagamaan sering terwakili oleh makna konotatif dari kata sabla aer. Secara akademis, yang bisa anda baca dari sekian banyak buku, jurnal atau monograf tentang kehidupan multikultural di Kota Manado, sabla aer terkesan tidak menjadi wacana terbuka bagi warga kota terutama dari kalangan pemerintah dan surat kabar. Besar kemungkina diskursus ini disadari memiliki potensi disintegrasi yang selama ini telah sekuat tenaga dihindari. Namun bagaimanapun, khalayak pun tokh tak bisa menutupi ini hingga benar-benar tak nampak. Sehingga, percahan peristiwa yang mewakili dinamika memecah belah berbasis sentimen keagamaan ini tetap dapat kita temukan, sekalipun seringkali dalam keterangan-keterangan yang disembunyikan. Tahun 2009, segera setelah Jimmy Rimba Rogi berhadapan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 203 dengan masalah korupsi dan menjadi terdakwa, Abdi Buchari naik menjadi Walikota dengan status Pelaksana Tugas (Plt.). Hal ini segera mengundang reaksi dari banyak warga Kristen-Minahasa yang merasa tidak sudi dipimpin oleh pemimpin beragama Islam dan bukan orang Minahasa “asli”. Banyak dari mereka menduga Islam akan semakin kuat dan pengurusan kegiatan bergereja dalam skala besar akan menemui kesulitan. Segera timbul banyak desakan untuk segera melengserkan Abdi. Memang, beliau akhirnya lengser karena tersandung kasus korupsi yang terlihat murni masalah hukum tanpa ada intervensi politik. Namun, isu tokh telah berkembang jauh dan membuat masalah ini tersentuh sentimen politik-etnisagama. Segera setelah Abdi menjadi tersangka, Gubernur menjadi Penjabat (Pj.) Walikota. Diikuti dengan ditunjuknya Sekretaris Provinsi Robby Mamuaja sebagai Pelaksana Harian (Plh.) Walikota yang juga seorang tokoh Gereja GMIM dan dianggap asli berasal dari Minahasa-Tondano. Dengan begitu, sentimen ini menjadi kembali mereda. Tetapi, dalam tahun-tahun ketika Abdi Buchari bebas setelah menjalani masa hukuman, dia mengeluarkan buku yang dapat dianggap memoar dan secara sentimentil memberikan judul terhadap buku tersebut: Apakah Karena Saya Muslim?. Hal yang sama juga terjadi dengan segera setelah kasus Abdi dimana pada tahun 2010 kesadaran politis akan kekuatan massa Islam juga timbul pada pemilihan walikota. Hanny Jost Pajouw dari partai Golkar memilih berpasangan dengan Anwar Panawar, yang mewakili etnis Sangihe dan sebagai tokoh Muslim sealigus Ketua Muhammadiyah Sulut. Segera setelah lolos pada putaran kedua bersama pasangan dari Partai Demokrat Vicky Lumentut dan Harley Mangindaan, isu agama langsung menjadi wacana publik. Selain menjadi perbincangan dalam kalangan terbatas, terkait isu agama calon, banyak SMS yang masuk ke pemilih dan mengajak untuk tidak memilih PKI (Pasangan Kristen-Islam) tapi memilih PKK 204 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak (Pasangan Kristen-Kristen). Hal ini ditambah juga dengan adanya kecenderungan mempolitisasi kesan mayoritas warga Kristen kota bahwa: orang Muhammadiyah tergolong puritan dan Islam kras (fanatik). Sehingga, ada kemungkinan besar akan membuat umat Kristen menjadi kesulitan. Tanpa perlu memperhitungkan efektifitas keberhasilan isu tersebut, tokh akhirnya, pasangan dari partai Demokrat yang menang. Dalam nuansa-nuansa politik lebih kontemporer menurut isu sejenis, kita dapat melihat ekspresi –yang hampir ricuh dan menobrak sampai ke dalam daerah Bandar Udara- dari organisasi sosial berbasis adat dan agama misalnya yang menolak kunjungan Fahri Hamzah di Manado pada tahun 2017 serta Habib Bahar bin Smith pada tahun 2018, karena dianggap intoleran, tetapi secara diskursif dapat pula dibalikkan bahwa-bahwa cara-cara dan sentimen yang akhirnya menggeliat di masyarakat, terutama bagi masyarakat Muslim malah menggunakan cara yang tidak toleran dan ‘mengintimidasi’. Sesuatu yang sebenarnya bisa dianggap paradoks. Pada tataran hubungan kewargaan di akar rumput, warga muslim kota merasa beberapa kali disisihkan pemerintah kota dalam hal penggunaan fasilitas publik, terutama yang mempertemukan hajatan dari kelompok agama yang berbeda. Walaupun memang kadang kala ini tidak beralasan karena kurang atau terlambatnya komunikasi. Namun isu ini cepat beredar di kalangan warga kota dan menimbulkan reaksi tak sedap dan meningkatkan sentimen agama warga kota. Pada Idul Adha tanggal 26 Oktober 2012, lapangan Sparta Tikala di depan kantor Walikota dikabarkan tidak diijinkan oleh pemerintah untuk digunakan umat Islam sebagai tempat Sholat Ied, karena ada acara Kaum Bapa GMIM. Isu ini menimbulkan sakit hati bagi kalangan Muslim. Kemudian, buru-buru Asisten II -Helmy Bachdar yang juga tokoh Muslim kota- mengklarifikasi bahwa ini hanya soal salah paham dan sudah dikomunikasikan dengan Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 205 ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Kota, Ismail Moo. Bahkan walikota sendiri secara simpatik menglarifikasi dan meminta maaf, dengan mengatakan: itu tak benar, ini hanya miss komunikasi dan tidak ada niat untuk melukai hati saudara-saudaraku umat Muslim di kota Manado. Tetapi, sekalipun masalah ini sudah terselesaikan, kita melihat adanya sisi sensitif dari umat Muslim kota yang merasa sering terdiskriminasi. Beberapa contoh yang juga sering kita temukan adalah adanya ‘ketakutan-ketakutan’ berlebihan, katakanlah Islamophobia yang sering terjadi dan mendorong pada perasaan-perasaan sentimen. Salah satunya ketika pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN), seorang perempuan DP, kerabat dekat kami, sedang naik motor dan ketika lewat di depan hotel Sintesa Peninsula tempat presiden menginap mengungkapkan ketakutannya ketika melihat sekelompok ibu-ibu berkerudung dan berbusana muslim lengkap memasuki barikade penjagaan petugas. DP berkata dengan ketus: so dorang ini panjangpanjang (menunjuk pada pakaian) ini tu perlu mo periksa. Bahaya dorang ini, ada presiden lagi di dalam [mereka yang berjilbab dan berbaju muslim lengkap ini yang perlu diperiksa. Mereka ini yang bahaya, apalagi di dalam ada presiden]. Begitu juga di kompleks saya, satusatunya laki-laki tua Islam, RS, berasal dari Jawa Barat, secara tak beralasan dianggap anggota FPI oleh anak-anak kompleks hanya karena dalam penampilan kesehariannya menggunakan baju koko (gamis) dan memelihara janggut serta taat beribadah. Saudara dekat kami, CT juga begitu; ia merasa risih, mengeluh dan nampak khawatir ketika melihat beberapa perempuan menggunakan cadar. Ia mempertanyakan dengan nada marah: mengapa jumlah mereka sudah banyak sekali di Manado!, sudah saatnya mereka diusir dari kota ini. Kalau melihat hal barusan, visualisasi tampilan-tampilan fisik, tak terelakkan juga menjadi salah satu cara yang merangsang khalayak umum terutama non-muslim dalam mempertajam ekspresi 206 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak sentimen-sentimen keagamaan. Sekalipun seringkali alasan-alasan itu tidak didasarkan pada perimbangan yang jernih serta generalisasi berlebihan. Narasi sejenis dapat pula kita temukan pada tingkatan akar rumput, terekam dalam bentuk-bentuk represi serta intimidasi terhadap gerak umat Islam, sahabat saya AK, seorang aktivis PMII yang tinggal di Karombasan (Manado Selatan), memberi informasi bahwa ia didatangi beberapa anggota milisi yang terlihat seperti preman dan dimintai sumbangan untuk membuat hiasan salib yang akan diletakkan sekitar kompleks. Anggota tersebut dengan kasar meminta: capat jo kase, cuma ngoni le tu Islam di sini! [cepat berikan sumbangannya, kan hanya kalian yang beragama Islam di kompleks ini!]. Terakhir yang terbaca dari halaman Facebook, ada resistensi bernada cemas dari kenalan saya, MS, seorang Minahasa yang menolak memprotes ajakan seorang Pendeta, BU, pada korban banjir di Jakarta untuk mengungsi ke Manado. Ia mengatakan: jangan pak Pendeta, kalau mereka ke Manado, nanti sudah tidak mau balik Jakarta dan Manado akan BANJIR dengan orang Jawa. Hal semacam ini dilakukan karena ada ketakutan akan perkembangan jumlah penganut Islam, baik melalui perkawinan dan migrasi yang bisa-bisa ‘menguasai’ kota. Seorang Syamas, pelayan di GMIM, NT mengatakan ketika ada sambutan dari pemerintah saat pesta perkawinan untuk mengikuti KB sesuai anjuran pemerintah, bahwa ia tidak setuju dan pasangan Kristen yang membatasi jumlah anak karena dorang (warga Muslim) sering berpoligami dan cenderung memiliki banyak anak. Dalam bentuk-bentuk tersebutlah, sentimensentimen berkembang di Manado yang menampilkan diri pada front stage sebagai kota yang toleran dan multikultural. Memang, diskriminasi yang dibuat kepada umat Muslim di kota ini tak mudah ditangkap keberadaannya. Karena bagaimanapun pemerintah dan masyarakat menjaga imaji kota ini sebagai daerah Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 207 torang samua basudara. Tetapi, pola-pola peminggiran ini dibuat sedemikian halusnya sehingga sebisa mungkin tidak sampai nampak ke permukaan. Misalnya, ketika bercakap dengan seorang Pendeta GMIM, PP, ia mengatakan pernah menjual sebidang tanah kepada seseorang dan harus membelinya kembali karena khawatir janganjangan di situ akan didirikan Masjid. Diskriminasi halus yang disertai rasa sungkan ini sepertinya menjadi pola umum untuk menunjukkan penolakan terhadap kehadiran orang beragama Islam dalam ruangruang publik dan struktur sosial. Bahkan di almamater saya, FISIP Unsrat, pemilihan pimpinan Fakultas dan Jurusan menunjukkan adanya ketakutan jika yang menjabat berasal dari kalangan Muslim. Secara personal, kami yakin dalam imaji-imaji torang samua basudara, kompetisi ‘yang saling meminggirkan’ disertai ‘sentimen keagamaan’ serta ‘tidak terlihat’ semacam ini terjadi di banyak instansi pemerintah dan pendidikan di Kota Manado. Salah satu paling terkini adalah keterangan seorang kawan dosen IAIN Manado yang menyampaikan adanya kandidat CPNS beragama Kristen yang lolos seleksi wawancara menjadi pegawai IAIN Manado, tetapi diwawancara oleh tim dengan pertanyaan-pertanyaan yang ‘tidak sesuai’ dan dengan ‘sengaja dijatuhkan’ karena ada ketakutan hadirnya dosen ‘non-muslim’ di IAIN Manado. Penutup: Toleran atau Intoleran? Bukan Itu Soalnya… Sebenarnya tujuan dari tulisan ini bukanlah memberikan justfikasi-justifikasi tertentu baik dalam arti teoritis apalagi moral. Tetapi semata memberikan suatu refleksi empiris mengenai wajah back stage komunitas masyarakat Manado, yang sayangnya kurang dieksplorasi dalam suatu kajian-kajian serius dan apalagi dalam kebijakan-kebijakan strategis. Paling-paling hanya sampai di seminar-seminar karakter bangsa, pernyataan-pernyataan sana-sini di media dan menjaga organisasi antar umat seperti FKUB tetapi 208 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak terisi strukturnya dan studi banding sana-sini. Bukannya hal ini tidak baik, tetapi sebagaimana kita tahu bersama; menghadapi tantangantantangan hubungan antar umat beragama, kuranglah efektif rasanya jika tetap menggunakan pendekatan-pendekatan elitis yang memakan anggaran. Soal ini, kita dapat belajar dari pengalaman Poso yang terbaca dari karya-karya Dave McRae misalnya, serta kesaksian-kesaksian para pelaku serta dalam banyak studi bahwa program sintuwu-maroso juga perjanjian Malino, tidaklah seefektif manfaatnya dengan menyatukan simpul-simpul komunikasi komunitas masyarakat yang bertikai di tingkat akar-rumput lewat suatu model ‘saling lapor’. Selain itu, tulisan ini juga tidak ingin menyimpulkan apakah sebagai suatu komunitas kota, masyarakat Manado toleran atau intoleran, karena jelas bukan itu soal utamanya. Jika hal tersebut terjadi, terlalu simplis tentunya kesimpulan yang diberikan. Memahami bahwa isu toleransi dan intoleransi bukanlah suatu justifikasi oposisif serta melibatkan sangat banyak layer sosial, seperti: politik, ekonomi, kebijakan, tata ruang, psikologi, emosi dan lain sebagainya akan lebih membuat kita semua lebih hati-hati dalam melihat masalah ini di kota Manado, yang sekalipun ‘dikaburkan’, tetapi tetap saja terus berdinamika. Suatu penilaian yang sering dipakai oleh teman-teman peneliti di Balai Litbang Agama Makassar, sepertinya memang cukup cocok digunakan untuk melihat masyarakat multikultur Manado dalam kaitan hubungan antar agamanya. Kawan-kawan ini berpandangan bahwa, toleransi yang terbangun di Kota Manado adalah suatu ‘toleransi pasif ’. Hal ini bukan berarti tidak ada toleransi yang terbangun atau jelek nilainya. Tetapi dalam strata tertentu, toleransi yang telah ada jangan dibayangkan secara ‘penuh’ terjabarkan dalam tiap praktek-praktek kehidupan sosial sampai pada tingkat terdalam. Sebaliknya, juga bukan berarti masyarakat Manado adalah Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 209 masyarakat intoleran atau toleransinya merupakan sebuah hipokrisi, namun memang cukup sulit rasanya atau utopis membayangkan bahwa suatu komunitas yang begitu terpecah latar belakang primordialnya menjadi lekat sebagaimana yang dicita-citakan oleh mimpi multikulturalisme. Sehingga, dalam perspektif ini, toleransi justru merupakan konsep yang terus dicita-citakan, konsep yang tetap sama-sama selalu dikerjakan. 210 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Tentang Penulis Delmus Puneri Salim meraih gelar sarjana dalam bidang kajian keislaman dari UIN Jakarta pada tahun 1997 dan menyelesaikan program magister dalam bidang sosiologi dan sosial antropologi agama pada Flinders University dan Aberdeen University pada tahun 2003 dan 2007. Dia mendapatkan gelar Ph.D dari University of Sydney pada tahun 2013 dengan meneliti Politik Islam di Sumatera Barat. Disertasinya tersebut telah diterbitkan oleh Springer pada tahun 2016 dengan judul `The Transnational and Local in the Politic of Islam`. Dia telah menerima beberapa beasiswa bergengsi, antara lain dari Australia Awards (2001-2003 dan 2008-2012) dan Chevening Awards (2006-2007). Dia juga telah menyelesaikan program PostDoctor dengan beasiswa peneliti senior Fulbright di Boston University tahun 2016. Saat ini dia menjabat sebagai Rektor IAIN Manado. Ismail Suardi Wekke dilahirkan di Camba, Sulawesi Selatan, kampung yang berjarak 89 kilometer dari Makassar. Menyelesaikan pendidikan doktor di Universiti Kebangsaan Malaysia (2009) dengan dukungan Ford Foundation International Fellowship Program. Sekarang ini bertugas sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong dengan tugas tambahan sebagai Kepala Pusat Penjaminan Mutu (2012-2016, 2016-2020) dan Sekretaris Pasca Sarjana (2016-2020). Menulis beberapa buku antara lain Model Pembelajaran Bahasa Arab (2014), Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah (2016). Sejak 2010 meneliti tentang minoritas muslim dengan beberapa publikasi antara lain Arabic Teaching and 211 Learning : A Model From Indonesian Muslim Minority. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 191, 2015, 286–290; Antara Tradisionalisme dan Kemodernan: Pembelajaran Bahasa Arab Madrasah Minoritas Muslim Papua Barat, Jurnal Peradaban Islam Tsaqafah, 11(2), November 2015, 313-332; From Gontor to Sorong: Muslim Minority Practices on Arabic Teaching and Learning, SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 9(1), 2016, 49-64. Menerima beberapa undangan sebagai dosen tamu, antara lain di Mahidol University, Thailand (2014), Universiti Sultan Zainal Abidin, Malaysia (2015), dan Kyoto University, Jepang (2016). Mengikuti konferensi di beberapa universitas seperti Oxford University, Inggris (2014), Marmara University, Turki (2015), Kobe University, Jepang (2016). Jeane Marie Tulung lahir di Tomohon, 15 Januari 1971. Menjalani pendidikan S1 Teologi di Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Lalu melanjutkan tahap pascasarjana S2 Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Manado dan kemudian S3 Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Sekarang menjabat sebagai Rektor di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado. Yan Okhtavianus Kalampung lahir di Bitung, 19 Februari 1991. Menjalani pendidikan S1 Teologi di Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Lalu melanjutkan tahap pascasarjana S2 Ilmu Teologi di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Publikasi terakhir Melompat Pagar: Sketsa-sketsa upaya berteologi lintas teks (2017). Sekarang menjabat sebagai Plt. Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan IAKN Manado. Samsi Pomalingo lahir pada tanggal 20 Mei 1976 di Gorontalo. Suamii dari Wirna Tangahu, dan ayah dari Zahira Fairuz Athalia Putri Samsi pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Hubulo Tapa Kabupaten Bone Bolango. Pendidikan Strata Satu (S1) di STAIN Manado pada Tahun 2000. Sementara Strata Dua 212 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak (S2) pada program Religion and Cross Cultural di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Romo Samsi biasa disapa adalah satu-satunya peserta dari Indonesia bagian Timur yang mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat (USA) dan tercatat sebagai Alumni State of USA pada Tahun 2013. Ketika mengikuti IVLP di Amerika Serikat penulis belajar dan berinteraksi dengan masyarakat Amerika di beberapa Negara bagian diantaranya Washington DC. New York, Kansas, Texas, Virginia, California dan Seattle. Romo Samsi memiliki pengalaman organisasi baik tingkat lokal, nasional dan internasional diantaranya Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Manado, Koordinator Simpul Jaringan Lintas Iman (JLI) Bagian Timur Indonesia, Peneliti di Gorontalo Survey Institute (GSI) Provinsi Gorontalo, Koordinator Forum Komunikasi Linta Iman (FORKASI) Provinsi Gorontalo, Relief Yogyakarta, Anggota organisasi Religious Freedom di New York, Pengurus Wilayah NU Provinsi Gorontalo 2012, dan saat ini sebagai Wakil Ketua 1 Nahdhatul Ulama Cabang Kabupaten Gorontalo 2016-2021. Saat ini sebagai Pembina Forum Ka Samsi di UNG (Forum Kajian Bersama Mahasiswa Sadar Ilmu). Penulis aktif sebagai pembicara di seminar, workshop, lokakarya dan diskusi baik tingkat lokal, nasional dan Internasional. Ketika di New York tahun 2013, berkesempatan menjadi pembicara di International Conference of Religious 2013. Disamping aktif diberbagai organisasi penulis aktif menulis diberbagai media seperti Gorontalo Post, Manado Post, The Jakarta Post, dan Jurnal. Selain itu penulis telah menulis beberapa buku, diantaranya buku Dialog Pembebasan (2004) Energi Perdaban (2010), Sejarah Pendidikan di Gorontalo (2012), 100 orang Indonesia angkat Pena Demi Dialog Papua (2013), Potret Etnografi Masayarakat Polahi Gorontalo (2015). Saat ini sedang menyelsaikan buku Ensiklopedi Kebudayaan Goontalo, dan juga buku Assalamu Alaikum Islam KTP. Selain itu aktif dalam penelitian social budaya dan agama di Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 213 Taufani lahir di Ujung Pandang tanggal 17 April 1987. Alumni Program Master Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM ini sekarang berprofesi sebagai dosen pada IAIN Manado. Selain aktif di kampus, Taufani juga saat ini aktif sebagai Pengurus Lesbumi NU Sulut. Di sela kesibukannya, ia sering memanfaatkan waktunya untuk menulis di beberapa jurnal dan media lokal.Penulis memiliki hobi membaca, jalan-jalan, bersepeda, dan wisata kuliner. Penulis dapat dihubungi melalui email: taufani@iain-manado.ac.id. Taufik Bilfagih adalah Aktivis Muda NU Sulawesi Utara. Kini menjabat komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Manado. Alumni Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) CRCS UGM Jogja tahun 2012. Menyelesaikan Studi S1 di IAIN Samarinda dan S2 di UNSRAT Manado. Penulis juga merupakan Koordinator Gusdurian Sulawesi Utara. Denni H.R. Pinontoan lahir di Kawangkoan 17 Desember 1976. Menyelesaikan studi S2 Teologi di Program Pascasarjana Teologi UKIT tahun 2010. Kini sebagai dosen di Fakultas Teologi UKIT. Berminat pada isu agama-agama, kajian budaya dan jurnalisme. Tinggal di Kota Tomohon bersama istri Erny A. Jacob dan dua orang anak: Karema dan Kamang. Email: dpinontoan6@gmail.com. Nono S.A Sumampouw Peneliti pada Shaad Research & Development Antho Pacific Institute, menaruh perhatian pada isu identitas. Publikasinya antara lain Menjadi Manado yang diterbitkan UGM Press (2015). Haryantho Peneliti Shaad Research & Development di Manado. Tulisan terakhir yang dipublikasi adalah Variabel Religi dalam Pilkada Manado 2020. 214 ~ Aktivisme Agama dan Pembangunan yang Memihak Rahman Mantu adalah pengajar di IAIN Manado. Alumni SPK CRCS UGM ini selain mengajar ia juga peneliti mitra di berbagai lembaga riset dan pusat studi di Indonesia, pernah menjadi kontributor dalam ensiklopedi pemuka agama nusantara kementerian agama. Beberapa publikasinya telah diterbitkan di jurnal nasional dan internasional. Sekarang di percayakan sebagai kepala pusat penelitian dan publikasi ilmiah LP2M IAIN Manado. Arthur Gerung saat ini menjabat sebagai Dekan Teologi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado. ia menyelesaikan studi S1 nya di Seminari Bethel Jakarta (2004) dan Program Magister di Universitas Kristen Tomohon (2008). Bersama peneliti UIN Jakarta ia menulis artikel Kampung Tidore di Kepulauan Sangihe dan Pulau Lembeh. Di tengah kesibukannya sebagai dekan ia tetap concern pada bidang akademik dengan menjadi presenter dalam forum konferensi nasional dan pembicara di berbagai seminar dan diskusi publik. Esai-esai untuk Sulawesi Utara ~ 215