Universitas Airlangga Official Website

Satwa Liar, dalam Pagar?

Foto by Republika Online

Memelihara satwa liar menjadi hobi bagi sebagian orang. Ego manusia seakan-akan tiada hentinya. Eksploitasi alam saja tidak cukup, seringkali manusia juga mengambil kesejahteraan satwa liar. Dengan berbagai dalih, manusia mengambil satwa liar dari habitat aslinya untuk dikonsumsi maupun diperjualbelikan hingga dipelihara sebagai hewan peliharaan. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya menyatakan bahwa satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Sekitar 80% dari perdagangan satwa liar yang terjadi di Indonesia berasal dari perburuan di alam atau illegal poaching.

Perburuan liar merupakan ancaman terbesar terhadap kehidupan satwa liar dibandingkan berkurang atau rusaknya habitat demi memenuhi permintaan masyarakat tertentu untuk mendapat satwa liar. Tidak jarang satwa liar kerap dijadikan ajang konten oleh tokoh publik yang dapat berakibat meningkatnya permintaan satwa liar secara ilegal maupun legal melalui perdagangan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menyatakan pemeliharan satwa liar diperlukan surat izin sebagai tanda dan pengawasan terhadap pemeliharaan satwa liar yang sifatnya penangkapan, sekaligus menentukan habitat alamnya. Selain itu, kasus penyitaan oleh BKSDA pada satwa liar yang dilindungi dari rumah pribadi Bupati Langkat non aktif di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara menjadi pengaruh besar terhadap dunia konservasi. Satwa-satwa dalam kandang di rumah Bupati Langkat nonaktif  ini diketahui bersumber dari hasil perburuan dan perdagangan satwa dilindungi secara ilegal. Oleh karena itu, keberadaan satwa dilindungi di rumah Bupati Langkat lagi dan lagi membuktikan bahwa masih banyak oknum pejabat maupun tokoh masyarakat yang hobi memelihara satwa dilindungi.

Regulasi Jual-Beli Satwa Liar

Mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, pasal 40 ayat 1 berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).” Dalam UU KSDAHE tersebut sudah jelas tercantum peraturan secara tegas tentang sanksi pidana terkait dengan perdagangan satwa ilegal. Sanksi ini cukup untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar hukum khususnya para pedagang dan pemburu liar.

Adapun pasal 21 ayat 2, disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bagi yang sengaja melakukan  pelanggaran terhadap pasal diatas maka bisa dipidana penjara hingga lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah. Sedangkan bagi yang lalai melakukan pelanggaran tersebut dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah. Peraturan mengenai status tumbuhan dan satwa dilindungi diatur dalam Permen LHK Nomor P.106/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018. Aturan ini tercantum dalam Berita Negara  No. 880, tahun 2018. Pada aturan ini disebutkan semua satwa dan tumbuhan yang masuk dalam  kategori dilindungi pada konservasi Indonesia. Namun demikian, masih terdapat kesempatan kepada masyarakat untuk memelihara hewan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, bahwa pemeliharaan hewan bisa dilakukan di dalam habitatnya ataupun di luar habitat alamiahnya. Pemeliharaan hewan di luar habitatnya diatur dalam Pasal 8 yang berbunyi “Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in situ)”. Agar dapat mendukung kegiatan yang telah dimaksudkan dan supaya tetap lestari, maka dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex situ)  dilakukan melalui pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan; rehabilitasi satwa, serta penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa. Pasal 15 ayat (3) menyebutkan bahwa pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat:

  1. Memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;
  2. Menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;
  3. Mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.

Adapun dalam menangani permasalahan penganiayaan terhadap hewan, diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 mengenai Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 66 A berbunyi “Setiap Orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan Hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Setiap Orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang.” Mengenai sanksi, diatur dalam Pasal 91 B : (1) Setiap Orang yang menganiaya dan/atau menyalahgunakan Hewan sehingga mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Setiap Orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Dalam ketentuan KUHP yang mengatur mengenai masalah penganiayaan terhadap hewan diatur pada Pasal 302 ayat (1), menyebutkan akan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah sebab melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan. Pertama, barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai atau merugikan kesehatannya dan kedua barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

Efek Domino

  • Terhadap masyarakat

Peran paling besar dalam peningkatan perdagangan dan pemeliharaan dipegang oleh masyarakat. Masyarakat yang menggemari satwa liar sebaiknya dapat melihatnya secara langsung di habitat ataupun lembaga konservasi satwa dengan tetap memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare). Tokoh publik yang memelihara bahkan ada yang secara terang-terangan membuat satwa liar sebagai komoditas konten, secara tidak langsung mengkampanyekan perdagangan satwa kepada masyarakat. Tertangkapnya Eks Bupati Langkat, juga turut menyumbang keprihatinan sebab seorang pemimpin yang seharusnya menjadi role model, justru malah melanggar aturan yang telah ditetapkan negara.

  • Terhadap konservasi

Masih banyak perdagangan satwa ilegal yang menjual satwa yang dilindungi maupun tidak, sehingga berdampak pada kepunahan satwa. Salah satu pertimbangan dalam pemeliharaan satwa liar, meskipun sudah dirawat sejak kecil satwa tersebut masih memiliki insting liar dan buas yang suatu saat dapat membahayakan pemilik. Alibi yang sering dipakai oleh pelaku jual-beli satwa liar adalah untuk tujuan konservasi. Namun, hal ini bertentangan dengan fakta di lapangan bahwa habitat asal satwa yang bukan merupakan satwa endemik berbeda dengan kondisi habitat di Indonesia menyebabkan tujuan konservasi satwa tersebut tidak tercapai. Apabila secara terus-terusan terjadi, maka konservasi satwa Indonesia liar sudah berada di ujung tanduk.

Penulis: Muhammad Suryadiningrat (Mahasiswa PPDH Gelombang XXXVIII FKH UNAIR)