Menelusuri Mosaik Sejarah di Keraton Yogyakarta

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Menelusuri Mosaik Sejarah di Keraton Yogyakarta

Dodi Wijoseno - detikTravel
Jumat, 27 Sep 2019 12:30 WIB
loading...
Dodi Wijoseno
Jakarta - Keraton Kesultanan Yogyakarta masih berdiri kokoh hingga saat ini. Seiring perjalanan telah menunjukkan jati dirinya dalam melawan penjajahan kolonial.Salah satu tempat di Yogyakarta yang ramai dikunjungi terlebih pada masa liburan adalah Keraton Kesultanan Yogyakarta. Keraton yang menjadi simbol kota Yogyakarta ini masih berdiri kokoh di jantung kota dengan tradisi dan budayanya yang memberikan ruh pada kota serta masyarakatnya hingga hari ini. Pada saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X bertakhta sebagai Raja di Keraton Yogyakarta, beliau juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya berkesempatan mengunjungi Keraton Yogyakarta ini, pada hari Minggu tanggal 30 Juni 2019 yang lalu, untuk masuk ke Keraton Yogyakarta dikenakan tiket sebesar Rp.5.000 untuk wisatawan lokal.Sejarah Keraton Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Mataram Islam yang telah berdiri lama sebelumnya yaitu pada sekitar abad ke-16 dan berpusat di Kota Gede. Sumber Sejarah menceritakan, dalam perjalanan sejarah Kerajaan Mataram, Sultan Agung yang naik takhta menjadi Raja Mataram pada tahun 1613 dan berkuasa hingga tahun 1645 membawa Kerajaan Mataram pada masa kejayaannya dan menjadi salah satu Kerajaan terbesar di Tanah Jawa. Salah satu sifat dari Sultan Agung adalah rasa tidak sukanya dengan pihak penjajah kolonial VOC yang dianggap penuh kecurangan dan mau menang sendiri, hal tersebut dibuktikan ketika Sultan Agung dua kali menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628 dan 1629.Ketika Sultan Agung menyerang Batavia, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh sang pendiri Batavia Jan Pieterszoon Coen. Pada tahun 1629, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen meninggal di Batavia karena terkena penyakit kolera yang menurut beberapa sumber diakibatkan karena pencemaran Sungai Ciliwung yang dilakukan oleh tentara Mataram, Kedua serangan Mataram tersebut memang belum berhasil mengusir penjajah asing tersebut.Namun, perjuangan Mataram tersebut menjadi inspirasi perjuangan bagi pewaris dan generasi setelahnya untuk melawan penjajahan Kolonial, sebut saja beberapa diantaranya yang kebetulan berasal dari lingkup Keraton Yogyakarta: perlawanan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I) dan perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap kumpeni Belanda, perjuangan Sultan Hamengku Buwono IX dalam memberikan dukungan penuh pada perjuangan Republik Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat penuh serta segenap upayanya untuk membela Republik Indonesia yang masih muda di meja diplomasi hingga penjajah Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia. Ketiga tokoh tersebut dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.Berdasarkan apa yang tertulis dalam sumber informasi Keraton Yogyakarta (www.kratonjogja.id), sepeninggal Sultan Agung Kerajaan Mataram mengalami pasang surut dengan kisah konflik suksesi dan peralihan kekuasaannya yang dicampuri kepentingan Kumpeni Belanda hingga ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu: Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lazim disebut Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi. Pada tanggal 13 Maret 1755, Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja pertama Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I dan dimulailah babak awal Kesultanan Yogyakarta sejak saat itu.Bila kita mengunjungi Keraton Yogyakarta dari arah Jalan Malioboro dan masuk dari arah Alun-alun Utara yaitu lapangan rumput luas dengan dua pohon beringinnya yang terkenal, tepat di sebelah selatan alun-alun kita akan menemui Bangsal Pagelaran yang merupakan bangunan utama Keraton. Di sebelah atas gerbang di bagian luar tampak hiasan-hiasan relief berupa lima lebah (tawon) yang melingkar di atas seekor buaya/biawak. Menurut brosur panduan Keraton Yogyakarta relief tersebut menunjukkan tahun pagelaran disempurnakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.Bangsal Pagelaran yang merupakan bangunan utama Keraton ini terlihat begitu megah. Pagelaran merupakan area paling depan yang pada masa lalu sebagai tempat para abdi dalem menghadap Sultan ketika upacara-upacara Kerajaan dan bangunan di mana terdapat gerbang-gerbang tersebut merupakan tempat menunggu tamu-tamu untuk menghadap Sri Sultan. Menurut sumber informasi Keraton  Yogyakarta (www.kratonjogja.id) secara umum Kawasan Keraton Yogyakarta terdiri dari serangkaian ruang dan bangunan yang memiliki nama dan fungsi tertentu. Serangkaian ruang terbuka dalam Keraton disebut Pelataran.Bangunan yang berada pada masing-masing Pelataran terdiri dari dua tipologi yang dikelompokkan berdasarkan struktur penyangga atap, yang pertama adalah bangsal, yaitu bangunan yang memiliki deretan tiang sebagai penyangga atap dan tidak memiliki dinding sebagai penyangga atap. Tipologi yang kedua adalah gedhong yang memiliki struktur penyangga atap berupa dinding. Kawasan inti di Keraton Yogyakarta tersusun dari tujuh rangkaian pelataran mulai dari Alun-Alun utara hingga Alun-Alun Selatan, secara singkatnya:1. Pagelaran dan Sitihinggil Lor2. Kamandungan Lor3. Srimanganti4. Kedhaton yang merupakan pelataran utama yang memiliki tataran hierarki tertinggi dalam kawasan Keraton Yogyakarta5. Kemagangan yang saat ini digunakan untuk pementasan wayang kulit maupun beberapa kegiatan lainnya.6. Kamandungan kidul yang merupakan salah satu bangsal tertua di Keraton Yogyakarta7. Sitihinggil Kidul yang dahulu berfungsi sebagai tempat raja menyaksikan latihan para prajurit sebelum upacara Garebeg.Di halaman Belakang Pagelaran terdapat dua buah relief perjuangan melawan penjajahan, di sisi kiri dari arah berjalan terdapat relief perjuangan Pangeran Mangkubumi. Menurut sumber sejarah informasi Keraton Yogyakarta (www.kratonjogja.id), Pangeran Mangkubumi adalah seorang ahli strategi militer ulung dan sejak awal sudah tidak suka dengan kelicikan VOC. Setelah keluar dari lingkup istana Mataram karena ketidaksukaannya terhadap pengaruh VOC, Pangeran Mangkubumi memulai serangan terbuka. Hanya dalam hitungan bulan hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.Perlawanan sengitnya terhadap VOC menimbulkan kerugian besar di pihak VOC dan menimbulkan tekanan besar pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Batavia waktu itu, Baron van Imhoff yang jatuh sakit dan kemudian meninggal. Akhirnya, pemegang kuasa VOC untuk wilayah pesisir Jawa Utara Nicholas Hartingh mendapatkan ide untuk mengajukan perundingan dengan Pangeran Mangkubumi, hingga ditandatanganinya perjanjian Giyanti sebagaimana telah dijelaskan di atas dan penobatan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Yogyakarta pertama dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.Sifat tegas Sultan Hamengku Buwono I dan upayanya untuk menjauhkan campur tangan pihak asing dalam pemerintahannya menjadikannya salah satu pribadi yang paling disegani penjajah Belanda di tanah Jawa ini. Sultan Hamengkubuwono I terkenal pula keahliannya dalam hal arsitektur dan tata kota. Kita bisa melihat dari tata letak dan megahnya Keraton Yogyakarta. Kompleks Istana air Tamansari yang terkenal itupun juga hasil dari buah pemikirannya. Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792.Sepeninggal Sultan Hamengku Buwono I, Keraton Yogyakarta mengalami masa pasang surut, salah satu episodenya, sebagaimana diceritakan dalam buku terjemahan Raffless dan invasi Ingris ke Jawa karya Tim Hannigan (2018), pada bulan Juni 1812, Inggris pernah menyerang dan memasuki Keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun takhta dan penggantinya Sultan Hamengku Buwono III harus mengikuti persyaratan yang diajukan oleh pemerintah Kolonial Inggris.Di sisi kanan terdapat relief perjuangan Sultan Hamengku Buwono IX. Relief-relief tersebut menceritakan perjuangan Sri Sultan Hamangku Buwono IX sejak jaman penjajah Belanda hingga penyerahan kedaulatan. Pada masa Sultan Hamengku Buwono IX berkuasa di Keraton Yogyakarta, Negara Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam buku Hamengkubuwono IX Pengorbanan sang Pembela Republik (KPG dan Tempo: 2018) diceritakan bahwa sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan Selamat kepada Sukarno dan Mohammad Hatta dan menyatakan dukungannya kepada Republik Indonesia. Pada tanggal 5 September 1945 Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta yang salah satunya menyatakan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Kerajaan berwujud Daerah Istimewa Republik Indonesia dan Sultan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.Lebih lanjut dalam buku tersebut diceritakan pula bahwa ketika Jakarta berada dalam keadaan genting karena serdadu Belanda terus memburu petinggi Republik, Sultan Hamengku Buwono IX menawarkan ke Bung Karno agar Ibu Kota dipindahkan ke Yogyakarta dan disetujui  oleh Bung Karno. Sultan rupanya sudah menyiapkan Yogyakarta sebagai ibu kota dengan matang termasuk dengan semua sarananya. Pada tanggal 19 Desember 1948 Jenderal Spoor dengan pasukannya menyerang Yogyakarta untuk melakukan propaganda kepada dunia bahwa tentara Indonesia sudah tidak ada, peristiwa ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda II, dalam peristiwa ini banyak petinggi-petinggi Republik Indonesia ditawan oleh Belanda.Selama masa berat ini Sultan Hamengku Buwono IX terus memberikan dukungan penuh dan kontribusi yang luar biasa terhadap Republik yang masih muda ini. Tidak lama setelah peristiwa Agresi Militer Belanda II, Panglima Besar Jenderal Sudirman bersama komandan-komandan lapangan TNI berhasil menyusun strategi dan rencana Serangan Umum dari markas gerilyanya. Pada tanggal 1 Maret 1949 pasukan TNI, para pejuang yang didukung oleh segenap rakyat melakukan serangan besar-besaran terhadap posisi-posisi strategis pasukan Belanda di Yogyakarta. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil membuka mata dunia bahwa Negara Republik Indonesia dan pasukan TNInya masih utuh sehingga memberikan posisi tawar yang strategis terhadap perjuangan melalui jalur diplomasi yang dilakukan.Ada sebuah episode yang menarik mengenai ketegasan Sultan Hamengku Buwono IX dalam membela Republik Indonesia dan melindungi para pejuang. Dalam Buku Doorstoot Naar Djokja-Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer Karya Julius Pour (Kompas: 2010), setelah Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, pada tanggal 3 Maret, Mayor Jenderal Meijer Komandan Teritorial Jawa Tengah menemui Sultan karena menganggap Sultan melindungi para pengacau keamanan (dari sudut pandang tentara Belanda). Dalam pertemuan tersebut dengan gagah berani dan tegas Sultan memberikan jawaban yang membuat Jenderal Meijer dan rombongan merasa respek terhadap Sultan dan segera meninggalkan Keraton.Setelah serangan Umum 1 Maret 1949 Sultan tetap memainkan peranan penting misalnya dengan menjadi anggota delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen dan perundingan-perundingan diplomasi selanjutnya. Sultan Hamengku Buwono IX juga pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Beliau wafat pada tahun 1988. Jalan-jalan di Yogyakarta dipenuhi oleh masyarakat selama prosesi  pemakamannya menuju makam Raja-Raja Jawa di Imogiri.Dari Relief Perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Sultan Hamengkubuwono IX, setelah melewati Bangsal Pacikeran kita akan menemui bangunan megah yang wajib dikunjungi, bangunan tersebut disebut Sitihinggil yang memiliki arti tanah yang tinggi, dipergunakan sebagai tempat penobatan para Raja Keraton Yogyakarta sekaligus menjadi tempat diselenggarakannya pisowanan Agung.Terdapat beberapa bangunan di kompleks Sitihinggil ini diantaranya adalah: bangunan Tarub Agung, yang berupa bangunan empat persegi, dengan empat buah tiang besi yang menyangga atapnya, merupakan tempat bagi para pembesar yang menanti rombongannya untuk bersama-sama masuk Keraton. Terdapat pula Bangsal Agung Sitihinggil di sebelah selatan Tarub Agung, bangsal besar Sitihinggil merupakan tempat singgasana Sri Sultan dan juga tempat penobatan Sultan-Sultan Mataram Yogyakarta dan tempat diadakannya upacara Pisowanan Agung pada hari-hari Garebeg. Lalu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil yang berfungsi sebagai tempat prosesi Sultan yang duduk dalam Singgasana dalam upacara-upacara penting Kerajaan.Dari atas Sitihinggil ini kita dapat mengarahkan pandangan langsung ke alun-alun utara dan dari sana dengan imajinasi, dapat kita teruskan ke utara ke arah Tugu hingga Gunung Merapi, kembali ke Keraton dan terus ke arah Selatan hingga ke Pantai Selatan. Dalam imajinasi kita, kita bisa membayangkan adanya garis imajiner dari Keraton ke arah utara hingga Gunung Merapi, dan ke arah selatan hingga Pantai laut Selatan. Garis imajiner itu berada dalam satu garis lurus yang memiliki makna filosofis tentang keseimbangan dan keharmonisan.Tentu saja masih banyak hal yang terlewatkan dari tulisan ini namun semoga tradisi dan budaya Yogyakarta dengan Keraton sebagai jantung dan rohnya masih dapat terus lestari sehingga akan makin banyak generasi muda sebagai generasi penerus bangsa ini untuk mempelajari dan meresapi nilai-nilai luhur dari perjalanan panjang sejarahnya. Dari sejarah kita bisa belajar untuk menuju masa depan yang lebih baik lagi dan semoga yang terbaik yang akan dicatat dalam lembaran-lembaran sejarah untuk diteruskan kepada generasi berikutnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(travel/travel)