Umar bin Khattab Pernah Berdialog dengan Batu Hajar Aswad

(Rumah Amal Salman, Bandung) – Sahabat Amal, Umar bin Khattab merupakan sosok yang tegas dan terkadang sifatnya itu membuatnya lebih keras dalam menghadapi sejumah persoalan. Wataknya yang keras ini merupakan bawaan lahir. Umar yang dahulu memusuhi Rasulullah, setelah menjadi muallaf menjadi pembela dakwah Rasulullah. Hingga akhirnya ia pun menjadi salah satu sahabat yang taat kepada Rasulullah.

Namun suatu hari Umar pernah mempertanyakan mengenai Hajar Aswad, seolah ia berdialog padanya. Dicatatkan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin, “Sesungguhnya Rasulullah SAW mendatangi Hajar Aswad dan menciumnya, Umar bin Khattab kemudian berkata (kepada Hajar Aswad), ‘Sungguh aku tahu bahwa kau hanya batu, tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat. Sungguh, andai aku tidak melihat Nabi SAW menciummu, niscaya aku pun tidak akan menciummu!” (HR. Bukhari).

Setelah Umar mencium batu itu, ia menangis dengan keras dan menoleh ke belakang. Teryata ada Ali bin Abi Thalib. Umar berkata, “Wahai Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib), di sinilah tempat menumpahkan air mata dan doa-doa yang dikabulkan.”

Ali kemudian berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, Hajar Aswad ini bisa memberi mudharat dan manfaat.”

“Bagaimana mungkin?” kata Umar.

“Sesungguhnya ketika Allah mengambil janji atas keturunan Adam, Dia menetapkan suratan dan meletakkannya pada Hajar Aswad. Batu tersebut akan menjadi saksi bagi umat muslim yang menepati janjinya, demikian pula menjadi saksi bagi orang kafir yang mengingkarinya,”jawab Ali menjelaskan.

Penjelasan Ali ini mengacu pada firman Allah SWT dalam surat Al ‘Araf ayat 173.

“Atau agar kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?’” (QS. Al Araf [7]: 173)

Lebih lengkapnya Az-Zabidi dalam Itḫâfus Sâdatil Muttaqîn mengisahkan, begitu Allah selesai menciptakan Nabi Adam, diusaplah punggung Adam dan keluar keturunan-keturunannya yang berjanji kepada Allah untuk menyembah dan menaati-Nya. Janji itu ditulis dalam sebuah kertas yang dimasukkan ke mulut Hajar Aswad.  Kelak, di akhirat batu mulai itu memiliki kedua mata dan mulut untuk menjadi saksi atas janji anak cucu Adam dulu. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, 2016: juz IV, h. 470)

Adapun pesan moral yang bisa disarikan, sekilas sikap Umar terhadap Hajar Aswad seolah menunjukkan dirinya tidak mempercayai keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh batu mulia itu. Tapi jika ditelisik lebih dalam, ada hikmah besar di balik ucapannya.

Masyarakat Mekkah yang ketika itu belum lama memeluk Islam dianggap belum memiliki keimanan yang kokoh. Ucapan Umar tersebut mengantisipasi agar jangan sampai orang-orang meyakini ada batu yang bisa memberikan mudharat dan manfaat dengan sendirinya, sebagaimana di zaman Jahiliyah mereka juga meyakini berhala-berhala yang memiliki kemampuan.

Meski begitu, Umar tetap meyakini sejumlah keistimewaan yang dimiliki Hajar Aswad, termasuk bisa melebur dosa dengan mencium atau menyentuhnya. Hanya saja, Umar menyesuaikan sikapnya itu di tengah-tengah masyarakat Makkah agar tidak terjadi salah persepsi.

Selain itu, hikmah lain dari sikap Umar di atas menunjukkan ketaatan seorang umat Nabi untuk menjalankan sunnah Rasulnya. Kesediaan Umar mencium Hajar Aswad atas dasar ittiba’ (mengikuti perbuatan Nabi) merupakan bukti ketakwaannya. Umar tidak bertanya apa sebabnya Nabi mencium batu tersebut, ia hanya mengikuti apa yang Nabi lakukan. Dalam agama Islam ada banyak ibadah—ibadah yang dasarnya adalah ittiba’. (Ibnu Hajar, Fatḫul Bârî, 2001: juz III, h. 541). ***

Bagikan :

Bagikan

Berita Lainnya