Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Marsekal (Purn) Chappy Hakim: Dipepet, TNI AU Bingung Mau Latihan Di Mana

Jumat, 18 Maret 2016, 09:30 WIB
Marsekal (Purn) Chappy Hakim: Dipepet, TNI AU Bingung Mau Latihan Di Mana
Marsekal (Purn) Chappy Hakim:net
rmol news logo Kekalahan TNI Angkatan Udara berperkara di Mahka­mah Agung (MA) melawan PTAngkasa Transportindo Selaras (ATS) Lion Group dalam perebutan hak pengelo­laan Bandara Halim Perdanakusumah sangat memukul.

Marsekal (Purn) Chappy Hakim, bekas Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) me­maparkan perkara tersebut;

Memangnya benar TNI AU kalah atas ATS di Bandara Halim?
Saya perlu luruskan dulu, sampai detik ini dan sampai ke depan itu, pangkalan angkatan udara Halim itu masih berada di kekuasaan TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Saya tegaskan ya.

Tapi faktanya kan pener­bangan komersial sudah men­guasai Halim saat ini?
Penerbangan komersial, itu masih di bawah kekuasaan Angkasa Pura II. Sebagai in­stitusi yang mendapat otoritas dari Kementerian Perhubungan, sebagai pemegang otoritas pen­erbangan nasional mendelegasi­kan kepada Angkasa Pura II untuk operasional penerbangan komersial di Bandara Halim. Jadi yang terjadi itu.

Lalu putusan MA yang me­menangkan ATS itu maksud­nya apa?

Jadi informasi yang beredar karena putusan MA itu, memang memberikan tafsiran yang ke­liru. Jadi sebenarnya kita harus melihat dari awal.

Lalu apa dong penyebab dari kegaduhan ini?
Penyebabnya adalah karena pen­gelolaan penerbangan di Indonesia yang mis-management.

Nah, itu ceritanya bagaima­na?
Pertama kali timbul masalah kecil-kecil itu pada waktu Halim dipakai sebagai Internasional Airport sementara menunggu pembangunan (Bandara Soetta) Cengkareng. Karena Kemayoran penuh saat itu untuk sementara dialihkan ke Halim. Nah di sini mulai ada masalah.

Apa Masalahnya?
Pada waktu pindah ke Cengkareng itu, Halim ternyata tetap digunakan untuk penerbangan komersial, sebagian. Yaitu untuk penerbangan charter, pener­bangan general aviation, dan penerbangan haji. Karena untuk kepentingan nasional, Bandara Halim yang menjadi base em­pat skuadron angkut TNI AU yang membutuhkan aerodrome, runway dan seluruh fasilitas yang ada terpaksa dikorbankan, harus menyesuaikan menjadi international airport. Pada waktu itu, skuadron-skuadron di Halim pindah latihan ke Husen, Kalijati dan ke Lampung. Pada waktu itu bisa karena masih sepi, nggak apa-apa. Terus, dalam perjalanan waktu penerbangan di Halim itu tidak dikelola dengan baik.

Lalu...
Pada tahun 2010-2014 terjadi­lah over kapasitas di Cengkareng hampir tiga kali dari kapasitas­nya. Manajemen penerbangan komersial, bukannya mencari solusi, malah cuma mencari yang mudah dengan memindah­kan saja kelebihannya ke Halim. Pada waktu itulah orang pada rebutan mengelola Halim. Dari situ ada beberapa pihak yang kepengin mengelola.

Bukankah baiknya saat itu Halim langsung dikelola TNI AU saja?
Masalahnya TNI AU tidak punya cukup uang untuk men­gelola. Itu alat navigasi, tower, terminal building, semua itu cost-nya tinggi. AU nggak pu­nya anggaran untuk itu. Jadi TNI AU terpaksa memberikan fasilitas kepada penerbangan charter, Angkasa Pura dan lain­nya. Karena Angkasa Pura yang memelihara alat navigasi dan se­bagainya, jadi terpaksa, walau­pun penerbangan operasi dan latihan AU terganggu dengan adanya penerbangan komersil itu. Sementara pemeliharaannya juga nggak beres. Itu terminal kumuh, segala macam nggak karu-karuan. Sehingga ada be­berapa pihak yang kepengin mengelola itu.

Lalu TNI AU setuju?
AU senang aja, kalau ada yang mau mengelola silakan. Apalagi dengan janji akan memperbesar tempat parkir pesawat, apron dan taxy way di sana. Tentu AU setuju, supaya penerbangan operasi dan latihannya bisa lebih punya ruang gerak lagi. Saat itu salah satu pihak yang datang untuk berbisnis adalah Lion Air. Dia ingin mengelola, supaya pen­erbangan charter tidak terganggu oleh penerbangan AU, juga se­baliknya. Dia mau bangun taxy way dan lainnya. Ya silakan aja, tapi dia mengelola. Mengelola terminal buildingnya saja, AU setuju aja pada waktu itu, tahun 2003-2005.

Aturannya?
Pada waktu itu pihak ketiga nggak bisa. Karena menurut undang-undang nggak boleh. Yang boleh adalah Angkasa Pura II, itu sampai 2005. Tahun 2005 saya pensiun. Terus ke­mudian, saya nggak tahu apa yang terjadi, terjadilah sengketa dan Mahkamah Agung meme­nangkan Lion Air. Tapi bukan untuk pengelolaan aerodrome.

Bedanya aerodrome dengan airport itu apa sih?
Aerodrome itu airport dan fasilitasnya. Kalau airport itu cuma terminal building. Kalau aerodrome itu termasuk runway dan sebagainya. Lion Air itu nggak bisa, dia nggak punya oto­ritas mengelola bandara. Yang punya otoritas adalah Angkasa Pura II. Jadi yang dimenangkan MA itu adalah mengelola termi­nal building.

Jadi kesimpulannya yang bikin kacau itu apa?

Kesimpulannya yang bikin kacau ini adalah mismanagement pen­erbangan komersial di Indonesia. Tidak hanya di Halim. Di Juanda kan begitu juga, itu kan pangkalan Angkatan Laut. Sering ribut-ribut juga. Di Semarang itu pangkalan Angkatan Darat, kan sering ramai juga. Sekarang ini yang paling ber­bahaya adalah di Bandung.

Kenapa yang paling berba­haya di Bandung?
Di Bandung itu pangkalan Angkatan Udara, tempat peme­liharaan pesawat terbesar bagi Angkatan Udara. Runway-nya cuma satu, Apronnya juga sempit, dipakai segitu banyak penerban­gan, sampai dibuka penerbangan internasional. Itu bahaya sekali. Sudah crowded setengah mati. Yang di Halim, sudah kepepet-pep­et, minggir-minggir udah nggak tahu lagi mau latihan dimana anak-anak itu. Mau latihan di Bandung sudah berbahaya, di Lampung sudah padat, itu sebabnya kemung­kinan besar, tapi saya nggak yakin karena saya sudah pensiun, jadi dia (AU) cari saja kalau ada orang yang mau membangun Taxy way, tempat parkir, lalu kompensasinya dia mengelola terminal building, ya dia silakan saja. Jadi mereka punya juga ruang latihan, untuk operasi. Gitu lho. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA