Minggu, 5 Mei 2024

Bedah Tari Bali Klasik: The (Famous) Squatting Dance

- Minggu, 14 Mei 2023 | 09:00 WIB
PENGHAYATAN: Tiga performer menari Igel Jongkok sembari berdialog, dalam ajang The (Famous) Squatting Dance di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Rabu malam (10/5/2023). (M. IHSAN/RADAR SOLO)
PENGHAYATAN: Tiga performer menari Igel Jongkok sembari berdialog, dalam ajang The (Famous) Squatting Dance di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Rabu malam (10/5/2023). (M. IHSAN/RADAR SOLO)

RADARSOLO.COM - Teater tari bertajuk The (Famous) Squatting Dance, menghiasi On Stage Studio Plesungan edisi ke-15. Tak berselang lama, karya yang disutradarai seniman muda asal Bali Wayan Sumahardika ini, dipertontonkan secara epic di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Rabu malam (10/5/2023).

Malam itu, indahnya musik gamelan Bali menggema. Tubuh penari bernama Tri Ray Dewantara mulai meliak-liuk. Gerakannya hampir menyerupai tayangan arsip tari Wayan Sampih. Salah seorang murid I Marya yang ditampilkan pada big screen di layar belakang panggung.

Nama tarian Igel Jongkok. Menurut sutradara sekaligus penulis pertunjukan Suma, The (Famous) Squatting Dance dilatarbelakangi pembacaan kritis terhadap Arsip Bali 1928. Kaitannya dengan tari Igel Jongkok, karya maestro tari asal Pulau Dewata Bali I Ketut Marya.

“I Ketut Marya merupakan penari terkenal di Bali era 1920-an. Banyak orang menganggap Marya sebagai salah seorang sosok maestro pembaharuan tari,” kata Suma kepada Jawa Pos Radar Solo.

Seperti yang kerap dijumpai masyarakat di Bali dan Indonesia pada umumnya, tari tradisional zaman dulu ditujukan untuk kepentingan ritual atau sembahyang. “Kemudian hadirlah I Marya. Dengan kepiawaiannya, mengembangkan tari yang bisa dikatakan modern pada zaman itu. Menawarkan estetika koreografi, dengan mengeksplorasi bentuk jongkok dan pola-pola melantai,” imbuh Suma.

Inilah yang menjadikan tarian Igel Jongkok menarik. Bahkan boleh dikatakan, Igel Jongkok merupakan satu-satunya tarian di bali yang mengekplorasi gerakan jongkok. “Karena tidak banyak koreografer atau penari pada masa itu, yang kepikiran mengeksplorasi gerakan laku jongkok,” imbuh pria kelahiran 1992 tersebut.

Selain Tri Ray Dewantara, Igel Jongkok juga dibawakan secara gemulai oleh Jacko Kaneko dan Krisna Satya. Total ada tiga penari yang selain mempertontonkan gerakan gemulai, juga dibarengi dialog. Secara perlahan mereka menjelaskan detail dari tarian Igel Jongkok.

Dalam pentas produksi Mulawali Performance Forum ini, jongkok kembali dibacakan sebagai sumber gagasan. Sembari mengurai pengungkapan kata jongkok, yang menyiratkan beragam pengetahuan. Sekaligus jejaring gagasan serta berbagai narasi politis-estetis, yang hadir dan terus bertumbuh.

“Arsip Igel Jongkok Bali 1928 ini juga saya sulam dengan konstruksi jongkok. Saya hadirkan melalui biografi tubuh para performer,” papar Suma.

Menurut Suma, masyarakat menganggap kata jongkok sebagai sesuatu hal yang remeh, kotor, hingga ditempatkan dalam laku masyarakat kelas bawah. Padahal sesungguhnya, konteks jongkok sangat melekat dengan budaya leluhur.

Pandangan atas jongkok itu kemudian mulai berubah. Setelah masuknya konstruksi rezim kolonial Belanda, hingga kebijakan negara yang begitu kuat pengaruhanya. Sehingga mengubah persepsi masyarakat atas kata jongkok.

“Padahal jika dilihat lebih mendalam, jongkok adalah laku yang istimewa. Tak semua ras di dunia bisa berjongkok dengan posisi penuh menyentuh tanah. Orang barat misalnya. Mereka tidak bisa jongkok. Tumit mereka tidak bisa nyentuh tanah,” ujarnya.

Jika diulik lagi, sejatinya banyak pekerjaan yang dilakukan dengan berjongkok. Seperti yang diperlihatkan dalam tarian Igel Jongkok. Menceritakan aktivitas berkebun, di mana seorang ayah harus jongkok berjam-jam untuk merawat tanaman.

“Contoh lainnya saat ritual. Seperti saat membuat sesajen tertentu, akan lebih mudah jika dilakukan dengan berjongkok. I Marya mungkin tidak akan bisa menciptakan tari jongkok, kalau tidak memerhatikan kultur sosial dan budaya dari jongkok itu sendiri,” papar Suma.

Seiring berkembangnya zaman, tari Igel Jongkok lebih dikenal sebagai Kebyar Duduk. Menurut Suma, perubahan nama ini menarik untuk dilacak kebenarannya. Bagaimana tari yang sebelumnya dikenal sebagai Igel Jongkok, perlahan berubah dan dikenal sebagai Kebyar Duduk.

“Di luar pemahaman mana yang benar atau salah, kita bisa merasakan konstruksi politis di balik itu. D imana ada upaya melakukan bentuk-bentuk penyopanan,” bebernya.

Sementara itu, Suma sengaja menjejalkan beragam improvisasi gerakan dalam pementasan Igel Jongkok. Namun di balik itu semua, dia ingin menonjolkan arsip sebagai sumber sejarah sebagai bukti kebenaran palih sahih. Diimplementasikan dalam gerakan tari dan dialog.

“Tubuh penari itu ibarat arsip yang hidup. Merekalah yang terus-menerus mereproduksi, sekaligus mendekonstruksi kenyataan sejarah masa lalu dalam arsip. Sehingga tetap hadir dan ditonton secara langsung sampai detik ini,” paparnya.

Terkait gerakan tari Igel Jongkok, sama seperti tarian lainnya. Ada pembuka, isi, dan penutup. “Varian-varian itu yang menarik untuk dibandingkan satu sama lain. Dilihat apa yang berubah? Apa yang berbeda? Apa yang bisa dibuka dalam konteks perngembangan tari Igel Jongkok, dari zaman I Marya, Sampih, sampai Mang Tri ?” urai Suma. (nis/fer/dam)

Editor: Damianus Bram

Tags

Terkini

X