Senin, 6 Mei 2024

Berjam-Jam Melewati Jalan yang Sama, Hanya Berputar di Desa Jungsemi

- Minggu, 21 Maret 2021 | 12:59 WIB
Warga Jungsemi berdoa bersama di Makam Kiai Laisidin, di Makam Kemangi.

 (BUDI SETIYAWAN/JAWA POS RADAR SEMARANG)
Warga Jungsemi berdoa bersama di Makam Kiai Laisidin, di Makam Kemangi.

 (BUDI SETIYAWAN/JAWA POS RADAR SEMARANG)

RADARSEMARANG.ID - Makam Kemangi di Desa Jungsemi, Kecamatan Kangkung, Kendal menyimpan banyak cerita. Mulai dari orang tersesat, warga desa hilang hingga pengiriman material satu truk secara misterius.

Suasana Desa Jungsemi Kamis (4/3/2021) malam itu, begitu sunyi. Sepanjang jalan desa tak satu orang pun keluar rumah. Waktu di ponsel menunjukkan pukul 22.00. Saya bersama seorang teman, Rozikin melanjutkan perjalanan. Menembus rintik gerimis menuju Makam Kemangi. Kami ingin membuktikan cerita mistis yang melekat di pemakaman umum itu.

Di Makam tersebut sudah menunggu Kepala Desa Jungsemi, Dasuki dan Juru Kunci Makam Kemangi, Kiai Kasturi. Kebetulan keduanya akan mengadakan tahlil, mujahadah dan doa bersama sejumlah warga. Sepi dan gelapnya jalan membuat saya dan Rozikin merinding. Terlintas di pikiran saya akan cerita orang-orang yang tersesat dan hilang saat menuju Makam Kemangi. Cerita itu membuat bulu kuduk berdiri. Apalagi malam itu, malam Jumat Kliwon. Kami pun melantunkan doa dalam hati sepanjang perjalanan.

Tiba-tiba kami dikagetkan dengan bunyi telepon seluler (ponsel). Saya melihat layar ponsel. Rupanya Kades Jungsemi melakukan panggilan suara. Saya hentikan kendaraan dan menjawab telepon. “Mas Budi sampai mana, katanya sudah masuk desa kok belum sampai makam,” tanya pak lurah dengan nada khawatir.

Saya jawab, bahwa kami masih di jalan desa menuju makam. Pak lurah lantas menimpalinya dengan nada lirih tapi intonasinya begitu jelas. “Mas Budi tidak sedang tersesat kan! Soalnya barusan saya lihat kendaraan malah bablas menuju Pantai Indah Kemangi,” kata Dasuki seolah ingin memastikan keberadaan kami.

Tentu saja, kalimat tersebut membuat jantung saya dag dig dug ser. Takut, jangan-jangan kami tersesat. Sehingga tidak sampai-sampai Makam Kemangi yang letaknya berada di tepi desa yang berbatasan dengan Laut Utara Jawa.

Belum sempat kami menjawab pertanyaan, Kades Dasuki kemudian menyarankan saya untuk berhenti di pertigaan Dusun Srandu arah menuju makam. Katanya, nanti akan ada dua pemuda menjemput menggunakan sepeda motor. Saya iyakan saja saran Kades Dasuki. Tak lama berselang dua pemuda yang dimaksud datang.

Kades Dasuki bersama Kiai Kasturi nampak duduk  aula depan Makam Kemangi. Saya lihat sekeliling nampak beberapa warga desa setempat.

Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Rintik hujan malam itu membuat malam Jumat Kliwon di Makam Kemangi terasa semakin panjang. Terlebih ditemani suara-suara katak sawah yang seolah seperti mengadakan ritual pemanggilan hujan.

Saya amati Kiai Kasturi malam itu. Ia nampak mengenakan kopiah putih. Selaras dengan warna jenggotnya. Sesekali bola matanya terlihat tajam melihat ke arah sekelilingnya. Lalu mengangguk-anggukkan kepala.

“Sudah tidak ada lagi yang ditunggu,” kata Kiai Kasturi memecahkan kesunyian aula Makam Kemangi.  “Ayo berangkat, nanti malah hujan deras lagi,” lanjutnya sembari bangkit beranjak dari tempat duduknya.

Ia lantas berjalan keluar menuju makam Kiai Laisidin. Tokoh yang dipercaya warga sebagai penyebar agama Islam sekaligus pendiri Desa Jungsemi. Mulut Kiai Kasturi komat-kamit seperti membaca mantera. Ia lantas mengajak warga untuk tahlil, mujahadah dan doa bersama.

Suasana hening, angin berhembus kencang hingga ranting dan daun pohon-pohon berseruak. Di samping Makam Kiai Laisidin nampak makam pohon besar. Menurut Kiai Kasturi, pohon tersebut sudah berusia ratusan tahun. Konon waktu Kasturi masih kecil, pohon tersebut pernah tumbang diterpa angin kencang. Banyak warga yang menyaksikannya. “Kejadiannya sore hari,” katanya.

Keesokan harinya, warga berdatangan ke makam. Mereka berniat memangkas pohon yang tumbang tersebut. Agar tidak mengganggu areal makam. Warga membawa alat seperti gergaji, kapak dan parang labung.  Tapi warga kaget, karena pohon itu justru kembali berdiri tegak. Kondisinya juga masih utuh. “Bahkan tidak ada satu pun dahan yang patah,” ceritanya.

Usai tahlil dan berdoa, Dasuki bersama Kiai Kasturi mengajak kami kembali ke aula makam. Di aula tersebut, Kiai Kasturi bercerita tentang keramatnya Makam Kemangi. Memang tak sedikit orang tersesat saat masuk Dukuh Srandu, Desa Jungsemi. “Mereka biasanya ditolong warga dan diantarkan sampai keluar jalan Desa Jungsemi,” ceritanya.

Menurutnya, mereka yang tersesat kemungkinan tidak tahu arah desa. Sehingga berputar-putar terus kembali di jalan yang sama. Atau kurang sopan santun sehingga disesatkan oleh jin. “Makanya saya pesan, kemana pun pergi, khususnya masuk Desa Jungsemi, harus dengan niatan baik,” ujarnya.

-
Warga Jungsemi berdoa bersama di Makam Kiai Laisidin, di Makam Kemangi.

 (BUDI SETIYAWAN/JAWA POS RADAR SEMARANG)

Makam tersebut dianggap warga sebagai makam keramat dan memiliki karomah tersendiri. Bahkan ia mengalami sendiri. Kala itu warga sedang membangun masjid, dirinya ditunjuk sebagai ketua panitia. Namun dalam pembangunan terkendala dana. Tiba-tiba ada seseorang datang ke rumahnya. Mengatakan bahwa ada kiriman semen satu truk. Namun truk tidak bisa masuk desa. Ia diminta mengambilnya. Padahal Kasturi merasa tidak pernah memesan semen. Terlebih dalam jumlah truk penuh hingga ratusan sak semen. “Saya kan cuma petani, dari mana saya dapat uang dan bisa pesan semen segitu banyak,” katanya.

Ia lantas meminta dua orang mengecek ke lokasi. Dengan diantarkan seseorang yang misterius tadi. Sesampainya di lokasi, pesanan semen tersebut atas nama Kiai Kasturi untuk pembangunan masjid Jungsemi. “Anehnya orang yang mengantar tadi menghilang, entah ke mana,” tandasnya.

Ada juga cerita warga yang hilang. Saat ditemukan sudah meninggal. Jasadnya ditemukan di sekitar makam. Menurut Kasturi, itu adalah ulah jin.

“Warga tersebut sebelum mati sempat hilang tenggelam di laut. Jasadnya ditemukan warga di sekitar makam,” tandasnya.

Wahyudi, warga Brangsong, mengaku pernah tersesat saat masuk di Jungsemi. Kala itu ia sedang meliput penemuan mayat atas kejadian orang hilang di Desa Jungsemi. Saat akan pulang, dirinya berjam-jam melewati di jalan yang sama.

“Menurut saya, jalannya sudah benar. Tapi saat belok, tiba-tiba kembali di titik yang sama. Terus seperti itu hingga berkali-kali. Saat itulah saya sadar, jika saya sedang tersesat,” katanya.

Ia pun lantas bertanya pada salah seorang warga. Oleh warga, dia diantar sampai keluar jalan desa. “Itu pengalaman di Makam Kemangi,” tambahnya. (bud/zal)

 

 

Editor: Agus AP

Tags

Terkini

X