Selasa, 7 Mei 2024

Pekerjaan Rumah Masih Menumpuk

- Senin, 2 November 2020 | 13:00 WIB

Isnein Purnomo-Nur Hariri

Anggota DRPD Jember Agusta Jaka Purwana terlihat hanya duduk di kursi roda, tepat di teras Pendapa Wahyawibawagraha, Senin (5/10) lalu. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara, rekan-rekannya sesama anggota DPRD menuju lantai dua. Mereka akan beramah-tamah dengan Plt Bupati Jember Abdul Muqit Arief.

Seusai acara di lantai dua pendapa, Plt Bupati Jember pun menghampiri Agusta. Pria asal Silo tersebut meminta maaf kepada Agusta karena tidak bisa memberikan fasilitas yang bisa diakses secara mandiri oleh pengguna kursi roda. “Maaf ya, Pak Agusta sakit apa?” kata Muqit Arief.

Agusta memang bukan penyandang disabilitas permanen yang harus pakai kursi roda terus-menerus. Tapi, dia disabilitas temporer karena baru saja menjalani operasi tulang leher. Tindakan medis itu membuat dirinya harus mengenakan kursi roda untuk penyembuhan.

Peristiwa yang terjadi hampir sebulan lalu ini kembali membuka kesadaran publik. Bahwa selama ini, gedung pemerintahan yang kerap diakses oleh masyarakat ternyata belum ramah bagi difabel. Padahal, regulasi yang disahkan untuk memenuhi hak-hak difabel itu telah disahkan empat tahun lalu. Tepatnya pada 19 Desember 2016 silam.

Kondisi ini menjadi keprihatinan bersama. Utamanya bagi mereka yang memiliki keterbatasan. Apalagi, jumlah penyandang disabilitas di Jember cukup banyak. Mereka yang masuk ke dalam daftar pemilih tetap (DPT) saja mencapai 13 ribu lebih. Belum lagi yang tidak tercatat. Oleh karena itu, pemerintah daerah diminta bergerak cepat untuk memenuhi hak-hak mereka. Paling mencolok adalah akses di fasilitas umum, gedung-gedung pendidikan, serta pemerintahan.

Sejauh ini, mimpi Jember menjadi kabupaten yang ramah difabel sepertinya masih jauh panggang dari api. Sebab, berdasarkan pantauan Jawa Pos Radar Jember, cukup banyak tempat yang belum layak untuk para penyandang disabilitas. Seperti alun-alun kota, kantor pemerintahan, juga pedestrian. Fasilitas umum tersebut belum bisa diakses secara mandiri oleh difabel.

Ini baru fasilitas publik, belum soal pemenuhan hak yang lain. Sebab, dalam perda itu disebutkan, pemerintah harus memenuhi hak-hak mereka. Di antaranya hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan pariwisata, aksesibilitas, serta pelayanan publik.

Jika dipandang sekilas, alun-alun kota memang tampak sudah layak bagi penyandang disabilitas. Sebab, memiliki akses khusus berupa jalan untuk para difabel yang menggunakan kursi roda. Namun, itu belum cukup. Sebab, tak ada akses menuju rerumputan alun-alun. Jika hendak menuju tengah lapangan, mereka membutuhkan bantuan orang lain supaya tidak terjatuh.

Hal serupa juga ditemukan di sejumlah jalur pedestrian di Jember. Jalur pedestrian yang bisa digunakan untuk penyandang disabilitas dengan kursi roda hanya ditemukan di beberapa titik.

Ke arah barat dari alun-alun, misalnya, jalur pedestrian yang bisa digunakan hanya sampai pertokoan Jompo, memasuki Jalan Kenanga, Kelurahan Gebang, Kecamatan Patrang. Ke sisi utara, jalur pedestrian yang digunakan hanya sampai di SMPN 2 Jember di Jalan PB Sudirman. Sementara arah selatan, jalur pedestrian yang bisa digunakan hanya sampai di pertigaan selatan pom bensin menuju arah Jalan Trunojoyo.

Jalur pedestrian tersebut tak memiliki penanda khusus untuk memandu para penyandang tunanetra atau guiding block. Bahkan, jalur pedestrian di sekitaran kampus Universitas Jember, meski sebagian ada guiding block, tapi menjadi tidak berguna karena ditempati para pedagang kaki lima (PKL). Selain itu, banyak ditemukan jalur pejalan kaki yang tak layak. Bergelombang dan banyak paving rusak. Misalnya di sepanjang Jalan Gajah Mada, Kecamatan Kaliwates.

Tak hanya itu, gedung-gedung pemerintahan yang seharusnya menjadi percontohan juga belum menerapkan bentuk bangunan yang ramah difabel. Seperti Pendapa Wahyawibawagraha, Kantor Pemkab, dan DPRD Jember.

Pantauan di tiga gedung pemerintahan itu, akses disabilitas hanya ada pada jalur menuju lantai satu. Sementara, menuju lantai dua sama sekali tidak bisa diakses oleh disabilitas. Mereka harus dibantu oleh orang lain. Belum lagi pada kantor pemerintahan maupun gedung yang menjadi fasilitas pelayanan publik lain yang tersebar di Kabupaten Jember.

Hal yang sama juga ditemukan di beberapa kampus. Jalur khusus untuk penyandang disabilitas seolah dibuat hanya untuk menggugurkan kewajiban. Sama seperti tiga kantor pemerintahan, akses untuk penyandang disabilitas hanya di lantai satu. Sementara itu, tak ada akses lain menuju lantai di atasnya, kecuali dengan menggunakan tangga.

Realisasi Jalan di Tempat

Sementara itu, regulasi yang menjadi payung hukum terhadap hak-hak warga yang berkebutuhan khusus belum sepenuhnya berjalan. Baik di bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun hal yang lain. Meski sebenarnya peraturan itu telah cukup detail. Yakni, membahas mulai dari hak-hak hidup hingga permasalahan yang lebih spesifik seperti sarana dan prasarana di perumahan dan pemakaman.

Anggota Komisi D DPRD Jember Ardi Pujo Wibowo menyebut, perda tentang disabilitas diakuinya tidak berjalan maksimal. “Kebetulan, saya juga ikut membahas perda itu. Kami DPRD sudah sering menekankan agar bupati melaksanakan perda itu. Baik untuk fasilitas umum, maupun untuk bidang-bidang lain seperti pendidikan dan kesehatan,” paparnya.

Dari segi sarana dan prasarana, Ardi mengungkapkan, hal itu sebenarnya bisa diterapkan secara bertahap. Khususnya pada bangunan-bangunan baru. Apakah itu bangunan gedung pemerintah, mall, rumah sakit, maupun fasilitas umum lain. “Misalnya, setiap pemberian IMB (izin mendirikan bangunan, Red) harus ditekankan itu. Eksekutif harus tegas,” ujarnya.

Pada bidang pendidikan dan kesehatan, menurut Ardi, juga telah diatur sedemikian detail. Bagaimana dengan para penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga tak mampu. “Dalam perda, pemerintah punya kewajiban menjamin pendidikan anak hingga 12 tahun. Kesempatan mereka juga sama seperti warga pada umumnya,” jelas Ardi.

Tak hanya itu, difabel juga berhak mendapat pendampingan hukum apabila terjerat kasus. Mereka juga memiliki kesempatan bekerja, serta mendapat jaminan pemberdayaan, dan perlindungan sosial. “Pemenuhan hak-hak disabilitas harus diberikan oleh pemerintah,” ucapnya.

Ardi menyebut, dalam perda, bukan saja mengatur tentang hak penyandang disabilitas. Akan tetapi, juga mengatur tentang kewajiban pemerintah. “Penyelenggara pendidikan yang tidak menyediakan akomodasi layak, bahkan di dalam perda dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin,” ulasnya.

Dalam hal dunia pekerjaan, pemda dan BUMD wajib mempekerjakan difabel minimal dua persen dari jumlah seluruh pegawai. Demikian pula dengan perusahaan swasta, juga diatur secara tegas. Yakni wajib menyediakan minimal satu persen pekerja difabel, bagi perusahaan yang kuota pekerjanya minimal seratus orang. “Hal ini harus masuk pada perencanaan dan evaluasi setiap tahun. Saya melihat, penerapan perda ini belum berjalan baik. Selain itu, banyak perda yang juga terkesan mandek,” tegasnya.

Hal yang tak kalah penting, adanya penghargaan kepada warga yang dinilai berjasa atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak difabel. “Kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi? Eksekutif sudah sepatutnya membuka apa saja yang telah diatur dalam perda,” tuturnya.

Lalu, apa sebenarnya yang menjadi kendala pemerintah dalam pemenuhan hak disabilitas itu? Jawa Pos Radar Jember berupaya mengonfirmasi hal tersebut ke Plt Kepala Dinas Sosial Wahyu Setyo Handayani. Namun, Wahyu tidak merespons saat dihubungi melalui telepon selulernya. Padahal, publik butuh penjelasan, apakah penerapan perda disabilitas ini sudah berjalan atau tidak.

Editor: Safitri

Tags

Terkini

Kasus KDRT Jadi Atensi Besar Aparat Penegak Hukum

Senin, 15 Januari 2024 | 09:40 WIB

Bisa Didanai lewat APBD

Senin, 19 Juni 2023 | 05:40 WIB

Amunisinya Masih Pas-pasan

Senin, 19 Juni 2023 | 05:29 WIB
X