Kamis, 16 Mei 2024

Tikus

- Minggu, 17 Juli 2022 | 09:57 WIB
Ilustrasi (AINUR OCHIEM/RDR.BJN)
Ilustrasi (AINUR OCHIEM/RDR.BJN)

Tak sewajarnya Darno njagong di warung kopi dengan wajah sedih. Biasanya kalau ngomong ngetuprus bak berondongan metraliyur. Tak kalah dengan obrolan pengamat olahraga yang teoritis dan memainkan kata  hiperbola. Kali ini dia lebih banyak diam sambil nyeruput kopi pait  setelah menuangkan dari cangkir warna putih. Menikmati kebulan asap rokok kretek lalu memainkan asapnya membentuk lingkaran putih membumbung ke udara. Matanya menerawang jauh dengan pandangan  mengikuti arah asap udut.

Beberapa orang yang duduk di sekitarnya lama tak ada yang disapa. Biasanya datang ke warung kopi “Sari Rasa” obral kata debat kusir dengan berbagai tema. Adu argumentasi masalah kenaikan harga-harga sembako, pandemi, hingga rasan-rasan politik. Entah apa gerangan yang menjadikan Darno diam seribu bahasa kali ini. Semua terasa aneh tak sewajarnya. Namun kondisi ganjil tersebut  tidak ada yang berani mengusik. Semua yang ada di warung lebih memilih diam sambil mengulik gawai di tangannya masing-masing.

"Dar, tumben begitu kau datang di warung lalu diam menikmati lamunan?" Tarmuji yang duduk sebelah kanan memberanikan diri menyapa.

Lama pertanyaan sesama penikmat kopi tersebut belum dijawab oleh Darno. Sebentar menghisap udut lagi. Sejenak memain-mainkan asap.Lalu diletakkan puntung yang masih nyala tersebut di atas asbak.

" Kurang ajar bener, Ji!" ujarnya tiba-tiba.

"Lho, kok tiba tiba mengumpat Dar ada apa?" tanyanya menyelidik.

"Tikus-tikus merajalela di mana-mana!" sambungnya serius.

"Hahaha.." Tarmuji terkekeh.

Orang orang sewarung kopi hampir semua terkaget mendengarkan perbincangan yang diselingi tawa keras. Namun tak lama kemudian semua kembali ke aktifitas sediakala. Memainkan android. Membuka medsos aneka jenis platform. Mulai whatsApp, facebook, hingga youtube.

"Namanya tikus, kalau sudah musimnya ya jelas memangsa apa saja,Dar!" lanjut Tarmuji tandas.

"Aku paham. Tapi kali ini tikus-tikus itu tidak hanya menjadi hama di sawah dan pekarangan, Ji" tukas Darno beralasan.

"Lalu!?" kali ini Tarmuji yang kaget.

"Gabah dalam karung, pakaian, sepatu, buku dokumen, nasi lauk, hingga uang dalam laci semua dimangsa habis," kalimat Darno sambil menahan geram.

"Wah, berarti tikus jaman sekarang lebih kreatif,Dar! " komentar Tarmuji menimpali.

Darno yang sehari hari sebagai kepala dusun di desanya, mendengar jawaban teman sesama perangkat desa tersebut tertawa kecut.

"Itu bukan kreatif, Ji. Julig dan rakus namanya,"

"Tikus juga pengin hidup, Dar. Segala cara harus dilakukan kalau tidak ingin mati kelaparan. Jangankan tikus, manusia saja juga suka menghalalkan segala cara untuk mewuhjudkan ambisinya" komentar pedas Tarmuji yang sehari-hari sebagai kaur kesra di pemerintahan desa.

"Keadaan ini harus segera diatasi,Ji. Cepat tanggap dicarikan solusi yang tepat. Kalau tidak, bisa menambah keresahan masyarakat. Karena beberapa warga juga sudah melaporkan kejadian yang sama. Ini benar-benar darurat tikus,"

“Sebelum melangkah menanggulangi merebaknya hama tikus, harus diadakan rembugan dulu,Dar. Jangan sampai salah langkah. Jangan sampai memberantas hama tikus lumbungnya yang dibakar!”

Perdebatan kecil perihal tikus tiba-tiba terhenti. Telpon genggam Darno berdering. Dibuka, dilihat selintas, nomor Sri Asih istrinya memanggil. Di rumah banyak tamu. Seketika bergegas meninggalkan warung. Pamit Tarmuji. Memberi sasmita Syaiful, yang empunya warung. Kopi yang baru saja diminum dibayar lain kali.

Benar saja, sesampai di depan rumah, Darno menghentikan langkah sebentar. Beberapa orang sudah berada di rumahnya. Warganya yang terdampak hama melapor. Semua resah dengan meluasnya hama tikus yang semakin menggila.

"Pak kasun, kita harus segera bertindak untuk mengatasi ulah tikus-tikus yang meresahkan," usul Ngalimun salah satu warga yang mertamu malam itu.

"Saya usul diadakan gropyokan pak kasun. Dilakukan kompak bersamaan seluruh warga. Biar serempak dan ada hasilnya," Sartono yang bersongkok hitam mengacungkan tangan.

"Diracun saja pak lebih ringan. Tidak membutuhkan banyak tenaga," Miun, anak muda yang berkaos oblong ikut berpendapat.

Malam itu kasun Darno mendapatkan banyak usulan untuk menumpas hama tikus. Banyak alternatif yang dapat dipilih. Mulai opsi gropyokan massal, hingga dengan cara meracun.

Kasun Darno sempat ragu memilih usul mana yang sebaiknya dipilih. Semua pilihan ada plus mimusnya. Ada untung ruginya. Akhirnya diambil pendapat suara terbanyak. Dikoordinasikan dengan kepala desa, tokoh masyarakat, dan disosialisasikan ke semua warga. Melalui kumpulan jamaah tahlil hingga pengumuman lewat corong masjid.

Gropyokan tikus secara masif jadi dilakukan. Ada yang bertugas membongkar liang tikus, mengejar dan membunuh setiap kali muncul. Masyarakat antusias bau-membau bergotong royong mensuksesan gerakan gropyokan memburu tikus. Mulai tikus wirog yang paling besar hingga yang kecil-kecil telah banyak ditangkap. Masing masing kelompok mendapat puluhan hingga menyentuh angka ratusan tikus.

Dengan suksesnya gropyokan memburu tikus tersebut, masyarakat seolah sudah dapat memastikan hama tikus telah banyak berkurang. Paling tidak separo lebih jumlah tikus yang ada sudah tertangkap. Tak akan lagi tikus-tikus menghancuran beraneka tanaman di sawah tegalan.

Tapi ternyata euforia orang-orang tersebut meleset. Prediksi sirnanya tikus-tikus dengan adanya gropyokan tersebut tak menjadi kenyataan. Hari-hari pascagropyokan, tikus tikus masih merajalela.Tanaman di kebun dan sawah dijarah tikus lebih parah. Rumah-rumah warga tak sepi dari tingkah polah tikus yang terasa semakin pongah.

Kasun Darno yang lebih dipercaya warga daripada kades Rangkuti yang kesandung kasus dana desa, merasa terpukul jiwanya. Ikhtiarnya bersama masyarakat tidak membuahkan hasil menggembirakan. Seolah tikus-tikus tersebut lebih cerdik daripada orang sekampung.

Kejengkelan Darno terhadap makhluk bernama tikus semakin membuncah. Gagalnya upaya gropyokan seolah menjadi tindakan memalukan yang dirasakannya bersama warga Diam-diam dia berniat membasmi tikus tersebut dengan metode lain. Membunuhnya dengan memakai racun tikus. Sasaran utamanya tikus yang berkeliaran di sawah, di rumah dan lingkungan pekarangan.

Dibelinya racun tikus secukupnya. Dipasang sendiri barang tersebut sesuai dengan tempat-tempat yang biasa dihuni tikus. Belakang dan samping rumah. Tegalan dan sawah. Bahkan di dalam rumah.

Sambil memasang racun tikus, pikiran Darno dihinggapi rasa heran. Pertanyaan besar yang belum terjawab. Mengapa kucing peliharaannya juga tak mampu memangsa tikus-tikus tersebut. Padahal, biasanya kucing-kucing yang dipiara mahir berburu tikus. Kenapa anomali ini bisa terjadi? Kucing-kucing tak berdaya lagi melawan tikus.

Rampung memasang racun tikus sore itu, Darno duduk tepekur di belakang rumah. Sambil membayangkan, tak lama lagi tikus-tikus laknat itu mati bergelimpangan. Dengan begitu baru terbayar bagaimana membalaskan dendam yang lama tertahan.

Malam beringsut saatnya berangkat tidur. Pikiran Darno masih dihantui tikus-tikus kurang ajar. Binatang pengerat yang menjadi musuh utamanya hari-hari ini. Angannya hingga terbawa ke dalam mimpi. Tikus-tikus telah mati bergelimpangan. Membusuk di mana mana.

Menjelang subuh Darno terjaga. Pikirannya bingung. Baru ingat, saat meracun tikus  lupa memberi tahu istrinya Sri Asih. Belum mewanti-wanti  bahayanya rakun tikus bagi hewan peliharaan bahkan dirinya sendiri.

"Pak, coba ke sini apa yang sedang terjadi?" Pagi pagi Sri Asih tergopoh memanggil Darno yang sedang duduk termenung di ruang tamu.Kaget medengar suara istrinya yang meracau sambil memanggil namanya. Bergegas melangkah ke dapur, bablas belakang rumah.

"Ada apa, Sih, pagi-pagi sudah ribut di belakang rumah?!" suara Darno terhenti saat tiba tiba terlihat pemandangan aneh di depannya. Beberapa tikus mati. Namun semua ayamnya yang dilepas di kandang terbuka tergeletak mati semua. Di beberapa tempat kucing piaraannya juga tak bernyawa.

"Ini kenapa, Pak? Ayam dan kucing kita mati semua" tanya Sriasih dengan menahan isak tangis.

Darno berdiri terpaku tak mampu berkata-kata. Penglihatannya kosong bercampur bingung. Suaranya seperti tercekat dalam tenggorokan.

"Apa yang terjadi, Pak?" desak istrinya sambil terduduk.

" A.. aa aku yang salah Sih, "

"Apa maksudnya? Aku tak mengerti,Pak"

"Diam-diam kemarin sore aku meracun tikus di beberapa tempat. Aku gelap mata,"

Mendengar kalimat Darno tersebut, Sri Asih tersentak. Bak tersambar geledeg. Semaput tak sadarkan diri.

Dalam waktu hampir bersamaan, tetangga kanan kiri juga mengabarkan semua ayam kampung piraannya mati mendadak. Tidak tanggung-tanggung. Hewan piaraan hampir mati semua. Dalam hitungan jam, rumah dan halaman Darno dipenuhi orang. Menelisik sebab-musabab kematian hewan ternak secara besar-besaran. Mencari tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Darno hanya dapat diam dan pasrah menghadapi warganya yang melontar berbagai komentar. Ada yang menilai tindakannya sebagai hal yang wajar dan benar. Tak sedikit yang mempersalahkan sebagai tindakan ceroboh dan grusa grusu.

Seminggu pasca meracun tikus yang berakibat fatal, Darno memenuhi undangan kades  rapat di balai desa. Bisa ditebak agendanya pasti tentang hama tikus yang meresahkan warga. Serta kematian hewan ternak orang-orang sekampung yang mati semua gara-gara dirinya meracun tikus sembarangan.

Rapat yang tergolong langka. Karena selama ini kades hampir tidak pernah mengadakan rapat. Sejak tersangkut korupsi dana desa, kontak mata tatap muka dihindarinya. Meniadakan  berbagai pertemuan yang dikhawatirkan berujung pendiskreditan masalah kasus yang tengah diusut. Ditengarai adanya penyimpangan pembelanjaan dana desa yang jumlahnya cukup besar dengan pengelolaan tidak transparan. Terendus adanya penyelewengan anggaran desa.

Sebelum rapat, sambil menunggu kehadiran undangan lain, Darno duduk di salah satu ruangan. Ruang kantor pelayanan yang berseberangan dengan ruang kerja kepala desa.Tak disangka, ternyata diruangan tersebut juga banyak tikus berkeliaran. Beberapa arsip dokumen banyak yang hancur dimakan tikus. Tidak hanya di satu ruangan, di lokasi ruangan lain juga terjadi hal yang sama. Dokumen-dokumen penting di almari dan di meja-meja tak luput dari jarahan tikus. Balai desa serasa dikerubuti tikus.

Tiba-tiba di salah satu ruangan ada tikus keluar dari persembunyian berlari di lantai. Spontan Darno mencabut standar bendera. Mengejar tikus kemanapun lari. Memukulkan tiang bendera kearah tikus, berkali-kali. Namun pukulan tersebut, semua luput. Tidak ada yang berhasil mengenai sasaran.

Pada suatu kesempatan tikus tersebut lari keluar menuju ruangan kepala desa. Kades yang sedang duduk di ruangan tersebut kaget. Tikus mengarah ke meja kerja. Secara reflek Darno melemparkan standar bendera sekuat-kuatnya ke arah tikus. Tikus melompat rikat. Tongkat  meluncur deras membentur kepala kadesRangkuti.

Mata berkunang-kunang. Darah segar berceceran di meja dan lantai. Seketika kades semaput tak sadarkan diri. Tak lama berselang ambulan datang. Bergegas membawa tubuh kades Rangkuti menuju rumah sakit terdekat.

Orang-orang yang sedianya rapat di balai desa hari itu, sejenak terbengong belum paham dengan apa yang baru terjadi begitu cepat. Meski akhirnya semua yang hadir tahu kronologi kejadian sesungguhnya.  Bahwa insiden terkaparnya kades Rangkuti berawal dari ulah tikus yang makin jumawa.

Rapat akhirnya gagal. Ditunda hari lain hingga suasana kondusif. Tikus-tikus bebas merdeka berkeliaran di sembarang tempat. Semakin merajalela. Tak takut apapun. Sepertinya tikus-tikus itu telah berguru kepada para pejabat korup yang tak kapok meski berkali-kali kena jerat hukum

Tamat





Nono Warnono, Sastrawan di Sanggar Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB)
Buku karyanya yang baru terbit bersamaan berupa Kumpulan Geguritan “Dalan Enggokan” dan Kumpulan Crita Cekak “Lir Lesung Jumengglung”

Editor: M. Yusuf Purwanto

Tags

Terkini

Cakrawala Jingga di New Guinea

Minggu, 12 Mei 2024 | 15:00 WIB

Lebaran Pertama Tanpa Ibu

Minggu, 5 Mei 2024 | 15:00 WIB

Kartini Kembali, Membawa Mimpi

Minggu, 21 April 2024 | 15:30 WIB

Melodi Kasih di Langit Senja

Minggu, 31 Maret 2024 | 15:03 WIB

Perempuan Cantik Sang Penakluk

Minggu, 24 Maret 2024 | 13:38 WIB

Akhir dari Ketakutan

Minggu, 17 Maret 2024 | 13:30 WIB

Yang Terhempas di Titik Nadir

Minggu, 10 Maret 2024 | 12:59 WIB

Rekonsiliasi Kaum Semut

Minggu, 3 Maret 2024 | 12:15 WIB

Bagaimana Pak Jaka Menyembelih Banteng?

Minggu, 25 Februari 2024 | 12:15 WIB

Putih Abu-Abu

Minggu, 18 Februari 2024 | 14:15 WIB

Nyoblos, Sedulur Sikep Bakal Berpakaian Adat

Rabu, 14 Februari 2024 | 15:26 WIB

Ling Lung

Minggu, 11 Februari 2024 | 13:50 WIB

Intrik di Desa Menoreh

Minggu, 4 Februari 2024 | 12:40 WIB

Negeriku dalam Cerita, Oleh: Ahmad Zaini

Minggu, 28 Januari 2024 | 13:05 WIB
X