Kiyai Ahmad Dahlan dan Arah Kiblat

 

 

Oleh: Muhammad Izzul Muslimin

Sepulang dari haji dan belajar agama Islam di Makkah yang pertama pada tahun 1888 M, KH Ahmad Dahlan melakukan sebuah tajdid (pembaharuan) yaitu meluruskan arah kiblat. Menurutnya arah kiblat sebagian besar masjid, surau, dan mushalla di Yogyakarta tidaklah tepat menuju ke arah Ka’bah di Makkah. Hal ini berdasar ilmu falaq dan ilmu bumi yang dia dapatkan selama belajar di Makkah.

Untuk meyakinkan apa yang menjadi pemahamannya tersebut KH Ahmad Dahlan pun berusaha mengumpulkan para alim ulama di sekitar Yogyakarta dan mengajak diskusi tentang persoalan arah kiblat. Namun penjelasan KH Ahmad Dahlan yang didasari dengan ilmu pengetahuan yang dikuasainya itu tidak membuat para ulama berubah pikiran. Bahkan sebagian besar mencaci apa yang telah dijelaskan KH Ahmad Dahlan sebagai pemikiran sesat dan bisa membuat kegaduhan.

Lukisan Bapak Badri Pasurian via Museum Muhammadiyah
Lukisan Bapak Badri Pasurian via Museum Muhammadiyah

Merasa apa yang menjadi keyakinan dan pengetahuannya tidak diterima, KH Ahmad Dahlan akhirnya menerapkan sendiri arah kiblat yang dia pahami di Langgar Kidul yang menjadi tempatnya mengajar. Apa yang dilakukan KH Ahmad Dahlan itu tentu menjadi gunjingan dan keributan khususnya bagi warga kampung Kauman. Terlebih setelah ada kejadian yang menggemparkan ketika tiba-tiba ada tanda shaf baru yang dibuat di Masjid Gedhe Kauman sebagai masjid utama Keraton Ngayogyakarta.

Setelah diketahui bahwa yang melakukan pembuatan tanda shaf baru di Masjid Gedhe adalah para murid KH Ahmad Dahlan, murkalah Kanjeng Penghulu Keraton sebagai pemegang otoritas keagamaan, lalu memerintahkan kepada para punggawanya untuk membongkar Langgar Kidul milik KH Ahmad Dahlan.

KH Ahmad Dahlan hampir saja putus asa dan memilih untuk pergi dari Kauman, bahkan dari Yogyakarta. Namun berkat nasehat kakak iparnya yang juga salah seorang punggawa penghulu Keraton, akhirnya KH Ahmad Dahlan bisa dibujuk dan mengurungkan niatnya pergi dari Yogyakarta.

Kegaduhan seputar arah kiblat di Masjid Gedhe ternyata sampai ke telinga penguasa Kraton, Sultan Hamengkubuwana VII. Informasi awal yang beredar, KH Ahmad Dahlan dianggap akan melakukan makar atas otoritas kekuasaan agama Islam di Keraton Yogyakarta. Namun sebagai pemimpin yang bijaksana, Raja memanggil KH Ahmad Dahlan secara pribadi ke Keraton untuk menjelaskan masalah tersebut.

Tibalah suatu malam KH Ahmad Dahlan berangkat sendiri ke Keraton tanpa seorang pendamping. Sesampainya di Sitinggil pendopo Keraton tempat singgasana Raja bertakhta suasana sangat sepi dan hanya ada lampu minyak kecil menyala. Di situ telah duduk Sang Ratu di singgasana, tanpa pendamping siapapun.

Setelah menghaturkan sembah sebagai penghormatan kepada Raja, KH Ahmad Dahlan pun menjawab satu persatu pertanyaan yang diajukan Sri Sultan. Dari sekian pertanyaan yang diajukan, pertanyan terpenting adalah, apa maksud KH Ahmad Dahlan mengubah arah kiblat dari keadaan semula. Lalu dengan penuh kehati-hatian dan runtut KH Ahmad Dahlan menjelaskan apa yang menjadi pemikiran dan pandangannya soal arah kiblat.

Rupanya Sang Raja berkenan atas penjelasan KH Ahmad Dahlan soal perubahan arah kiblat. Dari penjelasan tersebut sangat jelas bahwa KH Ahmad Dahlan sama sekali tidak ada niat untuk merusak tatanan ajaran Islam di Keraton Ngayogyakarta sebagaimana kabar yang beredar, tetapi justru ingin meluruskan agar lebih tepat dan sesuai.

Setelah selesai mendengarkan penjelasan KH Ahmad Dahlan, Sri Sultan memerintahkan agar seluruh penerangan di Sitinggil dinyalakan. KH Ahmad Dahlan setengah terkejut karena ternyata di sekeliling Sitinggil telah berkumpul para punggawa kerajaan, termasuk prajurit yang siap menangkap jika ternyata KH Ahmad Dahlan terbukti bertindak makar kepada Keraton.

Sri Sultan bukannya memberi hukuman kepada KH Ahmad Dahlan, tetapi justru memberi hadiah kepada KH Ahmad Dahlan. Hadiah pertama, Sri Sultan memberi kesempatan kepada KH Ahmad Dahlan untuk kembali berangkat haji ke Makkah atas biaya Kerajaan. Hadiah kedua, KH Ahmad Dahlan dinikahkan dengan salah seorang putri kerabat Keraton Yogyakarta.

Kiyai Ahmad Dahlan tidak kuasa menolak pemberian Raja tersebut kecuali hanya bersetuju dan berterima kasih. Hadiah dari Kerajaan Ngayogyakarta tersebut sekaligus sebagai tanda bahwa Sri Sultan sangat mendukung apa yang menjadi ide pembaharuan KH Ahmad Dahlan. Maka berangkatlah KH Ahmad Dahlan ke Makkah untuk yang kedua kalinya didampingi anak lelakinya Sieradj pada tahun 1903.

Sepulang dari haji yang kedua pada tahun 1905, KH Ahmad Dahlan mengubah strategi dakwahnya yang semula bersifat frontal menjadi lebih bijaksana dan simpatik. Dari pengalaman soal perubahan arah kiblat, Kiyai menyadari bahwa penolakan para Ulama dan umat Islam saat itu bukan karena berdasar pengetahuan, tetapi justru karena lemahnya ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu Kiyai berpikir lebih jauh bahwa memperbaiki pemahaman agama dan meningkatkan ilmu pengetahuan umat Islam justru lebih utama daripada mengajak langsung kepada perubahan seperti mengubah arah kiblat.

Akhirnya, KH Ahmad Dahlan sangat giat dalam mengajarkan ilmu dan pemahaman agama Islam kepada umat. Bahkan untuk mendukung tujuannya itu KH Ahmad Dahlan tidak hanya mengajar agama di rumahnya, tetapi Beliau rajin berkeliling ke berbagai tempat. Maka lahirlah berbagai pengajian di luar kampung Kauman yang menjadi binaan Kiyai.

Tidak hanya mengajarkan Islam di perkampungan dan kalangan santri, KH Ahmad Dahlan juga merambah ke berbagai komunitas. Beliau masuk ke perkumpulan Budi Utomo dan Sarekat Islam untuk berdakwah dan memberikan pelajaran agama Islam secara berkala. Kiyai juga berupaya mengajar agama Islam di sekolah guru milik pemerintah Belanda di Jetis, Yogyakarta dan OSVIA di Magelang tanpa digaji.

Usaha dakwah KH Ahmad Dahlan mencapai titik krusial ketika Beliau mendirikan perkumpulan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Perkumpulan Muhammadiyah didirikan atas saran para aktivis Budi Utomo yang juga murid pengajiannya setelah melihat bahwa usaha pengajaran Kiyai Ahmad Dahlan perlu lebih ditertibkan dan diorganisir. Perkumpulan Muhammadiyah diharapkan bisa menjadikan dakwah dan pengajaran Kiyai Ahmad Dahlan lebih maju dan progresif.

Apa yang menjadi usulan para muridnya itu terbukti berhasil. Setelah Muhammadiyah berdiri, semakin banyak cabang Muhammadiyah yang didirikan oleh para pengikut KH Ahmad Dahlan yang tersebar di berbagai tempat. Bahkan dalam waktu kurang dari sepuluh tahun Muhammadiyah sudah berkembang di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Setelah KH Ahmad Dahlan wafat pada tahun 1923, Muhammadiyah yang didirikannya terus dilanjutkan oleh para murid dan pengikut KH Ahmad Dahlan. Hingga hari ini Muhammadiyah masih berdiri kokoh dengan berbagai amal usaha yang digerakkannya.

Lalu, bagaimana dengan masalah perubahan arah kiblat? Saat ini mungkin tidak ada lagi masjid, surau, mushalla, atau langgar yang tidak mempedomani cara yang dulu pernah diperkenalkan oleh KH Ahmad Dahlan. Apa yang menjadi ide KH Ahmad Dahla saat ini sudah tidak lagi dianggap sesat dan melenceng. Bukan karena mereka dipaksa mengikuti ide dan pikiran KH Ahmad Dahlan, tapi karena pemahaman dan ilmu pengetahuan merekalah yang menuntunnya.
Wallahu a’lam.

Bekasi, 3 Ramadhan 1442 H