Jumat 22 Nov 2019 13:42 WIB

Pelajaran yang Ditinggalkan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

KH Ahmad Dahlan diakui sebagai pelopor modernisme pendidikan Islam di Indonesia.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah
Foto: Republika/ Wihdan
Buku tokoh KH Ahmad Dahlan dalam rangka Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-107 diberikan kepada pengunjung saat pembukaan pameran di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Selasa (20/10).

Perjuangan Kiai Dahlan didukung dan seiring selangkah dengan peran Nyai Ahmad Dahlan. Sejarah mencatat dengan tinta emas peran Nyai Ahmad Dahlan yang memberi andil besar dengan membentuk sayap organisasi Muhammadiyah untuk kaum perempuan, yaitu Aisyiyah pada 1918.  Mereka bekerja keras sejak dari mendirikan Muhammadiyah pada 1912 hingga wafatnya.

Dalam sejarah tercatat perkembangan Muhammadiyah, terutama di era sebelum kemerdekaan, yang paling pesat dan pertama di luar Yogyakarta ialah di Minangkabau (Sumatra Barat). Di Kota Padang Panjang juga ada Kauman, tempat berdirinya sekolah Muhammadiyah pertama di Sumatra. Tokoh ulama asal Sumbar, Buya AR Sutan Mansur yang menjabat Ketua Umum Muhammadiyah periode 1953-1959 adalah ideolog Muhammadiyah sejati yang memiliki peran dan jasa besar dalam membangun dan membesarkan Muhammadiyah di luar Jawa. Di kalangan Muhammadiyah sejak dulu dikenal motto “sedikit bicara, banyak bekerja”.

Baca Juga: Lima Fokus Muhammadiyah ke Depan

Pelajaran agama yang diberikan Kiai Dahlan kepada masyarakat umum cukup sederhana, tapi mengena. Salah satu contoh; ia memberi pengajian Shubuh di masjid berulang-ulang mengupas makna dan tafsir Alquran, Surah Al Ma’un. Dimintanya perhatian hadirin bagaimana melaksanakan makna ayat-ayat Alquran itu. Meski semua telah hafal, namun belum tentu mengamalkan.

Dalam mengamalkan Surah Al-Ma’un, Kiai Dahlan mengajak terjun ke masyarakat mencari orang miskin dan anak yatim. Setelah menemukan orang-orang yang perlu ditolong agar dibawa pulang, diajari mandi dengan sabun dan diberi sikat gigi yang baik, diberi pakaian yang layak, diberi makan dan minum serta disediakan tempat tinggal yang manusiawi. Tafsir Surah Al-Ma’un kemudian menjadi salah satu etos gerakan Muhammadiyah.

Sebagaimana disinggung diawal tulisan, atas prakarsa Kiai Dahlan didirikan penampungan fakir miskin, panti asuhan yatim piatu, dan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Yogyakarta. Pendirian Rumah Sakit Islam dan panti asuhan anak yatim piatu Muhammadiyah boleh disebut sebagai terobosan monumental pergerakan Islam di Indonesia.

 

Kiai Dahlan selalu menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai dasar dalam melaksanakan seluruh aktivitas organisasi Muhammadiyah.

Pelajaran lain yang ditinggalkan Kiai Ahmad Dahlan dalam membangun dan menyelamatkan umat ialah melawan strategi dengan strategi. Ia membangun Rumah Sakit untuk umat Islam dalam upaya  menandingi kegiatan golongan agama lain yang mendirikan rumah sakit. Begitupun Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang bermutu dalam upaya menghadapi sekolah-sekolah Katolik dan Kristen yang diminati murid-murid di kalangan Muslim.

 

Baca Juga: PBNU Apresiasi Peran Historis dan Kekinian Muhammadiyah

Semasa hidupnya Kiai Dahlan menginfakkan sebagian besar hartanya untuk kebutuhan dana organisasi Muhammadiyah. Ia rela hidup sederhana asal umat Islam yang diperjuangkan nasibnya bisa dimuliakan.

Bahkan, dalam kondisi sakit menjelang wafatnya Kiai Dahlan yang sepanjang hidupnya berdakwah, berjuang dan berkorban untuk agama dan kemuliaan martabat kaum Muslimin, mengumpulkan istri dan anak-anaknya serta murid-muridnya yang terdekat. Saat itu ia menyampaikan, tidak meninggalkan harta kekayaan, tapi meninggalkan organisasi Muhammadiyah.

 

“Aku titipkan Muhammadiyah. Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah. Janganlah mencari penghidupan di dalam Muhammadiyah.”

James L Peacock, antropolog dari Harvard University Amerika Serikat dalam penelitiannya mencatat peran Muhammadiyah sebagai organisasi kesejahteraan dan pendidikan swasta dan non-Kristen yang paling menonjol di Indonesia. Penilaian Peacock didukung fakta bahwa Muhammadiyah tidak sekedar gerakan dakwah dan tajdid (pembaharuan), tetapi sekaligus gerakan sosial, pendidikan, ekonomi, serta gerakan kebangsaan.

Muhammadiyah turut memelopori bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sebelum Sumpah Pemuda (1928), Muhammadiyah telah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi dalam organisasi. Di samping itu Muhammadiyah adalah organisasi pertama yang menggunakan bahasa Indonesia dalam kongresnya tahun 1923.

Sejak bangsa Indonesia hidup di alam penjajahan, Muhammadiyah menanamkan rasa kebangsaan, di samping mempertebal rasa keislaman. Pada 1918 Muhammadiyah mendirikan gerakan kepanduan Hizbul Wathan, artinya Pembela Tanah Air. Salah satu alumninya ialah Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sejarah mencatat tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimedjo memberi peran yang sangat menentukan dalam perumusan UUD 1945 dan mengukuhkan dasar negara Pancasila.

Setiap pemimpin, tokoh Islam dan umat Islam dari organisasi Islam manapun haruslah bisa menghargai dan memelihara hasil-hasil karya perjuangan dan warisan para pemimpin dan pejuang umat Islam di masa lalu, tanpa memandang dari golongan mana, sebagai aset masa kini dan masa depan seluruh umat Islam.

Presiden Pertama RI Ir Soekarno dalam surat kepada PB Muhammadiyah tanggal 7 Juli 1953 menulis kata-kata bersejarah yang menjadi kebanggaan warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia, “Saya mengetahui betapa besar artinya Muhammadiyah dalam kehidupan rohani bangsa kita, dan pula kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Saya mengenal Muhammadiyah dari dekat, bahkan buat beberapa tahun juga dari dalam. Karena itu saya dengan sungguh-sungguh mendoa kehadirat Tuhan Yang Maha Esa moga-moga Dia senantiasa memberkati dan memberi taufiq hidayat kepada Muhammadiyah, agar supaya Muhammadiyah tetap menduduki arti-penting dalam kehidupan kerohanian bangsa kita itu, dan menjadi salah satu penyumbang tenaga yang penting dalam pembangunan negara kita dan masyarakat. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah!”

 

photo
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag RI, Fuad Nasar

TENTANG PENULIS

Muhammad Fuad Nasar, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement