Senin 13 Aug 2018 09:11 WIB

Cerita di Balik Evakuasi Korban Gempa Lombok

Cerita anggota Basarnas yang menolong korban gempa juga hampir menjadi korban.

Sejumlah anggota Basarnas mengevakuasi jenazah korban yang meninggal akibat tertimbun reruntuhan Masjid Jabal Nur yang rusak akibat gempa bumi di Tanjung, Lombok Utara, NTB, Selasa (7/8).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Sejumlah anggota Basarnas mengevakuasi jenazah korban yang meninggal akibat tertimbun reruntuhan Masjid Jabal Nur yang rusak akibat gempa bumi di Tanjung, Lombok Utara, NTB, Selasa (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ilham Tirta

Kamis, 10 Agustus, akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi Wawan Wisudawan, salah satu anggota Badan SAR Nasional (Basarnas) yang memanjat tebing longsor di Kampung Dompo Indah, Desa Selengen, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia dan timnya hampir menjadi korban gempa yang terus mengguncang pulau Lombok sejak Ahad (29/7).

Tebing sungai itu ambrol pada Ahad, 5 Agustus 2018, ketika gempa berkekuatan 7 SR mengguncang dengan ganas. Longsorannya menyedot apa saja hingga sejauh 12 meter dari mulut sungai, termasuk seorang lelaki bersama anaknya yang tengah berlindung dari gempa. Mereka tertimbun bersama bagian belakang rumahnya dalam meterial longsor seluas lebih dari 200 meter persegi dengan kemiringan 45 derajat dari sungai. Lelaki beranak itu lah yang tengah dicari tim Basarnas bersama polisi, TNI, dan relawan.

Wawan Wisudawan ikut bersama tim pengganti pada hari kelima evakuasi. Pukul 8.30 Wita, sebanyak 26 orang tim Basarnas kantor Kota Mataram mulai turun ke sungai, lalu sebagiannya menanjak ke atas tebing, termasuk Wawan. Berdasarkan penemuan barang dan perkakas rumah tangga, korban diperkirakan berada di tengah tebing, yang terhalang sejumlah pohon.

Evakuasi melibatkan tiga alat penyedot air untuk menyiram material longsor dan mesin pemotong kayu. Medan terjal berbentuk timbunan pasir halus itu membuat tim sulit bergerak cepat. Sementara, alat berat tak bisa digunakan karena akses terputus dan dikhawairkan menyebabkan longsor. Dan, pulau Lombok memang sedang berontak, sekitar pukul 13.25 WITA, gempa kembali mengguncang dengan dahsatnya. Gempa berkekuatan 6,2 SR itu merambat dari enam kilometer barat laut Lombok Utara

"Kita sedang di atas tebing, pas mau nyalakan senso, sambil siram," cerita lelaki 30 tahun itu kepada Republika.co.id, Sabtu (11/7).

photo
Seorang ibu menggendong anaknya di depan tenda darurat yang dibangun di pematang sawah di Tanjung, Lombok Utara, Jawa Timur, Kamis (9/8).

Tanpa komando, semua lari menuruni tebing, megikuti naluri untuk menyelamatkan diri. Di belakang, maut mengejar dalam wajah material longsor yang mengepul tinggi. Semua berantakan, riuh bersama suara mesin dan sirine tanda bahaya, suara teriakkan agar semua keluar dari lokasi. Wawan tersengal.

"Ada 10 orang di atas (tebing), hanya 20-an detik lari ke bawah, dikejar material longsor," katanya. "Saya trauma kalau ingat itu."

Beruntung, tidak ada korban jiwa dari tim evakuasi. Namun semua gelisah, rasa takut menyerang, tak peduli mereka dari tim penyelamat terlatih. Wawan kembali mengingat saat breafing sebelum turun ke lokasi. Seorang petugas mewanti-wanti mereka hanya memiliki delapan detik untuk menyelematkan diri. "Setelah itu takut semua, dan kami istirahat," katanya.

Waktu rehat hanya 20 menit. Setelah makan, mereka kembali ke medan yang semakin sulit. Wawan kembali mengumpulkan keberaniannya, apalagi setelah mengetahui istri dan dua anaknya baik-baik saja di pengungsian, Kota Mataram. Hari itu, proses evakusi berjalan hingga pukul 16.30 WITA. Namun, para korban belum ditemukan.

Gempa 6,2 SR itu merupakan yang ketiga terbesar dari ratusan kali gempa susulan. Gempa Lombok terjadi buruntun setelah gempa 6,4 SR pada Ahad (29/7). Puncak gempa terjadi pada Ahad (5/8) dengan kekuatan 7 SR dan diketahui sebagai yang paling menghancurkan.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai Jumat (10/8), tercatat 321 orang meninggal dunia. Ada laporan tambahan jumlah korban jiwa, tapi masih dilakukan verifikasi. Artinya, jumlah itu masih akan bertambah. Sementara jumlah pengungsi sebanyak 270.168 jiwa dan data sementara kerusakan rumah mencapai 67.875 unit rumah.

Bencana kali ini sekaligus menjadi yang pertama bagi Wawan bertugas di darat karena basiknya adalah di laut. Namun, meregang nyawa di atas tebing Dompo Indah bukan satu-satunya pengalaman pilu yang dihadapinya dalam evakuasi para korban.

Tiga hari sebelumnya, Selasa (7/8), Wawan terlibat evakuasi di Puskesmas Tanjung, KLU. Saat gempa 7 SR terjadi pada Ahad, seorang nenek tertimbun reruntuhan tembok bersama cucu lelakinya.

Nenek itu adalah seorang pasien yang sedang diopname. Ketika gempa, sang cucu berusaha membawanya ke luar gedung. Namun nahas, reruntuhan beton menimpa keduanya. "Itu evakuasi paling sedih, saya sampai histeris," kata Wawan.

Kedua korban tertimbun dalam material setebal hampir satu meter sehingga tim evakuasi harus melibatkan mesin pemotong beton. Yang menyentuh adalah ketika korban ditemukan. Di bawah reruntuhan itu, jenazah nenek dalam posisi dipeluk oleh jenazah sang cucu. Setiap mata terperangah menyaksikan bagaimana si cucu berusahan melindungi tubuh renta neneknya.

photo
Petugas dengan alat berat merobohkan rumah yang rusak akibat gempa bumi di Kayangan, Lombok Utara, NTB, Minggu (12/8).

Goncangan 6,2 SR juga membuat panik tim medis relawan dari RSUD Sondosia, Bima, yang tengah mengantar bantuan ke Desa Pemenang Timur, KLU. Hentakan tanah memaksa siapapun yang berkendara berhenti, termasuk mobil tim medis itu.

Seketika kepanikan merambat dari dalam permukiman, menulari siapa saja yang ada di jalanan. Suara teriakan dan istigfar sahut menyahut. "Bangunan yang hampir roboh langsung roboh," kata Muhammad Suhud, seorang apoteker dalam tim medis itu.

Suhud dan tim kecil berisi enam orang itu fokus penanganan medis di pengungsian wilayah Kecamatan Bayan. Meski tidak separah sebelumnya, gempa susulan itu seperti pelengkap penderitaan panjang warga Lombok, termasuk gadis kecil penderita tumor usus di Desa Mumbul Sari, Bayan, Yoni.

Rumah gadis 12 tahun itu telah hancur hingga terpaksa harus meringkuk di tenda pengungsian bersama keluarga dan tetangganya. Gempa terakhir itu kembali menghancurkan gedung sekolahnya. "Sudah rusak, gak bisa sekolah lagi, " katanya.

Layaknya anak pada umumnya, Yoni tetap berusaha ceria bersama anak-anak pengungsi lainnya. Hal berbeda tergambar pada wajah orang tua mereka, murung dengan pandangan tanpa isi. "Semuanya masih trauma, karena semua rumah roboh, 660 jiwa (pengungsi)," kata Suhud.

Setiap hari para orang tua hanya mengandalkan logistik bantuan yang masih jarang datang. Kadang mencari sisa barang dan bahan makanan yang masih bisa digunakan di bawah reruntuhan bangunan.

"Setiap hari menunggu bantuan, karena di sini agak pelosok jadi bantuan jarang sampai," katanya.

Menurut Suhud, kebanyakan pengungsi bingun bagaimana nasib mereka ke depannya. Setelah masa tanggap darurat dan bantuan-bantuan tidak datang lagi, mereka tidak tahu apakah bisa lebih cepat mandiri. Apalagi, rumah mereka telah hancur.

"Ada satu orang bilang, dia kerja lima tahun di Malaysia untuk bangun rumah, dan hanya beberapa menit hilang semua," cerita Suhud.

photo
Sejumlah anggota Basarnas berusaha mengevakuasi jenazah korban yang meninggal akibat tertimbun reruntuhan Masjid Jabal Nur yang rusak akibat gempa bumi di Tanjung, Lombok Utara, NTB, Selasa (7/8).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement