Mengurangi Emisi Karbon Dengan Menggalakkan Energi Terbarukan

Kolom

Mengurangi Emisi Karbon Dengan Menggalakkan Energi Terbarukan

Urip Yustono - detikNews
Rabu, 03 Nov 2021 18:35 WIB
Pecahkan Rekor, Emisi Karbon Global Turun 7 Persen di Masa Pandemi
Foto: DW (News)
Jakarta -

Rumah kaca, emisi karbon dioksida, pemanasan global, dan perubahan iklim merupakan kosakata yang sering kita dengarkan dan baca, baik di media TV, media online, maupun media cetak. Kita boleh jadi sudah merasa jenuh mendengarnya. Mungkin bukan karena kita tidak tahu maknanya, tetapi karena kita sebagai individu merasa tidak memiliki kewajiban atau merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi sehingga tidak peduli terhadap isu-isu tersebut. Seakan urusan pemanasan global hanya menjadi urusan negara-negara maju.

Mencairnya gunung-gunung es di Antartika dan Greenland seakan bukan urusan negara tropis seperti Indonesia. Mungkin banyak orang beranggapan biarkanlah urusan emisi karbon dioksida atau pemanasan global menjadi urusan pemerintah karena sebagai individu merasa tidak bisa berbuat banyak. Padahal, dampaknya sudah kita rasakan sehari-hari.

Seandainya setiap orang di dunia bersikap cuek terhadap pemanasan global, bayangkan akibatnya. Bencana dalam skala global akan lebih cepat datangnya. Jika setiap orang memiliki kesadaran tinggi terhadap efek pemanasan global dan melakukan tindakan-tindakan konkret, maka akan memberikan dampak yang signifikan untuk mencegah atau sekurang-kurangnya meminimalisir terjadinya pemanasan global.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ancaman Karbon Dioksida dan Sampah

Emisi karbon dioksida yang ditimbulkan oleh penggunaan energi bahan bakar minyak dan batubara merupakan salah satu biang keladi timbulnya pemanasan global. Emisi karbon dioksida (CO2) dan bahan pengotor lain (polutan) berkumpul di atmosfer dan menyerap sinar dan radiasi matahari yang telah memantul dari permukaan bumi.

ADVERTISEMENT

Dalam keadaan normal, radiasi tersebut akan terlepas ke ruang angkasa. Namun, akibat adanya kotoran-kotoran yang bisa bertahan di atmosfer bertahun-tahun bahkan berabad-abad, membuat radiasi sinar matahari terperangkap di atmosfer dan membuat suhu bumi menjadi panas. Kotoran-kotoran di atmosfer itu terdiri dari, karbon dioksida, metana, nitrogen oksida (N2O), dan gas-gas fluor sintetik- dikenal sebagai gas-gas rumah kaca, dan efeknya disebut 'efek rumah kaca'.

Menurut data di Amerika Serikat, sumber penyebab terjadinya gas rumah kaca utamanya adalah transportasi (29%), diikuti dengan produksi listrik (28%) dan kegiatan industri (22%). Indonesia disebut sebagai salah satu dari 10 negara yang memproduksi gas emisi terbesar di dunia sehingga turut berkontribusi terhadap pemanasan global. Penyebabnya antara lain, penggundulan hutan, polusi transportasi, konsumsi energi, dan penumpukan dan pembakaran sampah.

Persoalan sampah juga jangan dianggap remeh. Sampah bukan urusan kecil yang hanya diserahkan ke tukang pembuang sampah, tetapi sesuatu yang harus dikelola secara serius oleh pemerintah. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah terbesar di dunia. Data tahun 2020, Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah. Sekitar 50 persen sampai 70 persen dari sampah tersebut adalah sampah organik. Sebanyak 76 persen rumah tangga di Indonesia tidak memisahkan sampah organik dan non organik. Semua sampah yang terurai dan menghasilkan gas metana.

Metana diketahui 20 kali lebih efisien dalam menghalau radiasi di atmosfer bumi. Banyak yang melakukan pembakaran sampah organik dan plastik, untuk mempermudah pengelolaan sampah. Padahal akibatnya serius. Pembakaran sampah organik dan sampah plastik menghasilkan gas beracun dan mampu meningkatkan efek rumah kaca.

Bencana Akibat Pemanasan Global

Pemanasan global telah menimbulkan bencana yang semakin meningkat. Mencairnya gunung-gunung es Antartika dan Greenland telah berdampak pada kenaikan muka air laut di seluruh dunia. Di Indonesia, mulai terlihat dampaknya, beberapa daerah di pantai utara Jawa ada yang mulai tenggelam. Bahkan, tidak kurang Presiden AS Joe Biden meramalkan Jakarta akan tenggelam 10 tahun lagi. Tidak hanya Jakarta yang tenggelam, tetapi ada sekitar 112 kota di Jawa bagian utara juga berpotensi tenggelam.

Pemanasan global juga menimbulkan perubahan iklim yang ekstrim. Para ahli menyebutkan pemanasan global telah menjadi penyebab terjadinya kekeringan, hujan lebat, dan badai yang hebat. Kekeringan panjang dan kekurangan air di California, terburuk sejak 1200 tahun, diperburuk oleh pemanasan global 14-20 persen.

Pasti kita tidak bisa diam begitu saja, menyerahkan keadaan pada takdir. Sebagai manusia yang dianugerahi Tuhan akal, maka kita wajib melakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya bencana global akibat efek rumah kaca dan naiknya suhu bumi tersebut. Secara umum ada 10 bencana yang ditimbulkan oleh pemanasan global, yaitu melelehnya es di kutub, meningkatnya permukaan air laut, terjadinya gelombang panas, rusaknya ekosistem laut, semakin sering terjadinya banjir, kondisi kesehatan tubuh yang menurun, punahnya hewan di bumi, dan terjadinya pergeseran cuaca.

MenggalakKan Penggunaan Energi Terbarukan

Menurut data PLN, kapasitas terpasang tenaga listrik tahun 2020 sebesar 63,3 GW, sebagian besar masih didominasi oleh energi berbasis minyak bumi dan batubara. Jadi, wajar jika Indonesia masih memberikan sumbangan besar terhadap efek rumah kaca. Keinginan politik pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan sebenarnya sudah tergambarkan dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, yang menargetkan penggunaan porsi energi terbarukan lebih besar lagi. Hal itu perlu terus didorong, khususnya sektor swasta perlu diberikan insentif atau subsidi sehingga bersedia untuk melakukan investasi pengembangan energi terbarukan, seperti energi panas bumi, energi surya maupun energi angin.

Aturan tentang perdagangan karbon (carbon trade) sudah waktunya diberlakukan, di mana penghasil gas karbon dioksida terbesar perlu memberikan subsidi bagi kelompok masyarakat yang sedikit menghasilkan karbon dioksida. Hal ini bisa memberikan disinsentif terhadap penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan, sekaligus mendorong penggunaan energi yang terbarukan lebih intensif lagi.

Potensi Besar tapi Belum Dimanfaatkan Secara Optimal

Penganekaragaman energi, khususnya peningkatan penggunaan energi terbarukan di samping bertujuan untuk meminimalisir terjadinya efek gas rumah kaca, juga untuk menciptakan ketahanan energi dan ekonomi Indonesia. Indonesia bukan lagi pengekspor minyak bumi, tetapi sudah menjadi net-importer minyak bumi, karena produksi minyak bumi nasional tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Konsumsi minyak meningkat tajam sementara produksi menurun. Data tahun 2018, konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,8 juta barel per hari, sementara produksi minyak hanya 808.483,39 barel per hari. Kalau tidak ditemukan sumber energi alternatif, maka meningkatnya konsumsi minyak nasional di satu sisi dan menurunnya produksi minyak nasional, di sisi lain akan menggerogoti APBN. Sebagai gambaran pada APBN tahun 1990 kontribusi minyak dan gas sebesar 40%, sekarang hanya sekitar 13%.

Penggunaan energi terbarukan menjanjikan energi bersih di masa depan. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari alam yang dapat diisi kembali secara tetap. Misalnya, energi surya, energi angin, pembangkit listrik tenaga air, panas bumi (geothermal), dan energi pasang surut permukaan air laut. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi Baru Terbarukan (EBT) cukup besar antara lain, mini/mikro hydro sebesar 450 MW, biomassa 50 GW, energi surya 4,80 kWh/m2/hari, energi angin 3-6 m/detik dan energi nuklir 3 GW. Dalam bauran energi primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17 % dengan komposisi bahan bakar nabati sebesar 5%, panas bumi 5%, biomassa, nuklir, air, surya, dan angin 5%, batu bara yang dicairkan sebesar 2%.

Khusus untuk energi panas bumi, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai gambaran, potensi energi panas bumi di Indonesia sekitar 23,9 GW, namun pemanfaatannya baru sekitar 8%. Menurut data Badan Energi Internasional (IEA ), emisi CO2 panas bumi hanya sekitar 75 gr/kWh, sementara emisi CO2 BBM sekitar 772 gram/kWh dan 995 gram/kWh untuk PLT Batubara. Pemanfaatan panas bumi juga tidak tergantung seperti pembangkit energi seperti pembangkit energi fosil, yang kecenderungannya harga tidak stabil dan mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Pembangkit panas bumi dapat pula dioperasikan sampai 95% dari kapasitas terpasang dengan waktu operasi yang dapat mencapai lebih dari 30 tahun

Pengalaman penulis melakukan studi banding ke New Zealand (2012), penggunaan energi panas bumi sudah cukup masif di sana. Bukan hanya untuk sumber panas bumi yang bersuhu tinggi, juga panas bumi yang bersuhu sedang. Dalam kunjungan ke PLTP Wairakei, yang merupakan PLTP tertua kedua di dunia, telah dikembangkan suatu teknologi 'binary plant' untuk memanfaatkan uap bersuhu sedang, sekitar 127 derajat Celcius, dapat menghasilkan energi listrik dengan kapasitas 14 MW bagi kebutuhan rumah tangga. Di samping itu, air buangan dari limbah PLTP di New Zealand juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan suhu kolam untuk budidaya udang, yang diimpor dari Malaysia. Restoran Huka Prawn Park, yang letaknya tidak jauh dari sebuah PLTP, menyediakan menu masakan udang yang biasa hidup di daerah tropis.

Tentu kita masih perlu banyak belajar dari New Zealand yang sudah memanfaatkan energi PLTP secara signifikan, yaitu 15% dari total pembangkit listrik. Sementara Indonesia yang memiliki cadangan energi panas bumi terbesar di dunia, atau sekitar 40 % dari cadang dunia, baru memberikan kontribusi 4% dari pembangkit listrik nasional. Kita perlu belajar bukan hanya aspek teknologinya, tetapi juga bagaimana proses bisnisnya sehingga sektor swasta tertarik untuk melakukan investasi. Sektor swasta perlu diberikan insentif dalam penentuan harga jual ke PLN dan dari aspek perpajakan sehingga PLTP menjadi layak secara bisnis.

Sudah Mendesak

Penggalakkan penggunaan energi terbarukan sudah merupakan kebutuhan mendesak. Pertama, untuk menekan emisi karbon dioksida yang menjadi penyebab utama pemanasan global. Seluruh negara di dunia hendaknya memberikan komitmen terhadap Kerangka Kerja Sama Perubahan Iklim PBB, untuk mengawali pengurangan emisi karbon dioksida efektif berlaku tahun 2020. Hal itu dituangkan dalam Persetujuan Paris 2015 (2015 Paris Agreement). Kedua, untuk menciptakan keanekaragaman energi dalam rangka ketahan energi nasional, karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.

Pemerintah perlu terus mendorong penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Sektor swasta perlu diberikan insentif yang memadai agar bisa berkontribusi mengembangkan energi terbarukan. Potensi energi terbarukan yang sangat besar di Indonesia, seperti panas bumi, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), energi angin, energi surya, dan biomassa, perlu terus didorong pemanfaatannya agar dapat memberikan kontribusi lebih besar lagi dalam bauran energi nasional, yang pada gilirannya akan dapat mengurangi emisi karbon dioksida secara signifikan. Kampanye tentang penggunaan energi terbarukan untuk pengurangan emisi karbon dioksida perlu terus digalakkan. Setiap individu bisa berperan dalam pengurangan karbon dioksida. Pemerintah tentu yang paling bertanggung jawab, karena memiliki otoritas dan sumber pendanaan yang besar.

Seperti dikatakan Mahatma Gandhi, 'bumi ini cukup menyediakan untuk kebutuhan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan manusia'. Untuk mengatasi efek pemanasan global diperlukan kearifan, dari mulai individu hingga pemerintahan, dari negara miskin hingga negara maju, karena semuanya memiliki tanggung jawab yang sama.

Kita hidup selama ini pada hakikatnya telah meminjam dunia dari anak cucu kita. Kita bukan hendak mewariskan dunia ke anak cucu kita. Tetapi kita sebagaimana layaknya orang yang meminjam, memiliki kewajiban untuk mengembalikan dunia ke anak cucu nanti dalam kondisi nyaman untuk dihuni, bukan dunia yang rusak oleh ketamakan kita.

Urip Yustono, Juara Favorit Karya Tulis PUPR Kategori Umum

(prf/ega)