Sejarah Yogyakarta, Perjanjian Giyanti hingga Reformasi

Sejarah Yogyakarta, Perjanjian Giyanti hingga Reformasi

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 03 Des 2021 13:25 WIB
Proses penataan kawasan Tugu Pal Putih, Yogyakarta, telah rampung dilakukan. Kawasan itu kini kian setelah bebas dari kabel melintang. Berikut potretnya.
Tugu Yogyakarta. (Foto: Pius Erlangga/detikcom)
Yogyakarta -

Kota Yogyakarta terus bergeliat bangkit melalui ujian bernama Corona. Menengok ke belakang, sejarah Yogyakarta terurai dari perjuangan leluhur yang panjang.

Berdasarkan situs resmi Pemerintah Kota Yogyakarta, berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian itu ditandatangani Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mosse sebagai perwakilan pemerintah kolonial Belanda.

Perjanjian Giyanti

Isi Perjanjian Giyanti yakni sebagai berikut:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

- Negara Mataram dibagi dua. Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi.
- Pangeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa.

Dalam website Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta diuraikan bahwa setelah perjanjian Giyanti, maka Pangeran Mangkubumi mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi lalu menjadi raja dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

ADVERTISEMENT

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Yogyakarta Jadi Ibu Kota

Sedangkan ibu kota yang ditetapkan yakni Ngayogyakarta (Yogyakarta). Tempat yang dipilih menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan ini ialah hutan yang disebut Beringin. Saat itu telah ada desa kecil bernama Pachetokan dan telah ada pesanggrahan bernama Garjitowati yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya.

Setelah penetapan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono I segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tersebut untuk didirikan Keraton pada tahun 1755. Kota Yogyakarta juga mulai dibangun pada tahun tersebut.

Sebelum Keraton jadi, Sultan Hamengku Buwono I menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang saat itu jua tengah dikerjakan. Secara resmi Sultan HB I menempati pesanggrahan itu pada 9 Oktober 1755 dan dari sanalah Sultan mengawasi pembangunan keraton.

Pembangunan Kota Yogyakarta

Hingga akhirnya setahun kemudian Sri Sultan HB I pindah ke keraton dan wilayah kekuasan menjadi resmi bernama Negari Ngayogyakarta Hadinigrat. Peresmian keraton itu berlangsung pada 7 Oktober 1756.

Sedangkan pembangunan Yogyakarta yang dibangun yakni di suatu kawasan di antara Sungai Winongo dan Sungai Code. Lokasi tersebut dinilai strategis dari sisi pertanahan dan keamanan.

Hingga akhirnya pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dari Presiden RI. Selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan B IX mengeluarkan amanat yang menyatakan daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut Pasal 18 UUD 1945.

Sri Sultan HB IX kemudian mengeluarkan amanat kedua pada 30 Oktober 1945 yang menyatakan pelaksanaan pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan dilakukan oleh Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.

Meskipun kala itu Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom. Sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan masih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Yogyakarta, Kasultanan dan Pakualaman

Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I. Di pasal itu dinyatakan Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakarta.

Untuk melaksanakan otonomi tersebut Wali Kota pertama Yogyakarta saat itu Ir Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya...