Penelitian: Belanda Biarkan Kekerasan Ekstrem Saat Perang Kemerdekaan RI

Penelitian: Belanda Biarkan Kekerasan Ekstrem Saat Perang Kemerdekaan RI

BBC Indonesia - detikNews
Kamis, 17 Feb 2022 17:24 WIB
Amsterdam -

Kesimpulan riset sepanjang empat tahun yang dilakukan oleh tiga lembaga penelitian Belanda berjudul "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950" mengatakan ada pembiaran terjadinya kekerasan ekstrem di masa itu. Bagaimana pemerintah kedua negara menyikapi hasil riset?

Dalam kesimpulannya, penelitian ini menemukan bahwa militer Belanda terlibat dalam "penggunaan kekerasan ekstrem yang sistemik dan meluas" selama 1945-1949, dan pemerintah Belanda pada saat itu melakukan pembiaran.

Masa di antara deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945 dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda pada 1949 itu adalah salah satu periode yang dilihat dengan cara pandang paling berbeda oleh kedua negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penelitian oleh Institut Belanda untuk Studi Perang, Holokos dan Genosida (NIOD), Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) dan Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), dan Institut Belanda untuk Studi Perang itu sedianya diluncurkan hari ini, Kamis (17/02).

Namun sehari sebelum jadwal rilis, salah satu bagian dari hasil penelitian bocor ke media sehingga tim peneliti memutuskan untuk mempublikasikan seluruh hasil riset tersebut. Acara peluncuran tetap dilangsungkan sesuai jadwal, dan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte akan memberikan responsnya usai acara.

ADVERTISEMENT

Baca juga:

'Pemerintah Belanda tidak mengindahkan batasan-batasan etis'

Dalam siaran pers yang dikirimkan kepada media, penelitian itu "menyanggah pandangan resmi yang dipegang teguh pemerintah Belanda sejak 1969."

Berikut adalah kesimpulan hasil penelitian itu secara lengkap:

Program penelitian ini menyanggah pandangan resmi yang dipegang teguh pemerintah sejak tahun 1969.

Meskipun jumlah angka kejahatan perang dan korban yang diakibatkannya tidak dapat diketahui secara akurat, akan tetapi, dari beberapa sumber penelitian, dapat dipastikan bahwa kekerasan ekstrem militer Belanda dilakukan secara meluas dan penuh dengan kesengajaan.

Kekerasan tersebut pun mendapat pembiaran baik dari segi hukum, militer, dan yudisial.

Dalih pembiaran tersebut adalah niat dan upaya pemerintah Belanda lewat pelbagai cara untuk memusnahkan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Dalam upayanya tersebut, Pemerintah Belanda secara sengaja tidak mengindahkan batasan-batasan etis yang kala itu berlaku.

Lalu, Belanda memerangkap diri dalam sebuah perang yang takkan mungkin dimenangkannya dan ketika semakin hilang asa, Belanda menjadi semakin beringas.

Di sisi lain, pihak Indonesia melawan lewat peperangan gerilya. Kedua pihak akhirnya akrab dengan kekerasan ekstrem.

Kekerasan ekstrem dari pihak Indonesia di awal periode Revolusi Nasional, yang di Belanda dikenal dengan sebutan Bersiap, menyasar di antaranya orang keturunan Belanda dan Maluku dan berkelindan dalam dinamika kekerasan pada waktu itu.

Namun, kekerasan dari pihak Indonesia tersebut bukanlah alasan sesungguhnya di balik upaya militer Belanda untuk menduduki kembali Indonesia.

Selama perang berlangsung, militer Belanda tak henti melakukan kekerasan ekstrem secara struktural, mulai dari eksekusi ekstrayudisial, penyerangan dan penyiksaan, penahanan dalam kondisi yang tak manusiawi, pembakaran rumah dan kampung-kampung, penjarahan dan perusakan barang berharga dan makanan milik penduduk, serangan-serangan udara dan pengeboman yang terus menerus, serta penangkapan secara acak dan massal dan pemenjaraan.

Benar bahwa angkatan bersenjata Belanda adalah lembaga yang secara langsung melancarkan pelbagai jenis kekerasan, terutama kekerasan ekstrem.

Akan tetapi, tindakan mereka tersebut bukan tanpa konsultasi dan persetujuan dari Pemerintah Belanda. Para politisi Belanda beserta para pendukungnya sama sekali tidak hirau akan kekerasan ekstrem militer Belanda di Indonesia dan bahkan menolak untuk turut bertanggung jawab.

Sikap para politisi tersebut dimungkinkan karena adanya dukungan penuh dari sebagian besar masyarakat Belanda atas peperangan yang mereka lancarkan di Indonesia.

Selain itu, tidak banyak tentangan kritis terhadap mereka, termasuk dari media. Syahdan, jarak geografis, dan juga mental, turut menguatkan keadaan. Terang sudah bahwa mereka menerapkan standar yang jelas-jelas berbeda terhadap koloni dan 'subjek-subjek' kolonialnya.

Penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar pihak yang bertanggung jawab di Belanda, yakni para politisi, perwira militer, pegawai pemerintah, hakim pengadilan, dan pihak terkait lainnya, sesungguhnya tahu akan kekerasan ekstrem tersebut, namun secara bersama-sama bersepakat untuk memaklumi, memberi pembenaran, menutup-nutupi, atau bahkan melakukan pembiaran.

Hampir di semua tingkatan ditemukan indikasi adanya pengesampingan yang disengaja atas aturan-aturan yang berlaku dan juga atas rasa keadilan.

Nafi dan pengingkaran Belanda atas dukungan luas rakyat Indonesia terhadap kemerdekaannya berakar pada mentalitas kolonial.

Para politisi, serdadu, dan pegawai pemerintah Belanda baik di Indonesia dan di negeri Belanda merasa angkuh akan superioritas mereka.

Dalam upaya Belanda untuk mengejar kendali atas Indonesia, Belanda sesungguhnya terdorong oleh motif ekonomi dan geopolitik, serta oleh perasaan bahwa keberadaan mereka di 'Timur' amatlah diperlukan.

Sikap semacam ini akhirnya menggiring mereka kepada kekeliruan dalam menilai dan mempertimbangkan, baik dari segi militer atau politik. Sebagai akibatnya, Belanda pun menjadi diasingkan di panggung internasional.

Penyerahan kedaulatan secara resmi yang dilakukan pada tanggal 27 Desember 1949 sejatinya terdorong oleh tekanan internasional yang teramat kuat dan kesadaran diri bahwa perang di Indonesia tak mungkin lagi dimenangkan.

Akan tetapi, selepas itu, Den Haag tetap berupaya keras agar perang di Indonesia dan pertanyaan-pertanyaan tentang kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda tidak bergerak liar di arena politik.

Hal ini guna menutupi kegagalan mereka sekaligus menyelamatkan reputasi para veteran Indis, keturunan Belanda, dan Maluku. Den Haag pun diuntungkan oleh sikap Indonesia yang tidak bersikeras melakukan penelitian atas hal tersebut.

Namun, kini terjadi perubahan.

Perlu waktu yang cukup lama sampai akhirnya terbuka sebuah ruang di masyarakat Belanda untuk menengok kembali secara kritis apa yang telah dilakukan Belanda di Indonesia pada periode tersebut, yang betul-betul bertolak belakang dengan citra baik yang selama ini dilekatkan pada bangsa Belanda.

Artikel ini masih akan diperbarui.

(nvc/nvc)