My Year @VOA — Lebaran dan Geliat Komunitas Muslim di Amerika

Lebaran dan Geliat Komunitas Muslim di Amerika

Ini adalah kali pertama saya menjalankan Ramadan dan Lebaran di AS, saat musim panas pula. Bayangkan, cuaca panas hampir 100 F serta hari panjang 16,5 jam lebih!

Hal lain yang saya sadari adalah Ramadan di AS sepi. Di sini tidak banyak masjid sehingga untuk tarawih harus pergi jauh, tidak ada musik Islami diputar di pusat-pusat perbelanjaan, tidak ada anak kecil bermain petasan. Ini membuat sedikit ruang dalam benak merasa rindu suasana tanah air.

Selama Ramadan, saya ikut memproduksi TV magazine “Dunia Kita” edisi Ramadan. Bersama mbak Anne, mas Supri, dan Ginnie, saya berkeliling ke pusat komunitas Islam di Washington DC dan juga ke Philadelphia. Mulai dari Diyanet Center, ADAMS Center, The Islamic Place, sampai Darul Hijrah.

image

Gambar 1: Dunia Kita Diyanet Center (episode pertama buat saya!)

Saya melihat bahwa komunitas Islam di Amerika berusaha dengan sungguh (kalau tidak dibilang keras) untuk memperkenalkan agamanya. Darul Hijrah misalnya memiliki program food bank atau sembako gratis bagi warga setempat yang biasanya bukan muslim. ADAMS Center aktif mengundang politisi lokal berbicara di masjidnya agar mengenal Islam. Satu hal yang kentara: kerjasama lintas-iman tidak hanya formalitas melainkan esensial.

Di bawah bendera Amerika, komunitas lintas-iman saling berpegangan tangan. Pemandangan yang membuat saya terharu.

Solidaritas sosial bisa dilihat dari peristiwa dibunuhnya remaja muslim Nabra Hasannen di sekitar ADAMS Center Juni lalu. Merespon peristiwa itu, ratusan orang dari berbagai agama dan latar belakang datang untuk menghormati korban dan menunjukkan dukungan terhadap komunitas muslim (yang hanya 1% populasi AS). Di bawah bendera Amerika, komunitas lintas-iman saling berpegangan tangan. Pemandangan yang membuat saya terharu.

Opor Ayam Tiga Kali Biar Afdol!

Pembunuhan Nabra hanya sepekan jelang Idul Fitri, namun itu tidak menyurutkan antuasiasme warga muslim merayakan hari kemenangan. Komunitas Islam di Amerika datang dari berbagai bangsa – termasuk Indonesia – dan mereka membawa tradisi Ramadan masing-masing. Buat orang Indonesia, lebaran adalah sambal goreng kentang dan opor ayam!

Saya terkejut ketika diundang mbak Rinni untuk makan opor di apartemennya. “Sunnah Idul Fitri no 4,” katanya. Maka pagi itu saya menikmati masakan mbak Rinni sambil bersiap liputan. Makan yang banyak biar kuat!

image

Gambar 2: Opor mbak Rinni (Pic: Virginia Gunawan)

Kenyang dan gembira, saya, mas Supri, Ginnie, dan mbak Rinni meluncur ke Gaithersburg, Maryland, 30 menit naik mobil dari Washington DC. Di situ, diaspora Indonesia melakukan Sholat Ied di sebuah aula olahraga. Suasana Indonesia sangat terasa dengan bedug dan juga keakraban yang khas.

Namun tugas lain sudah menanti: halal bi halal di Rockville dan Wisma Indonesia. Maka kami meluncur ke tempat mbak Mei, asal Jawa Timur, yang membuka rumahnya untuk silaturahmi Ramadan. Di sini, banyak juga jajanan khas Lebaran bahkan ada serabi manis! Yum! Tapi, sebagai ritual wajib, kami makan opor lagi untuk kedua kali. Lanjut meluncur ke kediaman resmi Dubes RI untuk AS di Tilden, salam-salam ke sejumlah kenalan, syuting, lalu makan opor lagi!

image

Gambar 3: Tim Idul FItri (Pic: Virginia Gunawan)

Opor dan sambal goreng kentang terasa makin istimewa. Silaturahmi yang hangat merekatkan seluruh orang yang datang sebagai saudara sebangsa. Semuanya membangkitkan keakraban Hari Raya meski jauh dari Indonesia. Selamat Idul Fitri dari Amerika!


Rio Tuasikal

rtuasikal@voanews.com

@riotuasikal