Tawuran Pelajar, “Budaya” Baru yang Mengakar

Tawuran Pelajar, “Budaya” Baru yang Mengakar

Penulis: Chusnatul Jannah

Muslimah News, OPINI — Tawuran antarpelajar sepertinya menjadi “budaya” baru bagi remaja di negeri ini. Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang tawuran pelajar yang tidak kunjung kelar.

Fenomena tawuran pelajar terjadi di banyak tempat. Berita seputar remaja selalu berkutat pada persoalan kerusakan moral, seperti pergaulan bebas, kekerasan seksual, dan tawuran. Mengapa tawuran pelajar seakan menjadi “tradisi” yang mengakar di dunia pendidikan?

Berulang

Kasus tawuran antarpelajar selalu menjadi peristiwa berulang yang berkepanjangan. Terbaru, aksi tawuran antara dua kelompok pelajar di Flyover Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Senin (31/10/2022) malam.

Hari berikutnya, tawuran antarpelajar SMK terjadi di Balaraja, Kabupaten Tangerang. Dalam peristiwa itu, tiga orang pelajar mengalami luka-luka akibat sabetan senjata tajam. Selanjutnya, pada Rabu (02/11/2022), polisi mengamankan 37 pelajar yang diduga akan melakukan tawuran di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Masih pada hari yang sama, di Bekasi, Jawa Barat, warga berhasil meringkus puluhan pelajar bersenjata tajam yang diduga hendak melakukan tawuran. Di Sulawesi Selatan, seorang polisi dikeroyok sejumlah pelajar SMA saat membubarkan aksi tawuran.

Oktober juga menjadi “bulan tawuran pelajar”. Polisi mengamankan pelajar berinisial RAD di Ciampea, Bogor, akibat terlibat tawuran dengan membawa senjata tajam. Di Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, polisi mengamankan 11 pelajar terkait tawuran maut antargeng yang menewaskan satu orang.

Di tempat berbeda, Pemkot Surabaya bersama Polres Tanjung Perak masih menelusuri pelaku tawuran di jembatan Surabaya. Tawuran tersebut berujung maut karena seorang remaja meninggal dunia dalam kejadian tersebut.

Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang Januari—Juni 2022, sejumlah kekerasan pelajar terjadi di beberapa tempat. Berdasarkan catatan KPAI, kekerasan pelajar ada dua jenis, yaitu pengeroyokan dan tawuran. Pengeroyokan biasanya terjadi pemukulan dengan tangan kosong oleh sekelompok pelajar menyasar satu korban yang mana kedua belah pihak saling mengenal. Sementara itu, tawuran pelajar umumnya terjadi antara sekelompok anak sekolah menghadapi sekelompok anak sekolah lainnya dan mereka kerap membawa senjata tajam.

Tercatat, sejumlah daerah yang sering pecah melakukan tawuran pelajar adalah di Kabupaten Pati (Jawa Tengah), Jakarta Timur (DKI Jakarta), Kota Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat), Kabupaten Tangerang (Banten), Sumbawa (NTB), dan Soppeng (Sulawesi Selatan). Sedangkan empat kasus pengeroyokan terbanyak terjadi di Kota Cimahi (Jawa Barat), Kota Semarang (Jawa Tengah), Jakarta Selatan (DKI Jakarta) dan Kota Kotamobagu (Sulawesi Utara). Bahkan, kasus di Kotamobagu mengakibatkan korban meninggal dunia. (Grid[dot]id, 23/06/2022)

Ini hanya sekelumit fakta tawuran yang sudah cukup membuat kita resah dengan nasib generasi hari ini. Dunia remaja yang seharusnya menatap masa depan dengan penuh percaya diri dan optimisme tinggi justru di ambang kehancuran lantaran lebih dekat dengan aksi kekerasan, senjata tajam, hingga kematian. Ada apa dengan remaja kita? Mengapa karakter mereka begitu rapuh dan lemah?

Penyebab

Dari pemaparan fakta di atas, faktor pemicu tawuran pelajar disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari diri remaja berupa faktor-faktor psikologis sebagai manifestasi dari kondisi internal remaja dalam menanggapi nilai-nilai di sekitarnya.

Faktor internal antara lain sebagai berikut:

Pertama, krisis identitas. Sudah jamak kita ketahui, remaja seperti kehilangan arah dan jati dirinya sebagai hamba Allah Taala. Sistem sekulerlah yang mengikis identitas tersebut . Remaja menjelma menjadi pribadi yang sekadar mengikuti tren dan budaya yang berkebalikan dengan ajaran Islam.

Kebanyakan remaja tidak begitu mengenal agamanya sendiri sehingga penafsirannya tentang kehidupan sekadar hanya untuk having fun, bergaya hidup hedonis liberal, dan cenderung menabrak halal-haram demi meraih kepuasan materi.

Setiap remaja pasti ingin mengaktualisasi dirinya di tengah masyarakat agar keberadaannya diakui. Eksistensi diri seperti ini jika tidak diarahkan pada pemikiran yang benar jelas akan menghilangkan hakikat identitas dirinya sebagai generasi Islam dan hamba yang wajib taat dan terikat dengan aturan Islam.

Kedua, kontrol diri yang lemah. Pengaruh sistem sekuler sangat berdampak pada keimanan dan ketakwaan para remaja. Akidah sekuler telah menghilangkan peran remaja sebagai pelaku perubahan. Mereka justru menjadi pelaku maksiat dan kriminal.

Jiwa mereka tereduksi pemikiran sekuler liberal. Batinnya kering dan kosong dari keimanan dan nilai-nilai Islam. Jadilah mereka generasi yang mudah frustrasi, galau, bingung, emosi labil, cenderung meledak-ledak, merasa insecure, dan nirempati. Saat masalah menghinggapi, solusi sumbu pendek dilakukan, seperti tawuran, pengeroyokan, bunuh diri, bahkan pembunuhan.

Adapun faktor eksternal yang menyebabkan remaja terlibat tawuran ialah lingkungan sosial tempat mereka tumbuh dan berkembang, terdiri dari tiga aspek, yaitu pertama, keluarga adalah tempat pendidikan pertama bagi remaja sejak usia dini hingga dewasa. Baik buruknya pendidikan akan berpengaruh pada kepribadian anak.

Orang tua mestinya memberi bekal pemahaman Islam kepada anak agar ia terbiasa beramal dan berperilaku sesuai syariat Islam. Orang tua harus menanamkan akidah Islam sejak dini agar terbentuk dalam diri anak keimanan dan ketaatannya kepada Allah Taala.

Kedua, sekolah dan masyarakat. Kehidupan remaja tidak akan terpisah dari dua lingkungan sosial ini. Sekolah menjadi tempat mereka menuntut ilmu, masyarakat menjadi tempat mereka mengembangkan diri.

Siklus pertemanan biasanya muncul dari sekolah dan masyarakat. Teman inilah yang memberi dampak lebih besar terhadap perilaku remaja. Kasus tawuran pelajar biasanya terjadi karena rivalitas antarsekolah, pengaruh gengsi, dan tekanan teman sebaya.

Ada anggapan di kalangan pelajar, “Enggak ikut tawuran itu pecundang. Enggak mau ambil risiko tawuran namanya cemen dan tidak gentlemen.” Anggapan inilah yang mendorong para pelajar melakukan aksi tawuran berkelompok atau terbentuk geng-geng di sekolah sebagai ajang gagah-gagahan dan bertahan diri agar tidak di-bully.

Ketiga, negara. Lingkungan baik bagi remaja tidak akan terwujud jika negara tidak mengambil peran sentralnya, yaitu sebagai penjaga dan pelindung generasi dari pengaruh budaya dan pemikiran asing yang merusak moral generasi.

Peran penting yang dimaksud ialah negara wajib menciptakan suasana takwa pada setiap individu rakyat. Negara menerapkan kurikulum dan sistem pendidikan Islam secara menyeluruh.

Negara berkewajiban melindungi generasi dari paparan ideologi kapitalisme sekuler yang merusak kepribadian mereka. Negara juga wajib menyaring tontonan dan tayangan tidak mendidik yang mengajarkan budaya dan nilai liberal.

Khatimah

Untuk mewujudkan generasi takwa dan antitawuran, haruslah dilakukan secara komprehensif dengan menerapkan sistem kehidupan Islam secara kafah. Penerapan sistem pendidikan Islam harus terlaksana secara tersadar, terstruktur, dan tersistem dengan memadukan tiga peran pokok pembentukan kepribadian generasi, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara.

Tujuan pendidikan Islam adalah menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi. Dengan Islam, identitas remaja tidak akan terombang-ambing dan mudah terbawa arus. Mereka mampu menjadi generasi umat terbaik yang mengisi waktunya untuk menuntut ilmu, belajar Islam, dan memberi kemaslahatan bagi umat dan negara.

Bukankah harapan dan cita-cita kita semua demikian? Pemuda bertakwa, penuntut ilmu, aktivis dakwah, dan pelopor kebangkitan peradaban Islam. Dalam asuhan sistem Islam, remaja mampu menjadi teladan bagi umat abad ini. Insyaallah. [MNews/Gz]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *