Tawuran Pelajar dari Perspektif Psikologi Sosial

Fenomena tawuran antar pelajar di Indonesia sudah tidak asing lagi. Sebab, hal tersebut sudah sering terjadi bahkan jika dilihat dari media baik itu online maupun media cetak sudah sering memberikan informasi terkait dengan peristiwa tawuran antar pelajar. Tawuran pelajar yang terjadi karena mereka awalnya rata-rata karena permasalah sepele dan masih tingginya rasa gengsi pada pelajar. Sehingga mereka masih mencari jati dirinya agar mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar.

Peristiwa tawuran pelajar terjadi karena beberapa faktor seperti lingkungan sebaya yang membuat pelajar memiliki perilaku tersebut dan termotivasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Lingkungan sebaya memang memiliki pengaruh besar dalam tindakan dan perilaku para pelajar yang melakukan aksi tawuran tersebut. Atas peristiwa tersebut tentunya ini menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan karena ini merupakan tindakan kekerasan yang bisa merugikan lingkungan sosial di sekitarnya. Sehingga dalam hal ini perlu pengawasan dan pola asuh yang baik pada pelajar yang sering terlibat dengan perilaku kekerasan.

Fenomena tawuran antar pelajar yang terjadi ini merupakan tindakan kekerasan karena ini bisa mengakibatkan nyawa seseorang melayang akibat tawuran. Tawuran antar pelajar merupakan tindakan kekerasan antar 2 kelompok pelajar atau lebih yang saling melakukan kekerasa satu sama lain. Selain itu, mereka juga menggunakan senjata tajam untuk melukai kelompok lawan. Tidak sedikit dari peristiwa tawuran pelajar ini merenggut nyawa seseorang.

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa adanya kasus perundungan yang mayoritasnya berbentuk tawuran pelajar di satuan pendidikan. Pada tahun 2021 paling banyak kasus tawuran antar pelajar di Indonesia diantaranya wilayah kasus-kasus yang terjadi meliputi 11 provinsi, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Banten, Kepulauan Riau, Sulawesi tenggara, Kalimantan Utara, NTT, NTB dan Sumatera Selatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Awlokita (2017) tawuran pelajar adalah sebuah bentuk konflik sosial dan merupakan tindakan kolektif. Dalam mencari latar belakang perkelahian antar pelajar tersebut juga mesti dilihat dari perilaku kelompok dan bukan individu. Berbagai pendapat umum terkait penyebab perkelahian antar pelajar seperti latar belakang siswa yang berasal dari ekonomi yang kurang mampu, sekolah kejuruan atau sekolah dengan tingkat prestasi rendah ternyata tidak tepat untuk menjawab latar belakang terjadinya perkelahian antar pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 Jakarta. Perkelahian antar pelajar SMA Negeri 6 dan SMA negeri 70 Jakarta terjadi dikarenakan faktor internal dan eksternal yaitu reproduksi nilai permusuhan yang terjadi diantara kedua sekolah, tradisi berkerumun atau nongkrong, lemahnya pengawasan orang tua Serta indikasi kepentingan bisnis untuk menguasasi sekolah.

Gejala-gajala tawuran pelajar tersebut menunjuk kepada suatu kondisi problem sosial dan psikologis pada remaja, di mana terdapat sejumlah orang yang signifikan atau sejumlah orang yang berpengaruh memandang kondisi tersebut (tawuran pelajar) sebagai tidak diinginkan atau sebagai bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada, dan menyetujui bahwa kondisi tersebut dapat dan harus dirubah.

Berdasarkan sudut pandang psikologi sosial bahwa perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja. Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam dua jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematis. Pada delikuensi stuasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.

Jenis perbuatan yang melanggar norma-norma yang dilakukan oleh para pelajar itu antara lain berupa:

Pengeroyokan dan perkelahian secara berkelompok (tawuran), dari saling pandang berkembang menjadi keributan-keributan kecil, yang biasanya tidak berlanjut terus, apabila salah satu kelompok merasa tidak dapat menyaingi kekuatan lawan. Kelompok yang merasa kalah melapor kepada temannya, dan didorong kesetiakawanan antar pelajar, mereka melakukan penyerangan balik kepada pelajar yang dianggap menantang. Pada perkembangan selanjutnya, tawuran ini tidak terbatas memanfaatkan keterampilan tangan, akan tetapi telah mempergunakan berbagai alat bantu, mulai benda yang ada di sekeliling seperti batu ataupun kayu, sampai membawa dari rumah seperti senjata tajam.

Penganiayaan terhadap sesama pelajar, penganiayaan adalah seseorang dengan sengaja menimbulkan luka-luka berat dan luka parah orang lain (Sudarsono: 1990). Dalam praktek tawuran pelajar sering terjadi kontak fisik antara pelajar yang mengakibatkan kematian, setelah terjadinya penganiayaan.

Sebagaimana diketahui bahwa pada hakekatnya remaja pelajar memiliki peran dan posisi strategis dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat potensi yang prospektif, dinamis, energik, penuh vitalitas, patriotisme dan idealisme. Hal tersebut terbukti bahwa sejak jaman Pergerakan Nasional, pemuda pelajar banyak memberikan kontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu pula masyarakat pada umumnya percaya dengan kemampuan mitos pendidikan yang dapat melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang luhur, agung, kreatif, inovatif dan konstruktif. Namun karena kondisi perkembangan psikologisnya yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka terjadi ketimpangan dan terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan seperti munculnya tawuran pelajar sebagaimana diuraikan dalam latar belakang di atas. Dari uraian di atas dapat dilihat betapa kompleksnya penyebab tawuran pelajar yang terjadi.

Perkembangan psikososial terbagi menjadi beberapa tahap. Masing-masing tahap psikososial memiliki dua komponen, yaitu komponen yang baik (yang diharapkan) dan yang tidak baik (yang tidak diharapkan). Perkembangan pada fase selanjutnya tergantung pada pemecahan masalah pada tahap masa sebelumnya. Dalam psikososial Erikson tahap perkembangan pada usia 12–18 tahun, pada tahap ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa, sehingga nampak adanya kontradiksi bahwa dilain pihak ia dianggap dewasa tetapi disisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan, Peran orangtua sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun. Sedangkan peran kelompok atau teman sebaya sangat tinggi (Erikson, 1963).

Menurut Stephen P. Robbins (2008:15) psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku individual sebagaifungsi stimulus-stimulus sosial, dimana psikologi sosial memadukan konsep dari psikologi dan sosiologi, meskipun pada umumnya dianggap sebagai dari psikologi. Sedangkan menurut Baron & Byrne (2006), psikologi sosial adalah bidang ilmu yang mencari pemahaman tentang asal mula dan penyebab terjadinya pikiran serta perilaku individu dalam situasi-situasi sosial.

Peristiwa tawuran antara pelajar dari perspektif psikologi sosial pada umumnya adalah suatu bentuk perkelahian antar siswa yang cenderung mengarah ke dalam bentuk kegiatan bersama dalam bentuk keberandalan dan kejahatan, yang biasanya dimanisfestsaikan keluar dalam bentuk perkelahian kelompok, pengeroyokan, tantangan yang provokatif, perang batu, dan perkelahian antar sekolah (Kartono, 2003). Pada umumnya siswa yang terlibat dalam perkelahian antar pelajar adalah mereka yang termasuk usia remaja. Menurut Rumini (2004), Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju ke arah kedewasaan. Kalau digolongkan sebagai anak-anak sudah tidak sesuai lagi, tetapi bila digolongkan dengan orang dewasa juga belum sesuai. Maka timbul pesan terhadap golongan remaja ini yang beragam sesuai dengan pandangan dan kepentingan masing-masing. Siswa yang terlibat perkelahian antar siswa karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1980).

Terdapat faktor penyebab perkelahian antar pelajar yang masih dalam tahap perkembangan, karena ikut-ikutan teman tanpa alasan yang jelas, adanya kelompok sebaya yang berperilaku tidak baik di mana remaja bergabung dan menjadi anggota aktif di dalamnya. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya dan menimbulkan reaksi emotional yang berkembang mendukung munculnya perilaku tawuran. Adanya solidaritas antar teman yang tinggi, dan mudah terpengaruh. Selain karena faktor ikut terpengaruh, juga karena ada perancuan tanggung jawab, ada desakan kelompok dan identitas kelompok bahkan kalau tidak ikut dianggap bukan anggota kelompok, dan ada deindividuasi atau identitas sebagai individu tidak akan dikenal (Staub dalam Kartono, 1986). Selain itu, adanya perasaan salah paham dari masing-masing siswa yang terlibat perkelahian antar siswa, karena mereka lebih mendahulukan emosi tanpa berpikir yang tenang. Siswa terlalu mudah tersingung karena bercandaan teman, padahal temannya itu hanya sebatas bercanda tetapi dia menganggapnya serius.

Jika dari perspektif psikologi sosial bahwa dampak dari tawuran pelajar meliputi kerugian di beberapa bidang, yaitu kerusakan fisik, kerugian materiil, dan terganggunya ketentraman sosial. Adanya siswa yang takut berangkat sekolah karena takut ditengah jalan ada pihak musuh yang menghadangnya. Aktivitas sekolah terganggu seperti aktivitas KBM, terganggunya ketenangan sekolah, tergangunya proses belajar mengajar karena guru harus membagi konsentrasi. Dan yang paling terpenting adalah nama sekolah tercemar akibat adanya perkelahian antar siswa.

REFERENSI

Basri, A. S. H. (2015). Fenomena tawuran antar pelajar dan intervensinya. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, 12(1), 1–25.

Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial (edisi 10). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Kartono, Kartini. 2003. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Robbins, Stephen P dan Judge, Timothy A. (2008.) Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.

--

--

Sekar Rahayu - Mahasiswi Psikologi, UNS
0 Followers

Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta