Headline

Apresiasi bagi Tim Indonesia

Hanya pemain tunggal Jonatan Christie yang sempat memperpanjang napas Indonesia setelah menaklukkan Li Shi Feng.

Fokus

Petaka di Balik Ormas Kelola Tambang

Jika wacana itu diterapkan, dikhawatirkan terjadi kekacauan dalam pengelolaan proyek pertambangan, adanya tumpang tindih pemanfaatan lahan, dan munculnya kerusakan lingkungan

Biografi KH Hasyim Asy'ari, Tokoh Pendiri NU

Sarah Tri Wulandari
19/1/2024 22:26
Biografi KH Hasyim Asy'ari, Tokoh Pendiri NU
KH Hasyim Asy'ari(nu.or.id)

DALAM sebuah perjalanan hidup yang penuh dedikasi, KH Muhammad Hasyim Asy'ari, yang dikenal sebagai Hadratussyaikh, berhasil meraih gelar pahlawan nasional. Beliau adalah pendiri dan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Lahir di Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur, pada 24 Dzulqaidah 1287 H, Hasyim merupakan putra ketiga dari KH Asy'ari, pemimpin Pesantren Keras Jombang dan Nyai Halimah. 

Dalam perjalanan ilmiahnya, Hasyim tinggal di berbagai pesantren di Jawa, menimba ilmu dari ulama terkemuka seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Setelah menunaikan ibadah haji, ia menjadi pengajar di Masjidil Haram dengan gelar Syaikhul Haram.

Baca juga: Ini Rekayasa Lalu Lintas Harlah Muslimat NU di GBK Besok

Selain ibadah dan pengajaran, KH Hasyim juga mengukir jejak sebagai penulis. Beberapa karya ilmiahnya, seperti Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah dan Al-Imam al-Ghazali wa Arauhu al-Kalamiah, mencerminkan kontribusinya dalam menyebarkan ilmu agama.

Sebagai bagian dari warisan keilmuan, Hasyim pulang ke Tanah Air dan mendirikan Pesantren Tebuireng pada 1899. Langkah ini tidak hanya menciptakan cikal bakal pesantren yang terus berkembang, tetapi juga membantu membentuk pondasi Nahdlatul Ulama sebagai kekuatan keagamaan yang memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan kemajuan.

Mendirikan NU

Kisah kehidupan KH Muhammad Hasyim Asy'ari, selain menjadi sosok ulama besar yang mahir dalam berbagai bidang ilmu, juga mencatat perjalanan luar biasa sebagai pejuang yang gigih membela agama dan bangsa. 

Baca juga: NU dalam Dekapan Kekuasaan dan Politik Pemilu 2024

Perjalanan ini mencapai puncaknya ketika beliau mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, sebuah organisasi yang tidak hanya menjaga kemurnian ajaran Islam, tetapi juga melibatkan diri dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda.

KH Hasyim tidak hanya memimpin NU, tetapi juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga pertama Republik Indonesia. Semua langkah ini dilakukan dengan mengutamakan prinsip-prinsip syariat Islam, menjadi landasan kuat bagi perjuangannya.

NU, yang awalnya didirikan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, kini telah berkembang menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dengan jutaan anggota dan ratusan ribu pengurus di seluruh Indonesia, NU menjadi kekuatan yang tidak bisa diabaikan dalam peta keberagaman agama di negeri ini.

Namun, perjuangan KH Hasyim tidak hanya dalam ranah organisasi. Pada 1948, beliau mengeluarkan fatwa jihad sebagai respons terhadap agresi militer Belanda. Fatwa ini bukan hanya sebuah seruan semangat, tetapi juga menjadi bagian dari semangat merdeka yang membara di kalangan pejuang kemerdekaan.

Berbicara tentang terbentuknya NU, tidak hanya karena inovasi, melainkan karena kondisi genting pada waktu itu. Di Timur Tengah, ancaman terhadap kelestarian Ahlussunnah wal Jama'ah muncul terkait penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki Modern. 

Di Arab Saudi, Manhaj Salaf yang menutup pintu bagi paham Sufi semakin menguat. Momentum ini mendesak beberapa ulama masyhur di Arab Saudi untuk mendukung pendirian organisasi yang dapat menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama'ah di Indonesia.

Sebelum berdirinya NU, KH Hasyim Asy'ari mendapat restu dari ulama di Arab Saudi, seperti Habib Hasyim di Pekalongan dan Syaikhona Kholil di Bangkalan. Dengan wasiat dari Syaikhona Kholil, KH Hasyim Asy'ari mendapatkan dukungan untuk mewujudkan niatnya.

Kemudian pada 1924, sebuah tongkat dikirimkan kepada KH Hasyim Asy'ari oleh Syaikhona Kholil, yang diwakili Kiai As'ad. Tongkat ini diantar dengan penuh kesucian dan disertai dengan hafalan Surat Thaha ayat 17-23. Momen ini menjadi titik awal bagi perjalanan NU yang dipimpin KH Hasyim Asy'ari.

Perjuangan KH Hasyim Asy'ari tidak hanya menciptakan organisasi besar seperti NU, tetapi juga menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Dengan semangat dan dedikasinya, beliau tidak hanya meresapi ilmu agama, tetapi juga mewariskannya kepada generasi penerus, menciptakan jejak yang abadi dalam sejarah bangsa.

Silsilah KH Hasyim Asy'ari

KH Muhammad Hasyim Asy'ari, ulama besar dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), menorehkan jejak nasab yang menghubungkannya dengan tokoh-tokoh bersejarah. Dari garis keturunan ayahnya, beliau memiliki silsilah nasab yang melibatkan Maulana Ishak hingga Imam Ja'tar Shadiq bin Muhammad Al-Bagir, menandakan akar keturunan yang dalam dalam dunia keilmuan Islam.

Dari jalur ayah, nasab KH Hasyim Asy'ari bersambung hingga Maulana Ishak. Maulana Ishak adalah tokoh yang memiliki peran penting dalam penyebaran Islam. Jejak ini menunjukkan bahwa kecintaan dan dedikasi KH Hasyim Asy'ari terhadap ilmu agama tak lepas dari warisan keilmuan yang berakar dalam sejarah keislaman.

Dari jalur ibu, KH Hasyim Asy'ari memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Majapahit, khususnya Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng). Raja Brawijaya VI yang berputra Karebet atau dikenal sebagai Jaka Tingkir, menjadi pemimpin Kerajaan Majapahit. 

Dalam sejarah, Jaka Tingkir kemudian mencatatkan namanya sebagai Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya, menandai awal pemerintahannya pada tahun 1568 M.

Keterkaitan nasab KH Hasyim Asy'ari dengan Kerajaan Majapahit memberikan dimensi sejarah yang menarik. Sebuah perjalanan keturunan dari kerajaan besar hingga menemukan jalannya dalam memimpin NU dan menjadi pahlawan nasional.

Jejak nasab ini menunjukkan bahwa KH Hasyim Asy'ari membawa warisan keluarga yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan keagamaan. 

Dalam perjalanan hidupnya, beliau berhasil menyatukan jejak nasab dari dua jalur yang berbeda, menunjukkan keberagaman dan kedalaman akar budaya dan keagamaan yang membentuk kepribadian dan pemikirannya.

Sebagai seorang ulama, pendiri NU, dan pahlawan nasional, KH Hasyim Asy'ari memberikan kontribusi besar dalam merajut kembali keutuhan dan kekuatan umat Islam di Indonesia. 

Dengan menghormati dan mewarisi jejak nasabnya, beliau menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan keislaman dan kebangsaan yang terus hidup dan berkembang hingga saat ini.

Warisan KH Hasyim Asy'ari

Pada 25 Juli 1947 atau 7 Ramadan 1366 H, Indonesia meratapi kehilangan seorang ulama besar, pemimpin agung, dan ilmuwan ulung, Kiai Hasyim Asy'ari. Saat itu, suasana sedih menyelimuti Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang, tempat Kiai Hasyim menghembuskan napas terakhirnya.

Peristiwa itu terjadi ketika Kiai Hasyim menerima utusan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo, yang hendak mengabarkan keadaan negara setelah terjadinya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Kabar pahit bahwa Singosari telah direbut oleh Jenderal Spoor membuat Kiai Hasyim terkejut hingga jatuh pingsan.

Meskipun dokter segera dipanggil, nyawa Kiai Hasyim tak dapat diselamatkan lagi. Indonesia kehilangan sosok ulama yang tidak hanya berperan dalam bidang agama, tetapi juga ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Jenazahnya pun dikebumikan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, menciptakan makam yang selalu dikunjungi dan dihormati oleh generasi penerus.

Selain warisan berupa kepemimpinan dan peran kemerdekaan, ilmu Kiai Hasyim terus hidup melalui karya-karya ilmiahnya. Beberapa karya populer seperti Al-Imam al-Ghazali wa Arauhu al-Kalamiah dan Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah terus menjadi sumber pembelajaran dan inspirasi.

Tidak hanya meninggalkan karya ilmiah, Kiai Hasyim juga melahirkan ulama dan pemimpin bangsa yang memiliki kontribusi besar. Di antara mereka adalah KH Wahid Hasyim, yang menjadi Menteri Agama RI pertama, dan cucunya, H Abdurrahman Wahid, yang kemudian menjadi Presiden RI ke-4. 

Figur seperti KH Sahal Mahfudz, mantan Ketua PBNU, dan KH Mustofa Bisri, mantan Rais Aam PBNU, juga merupakan bukti bahwa warisan Kiai Hasyim terus berkembang melalui para pengikutnya.

Dengan perpisahan ini, Indonesia merenung atas kepergian seorang tokoh yang tidak hanya berjasa dalam dunia keislaman, tetapi juga meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah perjuangan dan ilmu pengetahuan. Kiai Hasyim Asy'ari, sebagai pahlawan agama dan bangsa, akan terus dikenang sebagai inspirasi bagi generasi masa kini dan yang akan datang. (Z-1)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya