Senin, 6 Mei 2024

NTB Belum Bebas dari Belenggu Kemiskinan

- Jumat, 19 Februari 2021 | 21:08 WIB
ILUSTRASI: Potret kemiskinan di NTB. (Dok/Lombok Post)
ILUSTRASI: Potret kemiskinan di NTB. (Dok/Lombok Post)

Oleh:

Hendra Puji Saputra

Staf KONSEPSI NTB

 

MASALAH kemiskinan masih menjadi permasalahan panjang yang seolah tiada ujung. Betapa tidak, masalah kemiskinan bagai benang kusut yang tak terurai dari waktu ke waktu. Masalahnya, upaya mengatasi kemiskinan ini semakin berat karena pada saat yang sama kita sedang berjuang keras menghadapi pandemi Covid-19 yang hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda penurunan kasus.

Lebih jauh, merebaknya pandemi Covid-19 telah memukul sektor ekonomi yang berdampak pada pelambatan aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Sejak awal kemunculannya, sebagian besar negara termasuk Indonesia mulai kalang kabut dan kewalahan menangani pandemi Covid-19 yang membuat stabilitas ekonomi semakin goyah dan mengalami kontraksi tajam. Akibatnya, keadaan ekonomi yang semakin terpuruk dan tertatih-tatih ini diikuti oleh bayang-bayang resesi. Resesi ekonomi sebagai dampak nyata pandemi Covid-19 pada gilirannya telah menginfeksi pendalaman kemiskinan.

Bayang-bayang kemiskinan akibat pandemi Covid-19 sebetulnya sudah mulai terlihat pada potret data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Juli 2020 lalu. Data BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang atau 9,78 persen, meningkat 1,63 juta orang atau 0,56 persen dibandingkan September 2019. Secara rinci, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan dari 9,86 juta orang pada September 2019 naik menjadi 11,16 juta orang pada Maret 2020. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan dari 14,93 juta orang pada September 2019 naik menjadi 15,26 juta orang pada Maret 2020.

Sayangnya, lonjakan angka kemiskinan ini tidak berhenti pada itu saja. Sejumlah daerah di Indonesia dilaporkan mengalami gejolak sosial ekonomi yang mendalam akibat dampak pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Berdasarkan data yang dirilis BPS Provinsi NTB menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di NTB pada Maret 2020 sebesar 713.890 orang, naik sebanyak 8.210 orang dibandingkan September 2019 sebesar 705.680 orang.

Peningkatan laju kemiskinan akibat pandemi Covid-19 ini sejak awal memang sudah bisa diprediksi. Pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19 telah menyebabkan mobilitas masyarakat terhambat. Akibatnya, ekonomi menjadi stagnan dan kian terpuruk. Lesunya perekonomian ini bukan hanya berkontribusi pada lonjakan angka kemiskinan, namun juga berdampak pada peningkatan angka pengangguran. Kegiatan ekonomi yang terhenti membuat banyak perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, salah satunya dengan memangkas jam kerja karyawan atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Jika merujuk pada data BPS Provinsi NTB pada Agustus 2020, terdapat 455,56 ribu orang atau 11,93 persen penduduk usia kerja di NTB yang terkena dampak Covid-19. Rinciannya, tercatat sebanyak 28,39 ribu orang menjadi pengangguran karena Covid-19, Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena Covid-19 sebanyak 12,66 ribu orang, sementara tidak bekerja karena Covid-19 sebanyak 35,66 ribu orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 sebanyak 378,85 ribu orang. Jumlah ini akan berpotensi terus bertambah, jika dalam jangka panjang upaya penanganan pandemi Covid-19 belum dapat dikendalikan secara optimal.

Masalahnya, himpitan ekonomi yang dialami masyarakat miskin karena sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal sehingga memerlukan kehadiran fisik yang tidak bisa digantikan secara virtual. Bagi masyarakat miskin yang tidak mampu adaptif di tengah pandemi, secara perlahan mereka akan tergilis dalam situasi ekonomi yang serba kesulitan. Bisa dibayangkan, berada pada situasi ini tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi bagi mereka yang ‘miskin’ kompetensi dan tidak melek teknologi.

Oleh karena itu, keberpihakan pemerintah terhadap ekonomi masyarakat yang semakin terpuruk diharapkan tidak hanya berbentuk regulasi, melainkan juga dibarengi dengan adanya komitmen berupa budgeting policy. Untuk itu, sejak awal pandemi merebak pemerintah pusat telah menyalurkan paket stimulus ekonomi yang nilainya mencapai ratusan triliun yang dialokasikan untuk sektor kesehatan, menjaga daya beli masyarakat melalui jaring pengaman sosial (social safety net), dan relaksasi pajak untuk pelaku usaha hingga kredit untuk UMKM. Namun, upaya ini nyatanya masih belum membawa perubahan signifikan untuk keluar dari jurang kemiskinan.

Jika melirik sedikit ke belakang, masalah kemiskinan khususnya di NTB sesungguhnya bukan persoalan baru. Jauh sebelum merebaknya pandemi Covid-19, pengentasan kemiskinan merupakan salah satu prioritas yang diagendakan dalam program pembangunan daerah. Berbagai prestasi dan keberhasilan dalam upaya pengentasan kemiskinan yang diraih NTB selama satu dekade terakhir, sepertinya membutuhkan kerja keras bagi NTB jika ingin mengulangi dan mencapainya kembali.

Penurunan angka kemiskinan sejatinya tidak akan bisa dicapai secara bermakna jika akar persoalannya tidak diselesaikan secara tuntas. Sebab, kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Maka untuk mengatasinya, tidak bisa dilakukan secara sektoral karena akar penyebab kemiskinan saling beririsan dan berhubungan satu dengan yang lainnya.

Para ilmuan sosial meyakini, upaya untuk bebas dari belenggu kemiskinan setidaknya harus memperhatikan dua hal yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan yang pertama menekankan pada aspek perumusan kebijakan pemerintah yang responsif terhadap masyarakat miskin. Sementara itu, pendekatan kedua mengartikan pentingnya aspek sosial budaya berupa perluasan akses pendidikan bagi masyarakat miskin agar mampu keluar dari belenggu kemiskinan.

Selain itu, yang tidak kalah penting lainnya adalah kemiskinan massal yang berhulu pada pandemi Covid-19 memerlukan langkah-langkah extra ordinary untuk mengatasinya. Meski berat, namun bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Seperti kata pepatah: “Bila malam semakin gelap, petanda pagi akan segera datang”. Atau sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 5). (*)

Editor: Administrator

Tags

Terkini

Surat Dari Kartini

Kamis, 2 Mei 2024 | 18:46 WIB

Efek Rokok Elektrik terhadap Jantung

Senin, 1 April 2024 | 18:19 WIB

Berhenti Merokok saat Bulan Ramadan

Rabu, 13 Maret 2024 | 06:00 WIB

Fanatisme Sempit sebagai Akar Konflik Sosial

Sabtu, 13 Januari 2024 | 07:00 WIB

PENGHAPUS DOSA

Sabtu, 13 Januari 2024 | 06:00 WIB

Bahaya Minuman Keras bagi Remaja

Jumat, 5 Januari 2024 | 10:27 WIB

Pemimpin itu Harus Pekel

Kamis, 4 Januari 2024 | 07:25 WIB

HAB Kemenag 2024: Indonesia Hebat Bersama Umat

Selasa, 2 Januari 2024 | 12:15 WIB
X